Aku langsung masuk ke kamar setelah semua keluarga Pak Bima pulang. Riuh yang tadi diciptakan oleh puluhan orang, kini hanya menyisakan suara dari detak jarum jam, berjalan dari detik satu ke detik berikutnya.
Setelah 2 jam sibuk menyambut tamu dari keluarga Pak Bima, badanku rasanya capai sekali. Kaki yang biasa kugunakan untuk berjalan, sekarang terasa pegal-pegal, mungkin karena terlalu lama berdiri diatas sepatu highhells yang tingginya tujuh cm. Seluruh tulang dan juga persendianku juga ikut sakit. Aku duduk di atas kasur, kemudian menyejajarkan kaki agar rasa pegalnya sedikit berkurang. Sedih rasanya jika harus meninggalkan ruangan yang sudah kutempati selama hampir 30 tahun ini. Namun, tidak mungkin jika seorang bos seperti Pak Bima bersedia untuk tidur di ruangan sempit seperti ini. Aku mengamati dengan saksama setiap sudut ruangan yang kusebut dengan kamar, terlalu banyak kenangan dan juga cerita yang tersimpan disini.
Pintu kamar terbuka perlahan. Pak Bima nyelonong masuk kemudian ikut duduk di atas kasur ini.
"Ngapain ke sini?" tanyaku konyol.
Dia mengerutkan dahinya, "Kalau enggak masuk ke sini, lalu aku harus masuk ke kamar siapa?" tanyanya polos.
Aku menepuk dahiku pelan. Aku bahkan hampir lupa bahwa saat ini dia sudah sah menjadi suamiku, meskipun baru sah secara agama, sih.
"Kan Pak Bima bisa ke kamar tamu du nolu," jawabku tak mau kalah.
"Kamar tamu? Saya kan enggak tau, kamar tamu letaknya di sebelah mana," celetuknya.
"Salah siapa Bapak enggak nanya ke saya." Aku melipat tangan di depan dada.
"Kok salah saya? Hla kamu tadi ninggalin saya gitu aja di depan rumah, gimana mau nanya?" tanya ketus, "lagian ngapain saya ke kamar tamu? Kan saya bukan tamu!" Dia melengos.
'Dih, setelah masuk kamar tanpa permisi, sekarang berani-beraninya dia melengos! Dasar manusia aneh!' gerutuku dalam hati.
"Ya kalau Bapak bukan tamu, lalu siapa?" Aku sudah mulai sebal dengan Pak Bima. Dari dulu dia memang selalu hobi berdebat denganku.
"Kamu nanya aku siapa?" Dia menggeser tubuhnya ke arahku, "Perasaan kamu belum tua-tua banget deh. IQmu juga gak dibawah rata-rata,"
"Maksud Bapak apa ngomong kaya gitu?" tanyaku sengit.
"Belum ada tiga jam loh aku sama Ayahmu ngucapin Ijab Kabul, sekarang tiba-tiba nanya aku siapa? Kiara, kamu pikun apa DDR (Daya Dong Rendah)?"
Nah kan, belum juga sehari jadi suami dah ngeselin gini. Genap setahun ngadepin manusia macem Pak Bima, bisa kena gejala stroke aku. Aku mencuri pandang ke arahnya, ekspresinya datar kaya tembok kamar, pantes gak laku-laku. Meski mukanya ganteng tapi siapa juga yang mau punya suami yang jarang senyum kaya gitu, aku aja kalau enggak gara-gara terjebak juga ogah nikah sama dia.
"Ya menurut Pak Bima gimana? Pikun apa DDR?" Bibirku mengerucut. Kalau habis ini jawaban dia ngeselin, tusuk konde yang ada di kepalaku, bakalan nancep di ujung hidungnya, biar pesek tuh hidung mancungnya.
"Kenapa manggut-manggut gitu?" tanyanya.
"Yeee terserah dong. Ayo jawab pertanyaanku tadi! Bukannya jawab, malah balik nanya!" gerutuku.
