Share

Crash Melody 7

Saat ini Endra sedang berada di salah satu cabang hotel Bhima yang ada di kota Semarang. Hotel cabang di kota ini mengalami penurunan penjualan yang sangat signifikan. Maka dari itu, Endra datang untuk melakukan sidak.

Seharian melakukan sidak bersama pimpinan cabang membuat dia kelelahan luar biasa. Padahal sebelumnya dia pikir bisa sedikit bersantai menikmati suasana kota Semarang. Tapi ternyata pemikiran Endra salah. Semarang tak jauh beda dari Jakarta. Sama-sama panas. Yang membedakan hanya tingkat polusinya saja. Ya, udara di semarang lebih ramah dibanding udara Jakarta.

Karena tubuhnya sudah terasa pegal semua, Endra pun berjalan cepat mendekati ranjang setelah menutup pintu kamar hotel. Dia lalu melemparkan separuh tubuhnya ke atas ranjang. Kakinya dia biarkan menggantung. Bersamaan dengan rasa nyaman yang tubuhnya rasakan, Endra perlahan memejamkan mata.

Namun baru beberapa menit memejamkan mata, Endra membuka matanya lagi karena mendengar surara ketukan pintu. Dia lalu turun dari ranjang dan berjalan mendekati pintu.

Rupanya orang yang mengetuk pintu adalah Kara. “Ada apa, Kar?” tanya Endra, “lo belum tidur?”

Kara tersenyum. Gadis dengan rambut bergelombang itu lalu menunjukkan secangkir minuman ke hadapan Endra. “Saya membawa ini untuk Pak Endra,” katanya.

“Nggak usah repot-repot, Kar,” kata Endra, “ini bukan jam kerja lo. Kenapa lo masih ngelayanin gue?”

“Jadi ditolak nih?” sahut Kara.

“Nggak gitu maksud gue,” sahut Endra, “gue cuma nggak mau lo repot demi gue. Ini kan jamnya lo istirahat.”

“Nggak apa-apa kok, Pak,” sahut Kara, “saya nggak repot. Lagian saya kesepian di kamar sendirian.”

“Yaudah kalo gitu sini masuk,” kata Endra. Dia menerima cangkir dari kara, “tutup pintunya.”

Endra lalu meletakkan minumannya di atas meja. Dia kemudian duduk di depan meja itu. Sementara itu Kara berdiri di dekatnya.

Endra tertawa setelah menyeruput teh hangat buatan Kara. “Lo duduk aja kali, Kar,” katanya, “santai aja, jangan terlalu formal. Kita nggak lagi di kantor.”

Kara lalu duduk di samping Endra. Dia memperhatikan bosnya itu dengan tatapan takjub. Laki-laki itu sangat tampan di mata Kara. Tulang rahangnya yang begitu tegas menambah kesan karismatik. Rasanya mustahil kalau laki-laki itu tidak punya pasangan. Kara jadi tergelitik untuk bertanya.

“Pak Endra, boleh nggak saya tanya sesuatu?” tanya Kara.

“Tanya apaan?” sahut Endra. Dia meletakkan cangkirnya.

“Emm ... seblumnya Kara minta maaf ya, Pak, kalau pertanyaan Kara ini kedengerannya lancang,” balas Kara.

Endra menggeser tubuhnya agak menyamping sehingga dia bisa melihat Kara dengan leluasa. Dia lalu tersenyum. “Mau ngomong apa sih, Kar, serius banget?”

“Pak Endra punya pacar nggak?” tanya Kara.

Endra tak langsung menjawab. Dia terdiam. Kondisi itu membuat Kara menyesal. Bagaimana kalau Endra tersinggung. Kalau bisa ditarik, Kara ingin menarik kata-katanya. Emma menghembuskan napas lega saat mendengar Endra tertawa.

“Kenapa sih kepo banget?” kata Endra.

“Ma ... maaf, Pak,” sahut Kara, “saya cuma penasaran.”

“Nggak,” balas Endra, “gue nggak punya cewek. Gue sibuk ngurusin hotel gini mana sempet mikirin cewek, Kar.” Dia lalu menyesap tehnya lagi.

Kara mengambil napas lalu menghembuskannya dengan lega. Pengakuan Endra itu membuatnya tenang. Setidaknya Kara punya banyak peluang untuk tetap bisa mendekati Endra.

“Emang kenapa lo nanya gitu?” tanya Endra. Dia meletakkan cangkirnya lalu menatap Kara dengan serius.

Kara menahan napas. Dadanya bergemuruh. Jarak wajahnya dengan Endra hanya sekitar ttiga puluh senti meter. Baru pertama kali Endra menatapnya dari jarak sedekat ini. Untuk mengurangi rasa gugupnya, Kara lalu berdiri.

