Share

Memandikan Seorang Wanita

"Ayo, Karina. Kamu harus mandi agar David mau menemuimu," bujuk Adimas dengan suara lembut.

Tubuh keduanya basah akibat terguyur hujan dan Adimas berusaha memutar otak untuk membuat Karina mau untuk mandi.

Dia hanya menyebutkan nama David sebagai percobaan. Tidak disangka, Karina langsung menoleh ke arahnya dengan tertarik.

"David?" tanyanya dengan suara lirih.

Adimas tersenyum dan mengangguk. "Ya. David hanya ingin menemuimu jika kau sudah bersih dan wangi," jawabnya.

Ia merasa bersalah karena harus membohongi Karina seperti anak kecil, tetapi mungkin hanya itu satu-satunya cara untuk menjangkau Karina yang tidak ingin mendengarkannya.

Dan, benar saja. Karina langsung mengangguk patuh seperti kucing kecil dan mulai berjalan ke arah kamar mandi. Bahkan, tanpa perlu Adimas suruh.

Pria itu memandangnya dengan tidak percaya. Untuk saat ini, Karina hanya mendengarkan David. Gadis itu mungkin bahkan tidak pernah menghiraukannya.

Adimas menyusul Karina mendekati kamar mandi dan sedikit terkesiap kaget saat melihat Karina sudah duduk manis di bath tub.

Sekarang, masalahnya adalah, bagaimana cara memandikan seorang wanita?

Adimas memulainya dengan berjongkok di sisi Karina. "Pertama, kita akan mulai dengan mencuci rambutmu," tutur pria itu.

Dia mengambil ancang-ancang, khawatir jika Karina akan kembali menjadikannya sebagai samsak tinju, tetapi tidak. Gadis itu hanya terdiam, bahkan ia tidak memprotes saat Adimas mulai menyentuh kepalanya dan mendongakkannya, kemudian mengarahkan shower untuk membasahi rambutnya.

Rupanya, pengaruh David sebesar itu dalam hidup Karina.

Rambut Karina benar-benar kotor dan kusut. Dengan sabar, Adimas menggosok dan membersihkannya. Hingga dalam waktu lima menit, rambut Karina sudah berubah menjadi halus, bersih, dan wangi.

"Sudah selesai," ujar Adimas seraya tersenyum memuji, "Sekarang, kita harus membersihkan tubuhmu," tuturnya.

Itu adalah bagian yang paling menantang. Bukan karena Karina yang mungkin akan menolak, tetapi batin Adimas yang bergejolak.

Sebelumnya, pria itu tidak pernah menyentuh wanita. Ia bahkan tidak pernah menyentuh Kamala sementara mereka berpacaran. Kini, ia dipaksa untuk memandikan seorang wanita.

Mengambil napas dalam-dalam, Adimas memulai dengan melepaskan baju Karina dan ia menahan napas, berusaha mengendalikan dirinya. Hingga mata Adimas justru membelalak begitu melihat tubuh bertelanjang dada Karina.

Bukan karena terpesona atau terpancing, Adimas terkejut oleh apa yang terpapar di depan matanya.

Tubuh Karina tampak dipenuhi oleh luka-luka. Baik itu luka bakar kecil, ataupun bekas luka lebam, dan sayatan.

"Sebentar, Karina," ujar Adimas, dengan waspada pria itu mulai melepaskan celana Karina dan ia menemukan luka yang sama di sana.

Adimas terhenyak.

"Apa yang terjadi, Karina? Siapa yang melakukan ini semua padamu?" Adimas bertanya-tanya.

Karina tidak menjawab, masih duduk diam di dalam bath tub, dan Adimas mulai memikirkan peringatan David.

Mungkinkah... keluarga Karina benar-benar penyebab dari semua ini?

"Hatchii!" Karina tiba-tiba bersin dan menyentak Adimas pada kenyataan.

"Ah, iya, kita harus cepat-cepat memandikanmu," tuturnya. Dengan cepat ia mengambil sabun cair di dekatnya, tetapi Adimas ragu bagaimana ia harus menyentuh Karina.

Hingga perlahan, Adimas melumuri sebuah busa dengan sabun dan mulai mengusap tubuh Karina. Dimulai dari lengan, berlanjut ke punggung, dan terus turun hingga ke bagian bawah.

Adimas melakukan semua itu sambil menahan napas. Bagaimanapun, ia hanyalah pria biasa yang akan bereaksi jika melihat pemandangan semacam ini di depan matanya. Ditambah kulit Karina--yang meski penuh luka, tetapi selembut sutra--semakin membuatnya nyaris hilang akal. Bahkan, Adimas sengaja tidak melepaskan penutup dada Karina dan tidak melucuti celana dalamnya.

Namun, seakan mengerti, tangan Karina bergerak untuk melepaskan bra-nya hingga dengan cepat Adimas menahan tangannya.

"Tidak, jangan dilepas," ujar pria itu. Raut wajahnya terlihat tegang dan serius.

Karina tidak menjawab. Untuk sesaat, keduanya hanya bertukar tatapan hingga tiba-tiba...

