"Jodoh itu sudah ada yang ngatur, Bu. Jangan terlalu di ambil hati,"
"Ratna--"
Bunyi motor masuk ke dalam pagar membuat ibu memilih berhenti berkata, pandangannya beralih ke pintu, seakan sedang menunggu.
Rizal masuk ke dalam rumah dengan wajah kesal. Di tangannya tergenggam satu kresek besar berwarna merah dengan logo sebuah toko, yang kemudian ia letakkan dengan kasar di lantai dekat kaki Ratna.
"Ada apa, Zal. Kamu sepertinya sedang kesal." Ibu bertanya saat melihat muka masam putra kesayangannya.
Rizal terdiam, dia hanya menggelengkan kepalanya berulang kali sambil mendengus, tatapan matanya menatap tajam ke arah Ratna yang juga sedang menatapnya dengan tenang.
Sepertinya tak ada niat untuknya menjawab pertanyaan sang ibu suri.
"Habis belanja di mini market, Zal? Waah banyak uang rupanya, biasanya di pasar, nyari yang murahan," ujar sang ibu, yang sepertinya sedang menyindir sang menantu. Tak perduli meski pertanyaannya tadi tidak dijawab oleh Rizal.
Ibu mendekat dan memilih duduk di kursi dekat Ratna, tangan beliau terulur membuka kresek yang anaknya baru saja letakkan.
"Wah, kebetulan di rumah gula, kopi, sampo dan odol udah pada habis. Belum beli. Ini, Ibu ambil ya, Zal." Ibu meminta, sambil mengeluarkan barang yang baru saja anaknya beli, mata beliau langsung berbinar.
"Ratna, ambilkan aku kresek, ini mau aku bawa pulang," suruh sang ibu mertua pada menantunya yang sedang duduk di dekatnya.
Tak menjawab, Ratna bangun dari duduknya ke arah dapur, untuk memenuhi permintaan ibu mertuanya.
"Tapi, Bu ...."
"Nggak pa-pa kok, ibu malah senang kalau bawa ini saja buat oleh-oleh." Ibu segera memotong ucapan Rizal yang sepertinya hendak protes.
"Bukan seperti yang biasanya Ratna bawa ke rumah, nggak ada mereknya sama sekali, kelihatan murahan. Kalau ini kan beda. Bermerek. Bisa aku banggain nanti ke tetangga."
Di dapur, Ratna yang mendengar pembicaraan antara anak dan ibu, hanya bisa tersenyum, entah apa yang membuatnya seperti sangat bahagia, saat ini. Padahal apa yang di katakan ibu mertuanya sangat pedas sekali.
"Ini, Bu ...." Ratna memberikan kresek putih yang ia bawa dari dapur. Seperti permintaan ibu mertuanya tadi.
"Nggak jadi, aku bawa aja semuanya, lagian stock di rumah sudah hampir habis kok." Ibu mertuanya menolak kresek yang ia sodorkan, dan dengan santainya membawa kresek berisi barang yang tadi Rizal beli, keluar dari pintu.
"Ayo, Zal. Anterin ibu pulang!"
Tidak seperti biasanya, kali ini pandangan suaminya fokus pada kresek yang di bawa ibu.
"Zal, ayooo!" Ibu berteriak lagi dari luar rumah.
Rizal tak menjawab, namun dengusan suaranya yang berat tanda dia benar benar kesal saat ini. Tampak berat sekali Rizal melangkah keluar rumah menyusul ibu yang sudah keluar lebih dulu.
"Jangan lupa, gula dan kopi habis." Dengan suara pelan seperti sedang berbisik, Ratna berpesan saat Rizal melewati dirinya yang berdiri di ambang pintu.
"Sudah siap?" tanya Delon, pada Aldo yang memasukkan semua perlengkapan istri dan dirinya ke dalam tas ransel yang Mak bawa tadi dari rumah.Terlihat Aldo menganggukkan kepalanya sekilas. Menjawab pertanyaan Delon.Hari itu hari ke empat setelah Ratna bangun dari tidurnya, dan dokter yang menangani Ratna sudah memberikan izin untuk pulang."Pak Ri, yang tas itu, nanti tolong di bawa ke rumah, ya. Jadi kita cuma bawa tas yang ini aja."Aldo menunjuk tas yang lebih besar untuk di bawa pak Ri yang mengiyakan perintah majikannya, serta langsung membawa pergi setelah sebelumnya pamit lebih dulu pada Aldo dan Ratna."Nanti kau pakai saja mobilku, Do. Aku bisa pakai taxi online nanti."Delon menyodorkan tangannya yang sedang memegang kunci mobil."Terima kasih," ucap Aldo, tangannya ikut maju mengambil kunci yang disodorkan Delon."