"Dasar emak-emak, ngomel mulu kerjaannya," keluhnya.
"Apa Bapak bilang? Emak-emak?" Aku medelik.
"Loh kenapa? Emang salah? Bener kan kalau situ emak-emak ... Calon emak untuk anak-anakku kelak," jawabnya sambil terkekeh.
"PD mampus! Siapa juga yang mau beranak sama Bapak! Kalau enggak gara-gara terpaksa nih, ogah banget nikah sama Bapak!" Aku berdiri kemudian memutuskan untuk duduk di depan meja rias.
Aku menatap bayanganku sendiri yang terbentuk di cermin. Dengan kebaya berwarna coklat muda serta bawahan batik berwarna hitam, aku terlihat sangat anggun. Rambutku ditata dengan sanggul sederhana, dilengkapi dengan tiara kecil diatas kepala dan bunga melati yang terurai sampai ke bahu. Aku nampak lebih cantik dari pada hari-hari biasanya.
Aku tersenyum melihat kecantikan yang terpancar dari diriku. Ya ampun, kalau tidak karena didandani sedemikian rupa, aku tidak mungkin sesombong ini. Aku terkekeh pelan, menertawakan kesombongan yang melintas begitu saja di dalam benakku.
Melalui pantulan kaca ini, aku bisa melihat Pak Bima yang juga sedang melirikku. "Apa lihat-lihat?" tanyaku galak.
Dia mencebik pelan, "Kalau ga mau dilihat jangan disitu lah, posisi dudukmu berada tepat di depan ku. Bikin aku serba salah aja."
Dia membuka kancing bajunya yang paling atas. Kemudian berlanjut membuka kancing yang ada di bawahnya. Aku menutup mata dengan telapak tangan, "Ngapain buka baju disitu pak?"
"Gerah," jawabnya singkat.
"Jangan disitu dong!" larangku secara langsung.
"Lalu di mana? Di depanmu?" tanyanya menyelidik.
"Kamar mandi lah. Tuh, kamar mandinya kosong," pintaku padanya. Sudah tidak ada lagi jawaban dari mulut Pak Bima. Suara ketusnya, berubah menjadi dengkuran halus. Dia sepertinya memang lelah sekali, mungkin terlalu capek menyiapkan mental juga pikiran untuk acara pernikahan pagi ini.
Aku mendekat kepadanya, berniat untuk mengambil baju yang dia letakkan secara acak di atas kasur. Jujur saja, aku paling tidak suka melihat kamarku berantakan. Aku mengendap-endap ke sisi kanan Pak Bima, mengambil bajunya dengan sangat hati-hati. Wajah lelah itu terpejam, mulutnya sedikit terbuka. Aku tertawa kecil, orang ini mangap aja cakep, apalagi kalau lagi senyum. Sayang, dia lebih sering marah daripada tersenyum, jadi banyak orang yang takut dari pada suka kepadanya.
"Hayo, mau nyuri kesempatan buat cium saya, ya?" tanyanya tiba-tiba. Aku memundurkan wajahku, kaget sekaligus malu.
"Cium? PD amat! Siapa juga yang mau cium, bilang aja situ yang ngebet pengen cium saya," selorohku.
"Kalau enggak mau cium, ngapain ngendus-ngendus depan muka saya?" selidiknya.
"Dih, amit-amit cium. Nih mau ambil baju, makanya kalau naruh baju kotor jangan sembarangan. Saya paling gak suka lihat kamar berantakan, bikin gak nyaman!" ketusku.
"Halah alibi, padahal pengen cium," ledeknya sambil menjulurkan lidah.
"Hih!" ucapku gemas. Aku berjalan meninggalkannya yang masih duduk di atas kasur.
