LOGINBel istirahat telah berbunyi diiringi suara sorakan para siswa yang sangat antusias jika mendengar bel istirahat. Setelah hampir setengah hari berkutat dengan pelajaran dan harus berpikir terus menerus membuat perut mereka lapar. Begitu pula dengan Feli yang bergegas memasukkan buku pelajarannya kembali ke dalam tas, gadis itu mengambil kotak bekal yang ia siapkan dari rumah dan segera beranjak keluar kelas bersamaan dengan siswa lain yang pergi menuju kantin.
Akan tetapi langkah kaki gadis itu tak sama dengan tujuan dari kebanyakan siswa, jika para siswa lainnya lebih memilih ke kantin untuk mengisi perut, Feli justru mencari tempat sepi untuk memakan bekalnya. Langkah kaki gadis itu mantap mencari tempat yang nyaman untuk membuka kotak bekal, entah siapa yang memberitahu kakinya namun saat ini Feli telah berada di atap sekolah lantai tiga yang sepi, hanya ada beberapa tabung dengan baling-baling tertutup. Jika Feli mendekatinya maka akan terasa udara panas keluar dari dalamnya. Benda itu adalah tempat pembuangan udara panas dari AC yang terpasang di ruang guru, akan tetapi udara panas dari tabung itu tidak dapat mengalahkan semilir angin sejuk yang menerpa wajahnya. Hanya di tempat sepi seperti ini Feli bisa leluasa menatap ke depan dan melihat pemandangan sekolahnya dari atas sini. Perlahan gadis itu membuka kotak bekal yang ia bawa dan segera menyantapnya. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Uhukk Uhukk Uhukk Feli tersedak oleh makanannya sendiri saat mendengar suara seorang laki-laki yang entah sejak kapan telah duduk di sampingnya. “Pelan-pelan saja! Aku tidak akan minta jatah makan siangmu,” ucap laki-laki itu sembari menyodorkan sebotol air mineral kepada Feli. Gadis itu tanpa berpikir lama langsung menerima air dari tangan laki-laki itu dan menegaknya hingga tersisa saparuh air di dalam botol itu. “Aland, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Feli balik tanpa menoleh pada laki-laki di sampingnya. “Hey, bukankah itu pertanyaanku?” teriak Aland tidak terima karena pertanyaannya belum dijawab namun gadis di sampingnya ini sudah balik bertanya. “Kamu menguntitku, ya!” ucap Feli. “Yahh, bisa dikatakan seperti itu,” jawab Aland jujur membuat Feli ingin sekali melempar batu ke kepala laki-laki di sampingnya ini. Feli menghela nafas pelan mencoba meredam amarahnya, ia tidak ingin terbawa emosi dan melakukan hal yang seharusnya tidak boleh ia lakukan. “Jika berbicara pada orang tatap mata lawan bicaramu, bukannya menunduk seperti itu!” ucap Aland karena melihat Feli menunduk jika menoleh padanya. “Itu hakku, jangan ikut campur!” Aland menarik kedua sudut bibirnya mendengar kalimat ketus dari Feli, baru kali ini ada seorang gadis yang berbicara seperti itu terhadapnya. Karena biasanya para gadis akan terpesona saat melihat wajahnya dan memuji ketampanan dirinya. Akan tetapi Feli, selain berbicara ketus, gadis itu sama sekali tidak ingin menatap wajah tampannya walau sedetik. Bahkan Aland tidak yakin Feli akan mengenalinya jika ia tidak mengeluarkan suara sedikitpun. “Enakkah?” tanya Aland karena menatap Feli yang lahap memakan bekalnya. “Tentu saja, masakan Ayahku memang yang paling enak setelah masakan ibu.” Ucapan Feli membuat cacing di perut Aland ikut berdemo minta diisi, laki-laki itu mengurungkan niatnya menuju kantin karena melihat Feli melangkah menuju tempat lain. “Kalau lapar ke kantin, jangan menatapku seperti itu!” ucap Feli menyadari jika Aland menatapnya menyantap bekal membuat Feli merasa risih karena terus-terusan ditatap oleh laki-laki itu. "Hmt, baiklah. Ayo ke kantin!" ajak Aland kepada Feli, gadis itu melahap suapan terakhir nasinya sebelum menjawab ucapan Aland. "Sejak kapan kita dekat?" tanya Feli. "Apakah kita harus dekat terlebih dahulu agar aku bisa mengajakmu ke kantin?" tanya balik Aland, laki-laki itu tertarik dengan Feli yang seolah acuh dengan keberadaannya. Berbeda