Terlanjur, dokter Siska sudah memencet tombol di atas kepala Ratna, memberitahukan bahwa ada sesuatu yang terjadi pada pasien."Apa yang kau lakukan?" tanya Aldo yang masuk ke dalam ruangan dengan raut wajah marah. Tangannya mengepal menahan geram."A-aku ...." jawab Siska yang tergagap, kaget! Wajahnya pucat seketika."Bang ...."Seperti tak percaya Aldo mendengar Ratna memanggilnya, seketika itu juga ia menoleh ke arah istrinya dan baru menyadari kalau perempuan yang ia cintai sudah bangun dari tidur panjang."Yang ...."Aldo mendekat ke arah Ratna, menggenggam tangan istrinya erat, dan menciumi setiap inci wajah perempuan yang sangat ia cintai.Membuat dokter Siska seketika itu juga mundur perlahan menuju pintu.Hampir saja dirinya menabrak beberapa dokter dan perawat yang berdatangan mendekati Ratna, dan mem
"Mas, baju yang mau di bawa yang mana?" tanya Mak siang itu.Mak sengaja di antar pak Ri untuk mengantarkan baju bersih yang akan di pakai Aldo, di rumah sakit. dan membawa balik baju yang sudah kotor untuk Mak cuci di rumah.Tanpa bicara, Aldo yang dengan wajah sangat menampakkan kesedihan, memberikan baju yang sudah ia lipat dalan paperbag yang lumayan besar pada Mak."Mbak gimana, Mas?" tanya Mak, dengan tangan terulur menerima paper bag dari Aldo."Masih tidur, Mak. Tolong doain, ya. Biar bisa cepat pulang ke rumah." Aldo sedikit tersenyum, senyum yang terlihat terpaksa."Iya, Mas. Saya dan Mak selalu berdoa semoga Mbak dan si kembar cepat pulang, biar rumahnya ramai." Pak Ri yang tadinya hanya terdiam mendengarkan, kali ini ikut membuka suara.Sudah sebulan lebih pasca kecelakaan, Ratna tak sadarkan diri. Terbaring lemah dengan beberapa
"Apa tidak sebaiknya kalau kamu, aku antar saja, Yang?" usul Aldo saat melihat istrinya mengambil kunci mobil, pagi itu setelah sarapan bersama."Tidak usah, aku baik baik saja, kok!" jawab Ratna yang mendekat untuk mencium pipi, dan punggung tangan kanan suaminya."Tapi perutmu sudah tak memungkinkan untuk menyetir, Yang ...."Jelas saja Aldo sangat khawatir dengan kondisi Ratna, yang memaksa menyiapkan sendiri acara tujuh bulanan si kembar yang rencananya akan di laksanakan seminggu lagi."Perutku tidak masalah kok, Bang. Asalkan kau tidak lagi terlalu mempermasalahkan," ujar Ratna, yang terus melangkah melewati dapur menuju ruang garasi.Setelah sebelumnya meminta Mak untuk membuka pintu garasi dan juga pintu pagar.Sambil mengikuti istrinya dari belakang, Aldo hanya bisa mengambil nafas panjang dan mengembuskannya dengan kasar.&n
Ratna terus mengulang pertanyaan yang sama hingga membuat dokter Agni sedikit gemas."Hei! Saya serius, Bu! Anda hamil. Selamat ya ...."Masih banyak lagi pesan yang dikatakan oleh dokter di depannya yang sedang membersihkan perut Ratna dari gel tadi. Namun, Ratna hanya bisa menangis sambil terus memandangi layar."Sekarang anda boleh berbalik ke kanan, baru kemudian bangun dengan perlahan," suruh dokter Agni pada Ratna yang ia ikuti."Benarkan apa yang aku bilang." Siska tersenyum sambil terus memainkan ponselnya."Memangnya dokter Siska bilang apa!" tanya dokter Agni yang kemudian pindah ke kursi miliknya dan menuliskan sesuatu di sana."Cuman minta traktiran kalau mereka berdua terbukti hamil," jawab dokter Siska, yang kemudian tertawa terbahak."Ah dokter Siska, ada ada saja!" seru dokter Agni, yang kemudian memberikan amplop co
"Nay, kamu kenapa?" tanya Ratna, saat tangan membuka pintu di ruangannya.Ini hari pertama Ratna kembali ke kafe setelah dua hari menemani Aldo di rumah."Aku nggak tahu, mungkin masuk angin," jawab Nay, wajahnya basah, dan terlihat menahan sesuatu yang sepertinya akan keluar dari mulut Nay."Kamu periksa saja, Nay. Jangan jangan kamu hamil." Rafi yang datang di belakang Ratna tiba tiba ikut buka suara."Iya, Nay. Periksa aja deh!" Seru Ratna mendukung apa yang di katakan Rafi"Tapi–""Kalau kamu nggak periksa malah fatal, pengin sembuh, terus minum obat anti masuk angin. Eh ... ternyata hamil, gimana? Kan pasti ada resiko dari obat yang kamu minum, Nay." Rafi Langsung memotong pembelaan Nay.Ada iba menggelantung di dada Rafi, melihat kondisi Nay saat ini."Tapi–""P