Aku kembali duduk di depan meja rias, mengusap wajah dengan kapas yang sudah dibasahi dengan pembersih wajah. Make up hari ini memang tidak tebal, tapi banyak orang yang memuji hari ini aku cantik sekali. Mengingat pujian dari orang-orang membuatku senyum-senyum sendirian.
"Senyum-senyum daritadi, seneng ya nikah sama saya?" Pak Bima beranjak dari kasur kemudian berjalan mendekat ke arahku.
"Heh! Kalau bukan karena tragedi menyebalkan itu, mana mungkin saya mau nikah sama cowok dingin kaya Bapak!" bentakku.
"Yakin saya dingin?" Dia memainkan alisnya, "Saya bisa juga loh jadi orang yang hangat, sekaligus menghangatkan kamu," godanya kepadaku. Dia memainkan alisnya di depan wajahku.
Aku memejamkan mata sejenak, menetralisir rasa dengan jantung yang berdegup sangat kencang. Ini orang kenapa deh jadi agresif kaya gini.
"Jangan goda saya!" bentakku lagi.
"Istriku," ucapnya sambil mengerlingkan sebelah matanya. Dia mengusap lembut bahuku.
"Bapak nyebelin banget, sih!" Aku berjalan ke arah kamar mandi. Sebelum masuk, aku menyempatkan diri untuk mengintip Pak Bima. Dia masih ada di samping meja rias sambil cekikikan.
'sialan nih orang,' batinku
"Gak usah grogi gitu dong, saya cuma bercanda kali," kekehnya.
Aku masuk ke kamar mandi kemudian membanting pintu. Debuman dari pintu menggema di ruangan.
"Jangan lama-lama sayang, nanti aku keburu pengen," ucapnya setengah berteriak.
Ini orang bisa tengil juga ternyata.
Aku membuka bawahan dari batik yang menempel di tubuhku. Udara panas membuatku ingin segera berganti baju. Setelah bawahanku lepas, aku kemudian membuka kancing kebaya yang kukenakan. Kancing yang terpasang di belakang ini membuatku kesulitan untuk membukanya. Tadi pagi sih ada ibu yang membantuku untuk memasang. Namun, sepulangnya keluarga Pak Bima ke rumah, ibu dan ayah juga menghilang. Sepertinya mereka sengaja meninggalkan kami, entah memberi kesempatan kepada kamu untuk berduaan, atau memang masih marah kepada kami.Aku masih berusaha untuk melepaskan kancing kebaya ini. Namun, lama-lama aku capek sendiri. Kancing ini sepertinya memang didesign untuk dipasang lepaskan oleh orang lain. Dengan keberanian yang masih setengah-setengah, aku keluar dari kamar mandi.
"Pak, bisa bantu saya enggak?" tanyaku.
Dia menoleh ke arahku, "Tentu saja,"
"Hmmm ...." Aku tidak yakin meminta tolong kepadanya, jangan-jangan setelah menggodaku, nantinya berani berbuat tidak senonoh kepadaku.
"Kenapa sayang?" Dia mendekat kemudian memegang bahuku dengan lembut.
Nah kan! Baru juga ngomong, dia udah berani pegang-pegang bahu.
"Jangan pegang-pegang!"
"Yaelah, gitu doang bentak. Ya sudah, minta bantu apa?"
"Tolong bukain kancing kebaya saya dong, saya mau ganti baju," pintaku.
Dia berjalan memutariku. Kemudian jari-jari panjangnya mulai membuka kancing kebayaku satu persatu. Dadaku mulai tidak karuan, rasanya aku malah pengen buang air kecil saking groginya.
Pak Bima mulai membuka kancing dari bawah, sehingga ketika sudah sampai di kancing teratas, kulit jarinya yang lembut tidak sengaja mengusap punggungku. Entah kenapa badanku bergetar, ada gigilan yang memaksa kedua tanganku untuk mendekap erat diriku sendiri.
"Stop!" kataku, "Bapak lagi ngapain?" tanyaku kemudian.