“Seperti yang saya bilang tadi,” kata Kara, “saya cuma penasaran. Rasanya mustahil saja laki-laki sekeren dan setampan Pak Endra nggak punya pacar.”

Endra tertawa. Dia lalu berjalan mendekati balkon jendela kaca yang menjadi pembatas ruangan kamar dengan balkon. Dia memandangi keindahan pemandangan malm kota Semarang dari balik kaca itu.

“Dulu gue pernah pacaran sekali pas kuliah,” kata Endra. Pandangannya menerawang, “gue suka banget sama dia dari awal-awal masuk ke kampus. Bahkan setelah tahu fakta kalo dia terkenal suka morotin sampe nggak ada satu pun cowok yang mau deketin dia di kampus, gue masih aja bucin sama dia. Singkat cerita, kesempatan itu gue pake buat ngedeketin dia dan kita pun jadian. Tapi setelah beberapa bulan pacaran, dia malah selingkuhin gue sama kating yang ternyata anaknya anggota dewan.”

Kara tertegun mendengar cerita Endra. Pantas saja laki-laki itu sampai sekarang tidak punya kekasih lagi. Mungkin luka hatinya benar-benar parah dan bahkan sampai trauma.

“Saya turut prihatin mendengar cerita Pak Endra,” kata Kara. Dalam hitungan detik muncul keinginan dalam diri Kara untuk merengkuh punggung laki-laki yang ada di depannya itu. Namun, dalam hitungan detik juga Kara segera membuang keinginan itu. Sebesar apa pun rasa sayang yang tumbuh di hatinya untuk Endra dia tidak layak untuk bosnya itu.

Endra tertawa. “Apaan sih, Kar,” katanya. Dia berbalik menghadap Kara, “gue nggak suka dikasihanin. Maaf deh gue tadi keceplosan cerita.”

“Nggak apa-apa kok,” kata Kara, “Pak Endra mau cerita apa aja sampe larut malem juga saya bersedia mendengarkan.”

Endra tertawa lagi. “Gue nggak pernah nulis ‘mendengarkan curhat bos’ di jobdesc lo ya,” katanya setelah tawanya reda.

Kara terbahak.

***

Zevan menselonjorkan kakinya. Dia lalu mendorong Raden yang rebahan di sampingnya agar temannya itu sedikit menjauh. Seharian melakukan talkshow di TV dan radio di Jakarta dan Bandung membuatnya kelelahan. Dia membutuhkan ruang yang lebih luas untuk berbaring.

“Lo apaan sih Van dorong-dorong,” kata Raden. Tangannya memukul lengan Zevan, tapi matanya tak lepas dari layar jumbo di depannya yang tengah memutar salah satu seri film Fast Furious

“Lo geseran, sempit nih,” balas Zevan.

Raden bergeser, dia lalu duduk. Matanya menangkap sosok Jojo yang sedang mencari sesuatu di kulkas.

“Jo, si Okan mana deh?” tanya Raden, “tumben dia nggak bareng sama lo ke sini?

“Tau tuh si Okan kemana,” Zevan menyahut, “bisa-bisa sampe ini film abis tuh anak nggak dateng.”

Jojo berjalan mendekati ranjang jumbo tempat Zevan berbaring. Dia duduk di samping ranjang lalu meminum isi kaleng soda yang ada di tangannya. “Tadi pas gue mampir ke apartemennya, dia lagi sama ceweknya, “kata Jojo setelah minum satu teguk, “katanya sih dia mau nyusul.”

Zevan bangkit. Dia lalu tertawa. “Lo percaya gitu sama omongan dia?”

Jojo menggeleng. “Nggak sih,” sahutnya, “soalnya kalo udah berduaan sama ceweknya di apartemen bisa dipastiin dia bakalan main kuda-kudaan sama ceweknya sampe pagi.”

Raden terbahak mendengar ucapan Jojo. Zevan juga. Dia terpingkal-pinhkal sampai sakit perut.

“Enak ya jadi Okan,” kata Jojo.

“Maksud lo?” tanya Raden.

“Ya enak dia punya cewek bisa dapet asupan kapan aja dia mau,” sahut Jojo.

“Lo kalo mau asupan kan juga bisa jajan,” sahut Zevan. Dia lalu berbaring lagi dan menatap layar TV, “susah amat kayak orang nggak punya duit lo.”

“Jajan ... jajan,” sahut Jojo, “lo enak tinggal ngomong, kalo gue kena penyakit kelamin gimana? Lo mau Evolution kehilangan satu personel?”

“Ya kita tinggal cari personel baru,” sahut Raden. Dia lalu mencolek Zevan, “ya kan, Van?”

Zevan mengacungkan jari jempolnya.

Jojo merajuk. Dia lalu mengambil sebuah guling dan dipukulinya Raden dan Zevan bergantian. “Sialan lo berdua,” katanya.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status