dengan kebanyakan gadis lain yang selalu mengejarnya sementara gadis di sampingnya ini terlihat sangat sulit ditaklukkan. "Tidak perlu, aku tidak ingin dekat denganmu dan tidak ingin pergi ke kantin bersamamu," ucap Feli sebelum beranjak meninggalkan Aland yang masih duduk di tempatnya. Gadis itu telah menyelesaikan makan siangnya, maka dia harus kembali ke kelas untuk mempersiapkan pelajaran selanjutnya. "Sombong sekali gadis itu. Lihat saja, aku akan membuatmu menceritakan semua rahasiamu dan bertekuk lutut di hadapanku seperti gadis lainnya," gumam Aland seorang diri. Bel masuk telah berbunyi, sementara Feli telah siap dengan buku pelajaran di mejanya. Sama halnya dengan Aland yang juga sudah siap, laki-laki itu baru saja mengeluarkan buku pelajarannya dari dalam tas. "Kenapa kamu memilih duduk di sini? Masih ada tempat lain yang kosong,” ucap Feli, saat ini ia mulia berani berbicara kepada Aland. “Itu hakku, jangan ikut campur!” jawab Aland membalik ucapan Feli membuat gadis itu mendengus kesal. Aland adalah satu-satunya orang yang bisa membuat emosinya naik seketika. Pelajaran kembali berlangsung, kali ini adalah pelajaran matematika. Semua murid menatap ke papan tulis untuk melihat penjelasan dari guru yang berdiri di depan kelas, berbeda dengan Aland yang sesekali mencuri pandang pada seorang gadis yang duduk di sampingnya. Setiap gerak gerik yang Feli lakukan ia lihat dengan intens, entah mengapa ia merasa curiga dengan segala tingkah laku gadis itu. “Aland, coba kerjakan tugas nomor tiga!” ucap guru matematika yang masih berdiri di depan kelas. Sementara Aland tergagap karena ia sedang tidak fokus ke pelajaran yang sedang berlangsung. “I-iya, Pak.” Laki-laki itu berjalan kedepan dan berdiri tepat di depan papan tulis putih dengan sebelah tangannya yang memegang spidol. Sangat lama sekali Aland menatap papan tulis itu membuat guru matematika dan teman sekelas menunggunya untuk mengerjakan soal tersebut. “Ayo cepat kerjakan!” ucap guru matematika itu karena Aland masih saja menatap soal nomor tiga tanpa melakukan pergerakan sedikitpun. “Ma-maaf, Pak. Saya belum paham dengan rumusnya,” jawab laki-laki itu jujur, terdengar suara tawa dari teman sekelas membuat guru matematika itu memberi kode agar mereka tetap tenang. “Lalu apa yang kamu lakukan sejak tadi? Apakah kamu tidak memperhatikan saat saya menjelaskan di depan kelas?” Aland terdiam karena tidak bisa menjawab ucapan guru matematika itu, ia saat ini sungguh terpojok karena ia memang benar sejak tadi tidak memperhatikan pelajaran dan lebih sering memperhatikan gerak gerik Feli yang hanya duduk diam menatap ke papan tulis putih. “Maaf, Pak,” ucap Aland merasa bersalah terhadap guru matematika. “Baiklah, sebagai hukuman saya akan memberimu tugas mengerjakan soal nomor 3 di rumah, kamu harus mengumpulkannya besok pagi ke ruangan saya!” ucap guru matematika yang diangguki Aland, ia menyesali perbuatannya."Ini buku menunya, kamu mau pesan apa?""Aku mau nasi goreng pedas sama cokelat hangat saja," ucap Feli memberitahu menu yang ia inginkan.Aland segera memanggil pelayan dan memberitahukan pesanannya, pelayan itu segera pergi menyiapkan makanan yang mereka pesan.Sementara rasa canggung seolah memenuhi suasana karena tidak ada di antara mereka yang mengeluarkan suara."Jangan sedih terus!" ucap Aland mencairkan suasana.Sementara Feli hanya menghela napas pelan mendengar ucapan laki-laki itu."Coba ketawa!" perintah Aland membuat Feli menaikkan sebelah alisnya."Coba bikin lelucon biar aku ketawa!" ucao Feli menantang Aland."Ehhh, aku tidak bisa membuat lelucon," jawab Aland jujur."Baiklah, selagi menunggu makanan dan kebetulan sekali kamu menyuruhku untuk tertawa. Makanya kamu harus mencoba leluconku!" ucap Feli membuat Aland merasa curiga dengan perilakunya."Bagaimana itu?" tanya Aland."Coba katakan 'kuku kaki kakak-kakakku kayak kuku kaki kakek-kakekku kaku-kaku' dengan cepat!"
