Sang Dokter mengangguk. “Iya, dulu sewaktu SMA kami bersahabat cuman setelah lulus, hilang kontak setelah itu saya juga sibuk dengan kuliah dan kesibukan yang lain.”
Sekarang Ziya sudah mengingat dengan penjelasan itu dan mendadak ingatannya langsung kembali. “Dokter namanya Resti ya?”
Sang Dokter mengangguk pasti dengan berucap. “Iya.” Seolah melupakan tujuannya untuk memeriksa Ziya, Dokter Resti malah melanjutkan obrolannya. “Apakah, Zoya sudah tahu keadaan kamu seperti ini?”
Kienan dan Ziya saling bertatapan. Sama saja membuka luka lama kalau mereka masih mengingat Zoya. Dan di sudut lain sang Dokter masih menunggu jawaban hingga dia memberikan pernyataan. “Ah, mungkin kalian tidak sedekat itu ya? Sampai tidak mau memberitahu Zoya,” akunya dengan menaikkan sebelah alisnya.
“Maksud Dokter apa bicara seperti itu, apakah anda tahu siapa sebenarnya Zoya hingga memberikan penilaian seperti it
Di sudut lain, tempat yang sama.Seorang pria masih terbaring belum sadarkan diri. Ya, pria itu adalah Biantara Mahesa. Sejak dilarikan ke rumah sakit kondisinya belum ada kemajuan yang membaik. Kemungkinan karena lukanya lebih serius dari Ziya. Pihak rumah sakit juga sudah menghubungi keluarganya, cuman sampai sekarang kedua orang tuanya belum datang.Saat ini Bian masih menempati ruang ICU. Dokter juga memantau terus denyut jantungnya karena pernah sangat melemah sekali. Benturan keras di kepalanya yang membuat kesadarannya melambat. Dokter juga masih memantau apa ada gejala lain yang akan ditimbulkan.“Dok, ini hasil rongent-nya,” ucap Dokter yang baru saja masuk ruangan itu seraya memberikan amplop berwarna coklat kepada Dokter atasannya yang berada di dalam ruangan itu.Dokter itu langsung menerimanya. Kemudian langsung membuka karena itulah yang sedang ditunggunya. pandangannya mulai serius, memahami gambar itu. Di gambar itu adalah gamb
Kienan mendekat merasa tidak mengenal seorang Ibu yang sedang berdiri dan menatap aneh pada sang istri. Meskipun apapun alasannya itu tidak dibenarkan karena bisa menganggu kenyamanan pasien.“Apa kita saling mengenal hingga Anda bisa memberikan penilaian seperti itu pada kami?”Sang Ibu tersebut tampak menyunggingkan senyum sinisnya seraya berkata. “Siapa lagi pria ini? Apa kamu punya hobby mengoleksi pria sehingga tidak cukup hanya satu saja, hah?”“Stop!” sentak Kienan karena ucapan wanita itu sudah melewati batas sopan. “Anda tidak berhak menilai seseorang seperti itu. Atau saya bisa tuntut Ibu atas tuduhan perbuatan tidak menyenangkan.”“Ma, sudahlah kita di sini untuk melihat anak kita bukan mencari keributan apalagi masalah,” sela Martin di sebelahnya yang tidak mau memperbesar masalah, meskipun dia kecewa terhadap kondisi Bian tapi dia masih bisa berpikir dengan waras. “Kamu tidak i
Sesuai anjuran sang Dokter akhirnya hari ini dilakukan operasi Bian. Sudah tiga jam yang lalu dimulai dan sekarang belum selesai. Sementara sepasng suami istri sedang menunggu di depan ruang operasi dengan wajah yang tegang. Hanya doa yang tersemat di bibirnya, mengharapkan kesembuhan sang putra agar bisa berkumpul kembali.“Pa, kalau Bian tidak bisa bangun lagi bagaimana?” ucapnya sedih sambil pandangannay tertuju pada pintu kamar operasi. Matanya yang semakin bengkak, entah sudah berada lama dia selalu terisak meratapi sang putra. “Lagian dia kenapa harus memilih wanita itu, apa hebatnya dia sudah punya anak tapi tidak ada suaminya,” gerutunya masih membawa-bawa Ziya.Tanpa Bianka tahu bahwa Kienan mendengar hinaan terhadap istrinya. Kalau saja tidak di rumah sakit dia pasti akan meladeni ucapan itu. “Permisi, apa saya bisa bicara sebentar?”Bianka dan Martin langsung menoleh ke sumber suara. Kienan langsung mengambil
