“Aku pakai baju ini bagus nggak, Mas?”
“Bagus. Cantik kok, Sayang.”
“Apa nggak kependekkan roknya?”
“Nggak, kok. Kaki kamu kelihatan langsing dan putih kok, pakai rok jeans itu.”
“Sungguh?”
“Sungguh, Sayangku. Buat apa aku bohong?”
“Tapi aku kurang pede, Mas. Umurku udah tiga puluh tiga tahun. Udah kalah keren sama cewek-cewek umur dua puluhan yang suka jalan-jalan ke mal pakai rok mini.”
“Lho, buat apa kamu membanding-bandingkan dirimu dengan gadis-gadis bau kencur itu?
Kamu kan punya style-mu sendiri, Yang.”
“Jadi benar nggak apa-apa aku pergi nonton pakai rok mini ini?”
“Nggak terlalu mini, kok. Keren, seksi. Aku suka.”
“Ah, dasar kamu ganjen.”
Theresia tersenyum manja pada suaminya. Kelihatan jelas dia senang sekali mendengar pujian Jonathan tadi. Suaminya sendiri sebenarnya tidak berbohong. Istrinya yang pada dasarnya sudah cantik itu memang tampak keren dan seksi mengenakan blus warna kuning dan rok mini berbahan jeans tersebut.
Mereka berdua lalu berjalan sambil bergandengan tangan menuju ke mobil yang diparkir di carport rumah. Jonathan terkejut ketika istrinya tiba-tiba mengecup pipinya di dalam mobil. “Thanks a lot, Mas. Udah mau nemenin aku menonton film. Padahal kamu nggak begitu suka Brad Pitt, kan?”
Laki-laki itu menjawab dengan terharu, “Ya bukannya nggak suka, Yang. Biasa aja. Kamu kan tahu aku lebih suka George Clooney. Tapi kalau adanya sekarang film Brad Pitt juga nggak apa-apa. Yang penting kamu senang.”
Theresia tersenyum senang. Coba kalau setiap hari mood-mu sebaik ini, Sayang. Nonton film apapun juga aku nggak akan keberatan, cetus Jonathan dalam hati.
Sepanjang perjalanan menuju ke Q-Mall, pasangan suami istri itu bercakap-cakap dengan rileksnya. Bahan pembicaraannya apa saja, termasuk mengenai Karin yang akan menggantikan posisi tantenya sebagai sekretaris Jonathan satu setengah bulan lagi.
“Untung ya Mas, sudah ada pengganti Bu Rosa. Keponakannya sendiri pula. Kredibilitasnya lebih tepercaya.”
“Betul, Yang. Aku juga bersyukur. Dia hari ini sudah kuwawancara setelah sebelumnya menjalani psikotes dan wawancara oleh kepala HRD. Anaknya sopan. Dandanannya juga nggak menor seperti gadis-gadis jaman sekarang. Kemampuan bahasa Inggrisnya juga bagus. Dia juga sudah setahun belakangan ini bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan distributor kertas. Jadi kurasa Bu Rosa nanti juga tidak akan kesulitan membimbingnya.”
Theresia mengangguk setuju. Dia percaya pada kredibilitas Rosa yang telah lama bekerja sebagai sekretaris pribadi ayahnya dulu sebelum suaminya. Oleh karena itu orang yang direkomendasikan perempuan itu untuk menggantikan posisinya juga kemungkinan besar mempunyai kredibilitas yang setara.
Tak lama kemudian mobil yang dikemudikan Jonathan sampai di parkiran gedung Q-Mall. Ia dan istrinya lalu turun sambil bergandengan dengan mesra bagaikan pasangan pengantin baru. Jonathan membukakan pintu masuk mal dan seperti biasa membiarkan Theresia masuk duluan. Selanjutnya mereka berdua kembali bergandengan tangan dan berjalan menuju ke gedung bioskop.
Setelah memasukkan kode booking mereka di mesin otomatis yang tersedia di depan pintu masuk, keluarlah secara otomatis dua lembar tiket yang tadi sore sudah dipesan Jonathan melalui aplikasi ponselnya. Lalu pasangan suami-istri tersebut melangkah menuju kedai bioskop untuk membeli makanan ringan.
Tiba-tiba ada seorang perempuan muda yang menyapa Jonathan dengan ramah, “Hai, Jon. Apa kabar?”
Jonathan menatap perempuan tak dikenal itu dengan heran. Siapa ya, orang ini? Sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi di mana, ya? pikirnya penuh tanda tanya.
“Maaf, siapa ya?”
“Ya ampun! Kamu lupa ya, sama aku? Apa aku udah kelihatan tua?”
“Maaf, saya orangnya agak pelupa.”
“Aku Mina, Jon. Teman SMA-mu dulu. Yang sering duduk sebangku sama kamu itu, lho. Dulu kamu kan suka meminjam catatanku kalau nggak masuk sekolah.”
