Aku masih menunduk dengan bibir yang bergetar karena menahan isak. Debaran di dadaku semakin lama justru semakin kencang. Mataku masih saja meneteskan bulir bening dengan derasnya.
"Yah ... Kiara mohon, percaya sama Kiara," pintaku sambil terisak, "Kiara berani bersumpah, bahwa kami tidak melakukan apapun di dalam ruang kerja Pak Bima," imbuhku.
"Diam Kiara! Jangan bersumpah jika kamu tidak punya bukti apapun!" bentak ayah.
Hatiku rasanya perih, bukan karena bentakan dari ayah. Namun, baru kali ini, ayah tidak mempercayai ucapanku meskipun aku sudah bersumpah di depan kitab suci. Sepertinya rasa percaya ayah terhadapku sudah patah akibat kesalahpahaman ini.
Aku sebenarnya bisa saja memberikan rekaman CCTV kepada mereka semua. Namun, semua itu kurasa percuma. Hati dan pikiran mereka sudah tertutup rapat, dan lagi rekaman CCTV itu tidak bersuara, jadi untuk apa kutunjukkan. Tidak bisa membantuku untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya.
"Ibu kecewa, Kiara. Jika bisa menikah dengan cara yang baik, kenapa kamu memilih menikah dengan cara yang memalukan seperti ini!" Ibu akhirnya angkat bicara. Suaranya memang tidak stabil, mungkin shock dengan apa yang saat ini sedang terjadi.
Aku sebenernya bisa menjawab perkataan ibu, tapi untuk apa?
Aku sudah terlalu sering melewatkan cinta luar biasa, hanya demi kebahagiaan keluarga. Usiaku memang sudah menginjak kepala tiga, namun aku memang belum niat untuk membangun rumah tangga. Ini semua terjadinya bukan karena aku tidak ingin menikah. Namun, aku terlalu sibuk bekerja untuk menghidupi keluargaku. Ayahku sudah tidak tidak sekuat dulu lagi dalam bekerja. Ibuku sakit-sakitan, sedangkan adikku sedang butuh biaya banyak untuk pendidikan. Lalu kalau bukan aku, siapa lagi yang mau peduli dengan kelangsungan hidup mereka?
Kesibukanku dalam mencari uang, membuatku lupa untuk mencari pasangan hidup. Aku sering sekali mendengar cibiran dari orang-orang disekitar. Bahkan, beberapa dari mereka menjadikan keadaanku sebagai bahan bercandaan ketika mereka sedang ngobrol di tukang sayur.
"Ya sudah, nikahkan kami sekarang kalau begitu." Aku menundukkan kepala lagi, pasrah atas apa yang akan terjadi di kehidupanku selanjutnya.
"Sudah malam, saya rasa kita nikahkan besok saya anak-anak kita, Pak," ucap Pak Hans, "saya hadirkan penghulu sekalian. Yang penting sah dulu sebagai suami istri, yang lain-lain kita bicarakan setelah mereka melangsungkan Ijab Qobul."
Sepulangnya Pak Bima beserta dengan ksmuarganya, aku mengurung diri di kamar. Ayah dan ibu kecewa berat denganku. Mereka juga masuk ke kamar tanpa bertanya lagi tentang kebenaran kabar yang dibawa oleh Pak Hans.
****************
"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq," ucap Pak Bima dengan lantang dan dalam satu helaan napas.
"Sah sah sah?" tanya Pak Penghulu kepada orang-orang yang ada di sekitar kami.
"Sahhh." Ucapan kata sah menggema begitu saja di langit-langit ruangan ini. Aku membuang napas dengan kasar untuk mengurangi kekesalan yang bersemanyam di dalam dadaku. Sedangkan, orang yang ada di sampingku justru melakukan hal yang berbanding terbalik denganku. Dia menghela napas lega sambil tersenyum.
"Alhamdulillah," ucap Pak Bima dan ayah secara bersamaan.
Pak Bima mengulurkan tangannya ke arahku. Kalau dalam kondisi seperti ini aku boleh memilih, aku pasti akan menangkis tangan milik Pak Bima. Tapi, karena aku tidak punya pilihan dan ada orang tua yang hatinya harus kujaga, maka aku menyambut uluran tangannya kemudian pura-pura mencium dengan takzim. Beberapa kamera sengaja di arahkan kepada kami, untuk mengabadikan hari bersatunya kami dalam ikatan pernikahan penuh paksaan.
