Share

Bra Merah Ukuran 36B

Setiap kali teringat kejadian semalam, pipiku pasti langsung memerah dan terasa sedikit panas. Rasa malu itu masih ada, meski aku sudah berusaha melupakan kejadian semalam.

Setelah Pak Bima memergoki rambutku yang masih lengket akibat bilasan sabun yang kurang bersih, aku langsung berlari menuju ke kamar mandi. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengguyurkan air ke sekujur badan. Bibirku mencebik ketika sadar bahwa baju yang kukenakan masih lengkap dan melekat di tubuhku.

"Kamu ngapain basah-basahan begitu? Emang gak dingin?" Pak Bima mungkin merasa aneh melihatku mandi dengan pakaian yang masih lengkap.

"BAPAK, NGAPAIN ADA DI SITU?" teriakku kepadanya.

Dia menopang dagu, kemudian menjawab pertanyaanku dengan santai, "saya dari tadi duduk di sini sambil kerja, dan kamu tau itu. Kok tiba-tiba sekarang nanya ngapain saya di sini? Aneh." Dia menggelengkan kepalanya pelan.

"BAPAK, SAYA BARU MANDI!" bentakku.

"Saya tau. Makanya saya nanya, kalau mandi kenapa bajunya dipakai? Emang enggak dingin?" ucapnya polos.

"Hih," celetukku gemas. Aku keluar dari kamar mandi dengan kondisi badan yang masih basah. Aku buka almari bajuku, bermaksud memilih baju untuk ganti.

"Kamu hari ini kenapa aneh, sih? Atau emang sehari-harinya begini ya?" Dia menatapku yang masih sibuk memilih baju.

"Diem! Bawel mulu," sindirku.

"Yeee diperhatiin malah ngatain bawel. Saya itu takut kalau kamu masuk angin." Dia bersedekap, kemudian memajukan bibirnya beberapa cm. Gemas.

"Ya kalau Bapak takut saya masuk angin, kenapa tadi pintunya di dobrak? Astaga," keluhku.

"Kamu mandi basah-basahan cuma karena pintunya jebol? Ya ampun padahal saya enggak ada niatan buat ngintip loh." Tatapan polosnya membuatku menjadi salah tingkah.

"Terus tadi ngapain dobrak, kalau enggak niat ngintip?" selidikku.

Dia menghelat napas perlahan, "Kamu sudah satu jam di dalam sana, dan saya tidak mendengar suara orang jebar jebur. Saya khawatir kamu jatuh atau tidak bisa bergerak, makanya saya dobrak," jelasnya penuh sesal.

"Bapak kan bisa ketuk pintu dahulu, kalau begini kan pintu kamar mandi saya jadi rusak," jawabku lirih.

"Saya tadi sudah ketuk, tapi kamu diam." Dia menunduk, mungkin merasa berdosa sudah melakukan kesalahan berulang hari ini.

"Ya gimana saya enggak diam, orang baru gosok gigi. Emang Bapak mau, saya mati gara-gara keselek sikat gigi?" Aku mendelik ke arahnya. Muka polosnya sudah mulai nampak. Kalau sedang enggak galak gini, Pak Bima ternyata ganteng, aku terkekeh dalam hati.

"Ya maaf, saya kan khawatir ... Tapi enggak apa-apa, kalau enggak saya dobrak kan saya jadi ga bisa lihat anu." Alisnya naik turun, sedangnya senyum tengilnya muncul lagi di kedua bibir sintalnya.

Aku reflek menggunakan kedua tanganku untuk menutupi bagian dada dan bagian inti. Meski saat ini aku memakai baju lengkal6, namun rasa malu itu tiba-tiba menyergap tubuhku yang masih basah karena guyuran air sampo. 

"PAK BIMA, ISH!" Aku menghentakkan kakiku ke lantai, kemudian kembali ke kamar mandi untuk berganti baju.

"Ki.. Kiara," panggilnya.

