“Tidak!” teriak Irwan.
“Ada apa?” tanya Adit. Saat mendengar teriakan yang membuat dirinya kaget.Begitu juga yang lain langsung berhamburan keluar saat mendengar teriakan Irwan, mereka tampak heran melihat Irwan yang sedang memegang tas ransel miliknya.“Kenapa Wan?” tanya Romi.“Iya ada apa?” sambung kedua sahabatnya.Irwan langsung menoleh saat mendapat begitu banyak pertanyaan, dirinya sontak berteriak karena lupa membawa peralatan mandi.“Gue lupa bawa peralatan mandi,” jawab Irwan.Seketika mereka menjadi kesal, karena awalnya dikira telah terjadi sesuatu hingga Irwan berteriak seperti itu.“Jadi karena itu doang?” ucap Adit dengan sedikit kesal.Irwan hanya membalas dengan senyuman, bahkan tanpa merasa bersalah telah berteriak hingga membuat mereka panik.“gak perlu pakai teriak, lo udah bikin kita semua kaget,” sahut Romi.“Iya benar,” ungkap kedua sahabatnya.“Kalian gak tahu, itu barang penting,” ucap Irwan. Dirinya panik karena tidak bisa mandi tanpa peralatan pribadinya.“Nanti bisa beli lagi kan? Jadi gak usah terlalu lebay,” sahut Romi.Adit hanya terdiam melihat keduanya berbicara, dia merasa heran mengapa Irwan bisa sampai bersikap berlebihan seperti itu karena hal sepele.Tidak begitu suara orang mengucapkan salam, membuat mereka menoleh ke arah pintu secara bersamaan.“Assalamualaikum,” ucap Pak Kades. Dirinya sengaja datang bersama Pak Edi pagi-pagi, karena harus memberi tahu perihal mereka yang harus pindah. “Waalaikumsalam,” seru semuanya.Romi bergegas berjalan ke arah pintu, dia langsung membuka pintu. Dan di sambut senyuman oleh kedua pria paruh baya yang sudah berdiri di depan pintu.“Silakan masuk Pak,” ucap Romi kepada keduanya.“Tidak usah, disini saja,” jawab Pak Kades.Adit yang mendengar suara Pak Kades bergegas menghampiri begitu juga dengan Irwan.“Ada apa Pak?” tanya Adit. Saat melihat ternyata yang datang Pak Kades bersama Pak Edi.“Iya Pak, apa ada sesuatu yang penting? Hingga membuat Pak Kades datang ke sini?” sambung Irwan.“Begini, sebelumnya saya minta maaf. Karena rumah ini akan ada perbaikan, jadi terpaksa kalian akan pindah,” tutur Pak Kades. Sebenarnya dia merasa tidak enak harus meminta mereka pindah.“Bapak, tidak usah minta maaf. Kami tentu tidak keberatan, tapi saya dan teman-teman minta waktu untuk membereskan barang bawaan kami terlebih dahulu,” ucap Adit.“Iya silahkan! Karena saya ada urusan. Nanti Pak Edi yang akan mengantar kalian,” jawab Pak Kades.“Baik Pak,” sahut Adit.Mereka bergegas masuk ke dalam untuk membenahi semuanya, Pak Kades langsung berpamitan kepada Pak Edi karena beliau ada urusan.Inez serta ibunya sedang sibuk, membersihkan rumah yang akan di tempati oleh mereka. Sebenarnya Inez lebih suka pergi ke ladang di bandingkan membersihkan rumah seperti ini.“Bu, aku capek,” ucap Inez.“Gak boleh begitu, sebentar lagi juga selesai,” jawab Nilam.“Tapi aku benaran capek, mendingan kita tadi pergi ke ladang saja,” sambung Inez seraya menyekat keringat di keningnya.Nilam tersenyum mendengar keluhan dari putrinya, dia sungguh heran padahal lebih capek bekerja di ladang di bandingkan membersihkan rumah seperti ini.“sudah! Jangan mengeluh terus. Cepat nanti mereka keburu datang,” pinta Nilam.Mendengar ucapan ibunya membuat Inez semakin kesal, dia segera merapihkan pekerjaan agar cepat selesai dan bisa kembali ke rumah.Adit dan teman-temannya sudah siap, mereka segera mengikuti Pak Edi. Selama perjalanan tidak ada pembicaraan sama sekali bahkan Irwan sesekali mengeluh hingga membuat teman-temannya merasa kesal melihat tingkahnya.“Kalau Lo, mengerek terus seperti itu. Lebih baik kembali saja,” celetuk Romi.“Siapa yang merengek? Gue hanya heran. Apa di sini tidak ada kendaraan?” ucap Irwan. Karena jarak yang lumayan jauh hingga membuatnya lelah berjalan kaki.Pak Edi yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan keduanya, lalu berkata. “maaf, Dek. Di sini memang susah kalau kendaraan, karena kebanyakan kami ke mana-mana berjalan kaki.”Adit merasa tidak enak karena perkataan Irwan membuat Pak Edi mungkin tersinggung.