Saat ini Endra sedang berada di salah satu cabang hotel Bhima yang ada di kota Semarang. Hotel cabang di kota ini mengalami penurunan penjualan yang sangat signifikan. Maka dari itu, Endra datang untuk melakukan sidak.
Seharian melakukan sidak bersama pimpinan cabang membuat dia kelelahan luar biasa. Padahal sebelumnya dia pikir bisa sedikit bersantai menikmati suasana kota Semarang. Tapi ternyata pemikiran Endra salah. Semarang tak jauh beda dari Jakarta. Sama-sama panas. Yang membedakan hanya tingkat polusinya saja. Ya, udara di semarang lebih ramah dibanding udara Jakarta.Karena tubuhnya sudah terasa pegal semua, Endra pun berjalan cepat mendekati ranjang setelah menutup pintu kamar hotel. Dia lalu melemparkan separuh tubuhnya ke atas ranjang. Kakinya dia biarkan menggantung. Bersamaan dengan rasa nyaman yang tubuhnya rasakan, Endra perlahan memejamkan mata.Namun baru beberapa menit memejamkan mata, Endra membuka matanya lagi karena mendengar surara ketukan pintu. Dia lalu turun dari ranjang dan berjalan mendekati pintu.Rupanya orang yang mengetuk pintu adalah Kara. “Ada apa, Kar?” tanya Endra, “lo belum tidur?”Kara tersenyum. Gadis dengan rambut bergelombang itu lalu menunjukkan secangkir minuman ke hadapan Endra. “Saya membawa ini untuk Pak Endra,” katanya.“Nggak usah repot-repot, Kar,” kata Endra, “ini bukan jam kerja lo. Kenapa lo masih ngelayanin gue?”“Jadi ditolak nih?” sahut Kara.“Nggak gitu maksud gue,” sahut Endra, “gue cuma nggak mau lo repot demi gue. Ini kan jamnya lo istirahat.”“Nggak apa-apa kok, Pak,” sahut Kara, “saya nggak repot. Lagian saya kesepian di kamar sendirian.”“Yaudah kalo gitu sini masuk,” kata Endra. Dia menerima cangkir dari kara, “tutup pintunya.”Endra lalu meletakkan minumannya di atas meja. Dia kemudian duduk di depan meja itu. Sementara itu Kara berdiri di dekatnya.Endra tertawa setelah menyeruput teh hangat buatan Kara. “Lo duduk aja kali, Kar,” katanya, “santai aja, jangan terlalu formal. Kita nggak lagi di kantor.”Kara lalu duduk di samping Endra. Dia memperhatikan bosnya itu dengan tatapan takjub. Laki-laki itu sangat tampan di mata Kara. Tulang rahangnya yang begitu tegas menambah kesan karismatik. Rasanya mustahil kalau laki-laki itu tidak punya pasangan. Kara jadi tergelitik untuk bertanya.“Pak Endra, boleh nggak saya tanya sesuatu?” tanya Kara.“Tanya apaan?” sahut Endra. Dia meletakkan cangkirnya.“Emm ... seblumnya Kara minta maaf ya, Pak, kalau pertanyaan Kara ini kedengerannya lancang,” balas Kara.Endra menggeser tubuhnya agak menyamping sehingga dia bisa melihat Kara dengan leluasa. Dia lalu tersenyum. “Mau ngomong apa sih, Kar, serius banget?”“Pak Endra punya pacar nggak?” tanya Kara.Endra tak langsung menjawab. Dia terdiam. Kondisi itu membuat Kara menyesal. Bagaimana kalau Endra tersinggung. Kalau bisa ditarik, Kara ingin menarik kata-katanya. Emma menghembuskan napas lega saat mendengar Endra tertawa.“Kenapa sih kepo banget?” kata Endra.“Ma ... maaf, Pak,” sahut Kara, “saya cuma penasaran.”“Nggak,” balas Endra, “gue nggak punya cewek. Gue sibuk ngurusin hotel gini mana sempet mikirin cewek, Kar.” Dia lalu menyesap tehnya lagi.Kara mengambil napas lalu menghembuskannya dengan lega. Pengakuan Endra itu membuatnya tenang. Setidaknya Kara punya banyak peluang untuk tetap bisa mendekati Endra.