Home / Romansa / Cinta di Gerbang Kematian / Kecurigaan Yang Semakin Kuat

Share

Kecurigaan Yang Semakin Kuat

Author: Ria Rahma
last update Last Updated: 2025-11-04 15:57:22

Tak lama bel pulang sekolah telah berbunyi, lagi-lagi para siswa bersorak dengan riang karena mendengar suara bel pulang seolah. Sore ini awan mendung tidak segelap kemarin, rintik air hujan pun belum ingin turun menghujam bumi. Para siswa bisa pulang dengan leluasa tanpa harus basah diguyur air hujan.

Feli dengan cepat melangkah menuju tempat ia memarkirkan sepedanya, namun langkahnya terhenti saat ia melihat seorang nenek-nenek yang kesulitan membawa sampah plastik di dalam kantong yang sangat besar. Karena iba, Feli mendekati nenek itu dan berencana untuk membantunya.

“Tidak perlu, Nak. Aku bisa membawanya sendiri.”

Nenek itu meraih tangan Feli yang hendak membantunya memasukkan sampah plastik ke dalam kantung.

“Tidak apa, Nek. Sebentar lagi hujan turun, Nenek bisa kehujanan jika tidak bergegas.”

Feli menarik tangannya dan kembali memilah sampah plastik dan memasukkan ke dalam kantong.

“Maafkan aku yang sudah tidak bisa bergerak dengan cepat ini, Nak. Selain kulit dan wajahku yang semakin keriput, tubuhku pun semakin lamban.”

Feli tersenyum simpul mendengarkan ucapan sang nenek.

“Terima kasih sudah membantu, Nak. Terimalah buah apel ini sebagai balasan atas kebaikanmu,” ucap nenek itu mengulurkan sebuah apel merah yang masih terlihat segar.

“Tidak perlu, Nek. Aku tidak menginginkan imbalan.”

“Ayo ambillah, maafkan aku yang sudah tua ini tidak bisa memberimu balasan yang baik. Aku hanya tidak ingin berhutang budi kepada siapapun semasa hidup. Aku hanya ingin mati dengan damai,” ucap Nenek itu.

Feli memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan menatap mata Nenek yang berdiri di hadapannya ini, tak lama setelah itu senyum mengembang terbit di wajah cantik Feli.

“Tenanglah, Nek. Nenek akan mati dengan damai di pelukan anak cucumu, tidak ada penyesalan apapun di dalam kehidupan Nenek dan Nenek meninggal dalam keadaan tersenyum bahagia kelak,” ucap Feli.

Seketiga Nenek itu ikut tersenyum mendengar ucapan Feli, ia merasa lega dan bahagia karena Feli mengatakan hal demikian.

“Terima kasih, Nak. Cepatlah pulang, hujan sebentar lagi akan turun.”

Feli mengangguk dan bergegas menuju ke parkiran sepedanya.

“Dari mana kamu tahu?” Feli terperanjat kaget saat tiba-tiba suara seorang laki-laki terdengar di samping telinganya, gadis itu reflek menjauh dan langsung menundukkan kepala saat menyadari orang itu adalah Aland.

“Apa maksudmu?” ucap Feli balik tanya.

“Bagaimana kamu tahu jika Nenek itu akan mati dalam keadaan damai bahagia di dalam pelukan anak cucunya?”

Feli membelalakan mata, ternyata laki-laki itu sejak tadi menguntitnya dan mendengar semua yang ia katakan terhadap Nenek tadi.

“Aland, jangan menguntitku!” teriak Feli kesal.

“Ceritakan dulu, bagaimana kamu bisa tahu?”

“Aku tidak tahu dan aku hanya mendoakan Nenek itu semoga ia meninggal dalam keadaan damai dan bahagia di pelukan anak cucunya, kenapa memang? Apa salahnya jika aku berdoa untuk Nenek itu?” jelas Feli. Gadis itu merasa telah menemukan alasan yang tepat untuk menjawab kecurigaan Aland terhadapnya.

“Aku tidak yakin kamu mendoakan Nenek itu,” jawab Aland membuat Feli menghela napas kasar.