“Tidak apa-apa Pak, teman saya hanya asal bicara saja” ujar Adit.“Iya betul Pak, Irwan memang suka asal bicara,” sambung Romi.“Kenapa jadi gue,” ungkap Irwan. Dia tidak suka saat Romi menyalahkan dirinya.“Gak apa-apa, mudah-mudah kalian betah selama di sini,” jawab Pak Edi. Yang memaklumi jika orang kota pasti akan mengeluh dengan hal itu.“Pasti Pak, saya senang di sini masih sangat asri,” sahut Adit.Irwan masih kesal langsung memasang wajah kesal, hingga membuat Iqbal dan Rama. Ingin sekali mengerjainya.“Sabar Wan, sepertinya Lo harus terbiasa hidup di sini,” ejek Iqbal.“Benar apa yang di bilang Iqbal, jadi Lo harus berhenti jadi anak Mami,” ledek Rama sambil menahan tawanya.Romi yang berada di depan mereka bertiga langsung tertawa kecil, mengingat memang Iqbal dan Rama. Sangat senang bila mengejek Irwan seperti itu.Nilam segera berlari ke depan saat melihat dari kejauhan mereka sudah datang, Inez langsung menarik nafas lega karena akhirnya pekerjaan mereka telah selesai.“Neng, sini,” pinta Nilam dari depan pintu.“Aku di sini aja, Bu,” jawab Inez.“gak boleh gitu,” ucap Nilam.Inez langsung menghampiri ibunya, walau dengan sedikit kesal karena dia sudah sangat lelah.“Sekarang kita sudah sampai,” ucap Pak Edi. Setelah mereka sampai di halaman rumah yang akan mereka tempati.“Maaf Pak, kalau mereka itu siapa?” tanya Adit. Dia merasa penasaran dengan dua wanita yang berada tidak jauh dari mereka.“Itu istri serta anak saya, nanti saya kenalkan,” sahut Pak Edi.Adit mengangguk, sedangkan yang lainnya terus saja mengejek Irwan karena selama perjalanan tadi tidak berhenti mengeluh membuat mereka kesal.“Assalamualaikum,” ucap Pak Edi.“Waalaikumsalam,” jawab Nilam dan juga Inez.Mereka semua hanya terdiam, bahkan lupa mengucapkan salam karena terpesona akan kecantikan wanita yang tidak jauh dari mereka. Bahkan Adit seperti terhipnotis olehnya.“Jadi ini adik-adik, yang akan tinggal di sini?” tanya Nilam sambil melihat ke arah mereka.“Iya Bu,” jawab Pak Edi.Pak Edi langsung menoleh ke arah samping, dia sadar bahwa pandangan para pemuda itu tertuju kepada putrinya. Membuatnya sedikit tidak suka akan hal itu.“Kenalkan, ini istri saya. Kalian bisa panggil Bu Nilam dan itu putri saya namanya Inez,” ucap Pak Edi yang langsung memperkenalkan keduanya.Mereka langsung tersadar dan merasa malu, tentunya mereka sadar kalau Pak Edi menyadari jika mereka terpesona akan kecantikan dari putrinya.Inez langsung tertunduk malu karena mereka semua terus memandang ke arahnya.Mereka mulai bergantian memperkenalkan diri satu persatu, kini giliran Adit yang berkenalan dengan Inez. Keduanya saling bertatapan, entah mengapa ada getaran yang aneh di hati keduanya saat mereka berjabat tangan.Nia membantu merawat Inez dan juga bayinya, mengingat dia hanya seorang diri bahkan ini pengalaman pertama baginya, walau tidak memiliki pengalaman. Namun, Nia telaten dalam mengurus bayi membuat Inez semakin kagum dengan sosoknya.Tetapi di sisi lain Inez semakin merasa berhutang budi banyak kepada Nia, karena rela menutup tokonya sementara demi membantu dirinya. “Mbak, terima kasih banyak. Maaf kalau aku jadi merepotkan,” ucap Inez. “Kamu jangan ngomong gitu, aku senang bisa bantu kamu,” jawab Nia. Dia langsung memberikan Devano kepada Inez untuk di beri asi, setelah semua selesai karena hari sudah sore Nia berniat untuk berpamitan karena dia harus segera pulang. “Nez. Kamu gak apa-apa kalau aku tinggal?” tanya Nia. “Iya Mbak,” jawab Inez. Nia sekarang lebih tenang setelah mendapatkan jawaban seperti itu, dia langsung bersiap-siap tidak lupa menggendong Devano terlebih dahulu sebelum dirinya pulang. Waktu terus berjalan tanpa terasa kini Devano berusia 6 bulan, Inez memberika