“Emang kenapa lo nanya gitu?” tanya Endra. Dia meletakkan cangkirnya lalu menatap Kara dengan serius.Kara menahan napas. Dadanya bergemuruh. Jarak wajahnya dengan Endra hanya sekitar ttiga puluh senti meter. Baru pertama kali Endra menatapnya dari jarak sedekat ini. Untuk mengurangi rasa gugupnya, Kara lalu berdiri.“Seperti yang saya bilang tadi,” kata Kara, “saya cuma penasaran. Rasanya mustahil saja laki-laki sekeren dan setampan Pak Endra nggak punya pacar.”Endra tertawa. Dia lalu berjalan mendekati balkon jendela kaca yang menjadi pembatas ruangan kamar dengan balkon. Dia memandangi keindahan pemandangan malm kota Semarang dari balik kaca itu.“Dulu gue pernah pacaran sekali pas kuliah,” kata Endra. Pandangannya menerawang, “gue suka banget sama dia dari awal-awal masuk ke kampus. Bahkan setelah tahu fakta kalo dia terkenal suka morotin sampe nggak ada satu pun cowok yang mau deketin dia di kampus, gue masih aja bucin sama dia. Singkat cerita, kesempatan itu gue pake buat ngedeketin dia dan kita pun jadian. Tapi setelah beberapa bulan pacaran, dia malah selingkuhin gue sama kating yang ternyata anaknya anggota dewan.”Kara tertegun mendengar cerita Endra. Pantas saja laki-laki itu sampai sekarang tidak punya kekasih lagi. Mungkin luka hatinya benar-benar parah dan bahkan sampai trauma.“Saya turut prihatin mendengar cerita Pak Endra,” kata Kara. Dalam hitungan detik muncul keinginan dalam diri Kara untuk merengkuh punggung laki-laki yang ada di depannya itu. Namun, dalam hitungan detik juga Kara segera membuang keinginan itu. Sebesar apa pun rasa sayang yang tumbuh di hatinya untuk Endra dia tidak layak untuk bosnya itu.Endra tertawa. “Apaan sih, Kar,” katanya. Dia berbalik menghadap Kara, “gue nggak suka dikasihanin. Maaf deh gue tadi keceplosan cerita.”“Nggak apa-apa kok,” kata Kara, “Pak Endra mau cerita apa aja sampe larut malem juga saya bersedia mendengarkan.”Endra tertawa lagi. “Gue nggak pernah nulis ‘mendengarkan curhat bos’ di jobdesc lo ya,” katanya setelah tawanya reda.Kara terbahak.***Zevan menselonjorkan kakinya. Dia lalu mendorong Raden yang rebahan di sampingnya agar temannya itu sedikit menjauh. Seharian melakukan talkshow di TV dan radio di Jakarta dan Bandung membuatnya kelelahan. Dia membutuhkan ruang yang lebih luas untuk berbaring.“Lo apaan sih Van dorong-dorong,” kata Raden. Tangannya memukul lengan Zevan, tapi matanya tak lepas dari layar jumbo di depannya yang tengah memutar salah satu seri film Fast Furious“Lo geseran, sempit nih,” balas Zevan.Raden bergeser, dia lalu duduk. Matanya menangkap sosok Jojo yang sedang mencari sesuatu di kulkas.“Jo, si Okan mana deh?” tanya Raden, “tumben dia nggak bareng sama lo ke sini?“Tau tuh si Okan kemana,” Zevan menyahut, “bisa-bisa sampe ini film abis tuh anak nggak dateng.”Jojo berjalan mendekati ranjang jumbo tempat Zevan berbaring. Dia duduk di samping ranjang lalu meminum isi kaleng soda yang ada di tangannya. “Tadi pas gue mampir ke apartemennya, dia lagi sama ceweknya, “kata Jojo setelah minum satu teguk, “katanya sih dia mau nyusul.”Zevan bangkit. Dia lalu tertawa. “Lo percaya gitu sama omongan dia?”Jojo menggeleng. “Nggak sih,” sahutnya, “soalnya kalo udah berduaan sama ceweknya di apartemen bisa dipastiin dia bakalan main kuda-kudaan sama ceweknya sampe pagi.”Raden terbahak mendengar ucapan Jojo. Zevan juga. Dia terpingkal-pinhkal sampai sakit perut.