Share

Untuk melamar

Bah Bani dan istri berdiri menyambut kedatangan tamunya yang ada sepuluh orang, laki-laki dan perempuan, semuanya berwajah sumringah penuh kebahagiaan.

Begitupun sang em punya rumah begitu ramah dan rona bahagia terpancar jelas dari wajahnya. Semua tamu di giring ke dalam rumah yang vukup sederhana itu.

"Assalamu'alaikum. Bah Bani apa kabar?" sapa juragan Anwar dengan ramahnya.

"Wa'alaikum salam ... warahmatullahi wabarokatuh! Alhamdulillah dalam keadaan baik. Sehat, gimana sebaliknya?"

"Alhamdulillah juga, seperti yang dilihat. Makanya bisa bersilaturahmi ke sini pada saat yang mungkin mengganggu istirahat kalian," ujar juragan Anwar.

"Ah. Tidak mengganggu justru saya merasa sangat bahagia, kedatangan tamu agung dari kampung sebrang. Ayok silahkan masuk, maaf rumahnya sempit. Maklum begini adanya," ucap bah Bani sangat merendah, dan mempersilahkan tamunya untuk duduk.

Umi marni duduk berdampingan dengan suaminya bah Bani menghadapi para tamu, sementara Neng Eza di dapur menyiapkan minun dan cemilannya.

Jantung Eza semakin tak menentu saja. Semakin berdegup kencang, tangannya bergetar. Badannya jadi panas dingin, menuang air saja beberapa kali tumpah saking gugup nya. Kali ini gak mungkin dia menolak lagi dengan alasan apapun.

Karena seperti yang abah Bani bilang kemarin, keputusan ada di Abah, jadi Eza tinggal menjalani saja, Eza berdiri menautkan jari jemarinya, dia belum bisa menenangkan dirinya itu. Membuang segala ke gugupan yang tengah menyelimuti. Dengan cara terus menarik napas dalam-dalam.

Dia merapikan kerudung yang ia kenakan.nTangannya mulai memegangi nampan yang berisi gelas minum. "Bismillah. Aku harus membawa dan menyuguhkannya," gumam Eza sembari menarik pelan napasnya lalu ia buang dengan panjang.

Langkah Eza pelan tapi pasti menuju ruang tengah, di mana para tamu sudah berkumpul di sana. Eza berlutut menyuguhkan air minum di meja "Silahkan diminum?" dengan senyum ramahnya.

Kemudian berdiri membalikan badannya! untuk ke dapur mengambil cemilan yang barusan tidak ke bawa.

"Ayok diminum? maaf cuma ada air putih," ucap bah Bani dan istri.

"Aduh, tidak apa-apa makasih, dan jangan merepotkan lah," sahut juragan Anwar menatap air minum di meja.

Sesaat kemudian Eza kembali membawa cemilan. Ia simpan di tengah-tengah meja, lalu Eza mundur beberapa langkah dan kembali ke dapur.

"Itu bukan gadisnya?" tanya seorang Ibu penasaran.

"Iya dia anaknya," sahut seseorang.

"Wah ... cantik. Sopan santun anaknya."

"Iya bener, geulis pisan. Ramah! shalehah, pastinya," gumaman mereka seakan berbisik namun terdengar dengan jelas.

Eza berdiri di dapur perasaannya semakin tidak menentu. Supaya tidak sia-sia. Eza mengisi waktu dengan mencuci peralatan bekas tadi memasak.

"Ehem ... maksud dari kedatangan kami kemari ini, iyalah tidak lain dan tidak bukan untuk melamar Neng Eza untuk putra saya Dirwan! dan semoga berkenan menerimanya. Ini data-data putra saya Dirwan," juragan Anwar memberikan sebuah berkas data putranya. Dirwan.

Bah Bani menerima dan membukanya, di baca dengan sangat teliti, umi Marni juga ikut meliriknya sesaat kemudian tersenyum pada para tamu seraya berkata. "Ayok silahkan diminum dan dicicipi kue nya, kuenya kebetulan buatan anak saya," menunjuk air minum dan cemulannya.

"Oh, iya makasih. Saya terima suguhannya," timpal seorang Ibu-ibu dan diikuti oleh yang lainya.

'Iya silahkan-silahkan," umi Marni mengembangkan senyumnya.

Sayup-sayup terdengar suara adzan magrib bersahutan, yang memerintahkan seluruh umat muslim untuk menunaikan kewajibanya. Bersujud dan berserah diri kepada sang pencipta.

"Sudah magrib. Gimana kalau kita berjamaah dulu, setelah itu kita lanjutkan lagi obrolan ini. Gimana?" ujar bah Bani menatap tamunya.