"Buka kancing kebaya, kan," jawabnya polos. Ekspresi mukanya kaya kanebo kering. Datar dan lempeng.
"Bapak, ngapain ngendus-ngendus punggung saya? Nafsu ya?" Aku reflek berbalik badan.
"Astaga, Kiara. PD amat sih! Siapa juga yang ngendus-ngendus! Tuh dipunggung kamu ada bekas cacar airnya. Kirain tahi lalat, ternyata bekas koreng!" Dia kemudian duduk di atas kasur lagi.
"Koreng-koreng!" Aku mendelik. Aku berlari ke kamar mandi karena malu. Kukira Pak Bima mau melakukan hal yang tidak-tidak, ternyata dia mengamati bekas cacar air yang belum hilang dari punggungku. Aku menutup wajahku dengan telapak tangan. Mukaku panas. Aku malu.
"Baik,Ki. Aku akan pergi dari sini."Aku membenamkan kepala ke dalam dekapan Pak Bima. Rasa muak yang sudah kutahan beberapa waktu terakhir ini, akhirnya tumpah setelah melihat batang hidung milik Putri. Aku tidak menyangka bahwa dia memiliki nyali yang besar untk datang ke rumah ini."Duduk dulu, ya. Kamu butuh minum untuk meredakan emosimu."Jika biasanya aku selalu membantah perkataan Pak Bima, kali ini aku turuti semua saran darinya. Hal ini aku lakukan bukan karena aku ingin membuat Putri cemburu, tapi lebih kepada rasa lelah yang mengungkung hati dan juga pikiranku. Jujur, aku sudah capek dengan segalanya. Jika Pak Bima ingin menuntaskan semuanya saat ini juga, maka aku sudah menyiapkan hatiku."Minum dulu, Ki." Dia menyodorkan segelas air bening kepadaku. "Tarik napas dalam-dalam, kemudian keluarkan pelan-pelan."Pak Bima berjalan memutariku, kemudian memposisikan diri tepat di samp
Aku menangis setelah berada di dalam kamar. Setiap kali membahas tentang Putri, rasa sakit akibat cemburu ini tidak bisa dikendalikan. Aku selalu terbayang bagaimana dulu Pak Suami menjamah tubuh Putri dan kini aku pun pernah melakukannya bersama dengan Pak Bima. Rasa-rasanya aku seperti sedang berbagi raga dengan sahabat baikku sendiri dan saat ingatan itu muncul, dadaku terasa begitu sesak."Ki, Kiara, jangan marah. Kita bicarakan baik-baik masalah ini, Ki." Pak Bima mengetuk pintu kamar dengan keras.Aku menutup kedua telingaku menggunakan telapak tangan. Suara dari Pak Bima mengetuk hati. Membuat rasa sakit yang bersemayam di dalam sana, menjalar dengan cepat ke seluruh tubuhku."Kiara, saya minta maaf jika saya selalu mengecewakanku. Saya salah, tapi untuk kali ini biarkan saya menjelaskan semuanya kepadamu." Dia menaikkan ritme ketukan pada pintu kamar ini."Kiara." Dia memanggil namaku dengan suara
Sudah tiga hari ini aku berdiam diri kamar. Rasa sakit dan kecewa akibat kebohongan Pak Bima, masih terpahat rapi di sudut hatiku. Aku sudah berkali-kali menafikkan semua pikiran negatif tentang dia dan juga Putri. Namun, semakin kutolak, pikiran jelek tersebut semakin terpatri di dalam pikiranku.Aku beranjak dari kasur menuju meja rias. Setelah beberapa kali mengamati, ternyata wajahku lebih cocok dikatakan mirip Alien dari pada seorang wanita yang sedang patah hati. Mukaku terlihat sangat kuyu dengan tatapan mata sendu dan manik yang berkantung karena kurang tidur.Aku tidak tahu bagaimana keadaan Pak Bima setelah dia terjatuh dari tangga 3 hari yang lalu. Setelah aku masuk ke dalam kamar, aku tidak lagi mendengar panggilan darinya. Bisa jadi saat ini dia sedang meringis kesakitan, atau justru sedang tertawa karena dirawat oleh Putri. Ah, sial! Pikiranku selalu saja lari ke sana. Sadar atau tidak, ada rasa iri dan kesal ketika teringat akan sosok Putri. Kepolosan ya
