Share

Bertemu calon mertua

Eza mendadak panas dingin, tangannya bertaut satu sama lain dan mengeluarkan keringat. Dirwan menatap lekat kearah Eza.

"Wan ... bisa antar Mama ke depan? Mama bosan di dalam terus."

"Oh, Iya Mah." Dirwan menoleh lanjut mendorong kursi roda sang bunda.

Eza menatap Kondisi bu Hawa yang menyedihkan. perlahan Eza berdiri mengikuti langkah Dirwan yang mendorong Mamanya.

"Kang, Mama mau ke mana? tanya seorang gadis yang masih mengenakan seragam sekolah menengah keatas itu.

"Mau ke depan cari angin," sahut Dirwan sambil terus mendorong ibunya.

Eza mengangguk dan mengulas senyuman pada gadis itu. Namun ekspresinya datar begitu saja.

"Oh, aku kira mau cari masalah!"

Langkah Dirwan terhenti. Menoleh adiknya. "Maksud kamu apa Rheka? dia wanita yang mengandung dan melahirkan mu, ingat itu. Seharusnya kamu mengurus dia, mendampinginya," ujar Dirwan begitu tajam.

Membuat Eza kaget mendengarnya. Dia pun tidak mengerti apa maksud gadis yang dipanggil Rheka tersebut.

"Buat apa aku urus Mama, ada pembantu, juga ada bi Seni yang urus Mama!" sahut gadis itu.

Dirwan tambah kesal. "Kau putrinya, sudah sewajarnya kau mengurus dia disela sekolah atau kegiatan mu, yang lain. Jangan terlalu mengandalkan orang lain apalagi pembantu yang tidak ada kaitan darah dengan kita," tegas Dirwan penuh penekanan.

Bu Hawa mengelus tangan Dirwan. "Sudah-sudah, jangan ribut. Malu sama Neng Eza! kamu ajak ke sini bukan untuk menonton keributan, kan. Wan ...."

"Maafkan aku. Ma?" Dirwan membawa sang bunda ke teras dan berhenti di sana.

Bu Hawa menghela napas dalam-dalam.  Matanya berbinar, menatap langit, menghirup udara luar.

"Oh, iya. Eza bawakan minum buat Mama ya, sebentar Eza ambilkan." Eza bergegas masuk mau ngambil minum bu Hawa.

"Oh, kamu ya calon istri Akang Iwan? mau gitu. Secara Kang Iwan itu banyak ceweknya apalagi di kota," ucap sinis Rheka.

Deg ....

Kata-kata Rheka seakan menghujam jantung. Eza menoleh. "Apa maksudnya? bukankah kamu adiknya. seharusnya justru kamu menutupi aibnya bukan!"

"Hem ... buat apa? munafik," jelasnya sambil berlalu.

Eza menggeleng. "Astagfirullah ... ada-ada saja!"

Tidak Lama kemudian Eza sudah kembali dan menyimpan minum bu Hawa di meja.

"Terima kasih ya. Neng?" bu Hawa tersenyum penuh kelembutan.

"Iya. Mah." Eza mengangguk.

Bu Hawa menatap lekat Eza. "Nanti ... kalau sudah menikah! tinggal di sini ya?"

Eza terdiam sebentar. Kemudian melirik seraya berkata. "InsyaAllah."

"Mama senang! mendengarnya," lirih bu Hawa. tersenyum lembut.

Dirwan senang melihat ibunya menyukai calon mantu yang satu ini. "Mah! Dirwan ke kamar dulu ya? Neng ... nitip Mama sebentar. Akang ke kamar dulu."

Setelah itu Dirwan pergi, yang katanya mau ke kamar dulu sebentar.

Eza berdua sama bu Hawa. Bu Hawa kembali menggenggam tangan Eza. "Mama senang! Dirwan mau menikah sama kamu, gadis yang sangat cantik."

"Dan Mama yakin Neng Eza ini sangat baik orangnya," sambung bu Hawa lirih.

Eza tidak tahu harus berkata apa? dia hanya manarik sudut bibiny mesem dan mesem.

"Kalau tidak di sini pun! ada rumah Dirwan yang masih kosong. Dan tidak jauh dari sini," bu Hawa menunjuk sebuah rumah yang tidak jauh dari rumah bu Hawa.

Mata Eza mengikuti arah yang bu Hawa tunjukkan, sebuah rumah di sebelah samping! mingkin dengan teriak juga terdengar.

"Baguslah kalau gadis ini mau tinggal di sini. Biar ada yang bantu-bantu, kan. Ngurus Mama yang tidak bisa apa-apa," ucap Rheka dengan bibir mencibir.

Bu Hawa dan Eza menoleh sumber suara. Rheka berdiri samping pintu menyilangkan tangan.

"Apa maksud kamu Rhe ... mereka pasti tinggal di rumah baru! tidak di sini. Mama ada bibi Seni yang menjaga." Hawa menunduk sedih. Anak perempuan satu-satunya. tidak perduli sama ibunya.

