"Abah ini aneh, di sisi lain memberi kebebasan. Tapi dia sendiri sudah menerima, gimana sih?" batin Eza dengan hati tak karuan.
Semua mata memandangi dirinya. Seakan penasaran akan jawaban yang akan terucap dari bibir Eza, dalam hitungan detik Eza menatap semua orang yang berada di sana. Kemudian menunduk kembali, dengan hati yang dag deg degan."Gimana Neng! di terima atau nggak? jangan bikin kami penasaran," ujar juragan Anwar. Ia sudah tidak sabar akan jawaban Eza.Akhirnya Eza mengangkat kepalanya. "Em ... Eza terserah Abah saja," melirik kepada orang tuanya kemudian menunduk kembali Seakan ingin menyembunyikan wajah cantiknya.Bah Bani menatap putrinya. "Beneran Eza menyerahkan keputusan sama Abah?"Eza mengangguk pelan. Ia pasrah bila harus menikahi anak juragan Anwar. Ia tolak pun percuma kalau Abahnya menerima. Berarti mau tidak mau ya harus mau. "Ya sudah dengan bismillah, aku ikhlas bila itu jodoh ku," batin Eza."Kalau begitu ..." bah Bani menghela napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. Membuat semua mata memandang teramat penasaran, akan sebuah jawaban yang sudah di tunggu-tunggu itu."Gimana Bah?" tanya Juragan Anwar menatap tajam kearahnya."Lamaran ini akan saya terima dengan senang hati," ujar bah Bani sambil tersenyum bahagia."Alhamdulillah ..." sambut semua orang yang berada di sana sangat antusias, dan sangat serempak mengucapnya."Alhamdulillah ... akhirnya lamaran kita diterima Dirwan," juragan Anwar menoleh putranya yang amat sangat bahagia, tidak lama lagi akan mempersunting gadis cantik si bunga desa tersebut.Eza hanya terdiam. Perasaannya yang berkecamuk, yang sulit di mengerti. Tertunduk malu, tangannya berasa dingin jemarinya bertautan satu sama lain di atas pangkuannya.Dengan wajah sangat sumringah, juragan Anwar memberikan sebuah kotak cincin pada bah Bani agar diberikan pada Neng Eza."Abah terima ya, ini Neng. Dipake cincin nya?"Umi Marni mengambil kotak itu. Perlahan dibukanya. "Wah ... cantiknya cincin ini Neng," umi Marni mengamati cincin yang begitu indah. Eza menoleh sekilas."Cincin nya dipakai ya. Neng! sini jarinya Umi pakaikan," umi nya menarik tangan Eza lalu memasukan cincin itu ke jari manis Eza, jari yang lentik itu semakin indah dihiasi dengan cincin permata tersebut."Nah kini Neng Eza sudah ada yang mengikat, sudah punya calon suami yang kelak akan bertanggung jawab atas semua tentang Neng Eza, dan tanggung jawab Abah akan berpindah ke pundaknya Nak Dirwan," ucap Bah Bani penuh haru membuat yang lain pun merasa terharu mendengarnya.Eza tetap menunduk entah harus bahagia ataukah bersedih. Menatapi cincin yang kini melingkar di jari manis yang begitu indah."Gimana sekarang! soal rencana pernikahan mereka? sebab lebih cepat, kan lebih baik?" ujar juragan Anwar menatap bah Bani si calon besan.Sesaat Bah Bani terdiam sambil negerutkan dahinya, Detik kemudian berkata dengan sangat serius. "Iya benar. Lebih cepat lebih baik, niat baik tidak boleh di tunda-tunda, seandainya saya ingin pernikahan mereka satu bulan lagi gimana?" ucap bah Bani.Mendengar perkataan abah nya. Eza mendongak kaget kenapa secepat itu. Dia belum mengenal Dirwan dengan baik. Rasanya ia butuh waktu kagi.Eza melihat juragan Anwar mengangguk setuju, namun Eza segera mengungkapkan isi hatinya. " Maaf Abah, apa tidak terlalu cepat? kami