“Mas, boleh ya aku jenguk Mas Bian?”Ini adalah pertanyaan Ziya yang kesekian kalinya karena Kienan tidak juga menjawabnya.Bukan tanpa alasan pria itu tidak mengijinkan tapi karena sikap kedua orang tua Bian yang tidak bisa menerima Ziya dengan baik.Pembicaraannya kemarin dengan orang tua Bian juga tidak berjalan mulus, apalagi kalau Ziya mengunjungi Bian pasti mereka akan langsung mengusirnya. Dan Kienan tidak mau istrinya itu bersedih mendapatkan perilaku yang tidak baik seperti itu.“Jangan bilang kalau Mas cemburu!” cibir Ziya tersenyum mengoda.“Kenapa harus cemburu, hmm? Kan Mas sudah miliki kamu, ah ... belum seutuhnya sih,” ucap Kienan sambil menaik turunkan kedua alisnya untuk mengoda istrinya itu.“Ih ... ngomong apaan sih! Gak nyambung deh,” gerutu Ziya namun sudah cukup berhasil membuat wajahnya merah merona.“Kenapa malu? Mas jadi pengen segera menjadikanmu istri seu
“Ziya, Tegar menangis itu,” beritahu Kienan. Lelaki itu sudah tidak tahan mendengar tangisan Tegar yang tidak juga berhenti. Tanpa dia tahu kalau Ziya sebenarnya tidak mendengar tangisan itu karena semua pikirannya dipenuhi oleh sosok Bian.Sejak mereka keluar dari kamar Bian, Kienan yang mengendongnya ke kamar, Ziya seperti orang hilang linlung. Yang wanita itu lakukan sepanjang malam hingga pagi hanya melamun saja tanpa mau melakukan apa-apa. Bahkan tidur saja hanya beberapa saat.Tidak ada sahutan dari Ziya akhirnya Kienan berdiri menuju ranjang Tegar, mengambil anaknya yang masih saja menangis. Menoleh ke arah Ziya, istrinya itu masih saja melamun. Sekuat tenaga Kienan tidak marah bahkan dia menganggap Ziya hanya melakukan bentuk protes saja karena telah dipaksa keluar dari kamar Bian.“Sayang, Tegar kamu gendong dulu ya. Mas mau buat susu.”Tanpa menunggu lagi, Tegar langsung diletakkan Kienan di pangkuan Ziya. Kemudian menuju
“Jadi bagaimana, Dok?” tanya Kienan pada Dokter yang menangani Ziya. “Apa istri saya bisa saya bawa pulang hari ini?”Setelah kejadian tadi malam, Kienan tidak mau membuat Ziya semakin terpuruk. Jalan satu-satunya adalah membawa Ziya pergi dari tempat ini atau tempat di mana dia bisa mendapatkan suasana baru dan pastinya tempat yang jauh agar tidak bertemu kembali dengan Bian.“Kien ... sabar, kamu harus tenang ya?” ujar Mommy Kiara sembari mengambil Tegar dalam gendongan putranya yang sedang tampak kacau itu. “Sini, Tegar biar sama Mommy.”“Baiklah, bisa saja tapi tolong dijaga ya!” balas sang Dokter pada akhirnya menuruti keinginan Keinan karena pria itu sedikit memaksa. “Setelah nanti siang sudah bisa pulang dan jangan lupa tolong ditanda tangani surat permintaan pulang.”“Alhamdulillah. Terima kasih, Dokter,” ujar Kienan menarik sudut bibirnya membentuk senyuman. Lalu
Setelah pemeriksaan Dokter yang terakhir, akhirnya Ziya diijinkan pulang. Kienan berkemas-kemas untuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Sementara Ziya tidak ijinkan Kienan untuk melakukan apapun. Mommy Kiara sendiri yang bertugas mengurusi Tegar.Ziya dapat merasakan kalau interaksinya bersama Tegar berkurang banyak, makanya dia ingin mengendong anaknya itu. “Tegar, sama Bunda, ya?” ucapnya sambil mengulurkan tangannya agar dapat diiraih olenya.Kienan yang mendengar itu tidak tinggal diam, segera dia menghampiri Ziya dan mengendongnya. “Mas, koq aku digendong?” protes Ziya.Kienan mendudukan Ziya di sofa. “Bunda, tunggu di sini saja ya! Biarkan Ayah yang berkemas dan kita akan pulang setelahnya, oke!” ucapnya lalu mencuri ciuman di bibir Ziya sebelum melanjutkan aktivitasnya lagi.“Iya, sayang. Biar Tegar bisa dekat sama Mommy juga kan!” sahut Kiara yang dari tadi memperhatikan kedua orang ini salin
Sadar diperhatikan oleh Kienan, Martin buru-buru meralat ucapannya itu, “Ah, maksud saya Tegar sudah saya anggap seperti cucu sendiri. Bian mencintai Ziya, jadi pasti Bian juga menyayangi Tegar dan saya hanya melakukan yang putra saya lakukan.”Sebenarnya jawaban Martin tidak tepat buat Kienan namun karena ingin segera menyelesaikan permasalahannya, Kienan memilih tidak peduli dengan ucapan itu. “Asal jangan anggap Tegar seperti cucu Anda sendiri karena ... Tegar adalah cucu Mommy saya,” sahut Kienan sinis.“Mas ...!” panggil Ziya lembut. Seakan paham arti panggilan itu, Kienan memilih tidak memperpanjangnya.“Kamu yakin mau masuk, sayang?” tanya Kienan sekali lagi, melihat wajah Ziya yang sedikit pucat.“Mas, aku hanya cemas saja. Asalkan kamu di samping aku, aku akan kuat.”“Oke.”Satu tangan Kienan menuntun istrinya dan tangan yang lain membuka handle pintu kamar ters