PLAAKK

Karina menampar pipi Adimas begitu saja. Adimas terkesiap kaget dan berkedip cepat. Tidak hanya membuatnya terkejut, tamparan itu juga mengembalikan akal sehat Adimas.

"Ya, tindakanmu benar. Kali ini, aku pantas mendapatkannya," tutur pria itu, kemudian menggelengkan kepala, berusaha mengempaskan hal kotor itu dari pikirannya.

Setelah dua puluh menit, akhirnya Adimas berhasil melewati rintangan itu. Kini, ia berusaha memilih baju dan memakaikannya untuk Karina.

'Ternyata ribet juga,' pikir Adimas saat ia mengganti bra dan berusaha mengaitkan kawat yang ada. Tangannya terus meleset.

"Sudah selesai," ucap Adimas sembari tersenyum.

Kini, Karina yang berdiri di hadapannya benar-benar terlihat berbeda.

Rambut yang biasa terlihat kusut dan mengembang sekarang tampak lurus dan rapi. Wajahnya tampak bersih dan tubuhnya terlihat seperti gadis pada umumnya.

Adimas tersenyum bangga. "Rupanya kau gadis yang cantik, Karina," pujinya meski ia tahu Karina tidak akan mengerti perkataannya.

Ia memungut baju mandi dan tersenyum ke arah gadis itu.

"Tunggu di sini. Aku akan mengambilkan makan malam untuk kita," ujarnya, kemudian berjalan pergi keluar ruangan.

Ia hanya pergi selama kurang lebih lima menit dan sudah menemukan Karina terbaring di ranjangnya saat kembali.

Pria itu bergerak mendekati ranjang seraya membawa nampan berisi makanan.

"Ini, Karina. Kau belum memakan apa pun sejak tadi--Karina?"

Adimas berkedip dan menyadari keanehan pada gadis itu. Karina memejamkan mata, tetapi tampak gusar dan pucat. Ia bergerak mendekat dan menaruh tangan di dahinya.

"Badanmu panas. Ayo, kita periksa ke dokter!" sergah Adimas.

Dengan cekatan, pria itu membangunkan Karina dan menggendongnya di punggungnya.

Saat ia melintasi ruang tamu, ia melihat Markus, Siska, dan Bella yang tengah asyik menonton siaran televisi. Markus seketika menjadi waspada melihat Adimas dan Karina.

"Ada apa? Apa yang kau lakukan?" tanyanya.

Adimas masih berdiri setengah membungkuk dengan Karina di punggungnya. "Karina demam. Aku akan membawanya untuk periksa ke dokter," jawab pria itu, kemudian melanjutkan langkahnya.

"Ke dokter? Tidak perlu!" sergah Markus.

Adimas seketika berhenti. Ia menoleh ke arah Markus yang telah berdiri berkacak pinggang.

"Apa maksudnya?" tanya pria itu, berharap ia salah mendengar kata-kata Markus.

"Aku tidak mengizinkanmu membawa Karina ke dokter. Tidak perlu dibawa ke dokter! Hanya demam, 'kan? Biarkan saja nanti dia akan sembuh sendiri," ujar Markus, tampak acuh tak acuh.

"Lagi pula, memang orang miskin seperti kamu sanggup membiayainya? Kami saja tidak pernah membawa dia ke dokter jika dia sakit," lanjutnya dengan nada merendahkan.

Adimas memandang dengan tidak percaya. Tidak pernah membawa Karina ke rumah sakit?

Benar-benar keterlaluan. Orang tua mana yang tega bersikap seperti itu saat anak mereka tengah sakit?

Namun, Adimas tidak heran. Bahkan kali ini, meski Karina terlihat pucat, baik Bella ataupun Siska tidak bereaksi. Mereka sibuk menonton acara televisi sambil memakan cemilan.

Mereka semua benar-benar orang gila.

"Aku akan tetap membawa Karina untuk diperiksa oleh dokter!" Adimas bersikeras dan kembali melanjutkan langkahnya.

Kali ini, Markus tidak hanya berdiri diam. Pria itu berjalan cepat mendahului Adimas dan menutup pintu di depannya dengan kencang.

"Tidak ada seorang pun di rumah ini yang bisa melakukan sesuatu tanpa izinku!" sergahnya dengan nada tinggi. "Jangan coba-coba melawanku. Kau hanya buang-buang uang jika membawanya periksa ke dokter! Ingat, kau hanya pria miskin yang beruntung karena dijadikan menantu oleh orang kaya sepertiku!" sergah Markus dengan wajah merah oleh amarah. Ia tidak percaya jika Adimas akan berani melawannya.

"Satpam! Cepat kemari!" Dia memanggil dan seorang pria bergegas mendekatinya.

"Ada apa, Tuan?"

Markus menatap tajam kepada Karina dan Adimas. "Perhatikan lingkungan ini baik-baik! Jangan sampai mereka berdua pergi dari rumah ini," katanya, memperingatkan.

"Baik, Tuan," jawab satpam itu dengan patuh.

Adimas tidak langsung bereaksi. Pria itu juga tidak segera beranjak dari sana. Dia hanya berdiri dan menatap Markus dengan sorot penuh kekesalan bercampur tidak percaya.