belum saling mengenal, setidaknya berikan waktu lebih lama lagi agar kami mengenali satu sama lain," ucap Eza menatap abahnya penuh harap.Dirwan menatap wajah Eza yang cantik alami, kulitnya mulus tanpa ceda, paras nya adem dan menengangkan bagi siapa saja yang melihatnya Penampilan Eza yang sopan dan berkerudung menambah nilai kecantikan seorang bunga desa itu. Mereka baru bertemu hari ini namun Dirwan langsung jatuh hati pada Eza."Kalau bagi saya, kapanpun pernikahannya kami siap Bah," sambung juragan Anwar sangat antusias.Bah Bani memandangi juragan Anwar dan Putrinya bergantian. Kemudian pandangan tertuju pada Eza. Neng ... nanti juga setelah kalian menikah. Lebih banyak waktu untuk saling mengenal bahkan itu lebih baik. Sebab kalian berdua sudah halal, begitu, kan Pak Anwar?" diakhiri lirikannya pada juragan Anwar."Iya bener Neng, dekat setelah menikah itu lebih baik. Misalnya mau sambil pegangan tangan atau apa, kan silahkan karena sudah hak kalian berdua," jelas juragan Anwar sembari menggoda anak dan calon mantunya.Dirwan tersipu malu, sementara Eza menunduk dalam. Hatinya tetap berat bila harus menikah secepat itu. Hatinya menjadi gusar. Gelisah penuh kecemasan, gimana kalau ternyata dia bukanlah lelaki yang tepat untuk dirinya. Meski kelihatan nya alim dan baik, kan itu baru covernya saja yang Eza lihat, belum hatinya. Belum akhlak yang sesungguhnya.Neng Eza menautkan jemari tangan yang begitu dingin dan berkeringat, tidak berani bicara lagi, untuk mengungkapkan pandangannya lagi.Bah Bani melirik kepada istrinya "Umi siapkan makan, sudah lapar nih," suruh bah Bani pada sang istri."Iya Bah. Sebentar Umi siapkan dulu," umi Marni ngeloyor ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Kebetulan tadi sore masak banyak juga karena permintaan suaminya."Sebentar-sebentar Bah! hati ini belum tenang juga nih, sebelum mendengar keputusan kapannya, terus keputusan hari H nya kapan nih akan berlangsung? biar kami tau harus kapan mengantarkan segala keperluan buat nikahan."Bah Bani menoleh dan menatap calon besannya, deselangi mengisap rokok dan membuang asapnya. Barulah bah Bani berkata kembali, "Saya ingin pernikahan nya diadakan tanggal 28 bulan depan saja, september.""Oke, nah, kan tenang kalau sudah ada keputusan gini," juragan Anwar menghela napas lega.Umi Marni keluar dari pintu dapur, berdiri di pintu seraya berkata. "Bah makannya sudah siap?""Oh, mari kita makan dulu. Perut sudah keroncongan nih, pasti semuanya juga lapar, kan? ucap bah Bani sambil berdiri langkahkan kakinya menuju dapur.Semua beriringan ke dapur untuk makan, di ruang tengah hanya tinggallah Dirwan dan Neng Eza."Neng?" panggil Dirwan melirik Eza.Eza tetap menunduk malu, "iya.""Beneran mau sama Akang? menikah sama Akang?" tanya Dirwan menatap lekat Neng Eza."Em ... insyaAllah," sahut Eza sambil mengangguk, hanya itu yang bisa ia ucapkan, Dia bingung tidak tau harus berkata apa. Perlahan mengangkat kepalanya melihat mata Dirwan yang terus memandanginya, detik kemudian Eza menunduk kembali."Kenapa sih Neng Eza selalu menunduk begitu? Akang jadi kesusahan melihat cantik nya Neng Eza," goda Dirwan sambil mengambil air di gelas lalu meminumnya sampai tandas.Eza tersipu malu. "Kan Eza malu Kang," ungkap Eza dengan suara lirih."Em ... gak usah malu atuh sama Akang, bukan