“Terserah kamu mau percaya atau tidak bukan urusanku!” teriak Feli.

Gadis itu segera menaiki sepedanya dan mengayuhnya pergi meninggalkan Aland yang masih berdiri mematung di tempat.

Hujan deras mengguyur saat Feli baru saja masuk ke rumahnya, gadis itu merasa lega karena merasa menang dari air hujan.

“Anak Papa sudah pulang?” suara laki-laki paruh baya menghentikan langkah Feli yang hendak menuju ke kamarnya.

“Papa sudah pulang kerja jam segini?” tanya Feli kepada Farhan—Papanya.

“Kantor sedang tidak ada pekerjaan, jadi Papa bisa pulang cepat,” jawab Farhan.

Papa Feli adalah salah satu pegawai di bank, tepatnya ia berada di dalam kantornya. Sementara Mama Feli telah meninggal dua tahun lalu meninggalkan suami dan anak semata wayangnya.

“Baguslah jika begitu, Papa jadi bisa banyak beristirahat.”

Feli tersenyum menatap Papanya yang duduk di kursi dengan selembar koran di tangannya.

“Cepat bersihkan dirimu dan segera makan! Papa membeli masakan padang, ayo kita makan bersama!” ajak Farhan yang diangguki Feli.

Gadis itu segera pergi menuju kamarnya dan melempar tasnya sembarangan ke atas kasur. Feli segera masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri, gadis itu berharap rasa lelahnya bisa ikut hanyut bersama guyuran air di tubuhnya.

Tak lama setelah itu, Feli keluar dari kamar mandi dengan pakaian kasual.

“Feli, ayo makan! Kamu sudah selesai belum?” teriak Farhan dari depan pintu kamar gadis itu.

“Sudah, Pa. Sebentar lagi Feli keluar,” jawab Feli.

Gadis itu segera bergegas keluar dari kamar dan ikut bergabung di meja maka bersama Farhan yang sudah mulai mengambil nasi ke atas piringnya.

“Bagaimana dengan sekolahmu? Apakah lancar?” tanya Farhan terhadap putrinya.

Feli mengangguk sebagai jawaban.

“Apakah kamu sudah memiliki seorang teman?”

Gadis itu terdiam saat mendengar pertanyaan dari Papanya, Feli tidak bisa menjawab karena ia tidak memiliki teman satupun di kelas. Gadis itu bukannya tidak mau berteman, akan tetapi karena ia tidak mau melihat peristiwa kematian dari tatapan matanya mereka yang membuat mood Feli seringkali memburuk jika melihat peristiwa kematian tragis.

“Papa sudah tahu jawabannya, kamu pasti tidak memiliki teman,’kan?” ucap Farhan tahu akan kondisi putrinya itu. Dulunya ia juga kaget saat mengetahui Mama Feli bisa melihat kematian seseorang hanya dengan menatap matanya, dan kemampuan itu saat ini menurun kepada Feli.

“Tetapi sekali-kali kamu juga harus punya teman, Fel. Jangan terus-terusan menyembunyikan diri seperti ini, nikmati masa mudamu!” ucap Farhan yang diangguki oleh anaknya.

"Iya, Pa."

"Karena hujan sudah reda, kita pergi yuk habis ini," ajak Farhan kepada anak semata wayangnya.

"Kemana, Pa?" tanya Feli penasaran.

"Mumpung Papa ada waktu, ayo kita ke makam Mama."

"Ayo!" teriak Feli antusias. Sudah lama sekali rasanya ia tidak pergi ke makam Mamanya itu, terakhir ke sana saat Feli hendak melaksanakan ujian nasional di kelas tiga sekolah menengah pertama. Tandanya ia sudah sebulan lebih tidak datang ke makam ibunya.

“Kita berangkat kapan?” tanya Farhan setelah ia menyingkirkan piringnya yang sudah tidak lagi terisi.

“Sekarang!” teriak Feli.

“Pa, tunggu sebentar ya! Feli mau siap-siap dulu!” ucap gadis itu sambil berlari menuju kamarnya.

