Mendengar teriakan suaminya dari dalam kamar, Ratna meletakkan ponselnya di atas meja dan segera berlalu ke dapur, membuatkan sesuatu untuk suaminya.
"Mana kopiku?" tanya Rizal untuk kedua kalinya, saat keluar dari kamar dengan penampilan yang berbeda, tampak segar dengan air yang masih menetes di ujung rambutnya.
"Tidak ada kopi, hanya sisa teh itu pun tawar, gulanya habis," jawab Ratna, dia menunjuk satu-satunya gelas berisi teh di atas meja.
"Kau keterlaluan! Aku tidak bisa minum sesuatu yang tawar, kamu tahu itu!" sahut Rizal, dengan nada meninggi.
"Aku tahu, tapi bukan aku penanggung jawab rumah tangga bukan? Uangnya ada di tanganmu, jadi silahkan belanja sesuai dengan keinginanmu." Ratna kembali berkata dengan wajah datar, tangannya kembali memegang ponsel, satu satunya barang berharga yang di miliki, pemberian dari Nita, sahabatnya.
"Jangan lupa, sisakan uang untuk listrik dan air, dan untuk air minum." Ratna lagi-lagi menambahi apa yang di ucapkannya tadi.
Rizal mendengus, tangannya kembali menyambar kunci motor di tempat biasanya ia gantung.
Ratna kembali tersenyum saat suara omelan Rizal masih terdengar menjauh.
Baru saja hendak melangkah ke kamar, terdengar suara orang mengucapkan salam, membuatnya berhenti dan membalikkan langkah ke pintu depan.
"Wa alaikum salam," jawab Ratna, sambil membuka pintu lebar lebar.
"Bu ...." Agak kaget Ratna, karena tiba tiba saja kedatangan ibu dari suaminya.
"Aku tadi ketemu Rizal di jalan, katanya mau belanja. Kenapa bukan kamu saja yang belanja, Na?" tanya mertuanya,dengan penuh selidik.
"Saya tak pandai mengatur uang, Bu. Selalu habis nggak sampai tengah bulan."
"Kamu harus belajar dong, Na. Masak iya nggak bisa ngatur uang, gimana kalau nanti nambah orang di sini, pasti habis meski masih awal bulan."
Ratna hanya bisa tersenyum, dengan wajah datar seperti tidak mendengar apa yang mertuanya barusan ucapkan.
"Kamu sudah menyiapkan baju untuk acara melamar madumu?" Ibu bertanya dengan tatapan mata yang tidak mengenakkan.
"Saya tidak ikut, Bu."
"Kenapa, kamu cemburu karena dia bisa memberikan Rizal keturunan sedangkan kamu tidak."
"Tidak, Bu. Saya tidak cemburu." jawab Ratna tanpa perubahan wajah dan suara.
"Atau kamu iri, karena yang sekarang akan di pestain, sedangkan waktu sama kamu cuma acara syukuran aja?" Ibu mertuanya masih terus mengejar dengan ucapan yang sangat menyakiti telinga dan hati bagi yang mendengarnya.
"Tidak, Bu. Saya tidak masalah. Itu terserah ibu dan mas Rizal aja." Ratna tersenyum, tak ada di wajah dan suaranya, getar emosi dan marah. Sepertinya dia benar benar sudah siap dan ikhlas.
"Kalau benar tidak ada apa-apa, kenapa kamu keberatan untuk ikut melamar."
"Tidak ada hak saya melarang suami untuk beristri lagi, saya hanya menjaga agar keluarga ibu tidak dijadikan bahan gosip di mata masyarakat."
"Ah ... itukan alasanmu saja, kamu itu sebenarnya iri kan, karena Rizal memilih menduakanmu?"
"Kalau menurut ibu, apa saja kekurangan saya?"
"Kamu itu ngaca, Ratna. Kamu itu bukan saja mandul, keuangan rumah saja kamu tak sanggup menghandle nya, kamu itu penuh kekurangan."
"Alhamdulillah, kalau begitu ibu mau kan kalau membujuk Rizal untuk menceraikan saya."
"Tak usah kau suruh pun, kau pasti akan di ceraikannya. Tinggal nunggu waktu saja." sepertinya ibu mertuanya sangat yakin akan apa yang beliau ucapkan.
"Alhamdulillah, apa ibu bisa menyuruhnya mempercepat, bukankan tidak baik untuk nama keluarga ibu di mata masyarakat, bila ternyata ada anak ibu yang berpoligami, tahu sendiri kan kalau masyarakat kita masih memandang jelek pada orang yang berpoligami." Untuk kedua kali, Ratna mencoba menghasut ibu mertuanya, mengingat Rizal tadi menolak untuk cerai.
Ibu mertuanya terdiam, mungkin sedang berpikir tentang yang baru saja Ratna ucapkan.
"Kenapa kamu masih memikirkan nama baik keluarga kami, bukannya kamu sakit hati karena Rizal lebih memilih wanita lain."
"Sudah siap?" tanya Delon, pada Aldo yang memasukkan semua perlengkapan istri dan dirinya ke dalam tas ransel yang Mak bawa tadi dari rumah.Terlihat Aldo menganggukkan kepalanya sekilas. Menjawab pertanyaan Delon.Hari itu hari ke empat setelah Ratna bangun dari tidurnya, dan dokter yang menangani Ratna sudah memberikan izin untuk pulang."Pak Ri, yang tas itu, nanti tolong di bawa ke rumah, ya. Jadi kita cuma bawa tas yang ini aja."Aldo menunjuk tas yang lebih besar untuk di bawa pak Ri yang mengiyakan perintah majikannya, serta langsung membawa pergi setelah sebelumnya pamit lebih dulu pada Aldo dan Ratna."Nanti kau pakai saja mobilku, Do. Aku bisa pakai taxi online nanti."Delon menyodorkan tangannya yang sedang memegang kunci mobil."Terima kasih," ucap Aldo, tangannya ikut maju mengambil kunci yang disodorkan Delon."