siapa-siapa ini. Apa lagi tinggal menghitung hari, kita akan nika-""Maaf ya Kang, Eza mau ke dalam dulu sebentar," Eza beranjak dan melangkahkan kakinya melintasi Dirwan.Seketika tangan Dirwan meraih pergelangan Eza. Membuat langkah Eza terhenti dan sontak menepis tangan Dirwan yang memegang tangannya."Lepas kang!" Eza terkejut tidak menyangka Dirwan akan berani gini.Dirwan segera melepas tangan Eza seraya berkata. "Ma-maaf Neng. Akang hanya ... hanya ingin di temani Eneng saja," ujar Dirwan dengan agak gugup takut Eza marah.Benar saja, Eza merasa kesal, bagi Eza mereka baru kenal tapi Dirwan sudah berani memegang tangannya.Bersambung....Sesudah beberapa bulan, berumah tangga dengan Dirwan. Eza berusaha untuk menjadi istri yang baik sekalipun dia belum mencintai sepenuhnya. Dan memang mencintai itu butuh waktu, beda bila cinta itu datang dengan tiba-tiba.Suatu hari. Dia mendapati chat whatsapp yang menyakitkan hati, di mana kata-kata yang menguliti keburukan Dirwan di masa lalu bersama seorang wanita yang notabenenya sudah bersuami.Dan itu bukan masa lalu saja, karena dia mengatakan kalau baru-baru ini mereka bertemu dan melakukan layaknya hubungan yang sudah sah. Wanita itu pun mengakui kalau dia sangat mencintai Dirwan dan tidak mau kehilangan. Bahkan foto nya pun yang sedang tidur berdua di kirimkannya. Membuat mata Eza terbelalak dengan sangat sempurna.Tentunya membuat Eza murka sama Dirwan, se'marah-marahnya biarpun dia nggak cinta sama Dirwan! tetap saja dia nggak suka kalau suaminya berbuat sesuatu yang aneh-aneh di luar."Neng Akang akui itu, tapi itu cuman masa Lalu! setelah kita menikah Akang nggak pernah
"Sebaiknya Dirwan istirahat saja di kamar. Biarpun kamarnya kecil ... lumayanlah buat istirahat." Kata Abah sambil menuding ke arah kamar Eza.Penglihatan Dirwan mengikuti tudingan Abah pada kamar Eza dengan bibir tersenyum senang. "Iya, Bah. Aku masuk dulu. Umi," ucap Dirwan sambil berdiri lalu berjalan mendatangi peraduan istri nya.Detik kemudian, Dirwan sudah berdiri di depan pintu setelah menutupnya dengan rapat, dan mendapati istrinya yang sudah berganti baju dengan dasteran. Berbaring memunggungi arah pintu. Bibir Dirwan menyungging lalu mendekat.Eza yang baru saja mau tidur, mendengar pergerakan dari arah belakang membuat ia membuka mata lantas menoleh ke belakang terkejut melihat Dirwan berada di kamarnya. Bukannya tadi sudah dia suruh pulang saja. Lagian kamar ini juga kecil."Ngapain Akang di sini? kan tadi sudah Neng suruh pulang, biarkan Neng menginap di sini sendiri." Eza bangun mendudukan dirinya.Dirwan menarik kedua sudut bibirnya duduk di tepi tempat tidur. "Akang j
Begitu tiba di rumah kedua orang tuanya, Eza di sambut dengan bahagia oleh umi dan abah. Eza pun memeluk umi dengan sangat erat. “Umi ... Eza kangen sekali sama Umi.”“Umi juga kangen sama, Neng. Umi mau ke sana tapi belum ada waktu dan tadinya mau ke sana itu lusa. Sama abah.” Balas uminya sambil membalas pelukan neng Eza.“Tapi Neng sudah rindu sama umi ... jadinya Neng ke sini sekarang.” kata neng Eza sambil memudarkan pelukannya dan menyalami Abah nya yang memandangi dengan penuh haru pada Eza yang setelah menikah dengan Dirwan, baru ketemu sekarang.“Abah. Sehat ... aku kangen sama Abah, gak bisa bikinkan kopi lagi buat Abah.” Eza memeluk abah 0enuh rasa rindu.“Abah juga sama Neng ... kangen, tapi ... sekarang Neng itu sudah punya kewajiban yaitu pada suami. Dan mana suami mu sekarang? kenapa tidak ikut, seharusnya dia mengantar mu ke sini.” kata abah sambil melihat ke arah jalan tetapi tidak ada sosok Dirwan.“Dia baru datang dari Jakarta Abah ... capek katanya. Jadi Neng ke si
