Yang diingat dari Matari adalah, duluuuuu sekali, Ayahnya ceria dan bersahabat. Suka menggoda kedua anak perempuannya. Suka bercerita tentang binatang kecil bernama Si Kancil. Yang akan didengar tanpa ada rasa bosan dari Matari dengan mata bulatnya yang ekspresif. Ibunya akan tersenyum-senyum sambil membuat dua gelas susu hangat untuk dirinya dan Kakaknya.
Sejak Ibunya meninggal, Ayahnya sudah berhenti tersenyum saat pemakaman. Bahkan untuk menyapa Matari dan Bulan, beliau hanya mengangguk-angguk sambil menatap mereka. Meskipun tetap rajin menanyakan kebutuhan apa saja yang dibutuhkan, namun selalu memberikan uang bulanan yang jumlahnya sangat pas-pasan pada Matari dan Bulan. Matari dan Bulan tahu, Ayahnya memiliki hutang yang cukup besar akibat biaya Rumah Sakit Ibu Matari yang tidak di cover asuransi kantor.
Sampai-sampai mereka tidak mampu membeli mobil, padahal tahun di mana tahun sebelum Ibu Matari meninggal, Ayah mereka sudah berencana membeli mobil, sehingga jik
Matari dan Sandra mengumpulkan formulir pendaftaran SMA Negeri B Tebet itu bersama calon pendaftar yang lain. Di dekat mereka, tampak Narita juga ikut serta. Meskipun Narita tak terlalu berharap banyak dan telah memiliki SMA Negeri dan swasta cadangan yang lain, dia tahu, dia tidak akan semudah itu diterima di SMA Negeri B Tebet yang syarat pendaftaran kelulusannya untuk anak-anak dengan Nilai Ujian Nasional yang lebih tinggi daripada miliknya. Perpindahannya di SMP saat kelas 2 serta keadaannya yang lumayan terseok-seok mengikuti pelajaran sekolah, membuatnya harus puas untuk bisa lulus dengan nilai yang cukup namun tidak terlalu memuaskan.Selentingan kabar sudah terdengar bahwa SMA Negeri B membuka jalur pendaftaran khusus bagi siswa-siswa dengan nilai yang tidak terlalu bagus namun memiliki materi berlebih untuk ikut menyumbang dalam dana pembangunan sekolah yang lebih tinggi dari standar yang seharusnya. Narita tak ingin masuk jalur itu. Lebih baik masuk ke SMA Negeri la
Kelulusan di SMP Matari, pengumumannya diberikan langsung ke orangtua murid. Beberapa anak lainnya, ada yang ikut datang dengan menunggu di mobil. Ada pula yang menunggu di sekitar area sekolah. Sedangkan Matari, yang saat itu diwakilkan oleh Kak Bulan menunggu dengan setia di rumah. Tante Dina pun sudah masuk terlebih dulu di kelas Sandra. Sesi yang tak sampai 2 jam itu menimbulkan suasana tegang di mana-mana. Bahkan, Matari dan Sandra yang menunggu di rumah dengan setia, terus berdoa bersama-sama. Bahkan Eyang Putri juga berdoa di dalam kamarnya berharap cucu-cucunya lulus dengan baik.Menjelang makan siang, suara mobil kijang lama Tante Dina masuk ke pekarangan rumah. Matari dan Sandra segera loncat dan turun ke lantai 1 dan menyambut dengan penuh antusias.Wajah Tante Dina sama sekali tidak bisa dibaca. Kak Bulan tampak tak ikut serta.“Kakakmu langsung balik ke kampus lagi, ngejar jadwal kereta. Untung tadi masih keburu kekejar. Tapi dia udah nitipin