Terlanjur, dokter Siska sudah memencet tombol di atas kepala Ratna, memberitahukan bahwa ada sesuatu yang terjadi pada pasien."Apa yang kau lakukan?" tanya Aldo yang masuk ke dalam ruangan dengan raut wajah marah. Tangannya mengepal menahan geram."A-aku ...." jawab Siska yang tergagap, kaget! Wajahnya pucat seketika."Bang ...."Seperti tak percaya Aldo mendengar Ratna memanggilnya, seketika itu juga ia menoleh ke arah istrinya dan baru menyadari kalau perempuan yang ia cintai sudah bangun dari tidur panjang."Yang ...."Aldo mendekat ke arah Ratna, menggenggam tangan istrinya erat, dan menciumi setiap inci wajah perempuan yang sangat ia cintai.Membuat dokter Siska seketika itu juga mundur perlahan menuju pintu.Hampir saja dirinya menabrak beberapa dokter dan perawat yang berdatangan mendekati Ratna, dan mem
"Mas, baju yang mau di bawa yang mana?" tanya Mak siang itu.Mak sengaja di antar pak Ri untuk mengantarkan baju bersih yang akan di pakai Aldo, di rumah sakit. dan membawa balik baju yang sudah kotor untuk Mak cuci di rumah.Tanpa bicara, Aldo yang dengan wajah sangat menampakkan kesedihan, memberikan baju yang sudah ia lipat dalan paperbag yang lumayan besar pada Mak."Mbak gimana, Mas?" tanya Mak, dengan tangan terulur menerima paper bag dari Aldo."Masih tidur, Mak. Tolong doain, ya. Biar bisa cepat pulang ke rumah." Aldo sedikit tersenyum, senyum yang terlihat terpaksa."Iya, Mas. Saya dan Mak selalu berdoa semoga Mbak dan si kembar cepat pulang, biar rumahnya ramai." Pak Ri yang tadinya hanya terdiam mendengarkan, kali ini ikut membuka suara.Sudah sebulan lebih pasca kecelakaan, Ratna tak sadarkan diri. Terbaring lemah dengan beberapa
"Apa tidak sebaiknya kalau kamu, aku antar saja, Yang?" usul Aldo saat melihat istrinya mengambil kunci mobil, pagi itu setelah sarapan bersama."Tidak usah, aku baik baik saja, kok!" jawab Ratna yang mendekat untuk mencium pipi, dan punggung tangan kanan suaminya."Tapi perutmu sudah tak memungkinkan untuk menyetir, Yang ...."Jelas saja Aldo sangat khawatir dengan kondisi Ratna, yang memaksa menyiapkan sendiri acara tujuh bulanan si kembar yang rencananya akan di laksanakan seminggu lagi."Perutku tidak masalah kok, Bang. Asalkan kau tidak lagi terlalu mempermasalahkan," ujar Ratna, yang terus melangkah melewati dapur menuju ruang garasi.Setelah sebelumnya meminta Mak untuk membuka pintu garasi dan juga pintu pagar.Sambil mengikuti istrinya dari belakang, Aldo hanya bisa mengambil nafas panjang dan mengembuskannya dengan kasar.&n
Ratna terus mengulang pertanyaan yang sama hingga membuat dokter Agni sedikit gemas."Hei! Saya serius, Bu! Anda hamil. Selamat ya ...."Masih banyak lagi pesan yang dikatakan oleh dokter di depannya yang sedang membersihkan perut Ratna dari gel tadi. Namun, Ratna hanya bisa menangis sambil terus memandangi layar."Sekarang anda boleh berbalik ke kanan, baru kemudian bangun dengan perlahan," suruh dokter Agni pada Ratna yang ia ikuti."Benarkan apa yang aku bilang." Siska tersenyum sambil terus memainkan ponselnya."Memangnya dokter Siska bilang apa!" tanya dokter Agni yang kemudian pindah ke kursi miliknya dan menuliskan sesuatu di sana."Cuman minta traktiran kalau mereka berdua terbukti hamil," jawab dokter Siska, yang kemudian tertawa terbahak."Ah dokter Siska, ada ada saja!" seru dokter Agni, yang kemudian memberikan amplop co
"Nay, kamu kenapa?" tanya Ratna, saat tangan membuka pintu di ruangannya.Ini hari pertama Ratna kembali ke kafe setelah dua hari menemani Aldo di rumah."Aku nggak tahu, mungkin masuk angin," jawab Nay, wajahnya basah, dan terlihat menahan sesuatu yang sepertinya akan keluar dari mulut Nay."Kamu periksa saja, Nay. Jangan jangan kamu hamil." Rafi yang datang di belakang Ratna tiba tiba ikut buka suara."Iya, Nay. Periksa aja deh!" Seru Ratna mendukung apa yang di katakan Rafi"Tapi–""Kalau kamu nggak periksa malah fatal, pengin sembuh, terus minum obat anti masuk angin. Eh ... ternyata hamil, gimana? Kan pasti ada resiko dari obat yang kamu minum, Nay." Rafi Langsung memotong pembelaan Nay.Ada iba menggelantung di dada Rafi, melihat kondisi Nay saat ini."Tapi–""P