Jonathan seketika teringat kembali.
“Mina Sunyoto? Yang biasa kupanggil Mimin, kan?”
Wanita berambut lurus pendek yang disemir warna pirang itu mengangguk senang.
“Akhirnya kamu ingat padaku, Jon! Hahaha…. Udah lama ya, kita nggak ketemu. Sejak lulus SMA. Kamu tinggal di mana sekarang? Kerja apa?”
“Aku tinggal di dekat sini. Kerja di perusahaan cat. Oya, kenalkan ini istriku,” jawab Jonathan ramah seraya berpaling pada Theresia yang sejak tadi diam saja di sebelahnya.
Mina tersenyum ramah dan mengulurkan tangannya pada istri Jonathan itu. Theresia tersenyum sinis sambil menyalami kawan lama suaminya itu sekilas. Ia tidak menyebutkan namanya sama sekali. Terlihat jelas dari raut mukanya bahwa dia tidak suka pada Mina. Jonathan yang menyadari hal itu mulai merasa agak canggung. Sementara Mina dengan santainya menyebutkan namanya seolah-olah tidak merasakan kejanggalan yang terjadi.
“Minta nomor ponselmu dong, Jon. Biar kalau ada reuni dengan teman-teman SMA bisa kuhubungi.”
“Ehm, sori. Ponselku barusan hilang. Aku belum beli nomor baru,” kilah Jonathan beralasan. Padahal dia takut pada Theresia. Bisa berabe nanti kalau aku bertukar nomor ponsel dengan Mina, gumamnya dalam hati.
“Kalau begitu minta nomor istrimu saja, ya. Berapa?”
Theresia segera bersuara, “Maaf, filmnya udah mau main. Kami permisi dulu, ya. Ayo, Mas. Kita bisa terlambat nanti.”
Jonathan mengangguk dan segera berpamitan pada kawan lamanya itu. Aduh, keluhnya dalam hati. Aku tadi sudah senang sekali mood Theresia hari ini baik sekali. Kok bisa tiba-tiba bisa ketemu kawan lama di sini? Perempuan pula!
Diliriknya istrinya yang menggamit lengan kirinya dengan erat sekali seolah-olah hendak menunjukkan statusnya sebagai istri sah Jonathan. Hukuman bagiku akan segera tiba, batin laki-laki itu pasrah.
***
“Aku ingin makan popcorn, Mas,” kata Theresia ketika film baru dimulai lima belas menit.
“Oh, ok. Aku belikan dulu ya, Sayang. Minumannya apa? ”
“Air mineral nggak dingin aja.”
“Ok. Tunggu, ya,” ujar Jonathan lembut. Dengan sigap dia segera turun ke bawah untuk membelikan pesanan istri tercintanya.
Tak berapa lama kemudian laki-laki itu naik sambil membawa sebuah kotak besar berisi popcorn dan kantung plastik berisi dua botol air mineral tidak dingin.
“Ini, Sayang,” ujarnya sembari menyodorkan kotak popcorn kepada Theresia.
“Rasa apa, Mas?”
“Campur. Asin dan manis.”
“Aku mau yang manis aja, Mas. Tolong belikan lagi.”
Jonathan terkejut. “Lalu yang ini bagaimana, Yang? Bukankah kamu biasanya suka makan campur asin dan manis?”
“Sekarang udah nggak lagi.Aku cuma mau manis aja. Ukuran kecil aja.”
“Ya udah kalau begitu. Aku belikan yang manis ukuran kecil, ya. Mau beli apa lagi?”
“Nggak ada. Cukup itu aja.”
“Baiklah.”
Suami yang berusaha bersikap tabah menghadapi istrinya itu lalu melangkah gontai turun lagi ke bawah. Sepertinya hukumanku sudah dimulai, pikirnya pasrah.
Beberapa saat kemudian dia sudah kembali dengan membawa sekotak kecil popcorn manis pesanan istrinya. Theresia langsung memakannya dengan lahap tanpa mengucapkan terima kasih. Jonathan yang sudah terbiasa dengan sikap istrinya kalau sedang tidak mood itu tidak menaruh di dalam hati. Disandarkannya punggungnya pada sandaran kursi bioskop yang empuk seraya menikmati popcorn campur asin-manis dan film yang alur ceritanya sudah tidak dipahaminya lagi.
