Home / Romansa / Cinta Seorang Pengasuh / Memandikan Seorang Wanita

Share

Memandikan Seorang Wanita

last update Last Updated: 2023-05-18 19:48:20

"Ayo, Karina. Kamu harus mandi agar David mau menemuimu," bujuk Adimas dengan suara lembut.

Tubuh keduanya basah akibat terguyur hujan dan Adimas berusaha memutar otak untuk membuat Karina mau untuk mandi.

Dia hanya menyebutkan nama David sebagai percobaan. Tidak disangka, Karina langsung menoleh ke arahnya dengan tertarik.

"David?" tanyanya dengan suara lirih.

Adimas tersenyum dan mengangguk. "Ya. David hanya ingin menemuimu jika kau sudah bersih dan wangi," jawabnya.

Ia merasa bersalah karena harus membohongi Karina seperti anak kecil, tetapi mungkin hanya itu satu-satunya cara untuk menjangkau Karina yang tidak ingin mendengarkannya.

Dan, benar saja. Karina langsung mengangguk patuh seperti kucing kecil dan mulai berjalan ke arah kamar mandi. Bahkan, tanpa perlu Adimas suruh.

Pria itu memandangnya dengan tidak percaya. Untuk saat ini, Karina hanya mendengarkan David. Gadis itu mungkin bahkan tidak pernah menghiraukannya.

Adimas menyusul Karina mendekati kamar mandi dan sedikit terkesiap kaget saat melihat Karina sudah duduk manis di bath tub.

Sekarang, masalahnya adalah, bagaimana cara memandikan seorang wanita?

Adimas memulainya dengan berjongkok di sisi Karina. "Pertama, kita akan mulai dengan mencuci rambutmu," tutur pria itu.

Dia mengambil ancang-ancang, khawatir jika Karina akan kembali menjadikannya sebagai samsak tinju, tetapi tidak. Gadis itu hanya terdiam, bahkan ia tidak memprotes saat Adimas mulai menyentuh kepalanya dan mendongakkannya, kemudian mengarahkan shower untuk membasahi rambutnya.

Rupanya, pengaruh David sebesar itu dalam hidup Karina.

Rambut Karina benar-benar kotor dan kusut. Dengan sabar, Adimas menggosok dan membersihkannya. Hingga dalam waktu lima menit, rambut Karina sudah berubah menjadi halus, bersih, dan wangi.

"Sudah selesai," ujar Adimas seraya tersenyum memuji, "Sekarang, kita harus membersihkan tubuhmu," tuturnya.

Itu adalah bagian yang paling menantang. Bukan karena Karina yang mungkin akan menolak, tetapi batin Adimas yang bergejolak.

Sebelumnya, pria itu tidak pernah menyentuh wanita. Ia bahkan tidak pernah menyentuh Kamala sementara mereka berpacaran. Kini, ia dipaksa untuk memandikan seorang wanita.

Mengambil napas dalam-dalam, Adimas memulai dengan melepaskan baju Karina dan ia menahan napas, berusaha mengendalikan dirinya. Hingga mata Adimas justru membelalak begitu melihat tubuh bertelanjang dada Karina.

Bukan karena terpesona atau terpancing, Adimas terkejut oleh apa yang terpapar di depan matanya.

Tubuh Karina tampak dipenuhi oleh luka-luka. Baik itu luka bakar kecil, ataupun bekas luka lebam, dan sayatan.

"Sebentar, Karina," ujar Adimas, dengan waspada pria itu mulai melepaskan celana Karina dan ia menemukan luka yang sama di sana.

Adimas terhenyak.

"Apa yang terjadi, Karina? Siapa yang melakukan ini semua padamu?" Adimas bertanya-tanya.

Karina tidak menjawab, masih duduk diam di dalam bath tub, dan Adimas mulai memikirkan peringatan David.

Mungkinkah... keluarga Karina benar-benar penyebab dari semua ini?

"Hatchii!" Karina tiba-tiba bersin dan menyentak Adimas pada kenyataan.

