ログインAnasera, dokter anak yang memilih tenang demi melindungi hatinya. Rai Adhinatha, dokter bedah jenius yang gagal memahami jarak dengan putri satu-satunya. Keduanya sama-sama orang tua tunggal, sama-sama membawa luka yang belum selesai. Pertemuan mereka di sebuah kafe dan kedekatan anak-anak perlahan mengubah segalanya. Tanpa disadari, Anasera menjadi jembatan bagi Rai dan putrinya- dan dari sana, perasaan yang tak direncanakan mulai tumbuh. Namun ketika masa lalu kembali menuntut kejelasan, cinta tak lagi sekedar rasa. Ia menjadi pilihan: bertahan, atau kembali menyerah pada luka. ~~~upikabu
もっと見るKEBENARAN YANG MEMBUSUK
☘️☘️☘️ 5 tahun yang lalu... Koridor kantor itu dingin, begitu dingin hingga Anasera merasakan bulu kuduknya meremang. Ia tak pernah suka datang, ke kantor Ardian, tapi pagi itu ia memaksakan diri. Perutnya sudah membengkak lima bulan, dan tubuhnya makin mudah lelah. Namun sejak pertengkaran besar sebulan sebelumnya, Ardian semakin sulit di hubungi- dan semalam ia tak pulang sama sekali. " Dia lembur," katanya selalu. " Banyak proyek," katanya. " Ada klien penting," katanya. Tapi firasat Anasera menolak percaya. Ia membawa bekal hangat- usaha kecil untuk memperbaiki keadaan. Mungkin, ia berharap, Ardian luluh. Namun saat ia melangkah di ruangan direktur, langkahnya berhenti. Pintu sedikit terbuka. Desahan penuh hasrat. Desahan yang bukan sesuatu yang harus dia anggap sesuatu yang positif. "...kamu nakal, sayang." Suara perempuan itu manja- sekretaris Ardian, Livia. " Tapi aku suka," suara Ardian terdengar rendah, penuh godaan yang tak pernah lagi ia berikan kepada istrinya. " Aa-h..." Suara desahan itu berdengung ngilu di kedua telinga Anasera. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Tidak. Tidak. Tolong jangan. Ia melangkah mendekat pelan, tubuhnya gemetar. Dan saat celah pintu melebar sedikit... Dunia Anasera runtuh tanpa suara. Ardian duduk di meja kerjanya. Kemeja putihnya hampir terbuka seluruhnya, dasinya terlepas. Livia duduk di pangkuan lelaki yang ia sebut suami. Bibir mereka saling menempel, bahkan kecapannya pun dapat Anasera dengar sangat jelas, tangan Ardian memegang pinggangnya dengan penuh hasrat. Bahkan Anasera dapat melihat, rok hitam yang di kenakan oleh gadis itu terangkat. Blouse yang di kenakan oleh gadis itu pun tercecer di lantai. Dan lebih menyakitkannya lagi, cincin pernikahan Ardian...tak ada di jarinya. Anasera mematung. Bekal di tangannya bergetar sebelum akhirnya jatuh ke lantai, menimbulkan suara brak yang pecah dalam sunyi koridor. Ardian dan Livia terperanjat. Livia buru-buru menurunkan roknya, wajahnya pucat. Gadis itu gegas memungut blousenya yang tergeletak di lantai lalu buru-buru mengenakannya. Sedangkan Ardian- wajahnya berubah drastis dari syahwat menjadi panik. " Ser- Anasera?! Kamu-" " Teruskan, " kata Anasera pelan. Lelaki itu terdiam. " Kalau memang itu yang kamu mau...teruskan." Kali ini suaranya pecah, namun bukan karena lemah. Ada luka, tapi juga kekuatan di dalamnya. " Bukan begitu, ini-" Ardian melangkah mendekat. " JANGAN DEKAT-DEKAT!" Teriakan itu akhirnya pecah dari bibirnya, membuat beberapa karyawan di koridor melongok kaget. Ardian berhenti. Air mata tidak jatuh. Anasera menahan semuanya. Ia tidak ingin memberikan Ardian kepuasan melihatnya hancur. " Aku berusaha percaya sama kamu." Suara itu keluar