"Terima kasih, Min," sahut Jonathan sembari menerima uluran tangan sahabatnya. Suasana mulai diliputi keharuan."Kudoakan Valentina segera memperoleh kesembuhan,Bro," kata Bastian sembari menepuk-nepuk bahu kawan baiknya itu. "Jadi kalian sekeluarga bisa cepat kembali ke negeri ini dan kita bersama-sama mengembangkan kantor ini lagi.""Thanks a lot, Bro."Begitulah ketiga orang itu kemudian saling berpelukan. Hati mereka terenyuh sekali. Mina sampai menitikkan air mata. Dia sangat menyayangi Jonathan layaknya saudara sendiri. Kepergiannya kali ini yang entah sampai kapan membuatnya merasa sangat kehilangan.Keesokkan harinya Bastian dan Mina mengadakan acara perpisahan kecil-kecilan di kantor. Mereka memesan sejumlah hidangan prasmanan untuk disantap bersama. Jonathan berpidato singkat di hadapan segenap anak buahnya. Dia mengucapkan terima kasih atas kerja keras mereka
"Aku senang sekali bertemu Karin, Mas. Terima kasih sudah membawanya padaku," ucap Theresia lirih. Seulas senyum bahagia tersungging di bibirnya. Sorot matanya tampak teduh, menenangkan hati Jonathan yang memandanginya."Apa lagi yang kau inginkan, Sayang? Akan berusaha kupenuhi," kata pria itu sepenuh hati. Dirinya benar-benar hendak membahagiakan istrinya ini di sisa-sisa hidupnya.Tangan Theresia menyentuh wajah suaminya. Terasa rambut-rambut kasar di sekeliling mulut laki-laki itu. "Dulu kamu rajin sekali bercukur, Mas. Kenapa sekarang malas?" tanyanya ingin tahu.Jonathan mendesah. Dia memang sudah tak memperhatikan penampilannya lagi semenjak dokter berkata umur istrinya tinggal menunggu waktu. Kesedihan dalam hatinya begitu besar sehingga tak ingin apapun selain menemani Theresia sepanjang waktu. Pekerjaannya pun ditinggalkannya untuk sementara. Untungnya Bastian dan Mina tak keberatan. Mereka memahami sang
"Aku tahu apa saja permintaan Theresia padamu, Karin. Dia ingin kamu menikah denganku sepeninggal dirinya. Lalu kita dan Valentina pergi menyusuri klinik-klinik di Tiongkok sesuai data yang dikumpulkannya. Aku yakin kau takkan sanggup menolaknya. Kondisi istriku yang mengenaskan membuat siapapun yang masih punya hati nurani pasti mengabulkan apapun permintaannya. Aku mengerti jika kamu pun demikian. Tapi jika kau keberatan menjadi istriku, tak usah memaksakan diri. Cukup di depan There saja kau berjanji. Tak perlu kau korbankan masa depanmu demi menikah dengan laki-laki tua seperti diriku." "Cukup!" sela gadis itu seraya menutup mulut Jonathan dengan telapak tangannya. "Aku memang berjanji pada Mbak There. Tapi bukan karena terpaksa. Aku...aku...bersedia melakukannya dengan setulus hati." "Benarkah itu?" tanya laki-laki itu memastikan. Ekspresi wajahnya mulai melembut. Karin mengangguk. "Aku bukan sedang berbahagia
Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar dibuka. Karin terperanjat. Di depan pintu muncullah seorang gadis kecil yang... ya, Tuhan. Mirip sekali dengan dirinya semasa kecil! Bedanya anak perempuan itu duduk di atas kursi roda yang didorong ayahnya. Sedangkan si Karin kecil dulu bebas berjalan dan berlarian kemana pun dia suka."Mama, kenapa menangis? Tante ini juga. Apa yang membuat kalian sedih?" tanya anak itu polos. Dia memandang kedua wanita itu bergantian. Tatapan matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang besar.Anak ini kritis sekali, puji Karin dalam hati. Dia juga mempunyai empati yang tinggi terhadap orang lain. Dia adalah...anak kandungku!Theresia langsung meminta Jonathan agar menaruh anak mereka di atas ranjang, supaya dekat dengan dirinya dan Karin. Suaminya menyanggupi. Diangkatnya sang putri dari atas kursi roda dan didudukkannya di depan dua wanita tersebut."Valen, kenalkan ini...Mama K