"Ah, iya, kita harus cepat-cepat memandikanmu," tuturnya. Dengan cepat ia mengambil sabun cair di dekatnya, tetapi Adimas ragu bagaimana ia harus menyentuh Karina.

Hingga perlahan, Adimas melumuri sebuah busa dengan sabun dan mulai mengusap tubuh Karina. Dimulai dari lengan, berlanjut ke punggung, dan terus turun hingga ke bagian bawah.

Adimas melakukan semua itu sambil menahan napas. Bagaimanapun, ia hanyalah pria biasa yang akan bereaksi jika melihat pemandangan semacam ini di depan matanya. Ditambah kulit Karina--yang meski penuh luka, tetapi selembut sutra--semakin membuatnya nyaris hilang akal. Bahkan, Adimas sengaja tidak melepaskan penutup dada Karina dan tidak melucuti celana dalamnya.

Namun, seakan mengerti, tangan Karina bergerak untuk melepaskan bra-nya hingga dengan cepat Adimas menahan tangannya.

"Tidak, jangan dilepas," ujar pria itu. Raut wajahnya terlihat tegang dan serius.

Karina tidak menjawab. Untuk sesaat, keduanya hanya bertukar tatapan hingga tiba-tiba...

PLAAKK

Karina menampar pipi Adimas begitu saja. Adimas terkesiap kaget dan berkedip cepat. Tidak hanya membuatnya terkejut, tamparan itu juga mengembalikan akal sehat Adimas.

"Ya, tindakanmu benar. Kali ini, aku pantas mendapatkannya," tutur pria itu, kemudian menggelengkan kepala, berusaha mengempaskan hal kotor itu dari pikirannya.

Setelah dua puluh menit, akhirnya Adimas berhasil melewati rintangan itu. Kini, ia berusaha memilih baju dan memakaikannya untuk Karina.

'Ternyata ribet juga,' pikir Adimas saat ia mengganti bra dan berusaha mengaitkan kawat yang ada. Tangannya terus meleset.

"Sudah selesai," ucap Adimas sembari tersenyum.

Kini, Karina yang berdiri di hadapannya benar-benar terlihat berbeda.

Rambut yang biasa terlihat kusut dan mengembang sekarang tampak lurus dan rapi. Wajahnya tampak bersih dan tubuhnya terlihat seperti gadis pada umumnya.

Adimas tersenyum bangga. "Rupanya kau gadis yang cantik, Karina," pujinya meski ia tahu Karina tidak akan mengerti perkataannya.

Ia memungut baju mandi dan tersenyum ke arah gadis itu.

"Tunggu di sini. Aku akan mengambilkan makan malam untuk kita," ujarnya, kemudian berjalan pergi keluar ruangan.

Ia hanya pergi selama kurang lebih lima menit dan sudah menemukan Karina terbaring di ranjangnya saat kembali.

Pria itu bergerak mendekati ranjang seraya membawa nampan berisi makanan.

"Ini, Karina. Kau belum memakan apa pun sejak tadi--Karina?"

Adimas berkedip dan menyadari keanehan pada gadis itu. Karina memejamkan mata, tetapi tampak gusar dan pucat. Ia bergerak mendekat dan menaruh tangan di dahinya.

"Badanmu panas. Ayo, kita periksa ke dokter!" sergah Adimas.

Dengan cekatan, pria itu membangunkan Karina dan menggendongnya di punggungnya.

Saat ia melintasi ruang tamu, ia melihat Markus, Siska, dan Bella yang tengah asyik menonton siaran televisi. Markus seketika menjadi waspada melihat Adimas dan Karina.

"Ada apa? Apa yang kau lakukan?" tanyanya.

Adimas masih berdiri setengah membungkuk dengan Karina di punggungnya. "Karina demam. Aku akan membawanya untuk periksa ke dokter," jawab pria itu, kemudian melanjutkan langkahnya.

"Ke dokter? Tidak perlu!" sergah Markus.

Adimas seketika berhenti. Ia menoleh ke arah Markus yang telah berdiri berkacak pinggang.