"APA PAK APA?" Aku sudah terlalu gemas sama Pak Bima, kalau bisa aku gigit, beneran aku gigit deh bibir sintalnya, eh... 

Aku menepuk-nepuk dahiku yang sedari tadi terbayang oleh kekenyalan bibir milik suamiku.

"Kamu merasa ada yang ketinggalan enggak?" tanyanya dengan nada suara menggantung.

Aku mengecek baju ganti yang kubawa masuk ke kamar mandi dan sebelum aku sadar, Pak Bima sudah lebih dulu memberitahu.

"Ki, di depan almari ada bra warna merah, ukurannya 36B. Ini punyamu, kan?" Ada suara tawa di balik tembok kamar mandi ini.

"Astaga," keluhku, "Perasaan tadi sudah kubawa, kenapa bisa ketinggalan di depan almari sih."

"Mau aku bawain apa gimana, Ki?" Dia masih tertawa.

"Atau mau sekalian aku pakaikan? Biar kamu engga kerepotan." Suara berat dan seraknya terdengar seksi di telingaku.

Aku berdiri di dekat pintu kamar mandi yang sudah jebol, ku longokkan kepalaku ke luar kamar mandi dan ....

"Kyaaaaaaaaaa, Pak Bima ...." Aku terkejut melihat Pak Bima berdiri di samping pintu yang tadi dia dobrak. Pandangan kami bertemu kemudian tawanya meledak seketika.

"Mau ambil ini?" Dia menunjukkan bra merah yang ada di dalam genggamannya, "hehe ngomong-ngomong saya baru pertama kali lo pegang daleman cewek. Untung punya istri sendiri, jadi enggak merasa ternoda ini tangan."

Aku menyaut barang itu dengan cepat. Rasa malu sepertinya sudah menguap begitu saja dari dalam diriku. Hari ini, sudah berkali-kali aku menahan malu di depan Pak Bima. Makanya kepalang tanggung jika harus menahan malu untuk kesekian kalinya. Aku sengaja memakai benda berwarna merah ini tepat di samping Pak Bima. Jika tadi dia bahagia sudah menggodaku, kini saatnya aku yang akan membuatnya pilu menahan nafsu.

"Kiara," ucapnya sambil menutup kedua mata dengan telapak tangan.

Aku tertawa pelan, " Tadi katanya mau bantu pakai? Kok sekarang malu-malu begitu?" Aku balik menggoda Pak Bima.

"Eh, jadi boleh nih lihat?" Dia menggeser jemarinya, memberi ruang pada mata agar bisa melihatku dari jarak yang lebih dekat.

"Gak boleh lah." Aku mencubit lengannya kemudian keluar dari kamar. Sedangkan dia menggaruk-garuk hidungnya, yang aku yakin pasti hidungnya sedang tidak gatal.

Aku lapar, ingin membuat mie instan untukku.  Seharian ini aku memang belum makan, terlalu sibuk dengan tamu dari keluarga Pak Bima. Pak Bima? Aku kemudian berbalik arah untuk kembali ke kamar. Orang yang ada di dalam kamarku pasti juga sama laparnya denganku. Namun, ketika sampai di ambang pintu, aku melihat pak Bima sedang lari di tempat. Aku mendekatinya karena merasa aneh dengan apa yang dia kerjakan.

"Ngapain, Pak?" tanyaku sambil memandangnya dengan tatapan heran.

"Lari-lari," jawabnya tanpa menoleh.

"Ya tau lari-lari. Maksudnya ngapain lari-lari begitu? Ini dah malam, loh." Aku memperjelas pertanyaanku yang tadi terkesan ambigu.

"Ya gak biar apa-apa." Dia masih fokus dengan kegiatannya tanpa menoleh ke arahku.

"Kalau mau lari dari kenyataan, gak gini caranya, Pak." Aku duduk di atas kasur, menunggunya selesai lari di tempat.

