Share

Ayah

last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-01 10:52:52

Lelaki berjubah merah itu berdiri di ambang pintu, tangannya terkepal erat di kedua sisi tubuhnya. Surai gelap nan ikal sepanjang bahu membingkai wajahnya yang dingin. Iris matanya segelap Kegelapan, memantulkan cahaya obor yang bergoyang-goyang seperti mata iblis. Yang mengusik perhatian Venus adalah; wajah dan perawakan Amerta sama sekali jauh dari kesan bapak-bapak, melainkan lebih seperti lelaki gagah berusia dua puluhan … dengan aura yang lebih menakutkan.

Udara tiba-tiba bertiup dari pintu yang terbuka. Venus mengejang. Aroma tubuh Amerta seperti darah segar, tetapi sekelebat harum mawar entah kenapa mampu mengaburkannya.

 Amerta menutup pintu di belakangnya, lalu melangkah mendekat. Kepalan tangan lelaki itu mengendur; tapi tidak dengan Venus. Punggung gadis itu seperti diregangkan paksa oleh sesuatu. Setitik keringat dingin menetes di dahi kanannya.

Mata Venus dengan waspada mengawasi gerak-gerik Amerta, saat lelaki itu memosisikan diri di kursi yang sebelumnya diduduki Ildara. Venus menggigiti bagian dalam pipinya, dan langsung merasakan cairan seperti karat asin memenuhi rongga mulutnya.

“Kau tampak seperti ibumu.” Suara itu terdengar berat dan datar.

Venus menelan ludah berdarahnya dengan tegang. Buku-buku jari anak itu memutih hingga uratnya bertonjolan.

“Apa dia benar-benar sudah meninggal? Apa kau benar ayahku?” Venus diam-diam merasa terkejut. Ia tidak merencanakan pertanyaan itu, tapi bibirnya seperti bergerak sendiri.

Amerta tersenyum miring. Matanya menelusuri keadaan tubuh anaknya dengan kritis. “Ya, dia sudah meninggal dan ya, aku ayah biologismu.”

Jari-jari Venus seperti terkena kram. Ia menggertakkan gigi.

“Apa benar Mama … meninggal karena kecelakaan?” Akhirnya Venus berani menyuarakan ketakutannya selama ini. Suaranya bergetar.

Amerta memiringkan kepala sedikit. “Kau mau jawaban jujur, atau jawaban bohong yang munafik?”

Mata Venus menyipit. “Jujur.”

Amerta menyandarkan punggung ke kursi dan menyilangkan kaki dengan santai. Lelaki itu bersedekap, selanjutnya mengawasi ekspresi anak perempuan di hadapannya baik-baik.

“Aku membunuhnya.”

Venus membeku. Sulur-sulur listrik seakan menyetrum tubuhnya. Ia punya keraguan tersendiri atas meninggalnya sang ibu, tapi ini bukanlah jawaban yang Venus perkirakan. Pandangannya mengabur, darah dalam mulutnya bertambah lagi.

“Kau!” Venus berteriak.

Gadis itu bangkit berdiri dengan marah. Napasnya terengah-engah. Air mata mengalir deras hingga ke pipi. Ia menatap mata sang ayah dengan kemarahan tak terbendung, lantas memutuskan sesuatu.

Venus menarik keluar ion-ion listrik dalam tubuhnya. Dirasakannya sulur-sulur listrik mulai berkumpul di kedua telapak tangannya. Namun, penglihatan Venus tiba-tiba kabur. Kepalanya berdentam lebih sakit dari sebelumnya.

Venus mengerang, seketika menghentikan pengerahan Bakatnya dan jatuh terduduk di tepi ranjang. Tangan gadis itu, untuk sejuta kalinya, kembali mencengkeram kepalanya dengan kuat.

“Kekuatanmu belum pulih.” Venus mendengar Amerta berkata. “Kau belum makan sejak terakhir kali kau sadarkan diri.”

Venus mengangkat kepala dan menatap benci pada sosok di depannya. “Lalu apa, Pembunuh? Mau menyuruhku makan agar kau bisa membunuhku dengan racun?”

Amerta menggeleng dan tersenyum tipis. “Racun adalah senjatanya para wanita lemah. Aku tidak akan menurunkan harga diriku dengan melakukan itu.”

Amerta berdiri. “Pulihkan tenagamu hingga semaksimal mungkin. Akan kusuruh seseorang untuk mengantarkan makanan kemari. Kemudian, kau—” lelaki itu menunjuk Venus, lalu dirinya sendiri, “—dan aku, akan berakhir di tempat pertarungan.”

Venus memaksa berdiri meski tubuhnya agak terhuyung dibuatnya.

“Katakan padaku,” kata Venus perlahan.

Amerta menatap Venus tidak mengerti. “Katakan apa?”

“Kenapa kau membunuh Mama? Apa salahnya?” geram Venus membencinya.

“Salahnya?” ulang Amerta tergelak. “Dia memutuskan untuk menjadi musuhku, lalu berniat membunuhmu juga, dan kau masih tanya apa salahnya?”

Venus terperengah. Perkataan Amerta tidak mungkin mutlak kejujuran! Wajah dan senyuman ibunya di dalam foto adalah buktinya! Dia pasti menyayangi Venus … iya, 'kan?

Amerta tertawa. “Ada apa dengan wajahmu? Kenapa jadi diam? Tanyakan pada orang lain tentang Langit Prahara, dan dengarkanlah jawaban mereka. Kita lihat apakah kau masih menganggapnya lebih baik dariku.”