Satu Minggu berlalu Inez yang merasa bosan berada di rumah terus memutuskan untuk berkunjung ke toko. Namun, saat hendak melangkah tiba-tiba dia merasakan perutnya sakit. “Aduh,” ucap Inez sambil memegangi perutnya. Inez langsung menyandarkan diri sambil menarik napas supaya rasa sakit di perutnya mereda, setelah merasa lebih baik dia segera mengambil tas dan bergegas pergi. Selama perjalanan menuju toko sesekali dia merasakan kontraksi yang tidak terlalu sering. Namun, masih bisa di tahan. Dia langsung menarik napas lega setelah sampai di depan toko setelah perjuangan berjalan ke sana sambil merasakan perutnya yang sesekali terasa sakit. Dia menunggu sebentar setelah melihat masih banyak pembeli di sana, sambil sesekali mengelus perutnya yang terasa kencang.“Nez. Kenapa kamu di sini?” tanya Nia. Tanpa sengaja dia melihatnya berada di dekat toko. “Aku mau main Mbak, Cuma tadi lagi rame jadi menunggu di sini,” jawab Inez sambil berjalan menghampiri Nia. Wajah Nia begitu sangat b
Inez mulai tampak lelah karena sekarang kandungannya sudah memasuki usia 9 bulan. Namun, dia masih semangat bekerja. Sering kali Nia mengingatkan agar dia mengambil cuti supaya tidak terlalu lelah, tetapi Inez masih masih semangat dan kuat untuk tetap bekerja. “Apa kamu belum mau ambil cuti?” tanya Nia. “Belum Mbak, lagian aku masih kuat,” jawab Inez. “Tapi aku sangat khawatir,” ucap Nia. “Gak usah khawatir Mbak, aku baik-baik saja,” jawab Inez. “Ya sudah. Tapi kalau kamu capek istirahat, jangan terlalu di paksakan,” sahut Nia. “Iya Mbak,” jawab Inez. Sebenarnya Nia sudah merasa tidak tega saat melihat Inez, tetapi karena semangat dan keras kepalanya membuat dia tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan sering kali dia meminta Inez untuk sering beristirahat tapi tidak pernah di dengarkan. Nia menatap Inez dengan tatapan yang sulit di artikan, mungkin kalau dirinya ada di posisi seperti Inez saat ini dia pasti sudah menyerah. Tidak terasa matanya langsung berkaca-kaca saat mengingat k
Leli yang memang sudah mengatur pertemuan untuk Adit dan Keyla, meminta agar putranya itu bersiap-siap karena mereka akan pergi ke rumah keluarga Wiguna. Yang tidak lain orang tua dari Keyla.“Kenapa harus secepat ini?” tanya Adit. Dia tidak pernah mengira bahwa perjodohan yang di usulkan oleh Maminya begitu cepat.“Bukannya lebih cepat itu lebih baik,” ucap Leli.“Benar, lagian apa yang kamu tunggu?” Sambung Hendra. “Aku belum siap,” ujar Adit. Keduanya langsung kaget saat mendengar hal itu, tentu mereka tidak menyangka kalau Adit akan mengatakannya. “Apa?” tanya Leli. Seraya menatap dengan tatapan kesal kepada Adit. “Aku memang setuju untuk bertemu dengan wanita pilihan kalian, tetapi tidak secepat ini,” ucap Adit. “Jangan membuat masalah,” sahut Hendra.Dia segera beranjak dari duduknya saat merasa kalau Adit sedang mempermainkan mereka berdua. “Pokoknya. Mami tidak mau dengar apa pun, kita akan pergi malam ini,” ucap Leli.Sungguh Adit semakin tidak habis pikir, mengapa ora
Kehidupan Inez mulai membaik setelah dirinya bekerja, bahkan dia merasa bersyukur memiliki bos seperti Nia. Yang selalu memerhatikan apa pun tentang dirinya hingga membuat dia tidak merasa sendirian lagi. Tetapi semuanya berbanding terbalik dengan kehidupan yang Adit jalani, semenjak lulus kuliah dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, hal itu membuat kedua orang tuanya berniat untuk mengajarkan Adit mengelola perusahaan yang kelak akan menjadi miliknya. Beberapa bulan berlalu. Namun, sikap Adit masih dingin bahkan dia cenderung lebih suka mengurung diri di kamar, hal itu membuat kedua orang tuanya memikirkan rencana untuk mencarikan calon istri untuk Adit. Hendra tahu bahwa putranya belum bisa lepas dari bayang-bayang wanita itu, memutuskan untuk mengajak membantunya di perusahaan. Adit menolak permintaan Papinya karena dia merasa tidak cocok bekerja di sana, terlebih dia tidak tertarik dengan dunia bisnis.