"Apa maksudnya?" tanya pria itu, berharap ia salah mendengar kata-kata Markus.

"Aku tidak mengizinkanmu membawa Karina ke dokter. Tidak perlu dibawa ke dokter! Hanya demam, 'kan? Biarkan saja nanti dia akan sembuh sendiri," ujar Markus, tampak acuh tak acuh.

"Lagi pula, memang orang miskin seperti kamu sanggup membiayainya? Kami saja tidak pernah membawa dia ke dokter jika dia sakit," lanjutnya dengan nada merendahkan.

Adimas memandang dengan tidak percaya. Tidak pernah membawa Karina ke rumah sakit?

Benar-benar keterlaluan. Orang tua mana yang tega bersikap seperti itu saat anak mereka tengah sakit?

Namun, Adimas tidak heran. Bahkan kali ini, meski Karina terlihat pucat, baik Bella ataupun Siska tidak bereaksi. Mereka sibuk menonton acara televisi sambil memakan cemilan.

Mereka semua benar-benar orang gila.

"Aku akan tetap membawa Karina untuk diperiksa oleh dokter!" Adimas bersikeras dan kembali melanjutkan langkahnya.

Kali ini, Markus tidak hanya berdiri diam. Pria itu berjalan cepat mendahului Adimas dan menutup pintu di depannya dengan kencang.

"Tidak ada seorang pun di rumah ini yang bisa melakukan sesuatu tanpa izinku!" sergahnya dengan nada tinggi. "Jangan coba-coba melawanku. Kau hanya buang-buang uang jika membawanya periksa ke dokter! Ingat, kau hanya pria miskin yang beruntung karena dijadikan menantu oleh orang kaya sepertiku!" sergah Markus dengan wajah merah oleh amarah. Ia tidak percaya jika Adimas akan berani melawannya.

"Satpam! Cepat kemari!" Dia memanggil dan seorang pria bergegas mendekatinya.

"Ada apa, Tuan?"

Markus menatap tajam kepada Karina dan Adimas. "Perhatikan lingkungan ini baik-baik! Jangan sampai mereka berdua pergi dari rumah ini," katanya, memperingatkan.

"Baik, Tuan," jawab satpam itu dengan patuh.

Adimas tidak langsung bereaksi. Pria itu juga tidak segera beranjak dari sana. Dia hanya berdiri dan menatap Markus dengan sorot penuh kekesalan bercampur tidak percaya.

Markus berkacak pinggang seakan menantang Adimas.

"Apa? Mengapa kau menatapku seperti itu?" tantangnya.

"Tidak. Hanya saja, kupikir kau adalah ayah yang baik dan memikirkan keselamatan anaknya, ternyata aku salah! Kau bahkan tidak sudi mengeluarkan uang untuk Karina yang sakit!" tegas Adimas.

Markus membelalakkan mata dengan kesal mendengar hal itu. Ia menatap Adimas dengan galak.

"Berani-beraninya kau!!" bentak pria itu. Namun, Adimas tidak menghiraukannya. Ia membawa Karina kembali ke kamar.

Selama berjam-jam, Adimas berusaha mengompres dahi gadis itu dan memberinya obat, tetapi suhu tubuh Karina tidak kunjung turun. Malah, semakin lama, tubuh itu semakin panas seakan terbakar hingga tangan Karina mulai bergetar.

Adimas tidak tahan dan mengeluarkan ponsel bututnya. Mencoba menghubungi seseorang.

"Segera jemput aku. Ya. Kau benar. Ingat, jangan menimbulkan keributan," titah Adimas dengan serius.

Ia menunggu dalam kesunyian. Setelah mendapatkan tanda, diam-diam ia membawa Karina melaui pintu belakang. Di sana, sudah ada sebuah mobil yang terparkir. Sang sopir membuka pintu tanpa menanyakan apa-apa dan Adimas langsung bergerak masuk. Dalam waktu kurang dari semenit, mobil itu sudah kembali meluncur di jalanan.