Markus berkacak pinggang seakan menantang Adimas.

"Apa? Mengapa kau menatapku seperti itu?" tantangnya.

"Tidak. Hanya saja, kupikir kau adalah ayah yang baik dan memikirkan keselamatan anaknya, ternyata aku salah! Kau bahkan tidak sudi mengeluarkan uang untuk Karina yang sakit!" tegas Adimas.

Markus membelalakkan mata dengan kesal mendengar hal itu. Ia menatap Adimas dengan galak.

"Berani-beraninya kau!!" bentak pria itu. Namun, Adimas tidak menghiraukannya. Ia membawa Karina kembali ke kamar.

Selama berjam-jam, Adimas berusaha mengompres dahi gadis itu dan memberinya obat, tetapi suhu tubuh Karina tidak kunjung turun. Malah, semakin lama, tubuh itu semakin panas seakan terbakar hingga tangan Karina mulai bergetar.

Adimas tidak tahan dan mengeluarkan ponsel bututnya. Mencoba menghubungi seseorang.

"Segera jemput aku. Ya. Kau benar. Ingat, jangan menimbulkan keributan," titah Adimas dengan serius.

Ia menunggu dalam kesunyian. Setelah mendapatkan tanda, diam-diam ia membawa Karina melaui pintu belakang. Di sana, sudah ada sebuah mobil yang terparkir. Sang sopir membuka pintu tanpa menanyakan apa-apa dan Adimas langsung bergerak masuk. Dalam waktu kurang dari semenit, mobil itu sudah kembali meluncur di jalanan.

Sopir yang menjemput tidak lain adalah Benny. Ia memiliki banyak pertanyaan, tetapi tahu keadaannya cukup genting sehingga hanya menutup mulut. Begitu tiba, Adimas kembali menggendong Karina yang tidak sadarkan diri.

"Suster, tubuh istri saya tiba-tiba demam sore ini. Saya sudah memberinya obat, tapi panasnya justru makin tinggi," ujarnya dengan cemas.

Adimas semakin khawatir, terlebih sepanjang perjalanan, Karina tidak memberikan respons apa pun.

Suster wanita itu mengangguk. "Silakan kemari, Pak. Pasien ini atas nama siapa?" tanyanya seraya membimbing Karina menuju salah satu tempat tidur.

"Karina Covey," jawab Adimas cepat.

Raut wajah suster yang semula waspada dan cekatan itu seketika berubah saat mendengar nama yang diucapkan. Ia memandang ke arah Adimas dengan ragu.

"Covey? Keluarga Covey?" Seorang pria berpakaian dokter berjalan mendekati Adimas. Dia mengamati tubuh Karina dan tampak terkejut.

"Dia benar-benar Karina. Mustahil! Siapa kau?" tanyanya dengan nada tegas kepada Adimas.

"Saya suaminya," jawab Adimas cepat.

"Kau berbohong!" sergah dokter itu. "Katakan dengan jujur, siapa kau sebenarnya?"

Kini, justru Adimas yang menjadi bingung. Ia berniat datang untuk memeriksa istrinya, tetapi justru dirinya yang diinterogasi. Apakah mereka mengenal Karina?

"Saya benar-benar suaminya! Kami sudah menikah dua hari yang lalu!" jawab Adimas dengan tegas.

Jawaban itu seketika membungkam dokter itu. Ia terdiam dan berpikir, sementara Adimas kian tidak sabar.

"Apa yang terjadi pada istri saya, Dok? Tolong periksa dia karena tubuhnya tiba-tiba demam--"

"Jadi, sekarang Anda baru mempercayai kami?" Dokter itu justru bertanya. Tatapannya tampak tidak ramah dan seakan menyudutkan Adimas.

"Apa...."

Dokter itu memasang stetoskop di telinganya dan bergerak untuk memeriksa Karina yang sudah terbaring di ranjang.

"Kami sudah mengatakan bahwa Karina harus dirawat, tapi kalian terus mengabaikannya dan bersikeras membawa Karina pulang. Semoga saja demam kali ini hanya demam biasa," tuturnya.

Adimas terdiam mendengar jawaban itu. Itu berarti, Karina sudah pernah kemari sebelumnya.

....apa yang sebenarnya terjadi?

Tiba-tiba ponsel jadul Adimas bergetar dan terlihat ada sebuah pangggilan masuk. Dengan cepat Adimas menjawabnya.

"Halo..."

"Di mana kamu?" sela suara di seberang yang amat Adimas kenali sebagai suara Markus.

"Siapa--"

"Katakan keberadaan kamu dan Karina sekarang!" desak Markus dengan tidak sabar. Dari suaranya, Adimas bisa menyadari jika pria itu marah besar.

"Cepat, Dokter. Kita harus segera menanganinya." Seorang suster melewati Adimas sambil bersuara.

Tampaknya, Markus juga bisa mendengar suara itu.

"Rupanya kalian benar-benar pergi. Tunggu di sana. Kau sudah mencari masalah denganku, pria berengsek," tutur Markus.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status