"Ngapain lari dari kenyataan. Hidup sudah enak kok mau ditinggalkan." Kali ini dia tidur tengkurap, tidak lama kemudian dia lalu melakukan push up di tempat semula.

"Ya siapa tau Bapak pengen memutar waktu. Kan enak tuh jadi bujang, bebas kemana-mana," ucapku lagi.

"Lebih enak kemana-mana sama kamu, kan?" Dia mengerlingkan sebelah matanya, kemudian kembali lagi melakukan push up.

"Pak, kalau gila jangan begini dong. Olahraganya besok lagi, emang enggak capek apa?" Aku justru ikut tengkurep, bedanya dia di lantai sedangkan aku di atas kasur.

"Jangan diforsir. Nanti kalau Bapak kecapekan terus mati, gimana dong?"

Dia berdiri kemudian bersandar pada tiang kasur, "Kan ada kamu, ya saya minta pijit sama kamu, lah. Lagian nanti kalau saya mati, ya tentu saja saya gentayangin kamu. Kan tadi pagi sudah janji bakalan sehidup semati." Dia jongkok kemudian mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku sontak duduk untuk menghindarkan wajahku dari bibirnya. Dadaku berdegup kencang, aku deg-degan.

"Enak aja gentayangin saya, iman saya kuat kali, Pak. Jadi gak semudah itu Bapak bisa gentayangin saya." Aku bersedekap. Bersikap sok angkuh di depan Pak Bima.

"Oh, jadi enggak apa-apa nih saya mati?"

"Eh jangan lah. Kasihan sama saya lah, Pak. Sudah nikah di usia 29 tahun, eh jadi janda di usia segitu pula, kapan bahagianya?" keluhku.

"Kirain mau ngomong, kapan enak-enaknya." Dia mengacak rambutku yang masih basah,  "Kamu tadi mau kemana?" tanyanya.

"Makan," jawabku singkat.

"Kok enggak jadi?" Dia duduk di sebelahku, tangannya masih berada di atas kepalaku.

"Mau ngajakin Bapak. Masa iya mau makan Bapak enggak diajak, ntar dosa lagi." Aku memperhatikan dia yang saat itu juga sedang menatapku.

"Cie ngomongin dosa," godanya, "Kamu tau gak dosa terbesar istri kepada suami itu apa?"

"Apa?"

"Dosa terbesar istri itu bukan ketika enggak nawarin suami makan waktu dia makan, tapi dosa terbesarnya adalah menolak ajakan suami untuk melakukan hubungan badan." Muka serius itu entah kenapa terkesan sedikit lebih genit malam ini.

Aku terdiam, merasa ada benda tajam yang menusuk-nusuk ulu hati.

"Biar gak dosa, yuk." Dia mengedipkan mata kemudian mendekatkan tubuhnya ke arahku.

"Eng... Eng... Anu." Aku mulai gugup. Keringat dingin mulai membanjiri tubuhku. "Pak Bima, emang eng-enggak ca-capek?" Aku tergagap lagi. Mataku rasanya sedikit buyar, lidahku tiba-tiba mati rasa.

"Hahaha bercanda kali, Ki." Dia kembali mengacak rambutku dengan gemas, "Kita tidak sedekat itu untuk melakukannya sekarang. Saya mau begituan ketika kita sudah sama-sama siap. Yaudah yuk makan, saya temani biar enggak dosa."

Dia berdiri kemudian mengulurkan tangannya kepadaku, "Kamu bisa masak apa, Ki?" tanyanya.

"Masak air, Pak." Aku menjulurkan lidah kemudian menggandeng tangannya.

"Enggak apa-apa air. Nanti dikasih sayuran sama telur, ya. Saya pengen sup sayuran. Kamu bisa, kan?" Dia tersenyum.

"Bisa. Yang enggak bisa itu, tidur bareng sama Bapak malam ini. Nanti, Bapak tidur di lantai ya," kekehku kemudian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status