-Sepertinya moodmu sedang baik hari ini?-
"Tau dari mana dia moodku sedang baik hari ini, dasar sok tau. Aera bercelutuk pelan, mendapati pesan dari Aiden. Sesaat setelahnya senyum kecil muncul dibibirnya.
-Sok tau banget-
Balasnya kemudian. Ia tunggu beberapa menitpun tak kunjung mendapat balasan dari Aiden, akhirnya Aera memutuskan untuk beranjak dari tempat tidurnya. Reagan sudah pergi beberapa jam yang lalu, hubungan merekapun jadi membaik belakangan ini.
Ia ayunkan kakinya, upaya menuju balkon kamarnya, angin sejuk langsung menerpa tubuh mungilnya. Aera membawa kedua tangannya ke atas pagar balkon yang menjadi pembatas kamarnya dan juga ruang kosong di depan sana.
Tatapannya kini turun kebawah, lagi-lagi Aera tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya jika jatuh je bawah sana. Pasti sangat sakit, oh atau lebih tepatnya dia akan meregang nyawa saat itu juga.
"Mmmm tak ada hal bagus yang bisa aku lakukan saat ini," perlaha
"Sepertinya konsentrasimu sedang terganggu ya?" tanya Aile, karena sedari tadi ia memanggil pria di sampingnya ini namun tak kunjung mendapatkan sahutan darinya. "Ya?" seperti tersadar, Dalva mmebawa buku miliknya lagi ke dala ruang matanya, berpura-pura membacanya tanpa suara. "Aku sedang bicara padamu, kenapa kau malah melihat ke situ, dasar tidak sopan sekali!" rutuk Aile seraya menarik buku bacaan milik Dalva. Karena mereka punya banyak waktu libur, jadi keduanya memutuskan untuk menghabiskan masa libur mereka dengan membaca buku. Ya hitung-hitung untuk menambah ilmu sebelum mereka masuk kuliah bulan depan. "Ck, menganggu saja!" keluh Dalva, tampaknya tak suka dengan perlakuan Aile. Gadis itu mendengus pelan, dia tentunya tahu pria di sampingnya inu jelas-jelas tengah memikirkan sesuatu yang berat. Setidaknya jika Dalva mau, dirinya bersedia mendengar ceritanya. Dari dulu juga begitu bukan? Jika ada masalah antara Aera dan juga Dalva,
"Kau sudah pulang?" tanya Aera basa-basi saat mendati Reagan masuk tanpa mengucapkan sepatah katapun, melewatinya yang kini tengah duduk santai di depan TV.Tak mendapat jawaban dari Reagan, Aera inisiatif untuk mengikutinya. Belakangan ini tugasnya sudah bertambah, yaitu menyiapkan air hangat untuk Reagan setiap pria itu pulang dari kerjanya."Kau mau kubuatkan sesuatu untuk makan malam?" tanya Aera lagi saat sudah berhadapan langsung dengan Reagan.Reagan menghela nafas kasar, sepertinya dia punya banyak masalah hari ini, lihatlah wajahnya yang tertekuk masam dan juga tampak sangat letih.Dan ya Aera! Sebaiknya kau jangan banyak bicara dan bertanya padanya. Atau kalau tidak pasti kau akan berakhir oleh repetannya yang sangat memekakkan telinga."Kau ingin menonton?"Aera sontak memutar tubuhnya yang hampir mencapai pintu kamar mandi. Matanya membola dengan sempurna, apakah ini ajakan kencan?Wah, Reagan
"Aku gak mau pergi! Hiks. Huaa!" suara teriakan yang di susul dengan isak tangis itu jelas memenuhi ruang sempit mobil yang tengah melaju dengan kecepatan sedang itu."Aaa, kenapa kalian tega membuangku dengan cara seperti ini?" gadis itu-Aera tengah meratap melihat perkomplekan rumahnya yang mulai tertinggal jauh di belakang. Tak butuh waktu lama akhirnya mereka sampai dijalan raya yang ramai dengan kendaraan yang tengah lalu-lalang.Kedua tangannya masih gencar memukul-mukul kaca mobil di sampingnya. Tidak perduli jika si pemilik mobil akan marah padanya.Bangunan serta gedung-gedung bertingkat mulai menghilang dan berganti pepohonan yang rimbun di sepanjang pinggir jalan.Sudah lewat hampir dua puluh menit, tapi Aera tetap tidak mau menghentikan tangisnya dan masih setia menahan isakan yang sengaja ia buat-buat."Berisik!" lirih pria yang mengambil alih kemudi di sampingnya, meski berkata begitu dia sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari
“Sudah bangun ternyata!" Aera memutar tubuhnya dan melihat siapakah gerangan orang yang baru saja memanggilnya, ya dia merasa dirinya lah yang di ajak bicara barusan. Dan kini ia mendapati seseorang yang sedari tadi menghilang, kini tengah berdiri tak jauh darinya tanpa menatapnya sama sekali. Reagan-sepertinya tengah sibuk dengan ponselnya. Aera segera mendekatinya, namun ia tetap menjaga jarak, mencari aman saja pikirnya. "Kenapa kau tidak membangunkanku?" protesnya pada Reagan. Reagan melirik singkat padanya, tanpa mengeluarkan suara sama sekali ia mengedikkan bahunya. Aera berdecak pelan. Sungguh orang yang ada di hadapannya ini sepertinya sangat tidak menyukainya-pikirnya. Tak berapa lama setelah itu Reagan beranjak pergi meninggalkannya. Aera yang tidak tahu apa-apa akhirnya memutuskan untuk mengikutinya. Aera mengekor pada Reagan, tak mengindahkan tatapan para resepsionis yang terbengong begitu mendapatinya m
“Pagi yang buruk, I’m coming!” teriak Aera seraya meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa sakit karena dia salah tidur tadi malam. Jelas saja bagaimana dia bisa tidur dengan nyaman dengan suasana hatinya yang begitu buruk. “Huft, apa yang akan aku lakukan hari ini? Hemm?” Aera bergumam sendiri. Tangannya bergerak pelan meraih ponselnya yang tergeletak di samping bantal tidurnya. Di lihatnya dengan seksama ja yang ada di layar ponselnya. Sudah menunjukkan pukul enam pagi. Nafas gusar terlepas dari mulutnya. “Ini masih terlalu pagi untuk hari liburku.” “Tapi gak apa Ra. Ayo kita buat hari ini semakin buruk dan tidak berwarna dengan berbaring seharian di tempat tidur tanpa melihat siapapun, terlebih laki-laki kurang belai dan membosankan itu. Ayolah kau pasti bisa!” Aera menarik kembali selimut dan menyembunyikan seluruh tubuhnya di bawah sana. Baru saja ia hendak memejakan matanya, gemuruh kuat yang sangat ia k
Seperti niat awalnya tadi. Setelah berhasil mengisi perutnya, Aera kembali ke kamarnya. Berdiam diri di sana dalam sana entah sampai kapan. Mungkin sampai perutnya kembali meminta jatah. Tapi sepertinya itu akan butuh waktu yang lebih lama lagi, kini di sisinya sudah tersedia beberapa bungkus keripik kentang, dua toples kue kering serta minuman soda yang ia ambil tanpa permisi di lemari makanan dekat dapur tadi. Tidak ada yang bisa ia lakukan di sini, Ralat! Yang lebih tepatnya dia memang tidak ingin melakukan apapun di luar sana. Dia tidak kenal siapapun di sini, lagipula dia tidak suka lingkungan baru yang mengharuskan ia kembali menyesuaikan diri. "Apa yang akan ku lakukan hari ini?" lirihnya singkat. Di cek kembali ponselnya, melihat apakah ada pesan yang masuk, tapi tidak satupun dari teman-temannya yang mau mengiriminya pesan. Rasanya kalau sudah seperti ini dia tidak akan mau cepat-cepat tamat sekolah. Lihatlah, bagaimana teman-te
Aera terdiam sejenak untuk kembali mengumpulkan niatnya berbicara pada orang yang kini sudah ikut kumpul dengannya dan Yayas. "Eh tuan!" Yayas menunduk hormat sejenak. Aera menghela nafas pelan, dia lupa menanyakan status pekerjaan Yayas di sini. Apakah dia menjadi satpam khusus di lantai ini saja atau tidak. Tapi, kalau dia bertugas di seluruh Apartemen juga kayaknya enggak. Soalnya dari tadi malam Aera hanya melihat Yayas berkeliaran di depan sini saja. Mungkin nanti lain waktu, dia bisa menanyakan hal itu pada Yayas. "Pagi!" sapa Reagan dengan nada santai. Berbeda sekali saat berbicara dengan Aera. Aera memicingkan matanya, melihat dengan teliti orang yang berdiri di sampingnya ini secara diam-diam. Meskipun hak itu jelas di ketahui oleh Reagan sendiri. "Kalau begitu saya permisi keliling dulu ya tuan, nona!" setelah mengatakan hal itu Yayas langsung pergi dari hadapan Aera dan Reagan.Ujung mata Aera terus mengikuti ke ara
"Apa ini?" bentakan yang begitu keras memekakkan telinga itu membuat seorang anak kecil itu semakin terpojok. Tangan kecilnya bergetar pelan di balik punggungnya, kepalanya ikut tertunduk rendah. "Kalau di tanya itu jawab!" suara itu kembali menggelegar di rumah yang cukup besar ini. Tidak ada orang lain selain mereka di sana. Lebih tepatnya dua pembantu di rumah itu hanya bisa ikut diam di dalam dapur, tidak ingin ikut campur ataupun membela anak dari majikan mereka. "Maaf ma!" lirihnya pelan, hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya. "Mama udah bilang berulang kali, kamu gak usah sok kerajinan kalau akhirnya malah buat rusuh aja!" jeweran keras wanita itu daratkan di telinga anaknya. Tak menangis, anak kecil itu cukup kuat untuk menahan rasa sakit yang mamanya berikan padanya. Mungkin karena rasa sakit itu sudah terlalu sering di berikan, jadinya ia kebal? Langkah kaki yang menjauh dan suara pintu yang di buka dengan kasar