Aku tersenyum getir menyadari apa yang saat ini sedang terjadi. Rasanya ingin memaki diri sendiri atas ketidakberdayaan dalam meluruskan kasus ini. Belum reda rasa muakku, kini aku harus bersandiwara untuk tersenyum ketika mendapat ucapan selamat dari beberapa orang yang ada di ruangan ini.
Setelah semua dirasa cukup, Pak Hans beserta keluarga yang lain bersiap untuk pulang. Pak Bima menggandengku keluar dari rumah. Aku menarik tanganku dengan kasar. Selain karena kaget, aku juga merasa tidak nyaman diperlakukan sedemikian rupa oleh Pak Bima yang saat ini sudah menjadi suamiku.
"Maaf ..." Itu adalah kata pertama yang dia ucapkan kepadaku setelah tadi dia mengucapkan Ijab Kabul di depan penghulu dan juga ayah.
Aku mendelik galak ke arahnya. Ingin marah tapi waktunya belum tepat, rumah masih sangat ramai, dan emosiku juga masih belum stabil. Aku takut, jika ku luapkan sekarang maka semua umpatan dan juga sumpah serapah pasti keluar dari mulut jahatku.
"Apa maumu?" tanyaku kemudian.
"Membahagiakanmu," jawabnya singkat.
Jika menyiksa orang halal untuk dilakukan, maka saat ini juga kusumpal mulut itu dengan sandal jepit yang saat ini sedang kugunakan."Kenapa harus aku?" tanyaku menyelidik.
"Karena saat ini, kamu adalah istriku," ucapnya sambil memegang bahuku.
Aku melepaskan kedua tangannya dari bahuku, kemudian ku kepalkan tangan di depan dadaku dan ku tempelkan dengan gemas di lengan kekarnya.
"Hih!" Aku gemas setengah mati dengan manusia yang ada di depanku. Meski siang ini dia sedang tampan-tampannya namun rasa gregetan ini mengalahkan segalanya.
"Aku tau kamu marah, kamu benci, dan kamu tidak suka dengan ini semua. Tapi percayalah, aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu." Dia mengelus pelan lenganku. Aku menghindar seketika. Dia sudah membuat banyak orang salah paham terhadapku. Citra baik yang sudah ku bangun selama puluhan tahun, harus kandas karena permainannya. Aku tidak tau kenapa Pak Bima melakukan ini semua kepadaku, yang aku tau, dia hanyalah manusia ambigu yang penuh dengan ketidakjelasan.
"Menyakitiku atau tidak, itu bukan urusanku! Yang pasti, aku sangat tidak suka dengan apa yang Bapak lakukan terhadapku ..." Napasku memburu, ingin kutumpahkan semua resah yang sudah dari kemarin sore hinggap dipikiranku.
"Kejadian ini tidak hanya menyakitiku sebagai seorang wanita, Pak. Namun juga menciderai perasaan kedua orang tuaku. Mereka pasti sangat kecewa terhadapku, juga merasa gagal sebagai orang tua karena anak gadisnya melalukan perbuatan tidak senonoh di tempat umum," geramku padanya, "meskipun anak gadis mereka tidak pernah melakukan itu semua!" Bentakku padanya.
Aku mengusap pipiku yang sudah basah, "Namun, jika mempermainkanku bisa membuatmu bahagia, semoga suatu saat kamu tidak menemui kesakitan, seperti apa yang aku rasakan saat ini."Aku berbalik badan, ingin masuk ke kamar untuk membuang rasa kesal penuh kesakitan ini. Tiba-tiba telapak tangan kananku, dipegang dari belakang. Pak Bima menahanku untuk pergi dan dalam sekali tarikan, tubuhku sudah berada dalam dekapannya.
"Maafkan aku, Kiara. Aku berjanji, setelah ini aku tidak akan pernah membuatmu menangis lagi," janjinya padaku.
Tumpah sudah semua yang aku tahan. Aku menangis di dalam pelukan Pak Bima. Isak yang tadi tidak ku ijinkan keluar, kini terdengar lirih membelai gendang telinga. Aku tidak tau, apakah aku bisa memaafkan dia atau tidak. Yang pasti, hatiku masih tercabik ketika sorot mata kemarahan ayah tiba-tiba mampir ke dalam pikiranku.