Hari pertama bekerja Inez begitu sangat bersemangat bahkan terkadang dia sampai lupa untuk beristirahat, hal itu membuat Nia begitu kesal karena Inez tidak mementingkan asupan makanan untuk calon bayinya.“Kamu belum makan?” tanya Nia.“Belum Mbak, nanti saja,” sahut Inez. “Sekarang kamu makan dulu, ini sudah lewat jam makan siang. Nanti biar itu aku yang selesaikan,” ucap Nia. Dia segera menarik roti yang tengah di susun Inez.“Tapi Mbak, ini tinggal dikit lagi,” jawab Inez. “Baiklah! Kalau kamu mau selesaikan ini. Tapi mulai besok tidak perlu datang kesini lagi,” kesal Nia. “Kalau gitu, aku makan dulu Mbak,” ucap Inez Dia hanya mengangukan kepalanya sebagai jawaban.Mendengar Nia berkata seperti itu Inez mau tidak mau menurut karena dia tidak ingin sampai kehilangan pekerjaannya, dia segera melangkah pergi ke ruangan belakang di mana Nia suda
Inez terus berjalan tanpa tujuan, iya memiliki harapan agar bisa mendapatkan pekerjaan walau kemungkinannya sangat kecil sekali. Karena dia tahu bahwa banyak orang pasti tidak tega memperkerjakan dirinya yang tengah mengandung.Hingga dia tiba di persimpangan jalan sejenak menoleh ke kanan dan ke kiri, terlihat begitu ramai kendaraan lalu lalang. Merasa lelah dia memutuskan untuk beristirahat sejenak di pinggir jalan.Dia kembali melihat sisi dompetnya yang hanya menyisakan uang satu lembar, hatinya begitu sedih kenapa nasibnya seperti ini. Untuk mendapatkan pekerjaan pun sangat sulit baginya, cobaan hidup ini hampir membuat Inez tidak mampu untuk bertahan tetapi dia sadar bahwa ada bayi yang harus dia perjuangkan membuatnya kembali bersemangat.Inez merasa lapar hingga pandangannya tertuju ke arah sebuah toko roti, dia segera beranjak dari duduknya dan berjalan ke sana. Seketika matanya membulat saat melihat harga roti yang terpampang di depan etalase toko. “Mahal sekali,” batin In
Inez bisa beristirahat setelah perjalanan yang cukup melelahkan, dia mulai merebahkan tubuhnya sambil menatap ke arah langit-langit kamar kontrakan. Tiba-tiba dia teringat sesuatu dan dengan cepat dia kembali bangkit. Dia melihat sisa uang yang masih dia miliki, raut wajahnya seketika berubah saat melihat dua lembar uang merah yang tersisa di dalam dompetnya. Tentu saja uang itu hanya cukup untuk beberapa hari saja, apalagi mengingat dia hidup di kota besar dan semua harus di beli. Membuat dirinya berpikir untuk mencari kerja demi memenuhi kebutuhan dan biaya persalinannya kelak. Dia kembali ke merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur tipis yang sudah tersedia di sana. Pagi harinya Inez yang sudah rapi segera melangkah keluar rumah kontrakannya, dia membeli roti serta air mineral untuk sarapan sebelum pergi mencari pekerjaan. Pemilik warung merasa heran karena melihat Inez hanya membeli roti dan air mineral saja, hingga rasa penasarannya muncul. Apalagi melihat kondisinya yang te
Keputusannya untuk pergi ke Jakarta sudah bulat, walau kedua orang tuanya tidak setuju akan hal itu tetapi Inez masih bersikeras. Nilam berusaha membujuk Inez agar mengurungkan niatnya, tapi semua itu sia-sia karena Inez tetap pada pendiriannya. “Biarkan saja Bu. Memang dia pikir hidup di kota itu mudah,” ucap Pak Edi. “Ayah jangan bicara begitu,” jawab Nilam.“Benar apa yang dikatakan ayah, kalau hidup di sana tidak mudah. Tetapi kalau aku pergi kalian tidak perlu malu lagi,” ucap Inez.“Kamu jangan dengarkan ayah, ibu mohon tetap di sini,” pinta Nilam. Inez tidak berkata apa pun lagi, dia segera melepaskan tangan Nilam yang sejak tadi menahannya agar tidak pergi. Dengan berat hati dia harus meninggalkan desa di mana tempat dia dilahirkan dan seluruh kenangannya. Nilam begitu histeris melihat kepergian putrinya, tetapi tidak dengan ayahnya yang hanya menatap yang sulit di artikan. Sejenak Inez terdiam di ambang pintu sebelum menetapkan hatinya dan lalu beranjak pergi.Inez meras