Sopir yang menjemput tidak lain adalah Benny. Ia memiliki banyak pertanyaan, tetapi tahu keadaannya cukup genting sehingga hanya menutup mulut. Begitu tiba, Adimas kembali menggendong Karina yang tidak sadarkan diri.

"Suster, tubuh istri saya tiba-tiba demam sore ini. Saya sudah memberinya obat, tapi panasnya justru makin tinggi," ujarnya dengan cemas.

Adimas semakin khawatir, terlebih sepanjang perjalanan, Karina tidak memberikan respons apa pun.

Suster wanita itu mengangguk. "Silakan kemari, Pak. Pasien ini atas nama siapa?" tanyanya seraya membimbing Karina menuju salah satu tempat tidur.

"Karina Covey," jawab Adimas cepat.

Raut wajah suster yang semula waspada dan cekatan itu seketika berubah saat mendengar nama yang diucapkan. Ia memandang ke arah Adimas dengan ragu.

"Covey? Keluarga Covey?" Seorang pria berpakaian dokter berjalan mendekati Adimas. Dia mengamati tubuh Karina dan tampak terkejut.

"Dia benar-benar Karina. Mustahil! Siapa kau?" tanyanya dengan nada tegas kepada Adimas.

"Saya suaminya," jawab Adimas cepat.

"Kau berbohong!" sergah dokter itu. "Katakan dengan jujur, siapa kau sebenarnya?"

Kini, justru Adimas yang menjadi bingung. Ia berniat datang untuk memeriksa istrinya, tetapi justru dirinya yang diinterogasi. Apakah mereka mengenal Karina?

"Saya benar-benar suaminya! Kami sudah menikah dua hari yang lalu!" jawab Adimas dengan tegas.

Jawaban itu seketika membungkam dokter itu. Ia terdiam dan berpikir, sementara Adimas kian tidak sabar.

"Apa yang terjadi pada istri saya, Dok? Tolong periksa dia karena tubuhnya tiba-tiba demam--"

"Jadi, sekarang Anda baru mempercayai kami?" Dokter itu justru bertanya. Tatapannya tampak tidak ramah dan seakan menyudutkan Adimas.

"Apa...."

Dokter itu memasang stetoskop di telinganya dan bergerak untuk memeriksa Karina yang sudah terbaring di ranjang.

"Kami sudah mengatakan bahwa Karina harus dirawat, tapi kalian terus mengabaikannya dan bersikeras membawa Karina pulang. Semoga saja demam kali ini hanya demam biasa," tuturnya.

Adimas terdiam mendengar jawaban itu. Itu berarti, Karina sudah pernah kemari sebelumnya.

....apa yang sebenarnya terjadi?

Tiba-tiba ponsel jadul Adimas bergetar dan terlihat ada sebuah pangggilan masuk. Dengan cepat Adimas menjawabnya.

"Halo..."

"Di mana kamu?" sela suara di seberang yang amat Adimas kenali sebagai suara Markus.

"Siapa--"

"Katakan keberadaan kamu dan Karina sekarang!" desak Markus dengan tidak sabar. Dari suaranya, Adimas bisa menyadari jika pria itu marah besar.

"Cepat, Dokter. Kita harus segera menanganinya." Seorang suster melewati Adimas sambil bersuara.

Tampaknya, Markus juga bisa mendengar suara itu.

"Rupanya kalian benar-benar pergi. Tunggu di sana. Kau sudah mencari masalah denganku, pria berengsek," tutur Markus.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Seorang Pengasuh    Bersamamu Selamanya

    Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p

  • Cinta Seorang Pengasuh    Di Bawah Hujan, Bersama Pria Yang Sama

    Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks

  • Cinta Seorang Pengasuh    Pria Sejati

    “... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.

  • Cinta Seorang Pengasuh    Keluarga Yang Utuh

    “Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa

  • Cinta Seorang Pengasuh    Sandi Menyadari Kejanggalan

    Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh

  • Cinta Seorang Pengasuh    Pertemuan Yang Dinantikan

    Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status