Bima PoV'BRAK'Aku mengusap dadaku perlahan, gebrakan pintu di balik sana membuat jantungku melompat dari tempatnya."Telan semua alasan dan juga rahasiamu! Saya tidak butuh dan bahkan tidak peduli dengan segala hal yang berkaitan dengan kehidupanmu!" Kiara kembali berteriak dari dalam kamar tidur. Suara melengkingnya membuat hatiku hancur. Aku tidak menyangka bahwa kesalahpahaman ini ternyata membuat dia semarah ini kepadaku.Dengan dada yang masih berdegub kencang, aku mulai beringsut mundur. Rasanya percuma aku berdiri terpaku di depan kamar seperti ini, sebab sekeras apapun aku berusaha untuk meyakinkan, Kiara tetap tidak akan mempercayaiku.Aku duduk termenung dengan kedua tangan menyangga kepala. Rasa sakit yang tadi bersemayam di dalam hati, kiri merembet naik ke kepalaku. Denyutan demi denyutan menjalar dari pelipis naik ke ubun-ubun. Jika seluruh bagian yang ada di kepalaku ini bisa berteriak, pasti ruangan ini sudah gaduh den
Sejujurnya aku masih tidak menyangka, bahwa ternyata dua orang yang paling aku percaya tega membiarkanku larut dalam ketidaktahuan. Aku kecewa dan tentunya marah kepada mereka. Dulu ketika Putri datang ke rumah dalam keadaan hamil dan meminta perlindungan, aku beserta dengan orang rumah membuka lebar pintu rumah kami, sebagai tempatnya untuk bersandar dan berpulang. Aku tidak tahu siapa orang yang tega memperlakukan Putri dengan cara yang tidak baik, merenggut kesuciannya, lalu meninggalkannya begitu saja tanpa sebuah kejelasan. Putri pun selalu bungkam ketika kami menanyakan siapa orang brengsek yang berani menghamilinya dan tidak mau bertanggung jawab, atas bayi yang ada di dalam kandungannya. Tiga tahun sudah dia memendam semuanya sendirian, dan hari ini semuanya terbongkar. Aku akhirnya tahu bahwa si bejat tidak bertanggung jawab itu adalah Pak Bima, suamiku sendiri. Dengan hati yang sudah terkoyak dan jantung yang detakannya patah-patah, aku mencoba
Aku mengumpulkan seluruh tenagaku yang masih tersisa kemudian mendorong kuat-kuat tubuhnya yang masih mendekapku. Sebelum rasa nyaman menguasaiku, sebelum hatiku mulai melemah lagi, aku harus bisa menjauhkan diriku darinya."SAYA MAU PULANG!" Aku kembali membentaknya."Iya, Ki, iya. Kita pulang sekarang." Pak Bima menjawab bentakanku dengan begitu sabar. Suaranya lembut, seperti seorang Ayah yang sedang menghadapi anaknya yang sedang tantrum.Aku berjalan beberapa langkah di depan Pak Bima. Ku percepat langkahku agar dia tidak bisa menyejajarkan posisi kami. Pak Bima berulang kali menggaungkan namaku di koridor hotel, tapi tidak satupun panggilan darinya yang aku respon. Hatiku sudah terlalu sakit dan juga kecewa, tubuhku juga kembali menggigil. Hal ini bukan karena hawa dingin yang mulai menyusup kulit, tapi lebih kepada amarah yang sudah terlalu susah untuk dikendalikan.Pandangan mataku mengarah lurus ke depan tapi tatapan mataku kosong. Jaket yang tad