“Tenanglah, Om Farhan pasti baik-baik saja.”Air mata Feli masih saja tak bisa dibendung, sesekali ia menyeka air matanya yang belum bisa berhenti. SEmjentara Aland dengan setia menemani gadis itu duduk di sampingnya dan mengusap pelan bahu Feli memberikan kekuatan bagi gadis itu agar tetap tegar.“Aku takut kehilangan Papa,” ucap gadis itu mengungkapkan kekhawatirannya.“Bukankah kamu bisa melihat peristiwa kematian seseorang? Bagaimana dengan Papamu? KAmu bisa melihatnya bukan?” tanya Aland.Gadis itu mengangguk sebagai jawaban, akan tetapi walaupun ia sudah melihat peristiwa kematian Papanya, Feli tetap takut. Anak mana yang tega melihat Papanya sakit-sakitan seperti itu, begitu pula dengan Feli yang tidak tega melihat Papanya terbaring lemah di rumah sakit.“Apakah sudah dekat waktunya?” tanya lagi Aland dengan hati-hati, ia takut jika pertanyaannya akan semakin membuat Feli bersedih.“Aku tidak tahu kapan tepatnya seseorang yang aku lihat kematiannya itu meninggal, aku hanya tahu
Di lain tempat seorang gadis sedang duduk menatap wajah laki-laki paruh baya yang masih memejamkan mata sejak kemarin, Feli ingin sekali menatap mata Papanya itu dan memastikan jika peristiwa kematian Papanya itu masih sama seperti biasanya.Mati dalam keadaan bahagia dan tersenyum, menjadi peristiwa kematian yang paling melegakan yang pernah Feli lihat. Entah kenapa ia tiba-tiba takut jika peristiwa kematian itu akan berubah, namun ia belum pernah mengalami hal itu.“Semua pasti aik-baik saja!” gumam Feli meyakinkan diri sendiri.“Apanya?” Feli menoleh ke arah Farhan yang ternyata telah membuka mata.“Bu-bukan apa-apa, Pa," jawab Feli mencoba menutupi kekhawatirannya.Feli segera menatap manik abu-abu milik Papanya, perlahan ia seolah masuk ke dimensi lain. Feli melihat seorang pria paruh baya yang sedang duduk di kursi goyang dengan kedua tangan yang memegang koran. Manik abu-abu laki-laki itu dilapisi kaca mata dan menatap fokus ke arah koran itu. Feli pun melihat secangkir kopi y
“Maaf, Sayang.”“Ada apa? Kenapa Papa bisa masuk ke rumah sakit? Papa tidak pernah cerita sama Feli kalau Papa sakit.”Gadis itu sudah tak lagi bisa membendung air matanya, Aland yang melihat pemandangan itu dari daun pintu ikut terenyuh saat melihat Feli menangis.“Papa baik-baik saja, cuma telat makan.”“Maafin Feli, Pa.”“Ini bukan salahmu sayang, ini murni karena kesalahan Papa karena terlalu sibuk bekerja, sudahlah. Tidak perlu menangis! Kamu tidak malu dilihat oleh Aland sejak tadi?”Gadis itu mulai menyeka air matanya yang membasahi pipi, hatinya sedikit lega karena Papanya ini tidak mengalami sakit yang parah, ia hanya telat makan.Aland berjalan mendekati Papa Feli saat melihat kondisi sudah tenang dan Feli sudah bisa mengendalikan dirinya.“Halo, Om. Semoga Om Farhan lekas sembuh! Maaf karena saya tidak membawa buah tangan apapun,” ucap Aland pelan, ia benar-benar tidak berpikiran untuk membawa buah tangan karena Feli sangat panik tadi. “Tidak apa-apa, Al. Terima kasih kare
“Mana ada aku menguntitmu, di sini adalah tempat umum jadi siapapun bisa berada di sini, lagian sekarang hari minggu,” jawab Aland tidak terima dengan tuduhan Feli. Akan tetapi ia sendiri merasa sering bertemu di manapun Feli berada membuat gadis itu berpikiran buruk jika mungkin saja Aland menguntitnya.“Ehhh, Siapa, nih? Feli bukan sih?” suara laki-laki lain yang baru saja datang membuat Feli langsung menundukkan wajahnya. Laki-laki itu adalah teman Aland yang sedang lari pagi bersama, saat ia melihat Aland berhenti berlari dan duduk di sebelah seorang gadis, ia pun ikut berhenti dan menghampiri mereka.“Iya, dia Feli. Feli, kamu sudah kenal dia,’kan? Daren, teman sekelas kita juga,” ucap Aland yang dijawab anggukan kepala oleh gadis itu.“Oh, maaf, Fel. Aku hampir tidak mengenali wajahmu, habisnya kamu selalu menunduk terus kalau di kelas.”Daren langsung menerima sikutan tangan dari Aland memberinya peringatan.“Duluan sana!” ucap Aland pada Daren, namun laki-laki itu justru terse
Seorang gadis memegangi tangannya yang nyeri akibat berbenturan dengan meja guru. Feli tidak tahu apa kesalahan yang ia lakukan hingga kedua gadis yang berada di hadapannya ini melakukan hal kasar terhadapnya.“Jadi cewek jangan kecentilan, kamu tuh tidak cocok sama Aland!” teriak seorang gadis bersurai coklat.“Kalau diajak ngomong itu lihat lawan bicaramu, kenapa kamu terus-terusan menunduk. Tatap mata aku!”Gadis bersurai coklat itu menarik dagu Feli memaksa gadis itu untuk menatapnya. Feli tidak bisa mengelak, saat ini manik birunya sudah menatap manik cokelat milik gadis bersurai coklat itu.Pada saat itu juga Feli seolah ditarik ke dimensi lain dan melihat keramaian di sekitarnya, gadis itu menatap sekitar ternyata ia berada di halte bus depan sekolah. Saat ini ia bersama para siswa yang sedang menunggu jalanan sepi untuk menyeberang ke gedung sekolah.Dirasa jalanan sepi ada seorang gadis yang melangkah terlebih dahulu, gadis itu adalah gadis bersurai coklat yang ia kenali bern