Feli mengganti kaos lengan pendeknya dengan kaos lengan panjang berwarna abu-abu, sementara bawahannya ia mengenakan rok plisket berwarna hitam. Gadis itu semakin dewasa semakin mirip dengan ibunya.

Kedua mata Farhan berkaca-kaca saat melihat Feli karena teringat istrinya dulu, dadanyapun semakin sesak saat mengingat pengorbanan istrinya agar ia dan Feli bisa hidup bahagia seperti ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta di Gerbang Kematian   Tidak Pernah Akur

    "Ini buku menunya, kamu mau pesan apa?""Aku mau nasi goreng pedas sama cokelat hangat saja," ucap Feli memberitahu menu yang ia inginkan.Aland segera memanggil pelayan dan memberitahukan pesanannya, pelayan itu segera pergi menyiapkan makanan yang mereka pesan.Sementara rasa canggung seolah memenuhi suasana karena tidak ada di antara mereka yang mengeluarkan suara."Jangan sedih terus!" ucap Aland mencairkan suasana.Sementara Feli hanya menghela napas pelan mendengar ucapan laki-laki itu."Coba ketawa!" perintah Aland membuat Feli menaikkan sebelah alisnya."Coba bikin lelucon biar aku ketawa!" ucao Feli menantang Aland."Ehhh, aku tidak bisa membuat lelucon," jawab Aland jujur."Baiklah, selagi menunggu makanan dan kebetulan sekali kamu menyuruhku untuk tertawa. Makanya kamu harus mencoba leluconku!" ucap Feli membuat Aland merasa curiga dengan perilakunya."Bagaimana itu?" tanya Aland."Coba katakan 'kuku kaki kakak-kakakku kayak kuku kaki kakek-kakekku kaku-kaku' dengan cepat!"

  • Cinta di Gerbang Kematian   Makan Berdua

    “Tenanglah, Om Farhan pasti baik-baik saja.”Air mata Feli masih saja tak bisa dibendung, sesekali ia menyeka air matanya yang belum bisa berhenti. SEmjentara Aland dengan setia menemani gadis itu duduk di sampingnya dan mengusap pelan bahu Feli memberikan kekuatan bagi gadis itu agar tetap tegar.“Aku takut kehilangan Papa,” ucap gadis itu mengungkapkan kekhawatirannya.“Bukankah kamu bisa melihat peristiwa kematian seseorang? Bagaimana dengan Papamu? KAmu bisa melihatnya bukan?” tanya Aland.Gadis itu mengangguk sebagai jawaban, akan tetapi walaupun ia sudah melihat peristiwa kematian Papanya, Feli tetap takut. Anak mana yang tega melihat Papanya sakit-sakitan seperti itu, begitu pula dengan Feli yang tidak tega melihat Papanya terbaring lemah di rumah sakit.“Apakah sudah dekat waktunya?” tanya lagi Aland dengan hati-hati, ia takut jika pertanyaannya akan semakin membuat Feli bersedih.“Aku tidak tahu kapan tepatnya seseorang yang aku lihat kematiannya itu meninggal, aku hanya tahu

  • Cinta di Gerbang Kematian   Kondisi Yang Semakin Memburuk

    Di lain tempat seorang gadis sedang duduk menatap wajah laki-laki paruh baya yang masih memejamkan mata sejak kemarin, Feli ingin sekali menatap mata Papanya itu dan memastikan jika peristiwa kematian Papanya itu masih sama seperti biasanya.Mati dalam keadaan bahagia dan tersenyum, menjadi peristiwa kematian yang paling melegakan yang pernah Feli lihat. Entah kenapa ia tiba-tiba takut jika peristiwa kematian itu akan berubah, namun ia belum pernah mengalami hal itu.“Semua pasti aik-baik saja!” gumam Feli meyakinkan diri sendiri.“Apanya?” Feli menoleh ke arah Farhan yang ternyata telah membuka mata.“Bu-bukan apa-apa, Pa," jawab Feli mencoba menutupi kekhawatirannya.Feli segera menatap manik abu-abu milik Papanya, perlahan ia seolah masuk ke dimensi lain. Feli melihat seorang pria paruh baya yang sedang duduk di kursi goyang dengan kedua tangan yang memegang koran. Manik abu-abu laki-laki itu dilapisi kaca mata dan menatap fokus ke arah koran itu. Feli pun melihat secangkir kopi y