Matari sedang mengecek rantai sepedanya saat Iko membuka pagar rumahnya. Saat itu dia tak sengaja berhenti di depan rumah Iko. Persis di dekat gerbang rumahnya yang besar.“Matariiiii! Long time no see!” seru Iko heboh.Matari menoleh, mendapati Iko sedang berdiri di dekat pagar rumahnya. Wajahnya berbinar karena senang. Rambut keritingnya yang biasanya tampak awut-awutan, kali ini tampak rapi.“Hai! Bentar ya, rantai gue kenapa ya? Kaya kendor gitu?” tanya Matari.Iko mendekat. “Gue cekin bentar deh, sambil kita ngobrol. Yuk, masuk! Gimana, udah pengumuman belom? Lulus kan?”Iko berjalan menuntun sepeda Matari dan Matari mengikutinya. Rumah Iko masih tak berubah. Wangi-wangian yang dari bunga-bunga kering yang dibuat Tante Indira dan memenuhi seluruh sudut rumah, menyeruak keluar. Bunga-bunga kering itu didengarnya adalah dari bunga-bunga yang rontok atau tidak laku di tokonya di Bandung.“Belum pen
Keesokan harinya, kado sudah dititipkan ke Umar melalui Sandra. Matari bahkan sudah lupa bagaimana nantinya karena hari itu banyak tugas-tugas sekolah yang menuntut pikiran dan tenaganya. Hingga akhirnya saat Gilang mengajaknya pergi ke ruang guru, Matari ikut dengan setengah hati. Tugasnya bahkan baru dikerjakan separuhnya. Namun Gilang bersikeras karena dia nggak mau pergi sendirian.Di tengah jalan, Matari berpapasan dengan Arga dan Umar.“Eciyeeee, udah ngucapin terimakasih belom? Nih orangnya!” seru Umar.Matari tersipu malu. Meskipun dia niat nggak niat, namun dia merasa malu juga harus berhadapan dengan Arga. Nggak seperti sebelumnya.“Eh, Kak, saya mau ngomong sebentar bisa?” tanya Arga to the point.“Hmm, bentar. Lang, lo ke ruang guru duluan, nanti gue nyusul,” jawab Matari pada Gilang.Gilang yang sejak tadi penuh tanda tanya akhirnya menurut masuk ke ruang guru.“Makasih, Kak, buat
Bagi idola baru anak kelas 2, tentu saja informasi hari ulang tahun Arga secepat kilat berhembus kesana-kemari. Bahkan, anak-anak basket semuanya tanpa terkecuali telah mengetahui informasi itu. Sudah menjadi budaya mereka, kalau nanti ada salah satu tim basket berulangtahun, mereka akan mengguyur dengan air dan kertas yang dipotong kecil-kecil. Tepung dan telur sudah lama dilarang untuk perayaan ulang tahun di sekolah. Tentu saja hal ini sudah sampai ke telinga Thea.“Ri, Arga mau ultah lho!” seru Thea sambil mendekati Matari yang sedang duduk santai di kursinya sendiri saat jam istirahat.“Argaaaa??? Siapa tuh?” sambung Gilang yang duduk di belakang Matari kepo.“Arga, anak basket. Elo mah nggak gaul, nggak usah tahu!” seru Thea kesal.“Hah? Emang ada anak basket namanya Arga? Don, anak basket ada yang namanya Arga?” tanya Gilang pada Dono, salah satu mantan tim basket inti kelas 2 di jaman Thea dulu, yang
Sandra terus menjodoh-jodohkan Matari dan Arga, yang tentu saja ditolak oleh Matari. Kedua sahabatnya yang lain, Thea dan Lisa sih mendukung aja, asalkan jangan ngeganggu masa-masa persiapan mereka menuju ujian demi ujian menjelang kelulusan.“Kayak lo belajar aja, Sa!” kata Sandra meledek.“Yeeee, gue belajar tahu. Kata Mama tuh yang penting dapet nilai minimal. Yang penting lulus. Jangan ada salah satu yang nilainya merah atau 5. Ya udah gue ngehapalin yang gue bisa aja. Kata Mama kan gitu,” timpal Lisa.“Ya bener kata Mama lo. Cuma kan soalnya banyak banget dan lo harus bisa minimal 60 % aja. Lo yakin, sanggup?” tanya Thea.“Harus sanggup. Lagian gue tuh SMA nggak di sini kan? Sebenernya gue ada back up plan. Jadi kalaupun gue nggak lulus, gue akan ikut kejar paket, dan abis gitu les buat ikut semacem tes atau sekolah persamaan. Gue bak