Mila merangkul suaminya dengan penuh kasih sayang. Ditepuk-tepuknya pundak laki-laki yang dicintainya itu dengan lembut. “Sudahlah, Mas. Tak ada gunanya menyesali masa lalu. Pernikahan Theresia dan Jonathan terjadi atas kehendak Tuhan. Kalau tidak, masa bisa bertahan selama sepuluh tahun! Ingatlah, kalau jodoh tak akan lari ke mana. Buktinya…hubungan kita sendiri sudah putus dan masing-masing menikah dengan orang lain. Siapa sangka, puluhan tahun kemudian kita bertemu kembali dalam keadaan sudah sama-sama menjadi duda dan janda. Benar, kan?”
Simon manggut-manggut membenarkan. Direngkuhnya istri tercintanya dalam pelukannya sambil berbisik mesra, “Terima kasih mau menerimaku kembali, Sayang.”
Mila tersenyum bahagia sambil berkata, “Sama-sama, Mas.”
Sepasang suami-
Jonathan jadi gelagapan sendiri. Mati aku! Berdua dengan Karin pergi ke mal? Wah, batinnya deg-degan.Gadis yang namanya disebut-sebut justru menyahut dengan ekspresi tak berdosa, “Iya, Pak. Bukankah Bapak tadi sudah mengajak saya?”Jonathan mati kutu. Ia sudah tak bisa berkutik lagi. Dengan berat hati bos besar itu mengangguk setuju. “Sepuluh menit lagi kita berangkat ya, Karin.”“Siap, Pak.”Mudah-mudahan nanti nggak ketemu Bastian atau Mimin di D-Mall, batinnya was-was. Mereka biasanya sore hari sudah ngendon di gym. Beda denganku yang petang hari biasanya baru tiba di sana.
“Oh, ok. Maafkan aku sudah mengganggu.” Karin mengangguk dan kemudian berpaling pada Jonathan. “Mari kita keluar, Pak.” Jonathan mengangguk dan tersenyum untuk berpamitan kepada pemuda yang menyapa Karin tadi. Teman Karin yang bernama Eric itu balas mengangguk dan melihat kedua orang tersebut berjalan menghilang dari kerumunan pengunjung pameran. Kemudian dia menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perasaan gundah. Dikepalkannya kedua tangannya kuat-kuat. Kapan kamu akan memaafkanku, Karin? batinnya merana. Aku sudah menuai benih buruk yang kutabur. Apakah tak ada kesempatan lagi bagiku untuk bersatu kembali denganmu? *** “Siapa itu, Karin? Temanmu?” tanya Jonathan begitu mereka sudah berada di luar aula pameran. Sekretarisnya termenung sejenak lalu menjawab pelan,
“Mbak Mina itu orangnya lucu ya, Pak. Rame kalau ada dia,” ujar Karin ketika dia dan bosnya sudah berada di dalam mobil. Jonathan yang mengemudikan mobil sementara sekretarisnya itu duduk di jok sebelahnya.“Hehehe…, kamu suka sama dia, Rin?”“Iya. Orangnya baik dan apa adanya. Tadi dia cerita kalau dia, Bapak, sama satu orang lagi sering nge-gym bareng.”“Bastian. Dia sahabatku sejak kecil.”“Oh, senang ya Pak, punya teman-teman yang baik.”“Yah, aku bersyukur sekali, sih. Terkadang kawan-kawan di
“Tapi kalau misalnya ada orang yang memberitahunya tentang Mina gimana? Apa nggak tambah berabe?” “Siapa yang akan bilang? Aku cuma kenal kamu sama Mimin di sini. Masa kalian tega ngancurin rumah tanggaku?” “Ya nggak-lah, Bro. Tapi kita kan rutin datang kemari. Takutnya ada teman istrimu yang melihat dan melaporkan padanya. Itu kemungkinan terburuk yang bisa kupikirkan, sih. Mudah-mudahan saja nggak terjadi.” Jonathan mengangguk setuju. Jangan sampai hal itu terjadi, harapnya dalam hati. Bisa bubrah beneran rumah tanggaku nanti! *** Suatu hari Jonathan pergi memantau perusahaan propertinya. Karin ikut serta bersamanya. Gadis itu kini sudah terbiasa menangani sebagian besar peker
“Buktinya kamu nggak ngomong apa-apa waktu itu!” “Karena kamu sedang terburu-buru,” sergah Eric berusaha menjelaskan. “Kamu juga kelihatannya nggak suka melihatku. Jadinya kubiarkan kamu pergi.” Karin tercenung untuk beberapa saat lamanya. Ia tak tahu harus berkata apa. Tiba-tiba ponselnya berbunyi dan dilihatnya tulisan Bos Jonathan tertera pada layarnya. Segera diterimanya panggilan telepon itu. “Halo, Pak Jon?” “Maaf mengganggu, Karin. Tapi meeting kita akan dimulai sepuluh menit lagi. Bisakah kamu segera datang ke ruang meeting? Di lantai dua. Kamu bisa menanyakannya pada satpam di lobi kalau bingung.” &
Tiba-tiba Karin merasa malu sendiri dengan pertanyaan yang spontan dilontarkannya tadi. Wajahnya tersipu. Joshua tertawa geli melihatnya. Dia menjawab ringan, “Kuanggap begitu, sih. Boleh, nggak?”“Oh, ten..tentu saja boleh, Pak,” sahut Karin terbata-bata. “Saya justru merasa sangat terhormat.”“Kalau Eric?”Gadis itu terdiam sejenak. Lalu dia berkata pelan, “Eric sudah menjadi bagian dari masa lalu saya, Pak.”“I see. Tapi dia kelihatannya nggak beranggapan demikian.”“Itu urusannya sendiri. Bagi sa
Pada suatu pagi yang cerah, Simon dan Mila sedang menikmati sarapan bersama istrinya di rumah Theresia. “There belum bangun, ya?” tanya pria tua itu kepada istrinya. “Bukankah nanti dia ada jadwal konseling dengan psikiater?” “Sebentar, Mas. Aku coba lihat di kamarnya dulu,” jawab Mila seraya bangkit berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju ke kamar anak tirinya. Wanita itu mengetuk pintu kamar pelan sambil memanggil nama si empunya kamar. Beberapa kali dilakukannya hal itu tapi tidak ada jawaban dari dalam. Lalu diberanikannya untuk membuka pintu dan menengok ke dalam. “There…,” ucapnya pelan. Ruangan itu gelap. Dilihatnya tempat tidur masih ada penghuninya dan berselimutkan bed cover. Perempuan yang berbaring di atas ranjang masih memejamkan mata dan tak bereaksi apapun. Mila berinisiatif mendekati Theresia dan bertanya lembut, “There, bukankah pagi ini kamu ada jadwal konseling dengan psikiater?” Yang ditanya masih memejamkan matanya. Tiba-tiba dia mengerang pelan. Ked
“Bu Theresia cocok dengan mama tirinya?” “Sepertinya nggak terlalu. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena papanya kan butuh pendamping hidup di masa tuanya.” “Oh, begitu.” “Kamu kenapa begitu tertarik dengan kehidupan keluarga Pak Jon?” tanya Rosa curiga. Keponakannya jad gelagapan dibuatnya. “Eng….nggak kok, Tante. Cuma sebentar lagi Karin kan ditinggal Tante kerja di sini sendirian. Jadi Karin perlu tahu lebih mendalam tentang Pak Jon dan keluarganya. Supaya nanti tidak salah sebut kalau bertemu.” “Oh, begitu.” &n