Sekitar pukul empat sore, Eza sudah tampak segar dan keluar dari kamar mandi dengan memakai jubah handuk putih serta bergelung handuk menutup rambut yang basah. Kedua menik matanya mendapati Dirwan yang masih tampak lelap di atas tempat tidur berselimut tebal yang hanya menutupi sampai perutnya saja, sehingga dadanya mengekspos yang sedikit berbulu.Eza mendekat dan duduk di tepi tempat tidur, tepat menghadap ke arah Dirwan. "Aang bangun? udah jam 04.00 katanya mau mengantar aku ke tempat umi."Namun Dirwan yang tampak sangat capek, tetap bergeming Tak bergerak sedikit pun malah terdengar suara dengkuran yang halus."Ih ... katanya mau nganterin aku, tapi malah tidur! Akang. Bangun ..." suara Eza kembali sedikit agak keras.Terlihat pergerakan dari tubuh Dirwan sambil memicingkan matanya sebelah melihat ke arah sang istri. "Apa sih Neng ... Akang ngantuk banget, nggak kuat nih!""Bangun, mandi sana? terus salat ashar, katanya mau nganterin aku ke tempat Umi, nanti di sana tidur lagi,"
Sudah seminggu Eza berada di rumahnya bu Hawa. Mau pindah ke rumah sebelah tapi ... Eza mau di rumah bu Hawa saja biar bisa menemani bu Hawa.“Ma ... Eza mau ke tempat umi dulu ya, Eza kangen sama umi dan abah.” Eza duduk di dekat bu Hawa.“Boleh ... tapi Neng sudah minta ijin sama suami belum?” ucap bu Hawa dengan lirih.“Belum, Ma. Kemarin sih sudah bilang ... tapi tidak bilang kapan-kapannya.” Sambung Eza sambil mengambil minum buat mama mertuanya itu.“Sebaiknya Eza bilang dulu sama akang, biar dia gak khawatir dan istri itu ... kalau keluar rumah harus ada ijin suami, gak boleh pergi tanpa ijin darinya.” Kata bu Hawa sembari tersenyum dan mengusap tangannya Eza.“Iya. Ma ... nanti Eza minta ijin sama akang,” Eza mengangguk pelan. Lalu dia mengambil ponsel dari dalam sakunya dan dengan pelan mengetik sebuah chat yang akan dia kirimkan pada kontaknya Dirwan yang kini belum pulang dari Jakarta.“Akang, aku mau minta ijin ya ... mau ke tempat umi, Eza kangen sama mereka semua.” Kirim
Brok-brek, barak.Kepala Eza langsung menoleh ke arah Dirwan, dengan tatapan yang merasa heran dan penasaran suara apa itu yang terdengar jelas datangnya dari luar bagian depan rumah.Namun Dirwan seolah tidak peduli. Terus aja berbaring dan memeluk Eza semakin erat. Eza menggerakkan tangan dan menyingkirkan tangan Dirwan dari tubuhnya. Perlahan dia bangun dan duduk dengan selimut yang ia himpit di antara kedua ketiaknya.Tubuh Dirwan pun bergerak, dia mengikuti Neng Eza dan duduk di sampingnya. Cuph mengecup bahu Eza yang terbuka. "Neng mau ke mana mendingan kita lanjut lagi yuk Abang masih kangen!" Bisiknya tepat di dekat telinganya neng Eza membuat."Emangnya Akang nggak dengar, suara yang barusan di luar rumah?""Emangnya kenapa? Biarkan saja kan ada bang Udin yang melihatnya, ngapain Akang keluar ninggalin istri Akang yang cantik ini, nanggung lagi pengen bermanja kembali." Suara Dirwan lirih dengan masih tersenggal.Tangan Dirwan kembali mendorong sebelah bahunya neng Eza agar b