Tak lama kemudian mobilMercedes Benz berwarna hitam itu sampai di depan pintu gerbang berwarna hitam yang berdiri kokoh. Seorang petugas sekuriti mengangguk dan memberi hormat pada Jonathan yang membuka kaca jendela. Tak lama kemudian laki-laki berkumis tebal dan berbadan tegap itu menghubungi seseorang melalui walkie-talkie. Beberapa saat kemudian pintu gerbang terbuka lebar secara otomatis. Mobil Jonathan langsung meluncur masuk ke dalam. Pintu gerbang otomatis menutup kembali. Dada Karin mulai berdebar-debar. Akhirnya aku sampai juga ke rumah ini, batinnya gundah. Untuk bertemu dengan musuh bebuyutanku. Tapi kali ini dia tak bisa bersikap arogan dan sewenang-wenang lagi. Sebaliknya dia justru akan memohon ampun atas dosa-dosanya. Sontak Karin menggigit bibirnya. Tapi...bukankah aku sendiri juga bersalah kepadanya? batinnya pilu. *** "There, lihat siapa yang da
Sang pimpinan yang mengetahui bahwa Karin berasal dari kota buaya menawarinya pertama kali dibandingkan guru-guru lainnya. Gadis itu tak mampu menolak karena merasa sungkan dengan kebaikan dan bimbingan orang itu selama dia bekerja. Akhirnya diterimanya tawaran tersebut dengan berdoa dalam hati semoga dia tidak diusik oleh masa lalunya kembali.Gadis itu berusaha menghibur diri dengan berpikir tak ada salahnya kembali ke kampung halaman. Dia bisa berkumpul kembali dengan Rosa bibinya dan Mina sahabat baiknya. Jonathan dan Theresia selama ini tak pernah terdengar kabarnya. Tak mungkin mereka tiba-tiba datang mengusiknya.Berbulan-bulan dia hidup tenang di kota kelahirannya ini. Kalaupun berjalan-jalan ke mal, tak pernah sekalipun dia kebetulan bertatap muka dengan orang-orang dari masa lalu yang tak ingin ditemuinya kembali. Hidupnya benar-benar tenteram. Pekerjaannya menyenangkan. Sesekali dia berkunjung ke rumah Rosa dan Mina untuk se
Jonathan terperangah. Benar kata Mimin, cetusnya dalam hati. Karin sudah bukan gadis lugu seperti dulu. Penderitaan yang dialaminya bertahun-tahun telah mengasahnya sedemikian rupa sehingga menjadi seorang wanita dewasa yang tegas dan berkarakter kuat.Sorot mata tajam gadis itu membuat hati Jonathan menciut. Dia menghela napas panjang lalu berkata, "Aku minta maaf sudah mengganggumu, Rin. Seandainya bukan karena terpaksa sekali, aku pun takkan datang menemuimu...."Jonathan menelan ludahnya. Dia merasa tak percaya diri berhadapan dengan gadis yang dulu pernah mengisi hari-harinya. Pria itu menunduk, tak berani menatap wajah Karin.Rupanya gadis itu tersentuh dengan perkataan mantan kekasihnya. Sikapnya mulai melunak. "Duduklah, Mas," katanya datar. "Ceritakan maksud dan tujuanmu datang kemari."Pria tersebut mengangguk. Dia lalu duduk di salah satu bangku. Sementara itu Karin menarik sal
"Sudahlah, Sayang," hibur Jonathan seraya memeluk istrinya yang histeris. "Tenangkanlah dirimu. Apappun yang terjadi kita akan selalu bersama-sama. Hentikan menghujat Tuhan. Kita sekarang belum tahu apa rencanaNya. Tapi aku yakin, segala sesuatu akan indah pada waktuNya.""Kurang apa aku selama ini, Mas? Apa kesalahanku sehingga aku diberi penyakit mematikan seperti ini? Apa dosaku?" isak wanita itu tak henti-hentinya. Tiba-tiba dia terperangah mendengar perkataannya sendiri. Tangannya sampai menutup mulutnya saking terkejutnya. Ya, Tuhan! jeritnya dalam hati. Inikah hukuman atas dosaku pada Karin?Ingatannya melayang pada gadis yang beberapa tahun lalu diancamnya sampai menangis histeris seperti dirinya saat ini. Karin, gadis yang waktu itu tengah mengandung Valentina, buah cintanya bersama Jonathan."Ini karma akibat dosaku pada Karin, Mas," ucapnya lirih. Dia sudah tidak histeris lagi. Tapi air matanya masih mengucur
Dia lalu duduk di samping istrinya. Diraihnya tangan wanita itu. Diciuminya punggung tangannya dengan penuh kasih sayang."Kita pulang ke Indonesia saja, yuk. Menenangkan diri sejenak sembari mencari-cari informasi lagi tentang pengobatan buat Valentina," ajaknya sembari tersenyum lembut pada Theresia."Kamu capek ya, Mas, bolak-balik Surabaya-Singapore terus?" tanya istrinya seraya mengusap pipi Jonathan mesra."Nggak juga. Udah biasa, kok. Cuma aku menguatirkan kesehatanmu, Sayang. Aku mau mengajakmu berlibur mencari udara segar di pegunungan seperti Batu atau Tretes gitu. Setelah refreshing selama beberapa hari, pikiranmu pasti akan lebih rileks. Tubuh juga menjadi lebih segar. Kamu nggak akan terus-terusan pusing seperti ini. Bagaimana?"Sang istri mengangguk pasrah. Dia lalu bergelayut manja pada pundak suaminya. "Kupikir-pikir aku juga kangen sama rumah kita di Surabaya, Ma