“Enak ya jadi Okan,” kata Jojo.“Maksud lo?” tanya Raden.“Ya enak dia punya cewek bisa dapet asupan kapan aja dia mau,” sahut Jojo.“Lo kalo mau asupan kan juga bisa jajan,” sahut Zevan. Dia lalu berbaring lagi dan menatap layar TV, “susah amat kayak orang nggak punya duit lo.”“Jajan ... jajan,” sahut Jojo, “lo enak tinggal ngomong, kalo gue kena penyakit kelamin gimana? Lo mau Evolution kehilangan satu personel?”“Ya kita tinggal cari personel baru,” sahut Raden. Dia lalu mencolek Zevan, “ya kan, Van?”Zevan mengacungkan jari jempolnya.Jojo merajuk. Dia lalu mengambil sebuah guling dan dipukulinya Raden dan Zevan bergantian. “Sialan lo berdua,” katanya.Yang masuk ke dalam ruangan setelah Hana dan Fajar keluar adalah Endra. Laki-laki itu awalya canguung saat melangkah ke dalam ruangan. Namun akhirnya dia bersuara juga setelah kakinya terhenti di dekat ranjang.“Kenapa lo nggak pernah cerita kalo lo sakit jantung?” tanya Endra.“Sebelumnya gue juga nggak tahu kok kalo gue sakit jantung. Gue baru ta ...”“Bohong,” sahut Endra, “gue pernah nemuin botol kecil tempat obat di kamar lo pas mau ngambil jam tangan Papa yang lo pinjem.”Zevan menghembuskan napas panjang. “Gue nggak mau terlihat lemah di hadapan orang-orang terdekat gue dan keluarga gue.”Endra tak menyahut. Dia memahami perasaan Zevan. Sebagai seorang anak laki-laki, dia juga gengsi akan bercerita tentang penyakit atau kelemahannya kepada keluarga.“Terus selama ini kenapa lo musuhin gue?” tanya Endra, “seharusnya kita nggak kayak gini nggak sih?”“Gue benci sama lo karena nyokap lebih sayang sama lo,” kata Zevan, “gue udah berusaha maklum kalo Papa selalu jarang ada di rumah
Saat diberi tahu tentang perayaan hari ulang tahun sebenarnya Zevan tidak terlalu tertarik. Karena dia yakin momen itu tak akan menjadi momen yang spesial sespesial momen ulang tahun Endra. Dia bahkan berniat pergi di hari ulang tahunnya itu. Biar saja orang-orang rumah merayakan semua tanpa dirinya. Tapi setelah dinasihati Dania, akhirnya Zevan pun luluh. Meski tak terlihat bersemangat, Zevan tetap keluar kamar sekitar jam tujuh malam.Saat melihat dekorasi di ruang tamu rumahnya yang disulap menjadi hall, Zevan seketika merasa muak. Ruangan itu didekorasi dengan warna serba putih, warna kesukaan Endra. Pasti ini ide Hana. Lihatlah, di saat banyak Evolutioners yang menetahui hal-hal kecil tentang Zevan, ibunya sendiri malah tidak tahu warna favoritnya.Zevan seketika menghembuskan napas kasar. Dia ingin berbalik dan masuk ke dalam kamar lagi. Tapi niatnya itu tak berjalan mulus lantaran Fajar memanggilnya saat kakinya baru berjalan satu langkah.“Mau ke mana kamu?” tanya Fajar.“Mau
Seiring dengan renggangya komunikasi Zevan dan Dania, pemberitaan di sosial media tentang mereka juga mereda. Seharusnya Dania senang karena dengan begitu dia tak menjadi bahan kejar-kejaran awak media lagi. Tapi, kenyataannya tidak. Dia justru semakin merasa kosong karena itu sekaligus memperjelas kalau dia dan Zevan memang sudah sejauh itu sekarang.Dania lalu memikirkan saran dari Sisil. Apakah memang sebaiknya dia mengajak Zevan mengobrol? Karena jujur, dia sudah sangat muak dengan kecanggungan yang terjadi di antara dia da Endra selama bebeberapa minggu belakangan ini.Setelah berpikir selama beberapa menit, akhirnya Dania memutuskan untuk mengajak Zevan mengobrol. Dia memutuskan untuk berbicara dengan laki-laki itu setelah Evolution tampil.Tanpa Dania sangka, ternyata Zevan juga berniat mengajaknya berbicara. Karena saat bertatap muka, keduanya mengucapkan, “gue mau ngobrol sama lo,” secara hampir bersamaan.“Lo duluan aja,” kata Dania akhirnya.“Lo saja,” kata Zevan.“Lo dulua