Aku langsung masuk ke kamar setelah semua keluarga Pak Bima pulang. Riuh yang tadi diciptakan oleh puluhan orang, kini hanya menyisakan suara dari detak jarum jam, berjalan dari detik satu ke detik berikutnya.Setelah 2 jam sibuk menyambut tamu dari keluarga Pak Bima, badanku rasanya capai sekali. Kaki yang biasa kugunakan untuk berjalan, sekarang terasa pegal-pegal, mungkin karena terlalu lama berdiri diatas sepatu highhells yang tingginya tujuh cm. Seluruh tulang dan juga persendianku juga ikut sakit. Aku duduk di atas kasur, kemudian menyejajarkan kaki agar rasa pegalnya sedikit berkurang. Sedih rasanya jika harus meninggalkan ruangan yang sudah kutempati selama hampir 30 tahun ini. Namun, tidak mungkin jika seorang bos seperti Pak Bima bersedia untuk tidur di ruangan sempit seperti ini. Aku mengamati dengan saksama setiap sudut ruangan yang kusebut dengan kamar, terlalu banyak kenangan dan juga cerita yang tersimpan disini.Pintu kamar terbuka perlahan. Pak
Aku yakin, mukaku sekarang pasti sudah memerah seperti kepiting rebus. Rasa malu yang aku rasakan, menjalar begitu cepat ke sekujur tubuh. Mukaku panas, dan kakiku mendadak terasa lemas, lumpuh seketika.Aku menyeka ujung mataku dengan ibu jari. Ya ampun, aku nangis saking malunya. Kalau Tuhan kasih aku satu permintaan, tentu saja aku ingin Tuhan menghapus ingatan Pak Bima saat ini juga, biarin deh Pak Bima hilang ingatan sampe dia kakek-kakek nanti. Aduh, tapi kalau Pak Bima amnesia, nasibku nanti gimana dong?Kepalaku sebelah kiri tiba-tiba berdenyut kencang. Ternyata semakin dipikirkan, justru membuat kedua kakiku menjadi semakin lemas. Badanku ambruk seketika."Kiara, kenapa? Kamu jatuh?" suara Pak Bima terdengar sangat jelas di telingaku."Eng-enggak, Pak. Saya baik-baik saja," jawabku dengan suara yang agak bergetar. Udara di dalam kamar mandi ini sebenarnya panas, tapi tubuhku merinding
Setiap kali teringat kejadian semalam, pipiku pasti langsung memerah dan terasa sedikit panas. Rasa malu itu masih ada, meski aku sudah berusaha melupakan kejadian semalam.Setelah Pak Bima memergoki rambutku yang masih lengket akibat bilasan sabun yang kurang bersih, aku langsung berlari menuju ke kamar mandi. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengguyurkan air ke sekujur badan. Bibirku mencebik ketika sadar bahwa baju yang kukenakan masih lengkap dan melekat di tubuhku."Kamu ngapain basah-basahan begitu? Emang gak dingin?" Pak Bima mungkin merasa aneh melihatku mandi dengan pakaian yang masih lengkap."BAPAK, NGAPAIN ADA DI SITU?" teriakku kepadanya.Dia menopang dagu, kemudian menjawab pertanyaanku dengan santai, "saya dari tadi duduk di sini sambil kerja, dan kamu tau itu. Kok tiba-tiba sekarang nanya ngapain saya di sini? Aneh." Dia menggelengkan kepalanya pelan."BAPAK, SAYA BARU MANDI!" bentakku.