dengan napas tersengal. " Aku tahan sakit, aku tahan begadang, aku tahan semua perubahanmu...karena aku percaya kamu sedang berjuang. Tapi ternyata yang kamu perjuangkan cuma ini." Livia menunduk gemetar, tak berani bicara. Ardian membuka mulut, tapi tak satu pun keluar. " Kalau kamu mau selingkuh- lebih baik kita sudahi saja hubungan kita. Dan kamu-" Anasera menoleh ke arah Livia yang menunduk ketakutan." Bisa dengan orang baru. Tanpa harus melakukan kebohongan-kebohongan yang membuatmu terperangkap sendiri." " Sera," sela Ardian. " Terima kasih, Mas." Anasera menatap keduanya satu per satu. " Sekarang aku tahu...aku bukan kehilangan suamiku." Ia tersenyum tipis, getir. " Aku hanya kehilangan harapan yang salah." Kemudian ia berbalik, melangkah pergi- meski langkahnya goyah, meski perutnya terasa menegang, meski jantungnya seperti di remukkan. Tapi ia pergi tanpa menoleh. ~~~ Setelah pintu ruang direktur itu tertutup di belakangnya, Anasera berjalan tanpa arah, melewati koridor tinggi dan dingin. Suaranya hilang, napasnya pendek, dan dunia di sekelilingnya terasa seperti gema yang jauh. Perutnya mengeras. Tegang. Nyeri menusuk tiba-tiba. Ia berhenti, menahan dinding untuk tidak jatuh. Napasnya memburu. " Tidak...bukan sekarang..." bisiknya lemah. Namun tubuhnya sudah tidak mendengar. Setelah melihat suaminya berkhianat dengan matanya sendiri, adrenalin dan syok itu menghantam tubuhnya seperti badai. Tangannya gemetar hebat. Penglihatannya mulai kabur. Ia memaksa langkah menuju lift, tapi baru beberapa meter berjalan... Tubuhnya limbung. " Hah...hah..." Napasnya tersengal seperti orang tenggelam. Seorang karyawan yang lewat memandangnya bingung. " Dokter Anasera? Anda- anda pucat sekali, Dok..." " T-tolong..." suara Anasera hampir tak terdengar. " Perut saya... sakit...sekali..." Karyawan itu langsung panik. " Tunggu, saya panggil bantuan!" Tapi Anasera sudah kehilangan kekuatan untuk berdiri. Lututnya goyah dan ia jatuh terduduk di lantai koridor. Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya mengalir, bukan karena hanya sakit...tapi karena dunia yang selama ini ia perjuangkan runtuh dalam satu hari. Kemudian rasa mual hebat datang. Lalu pusing yang menyayat. " Sera..." Suara itu...Ardian. Ia muncul dari ujung koridor, masih dengan kemeja acak-acakan setelah buru-buru meninggalkan ruangannya. Ia berlari menghampiri. Anasera memalingkan wajah. Ia tak ingin di tolong oleh tangan yang sama yang baru saja memeluk wanita lain. Namun, tepat setelah Ardian menyentuh bagian tubuhnya Anasera tiba-tiba saja tak sadarkan diri. " CEPAT PANGGIL AMBULANCE!" teriak Ardian dengan memasang wajah panik. ☘️☘️☘️ To be continue...HENING SETELAH SIRINE ☘️☘️☘️IGD malam itu berubah menjadi medan perang.Pintu geser terbuka–tertutup tanpa jeda. Suara tandu beradu dengan lantai, teriakan perawat saling bersahutan, dan monitor jantung berdering tak beraturan. Bau darah, antiseptik, dan debu bercampur menjadi satu. Kecelakaan beruntun di jalan tol membuat puluhan pasien berdatangan hampir bersamaan."Trauma kepala berat!""Pasien tidak sadar, tekanan turun!""Cari bed kosong sekarang!"Anasera baru saja menutup rekam medis ketika seorang dokter muda- jasnya masih terlalu kebesaran- berlari menghampirinya, napasnya terengah."Dokter Anasera!""Ada anak laki-laki, sekitar tujuh tahun. Tidak sadar. Datang bersama ibunya dari bus yang sama."Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, Anasera sudah berlari. Sepatu karet putihnya beradu cepat dengan lantai IGD yang licin oleh cairan.Di salah satu bed, seorang anak kecil terbaring. Wajahnya pucat, bibirnya membiru samar. Tubuhnya terlalu kecil untuk semua alat medis yang me