"Tentu! saya setuju, kita berjamaah dulu. Biar nanti obrolan ini dilanjut lagi," jawab juragan Anwar menyetujui saran bah Bani.

"Kalau begitu, kita bubar dulu. Untuk melaksanakan sholat magrib dulu Mi," bah Bani melirik sang istri.

"Iya Bah," umi Marni pergi ke dalam untuk menyiapkan keperluan sholat.

Eza sudah berada di kamarnya sedang melamun, umi Marni menghampiri Neng Eza yang duduk memeluk mukena. "Sudah sholat belum Neng?" tegur Uminya dengan suara lirih.

"Belum Umi, baru mau Mi."

"Sholat sama Umi ya?" bu Marni mengajak sholat bareng putrinya.

"Iya. Umi," Eza langsung mengenakan mukenanya dan sholat bareng uminya.

Selepas sholat, tidak lupa membaca doa, meminta segala kemudahan, usia yang panjang. Kesehatan, di cukupkan rejeki, tidak terasa mengalir air bening di pipi Eza. Entah apa yang dia rasakan saat ini.

Seusai berdoa. Eza mencium tangan sang Ibu, lalu Eza menatap wajah wanita paruh baya itu. "Umi ... apa benar abah akan menerima lamaran juragan Anwar?"

Umi Marni diam sesaat lalu tersenyum seraya berkata. "Yakinlah Neng, kalau itu jodong Neng Eza insyaAllh. Berdoalah yang terbaik ya Neng?" ucapan uminya sedikit menenangkan.

"Iya Umi." Eza meletakkan kepala di dada Uminya merasakan kehangatan kasihnya.

"Umi yakin. Allah akan memberikan sesuatu yang baik untuk putri Umi ini. Jodoh yang baik, rejeki yang baik. Kebahagiaan yang terbaik juga," ungkap imi Marni dengan lembut.

"Iya Umi, makasih atas doanya Umi dan abah, terimakasih juga Umi dan abah selalu menyayangi Eza sepenuh hati."

"Itu mah sudah kewajiban kami sebagai orang tua Neng. Nanti juga Neng akan menjadi orang tua dan akan merasakan gimana sayang nya terhadap anak yang kita lahirkan dan kita besarkan," sambung bu Marni kembali.

"Gitu Ya Mi?" Eza duduk tegak dan membuka mukenanya.

"Umi mau keluar lagi, nanti Neng Eza keluar juga ya kalau Umi panggil?" ucap uminya sambil mengelus kepala Eza dengan sangat lembut.

Bu Marni keluar dari kamar Eza dan berbaur dengan tamunya yang sudah menunaikan sholat magrib juga.

Inilah masa-masa menegangkan untuk para tamu, sebab di situ berharap-harap cemas apakah lamaran ini akan diterima. Apa justru sebaliknya? Begitupun perasaan Dirwan saat ini begitu tegang, jantung nya berdegup kencang, keringat di pelipisnya keluar. Sudah tidak sabar ingin mendengar jawaban, diterima atau di tolak.

"Gimana Bah! apa sudah ada keputusan? rasanya kami semua sudah tidak sabar gitu. Ingin segera mendengar sebuah jawaban, kabar baik dan buruknya," ujar juragan Anwar.

Bah Bani masih berpikir, baik dan buruknya. Karena ini menyangkut nasib anak gadisnya. "Kalau saya harus menjawab saat ini juga, tentunya saya akan menerima lamaran ini, tapi walau bagai manapun yang akan menjalani, kan anak gadis saya, jadi alangkah baiknya kita menanyakan ini pada yang bersangkutan, Mi ... panggil anak kita."

Umi Marni mengaguk setelah suaminya menoleh. Ia bergegas berjalan ke kamar Eza, beberapa detik kemudian sampailah depan kamar Eza. Seraya membuka daun pintu umi memanggil Eza. "Neng, baiknya Neng keluar sekarang, abah memanggil Neng tuh."

Eza mendongak, perasaannya tak menentu, sangat gugup.Tangan pun bergetar, jantung terus berdegup kencang Dag dig dug seperti bedug yang ditabuh. Keringat dingin pun keluar, suhu tangan begitu dingin. Apa lagi setelah duduk berhadapan dengan para tamu. Eza menunduk tak berani mengangkat kepala sama sekali.

Bah Bani, menatap putrinya "Nah ... Neng Eza sudah berada di tengah-tengah kita, gimana Neng jawaban Neng Eza, tentang lamaran Dirwan ke Neng Eza diterima nggak? kalau Abah mah sudah menerima. Sebab semua kriteria yang di cari ada pada Dirwan. Gimana Neng sok jawab geulis?"

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status