Aku mengucek mata secara perlahan, memastikan orang yang ada di sebelahku sudah tertidur lelap. Namun, setelah berkali-kali aku mengusap mata, aku tidak menemukan orang itu. Aku reflek duduk kemudian menyalakan lampu tidur yang ada di atas nakas. Kuedarkan pandangan ke setiap sudut kamar untuk mencari keberadaan Pak Bima dan ketika mata ini tidak sengaja menatap ke bawah, aku menemukan dia sedang meringkuk di bawah ranjang.Aku turun dari kasur kemudian membalikkan badan Pak Bima yang saat itu sedang tidur dengan posisi telungkup. Meski badan Pak Bima tergolong kecil, namun ternyata butuh beratus-ratus kalori untuk menelentangkan badannya. Aku menggoyang-goyangkan lengannya agar dia segera bangun. Namun, usaha yang aku lakukan sepertinya percuma. Jangankan bangun, bergerak saja tidak. Karena aku capek menggoyangkan badan, akhirnya aku menggunakan jurus pamungkas, yaitu memencet hidung mancun
Aku terperanjat setelah melihat tonjolan yang ada di dalam celana Pak Bima. Baru kali ini aku melihat tonjolan sebesar itu. Dengan kaki yang gemetar, aku mengendap-endap melewati Pak Bima, merangkak sepelan mungkin agar dia tidak terbangun."Uhmm ...." Pak Bima mengigau sambil menggaruk pipi tirusnya.Aku menahan napasku ketika tubuh mungilku berada di atas Pak Bima, jangan sampai embusan napas ini membangunkan dia yang masih sibuk merangkai mimpi. Namun, ketika mataku tidak sengaja menatap wajah polosnya yang masih terlelap, tanganku enggan beranjak dari tempat itu. Muka tampan Pak Bima sepertinya menyimpan ribuan magnet yang membuat kedua bola mataku tak mampu berpaling ke arah lain. Ku perhatikan setiap lekuk wajah yang dimiliki oleh Pak Bima. Alis yang tebal, kedua mata yang agak sipit, hidung mancung, bibir sintal, pipi tirus, dagu yang ah dia memiliki ketampanan yang tanpa cela."Ki ...." gumamnya pelan. Dia melingk
Suasana di ruang makan mendadak menjadi kacau. Pak Bima mendekat ke arahku dengan muka yang masih merah padam karena menahan amarah. Aku menunduk, takut melihat ekspresi tidak menyenangkan dari orang-orang yang ada di ruangan ini."Kak Bima duduk dulu, semua bisa kita bicarakan dengan baik. Asal Kak Bima mau meredam emosi dan juga menurunkan ego milik Kakak," bisik Binar pada Pak Bima."Apa yang perlu dibahas? Dalam kasus ini memang mereka yang salah. Bima susah diarahkan sedangkan istrinya tidak bisa menjaga diri." Brian menyuapkan nasi ke dalam mulutnya,"Wanita itu seharusnya bisa menjaga dirinya, bukan malah mengobral diri kesana kemari. Secantik apapun orangnya, kalau sudah begitu ya enggak menarik lagi, buatku wanita seperti itu, kesannya justru sangat murahan sekali."Pak Bima menggebrak meja yang ada di depannya. Rahangnya menegang dengan gigi yang terdengar saling bergesekan."Apa maksudmu, hah?" Pak Bima me
Aku mendekat ke ruang kerja Pak Bima untuk menajamkan pendengaranku. Aku kira kegaduhan tadi pagi, yang berujung pada keluarnya Pak Bima dari rumah, sudah cukup untuk meredam kemarahan dari Pak Hans. Tapi, nyatanya aku keliru. Pertengkaran di dalam ruangan ini justru lebih gaduh jika dibandingkan dengan cek cok mulut tadi pagi.Aku menempelkan telingaku di daun pintu setelah beberapa saat tidak mendengar suara apapun dari dalam ruangan. Aku takut jika satu diantara mereka melakukan hal-hal yang tidak baik, sebab aku tau orang dari keluarga Pak Hans memiliki watak yang keras dan tidak mau mengalah. Ditambah lagi aku sering mendengar dari karyawan kantor ini, bahwa mereka tidak segan menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginan mereka.'klek'Pintu terbuka secara tiba-tiba bersamaan dengan terhuyungnya badanku ke dalam ruangan. Aku jatuh tersungkur di depan Pak Hans dan Pak Bima yang mukanya masih sama-sama menegang. Tatapan
Obrolan sederhana tentang sein motor emak-emak membuat kami tidak berhenti tertawa. Hujan yang deras, bahkan tidak mampu meredam suara tawa milik kami."Kamu tau gak, Ki, kenapa papa muda enggak berani nglawan emak-emak pakai daster?" Pak Bima masih memeluk bahuku dengan erat."Hmm mungkin karena emak berdaster galak kali ya, Pak?" Aku menjawab pertanyaan Pak Bima dengan sebuah pertanyaan."Yee salah!" Serunya sambil menahan tawa."Lah kenapa emang?""Soalnya kalau emak berdaster udah dandan, pesonanya bikin papa muda kelonjotan kaya orang epilepsi hahaha." Tawanya meledak.Aku tersenyum mendengar ocehannya. Kalau diamati dari samping begini, ternyata Pak Bima ganteng juga. Wajah tirusnya, dagu yang terbelah secara alami, tatapan mata tajamnya, hidung mancungnya, alisnya yang tebal, dan semua yang tercetak di wajahnya membuat siapa saja bisa tertarik kepadanya dengan begitu mudah.