SIANG HARI DI ROOFTOP RUMAH SAKIT ☘️☘️☘️ Koridor rumah sakit masih terasa dingin oleh AC pagi. Anasera berjalan cepat sambil memeluk map pasien, stethoscope menggantung di lehernya. Langkahnya mantap seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang berat di sorot matanya- bekas perpisahan yang belum sepenuhnya ia relakan. Saat ia sampai di depan lift, pintu terbuka tepat bersamaan… dan keluar seorang wanita berjaket putih dengan rambut dikuncir rapi. "Hey! Morning, Sera!" Luna, dokter kandungan yang paling ceria di rumah sakit itu, melambaikan tangan. Anasera mengembuskan napas lega. "Luna… morning." "Eh, tunggu- kamu mau naik? Aku ikut." Luna cepat masuk sebelum pintu menutup. "Bagus juga ketemu kamu pagi-pagi gini. Semalam aku jaga terus, mataku kayak panda deh." Lift tertutup, menyisakan keheningan singkat. Luna menatap sahabatnya itu lebih lama dari biasanya. "Kamu kelihatan… bukan cuma capek jaga," katanya sambil menyipitkan mata penuh selidik. "Ada apa? Naveen?" Anas
PERMINTAAN PAGI HARI ☘️☘️☘️ Aroma roti yang baru dipanggang dari toaster mengisi dapur kecil itu. Anasera sudah duduk sambil mengoleskan selai coklat, sementara Naveen duduk di kursi makan dengan kaki yang masih belum bisa mencapai lantai, mengayun-ayunkannya tanpa henti. "Ma, cepat… Naveen lapar banget," rengeknya. "Iya, ini Mama olesin dulu," jawab Anasera sambil tersenyum lelah tapi tulus. Begitu roti itu sampai di depan hidungnya, Naveen langsung menggigit setengah dengan mulut kecilnya. Pipinya menggembung, matanya berbinar. Anasera memperhatikannya sambil meminum teh hangat. Rasanya hangat… damai. Jarang sekali pagi seperti ini datang di hari kerja. Setelah beberapa menit, Naveen berhenti makan. Ia menatap ibunya lama, seolah sedang mengumpulkan keberanian. "Ma…" "Hm?" "Boleh nggak… Naveen tinggal sama Mama aja?" Anasera tersentak. Tehnya nyaris tumpah. Pandangan lembutnya langsung berubah sendu. "Naveen…" Ia meraih tangan kecil putranya. "Kamu ken
PERTEMUAN YANG TAK DI RENCANAKAN☘️☘️☘️Pagi di rumah sakit besar itu selalu dimulai dengan langkah cepat dan suara yang tak pernah benar-benar sunyi. Anasera berjalan menyusuri lorong lantai tiga-lantai khusus anak- dengan jas putih rapi dan rambut yang diikat sederhana. Di tangannya, papan rekam medis; di benaknya, daftar pasien yang harus ia temui hari ini."Dok, pasien kamar 312 sudah sadar. Demamnya turun," lapor seorang perawat muda sambil menyamakan langkah."Bagus. Tolong pantau ulang tiap dua jam," jawab Anasera tanpa berhenti berjalan.Rutinitasnya mengalir seperti napas: memeriksa pasien, menenangkan orang tua yang cemas, tersenyum pada anak-anak yang takut jarum suntik. Ia tahu caranya membuat mereka merasa aman-dengan suara lembut, dengan cerita kecil, dengan kesabaran yang telah ditempa bertahun-tahun.Namun pagi itu berubah ketika alarm darurat terdengar singkat di ujung lorong."Korban kecelakaan lalu lintas, anak perempuan usia sekitar sepuluh tahun," seru petugas IG






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.