  • Cinta di Gerbang Kematian   Papa Sakit

    “Maaf, Sayang.”“Ada apa? Kenapa Papa bisa masuk ke rumah sakit? Papa tidak pernah cerita sama Feli kalau Papa sakit.”Gadis itu sudah tak lagi bisa membendung air matanya, Aland yang melihat pemandangan itu dari daun pintu ikut terenyuh saat melihat Feli menangis.“Papa baik-baik saja, cuma telat makan.”“Maafin Feli, Pa.”“Ini bukan salahmu sayang, ini murni karena kesalahan Papa karena terlalu sibuk bekerja, sudahlah. Tidak perlu menangis! Kamu tidak malu dilihat oleh Aland sejak tadi?”Gadis itu mulai menyeka air matanya yang membasahi pipi, hatinya sedikit lega karena Papanya ini tidak mengalami sakit yang parah, ia hanya telat makan.Aland berjalan mendekati Papa Feli saat melihat kondisi sudah tenang dan Feli sudah bisa mengendalikan dirinya.“Halo, Om. Semoga Om Farhan lekas sembuh! Maaf karena saya tidak membawa buah tangan apapun,” ucap Aland pelan, ia benar-benar tidak berpikiran untuk membawa buah tangan karena Feli sangat panik tadi. “Tidak apa-apa, Al. Terima kasih kare

  • Cinta di Gerbang Kematian   Mengetahui Sebuah Cerita Kematian

    “Mana ada aku menguntitmu, di sini adalah tempat umum jadi siapapun bisa berada di sini, lagian sekarang hari minggu,” jawab Aland tidak terima dengan tuduhan Feli. Akan tetapi ia sendiri merasa sering bertemu di manapun Feli berada membuat gadis itu berpikiran buruk jika mungkin saja Aland menguntitnya.“Ehhh, Siapa, nih? Feli bukan sih?” suara laki-laki lain yang baru saja datang membuat Feli langsung menundukkan wajahnya. Laki-laki itu adalah teman Aland yang sedang lari pagi bersama, saat ia melihat Aland berhenti berlari dan duduk di sebelah seorang gadis, ia pun ikut berhenti dan menghampiri mereka.“Iya, dia Feli. Feli, kamu sudah kenal dia,’kan? Daren, teman sekelas kita juga,” ucap Aland yang dijawab anggukan kepala oleh gadis itu.“Oh, maaf, Fel. Aku hampir tidak mengenali wajahmu, habisnya kamu selalu menunduk terus kalau di kelas.”Daren langsung menerima sikutan tangan dari Aland memberinya peringatan.“Duluan sana!” ucap Aland pada Daren, namun laki-laki itu justru terse

  • Cinta di Gerbang Kematian   Pembullyan

    Seorang gadis memegangi tangannya yang nyeri akibat berbenturan dengan meja guru. Feli tidak tahu apa kesalahan yang ia lakukan hingga kedua gadis yang berada di hadapannya ini melakukan hal kasar terhadapnya.“Jadi cewek jangan kecentilan, kamu tuh tidak cocok sama Aland!” teriak seorang gadis bersurai coklat.“Kalau diajak ngomong itu lihat lawan bicaramu, kenapa kamu terus-terusan menunduk. Tatap mata aku!”Gadis bersurai coklat itu menarik dagu Feli memaksa gadis itu untuk menatapnya. Feli tidak bisa mengelak, saat ini manik birunya sudah menatap manik cokelat milik gadis bersurai coklat itu.Pada saat itu juga Feli seolah ditarik ke dimensi lain dan melihat keramaian di sekitarnya, gadis itu menatap sekitar ternyata ia berada di halte bus depan sekolah. Saat ini ia bersama para siswa yang sedang menunggu jalanan sepi untuk menyeberang ke gedung sekolah.Dirasa jalanan sepi ada seorang gadis yang melangkah terlebih dahulu, gadis itu adalah gadis bersurai coklat yang ia kenali bern

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status