Eza mengusap bahu bu Hawa. "Mamai mau minum gak?" Eza memberikan minum pada bu Hawa. Eza berjongkok depan bu Hawa. Menatap wajahnya yang nampak sedih.

"Mama, jangan sedih. Mama harus yakin bahwa Mama akan sembuh seperti semula, dan ... Eza yakin bahwa banyak yang sayang sama Mama."

Bu Hawa menatap sendu dan tersenyum getir pada Eza. "Sungguh beruntung laki-laki yang mendapatkan mu. Nak!"

Eza mendongak! menahan air mata yang ingin keluar. "Sudah sore! kita masuk yuk?" menyimpan tempat minum ke meja.

Kemudian mendorong kursi roda bu Hawa ke dalam rumah. sebab hari sudah semakin sore. Sementara Rheka hanya berpangku tangan, dengan mata menatap tidak suka.

"Jalan doong Ma, jangan repotin orang," ketus Rheka.

"Astagfirullah," gumam Eza.

"Sudah. Neng di sini saja dulu," pinta bu Hawa sembari tersenyum.

Bu Hawa menoleh putrinya dan menatap dengan lekat. "Nggak pernah Mama inginkan, untuk membuat repot orang! tapi ... beginilah kondisi Mama yang tidak bisa ap-apa. Jadi mau tidak mau harus merepotkan orang. Mama juga ingin seperti dulu, sehat dan mengerjakan apaun yang Mama suka dan Mama bisa."

"Aah ... Mama aja kolokan," jelas Rheka sambil berlalu.

Eza yang berdiri di belakang bu Hawa mengusap pundaknya. "Sabar. Mah sabar."

Bu Hawa mengusap wajahnya kasar.

"Maafkan dia ya. Neng, dia memang gitu orangnya," ucap bu Hawa lirih.

"Nggak pa-pa kok Mah."

"Neng, kalau mau sholat? di kamar Mama sholatnya," tanya bu Hawa.

"Em ... Eza lagi halangan, kalau Mama mau shoat Eza bisa antarkan." Eza langsung mendorong kursi bu Hawa tanpa menunggu persetujuannya terlebih dahulu.

"Tumben, Seni belum datang!" gumam bu Hawa. Seni adalah adik kandung Hawa! yang setiap hari mengurus kakak nya. Hawa.

"Tidak apalah! ada aku, bisa kok," ujar Eza sambil terus mendorong. Sesampainya di kamar bu Hawa, langsung membawanya ke kamar mandi sebisanya Eza mengambilkan air wudu. Kemudian memakaikan mukenanya. Eza mengangkat tubuh bu Hawa yang lumayan berat! agar duduk di atas sejadah yang sudah di gelarkannya.

Eza menunggui bu Hawa menunaikan sholat.

Dirwan yang sementara waktu di kamarnya. Karena sudah terdengar suara adzan asar! dia langsung mengambil air wudu dan lanjut sholat, Selesai itu. Dirwan baru ingat kalau mamanya dan Eza menunggunya di teras. Dirwan bergegas keluar dengan masih mengenakan sarung. Mencari keberadaan ibunya.

Namun di teras tidak ada siapa-siapa! yang ada hanya tempat minum ibunya. Bergegas melangkah ke dalam lagi, di dapur ada asisten sedang masak. Dirwan semakin melebarkan langkahnya menuju kamar sang Bunda.

Sampai depan pintu kamar bu Hawa. Dirwan memelankan langkahnya, karena pintu terbuka, nampak mamanya sedang menunaikan sholat sementara Eza menungguinya. Dirwan celingukan mencari keberadaan bi Seni namun tak terlintas bayangannya.

Eza yang melihat Dirwan berdiri di pintu menatap pria itu sekilas! kemudian mengalihkan pandangannya kembali.

Dirwan berjalan mendekati Eza. "Siapa yang bantu Mama? bi Seni mana!"

Eza menggeleng. "Tidak ada siapa pun."

"Jadi! Neng yang bantu Mama?" tanya Dirwan kembali sangat pelan.

Eza cukup mengangguk. Sambil memainkan ponselnya.

Netra mata Dirwan bergerak melihat tangan Eza yang memainkan poselnya. "Neng, mau nginep di sini?"

Eza mendongak menatap Dirwan yang memandangi dirinya. Kemudian menggeleng pelan. "Mau pulang saja," pelan.

"Oke," tangan Dirwan mau menyentuh tangan Eza namun dengan cepat Eza tepis.

Dirwan menatap tajam, semakin penasaran. Di pegang tangan saja gak mau. Eza menunduk hatinya dag dig dug, tidak terbiasa disentuh oleh laki-laki. Apalagi mereka belum menikah.

Di luar terdengar riuh, suara orang teriak-teriak memanggil nama Anwar ....

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status