“Jadi lo ngehancurin kencan mereka?” tamya Dania.“Iya,” sahut Zevan, “kesian anjir ceweknya tampangnya langsung bete gitu.”Dania terbahak. “Lah itu kan ulah lo juga kali,” katanya.“By the way, tadi gue udah mutusin kalo kita bakalan kelihatan kaya orang pacaran pas di depan Karra sama Endra aja,” kata Dania lagi.Zevan tak langsung menjawab. Kalau Dania sudah memutuskan seperti itu berarti kemungkainan mereka bersamaan akan berkurang. Tapi toh tak ada bedanya juga. Saat sedang bekerja pun dia teteap bisa mendekati Dania.“Zevan,” sahut Dania dari seberang, “kok lo diem sih?”“Eh, ya nggak apa-apa kalo misalnya keputusan lo kaya begitu,” sahut Zevan. Tapi sebenarnya dia berat mengucapkan hal itu.***Dania merasakan perubahan sikap Zevan selama beberapa hari. Kalau biasanya laki-laki itu sering mengobrol dengannya setiap istirahat makan siang, belakangan ini laki-laki itu jarang berbicara dengannya. Zevan berbicara dengannya kalau tentang masalah kerjaan saja. Sama persis saat awal-
Endra tentu saja panik melihat Karra. Dia lalu berusaha menenangkan gadis itu.“Hei, udah dong nangisnya. Aku minta maaf,” kata Endra, “Dia lalu mengusap pipi Karra yang basah dengan ujung ujung jarinya.“Sini,” kata Endra. Dia lalu mendekap Karra Erat-erat.“Jadinya kamu kenapa kok jadi aneh sikapnya ke aku setelah pesta malem itu?” tanya Dania setelah Endra melepaskan pelaukannya.Endra menghembuskan napas kasar. “Aku cuma masih syok aja ngelihat Zevan jaian sama seseorang yang pernah ada hubungan sama aku.”Karra menghembuskan napas panjang. “Beneran cuma itu? Sykur deh kalau kecurigaanku gak bener.”Endra tersenyum. Dia lalu mendekatkan wajahnya ke Karra. Tanpa aba-aba, dia menyematkan kecupan lembut dan dalam di bibir gadis itu. Rasanya seperti sudah lama sekali dia tak menyalurkan perasaannya pada Karra. Maka, dia lampiaskan semuanya sekarang. Perlahan, tangan kanannya pun mulai merayap di bawah rok Karra. Namun ketika mencapai pinggul gadisya itu, tangannya terhenti lantaran te
“Ayo buruan,” kata Hana.Endra menghembuskan napas kasar. Dia lalu maju lebih dulu.“Zevan buruan!” kata Hana.Akhirnya Zevan ikut maju juga. Mereka berdua akhirya saling bersalaman walau tak saling pandang. Hana geleng-geleng kepala melihatnya. Wanita itu lalu menghembuskan napas panjang.“Cepetan balik ke kamar sana, Endra,” kata Fajar, “Papa nggak mau ya ngeliat kalian berkelahi lagi kaya gini.”“Nggak janji,” kata Endra. Dia lalu beranjak pergi.***Seperti yang sudah Zevan duga sebelumnya. Kemunculannya dengan Dania di pesta malam itu pasti akan mengundang perhatian publik. Zevan tak tahu siapa pelaku pertama yeng mengunnggah video itu di internet. Yang pasti keesokan harinya setelah pesta itu selesai, videonya berdansa dengan Dania sudah tersebar di sosial media. Di X bahkan hastag ZevanDania masuk ke dalam sepuluh besar trending.Zevan ada jadwal nanti jam satu siang. Mungkin, dia baru akan keluar rumah sekitar jam sebelas pagi atau jam setengah dua belas siang. Selama itu dia