Venus tergagap sejenak, tapi kemudian mampu berkata, “Kau pasti bohong. KAU PASTI BOHONG!”

“Kita akan bertarung dan, toh, kau akan mati di tanganku. Jadi, untuk apa aku berbohong padamu?”

Amerta memiringkan kepala sekali lagi, lalu melecut kesadaran anak perempuannya. “Dan kau memanggilku pembunuh. Katakan padaku, Venus. Kaupanggil dirimu sendiri dengan sebutan apa setelah dua krona malang itu kau bakar?”

Amerta beranjak pergi. Meninggalkan Venus sendiri di keremangan ruang bawah tanah, dengan keyakinan terhadap kebenaran ilusi yang semakin terkikis setiap menitnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cucu Kegelapan   Sekutu

    Venus melihat mereka melalui kacamata malam yang dia kenakan, ketika akhirnya dia dan Ildara tiba di sebuah lubang yang hampir melingkar dengan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi mereka. Berada di sisi tebing, sekelompok orang "kecil" berbisik ketika mereka menyaksikan kedatangan Venus dan Ildara.“Orang-orang” ini, yang Mustaka panggil Ebu Gogo, tingginya hanya sekitar satu meter, wajah mereka ditutupi bulu lebat seperti primata non-manusia. Perut mereka membuncit seperti pot, dengan telinga mencuat seolah-olah telinga mereka telah menggunakan beban yang tidak terlihat selama sisa hidup mereka.Venus terus berjalan ke tengah lapangan kecil yang terbuka dengan langkah lambat sambil mengamati makhluk lain. Namun, tiba-tiba salah satu Ebu Gogo dengan bulu coklat muda di wajahnya mendekati Venus dengan cara berjalan kikuk. Meski begitu, ekspresinya terlihat seperti sedang marah.Ven

  • Cucu Kegelapan   Pertemuan

    Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau ti

  • Cucu Kegelapan   Rencana

    Malam itu Venus hanya tidur selama beberapa jam saja. Entah kenapa ia akhir-akhir ini punya masalah dengan pola tidurnya. Rasanya seperti ia lelah jika harus tidur lama-lama. Padahal tidurnya selalu kurang dari delapan jam.Setelah melempar tubuh lelaki yang ia bunuh tadi malam keluar gerbang kompleks, Venus segera pergi tidur saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Namun pada jam tiga pagi, ia terbangun dan tak bisa lagi memejamkan mata. Venus menghabiskan dini hari itu dengan menjelajahi ruang bawah tanah yang berdebu dan membaca beberapa buku fiksi koleksi Ildara di sana.Mustaka sama sekali tak menyahut saat gadis itu memanggilnya dengan telepati. Sedangkan Kaisar … sepertinya memang Venus tak bisa berbicara dengannya secara sembarangan. Kecuali Kaisar sendiri yang memulai.Pada jam lima, mata Venus berkedip-kedip lelah. Ia setengah mendesah lega, karena akhirnya mengantuk lagi. Namun gadis itu terpaksa berteriak sebal sendiri di kamarn

  • Cucu Kegelapan   Pembunuhan

    Besok adalah hari keempat belas sejak kepergian Ildara. Untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini, Venus merasakan kemarahan yang berlebih akibat Ildara yang sama sekali tak memberi kabar padanya. Venus bahkan sempat berpikir, kenapa waktu itu dia tidak memberikan masa tenggat lebih cepat dari ini pada Ildara. Ketidaksabaran membuat anak itu menjadi gerah terus-terusan berada di rumah besar ini. Meskipun punya teman tak kasatmata seperti Mustaka atau Kaisar—meski yang satu ini jarang sekali bertelepati dengannya—tapi Venus tetap merasakan kesepian. Benda yang disebut dengan televisi … Venus hanya menyalakan itu saat ia butuh melihat berita tentangnya lagi. Lagipula, Venus tiba-tiba menjadi benci dengan segala film yang ada di dimensi bumi ini. Semua film menceritakan tentang kebaikan akan selalu menang; bahwa kejahatan pasti akan hancur. Sesuatu yang menjadikan diri Venus lebih sinis dari seharusnya. Takdir nyata tak seindah dalam halusinasi film semata, pikir Venus saat

  • Cucu Kegelapan   Mereka Datang

    Malam itu Venus tak bisa tidur. Ia pergi ke halaman belakang rumah Ildara yang megah. Halaman itu tersambung dengan hutan lebat yang gelap dan tampak menakutkan.Venus melatih dan mengerahkan Bakat-nya dengan kegilaan yang tak kunjung mereda. Sekali Ildara pernah menegur Venus karena terlalu berlebih-lebihan dalam mengerahkan Bakat Petir, sehingga menciptakan guntur dan petir di mana-mana.Beberapa pohon di dalam hutan tampak terbakar. Namun, dalam ketidaksadaran, ia juga menurunkan hujan lebat di atasnya, sehingga api cepat padam.Venus membentak liar pada Ildara dan mengusirnya dengan percikan-percikan listrik. Setelah itu si kuyang tak lagi muncul untuk menegurnya.Venus membentak ke udara saat beberapa pohon di tepi hutan tercerabut dan terlempar satu-dua meter jauhnya.Belasan banaspati tiba-tiba melesat dan melemparkan api ke arah Venus. Namun, makhluk-makhluk itu tak mendapatkan ketakutan Venus, sehingga ukuran dan kekuatan mereka tak lebih

  • Cucu Kegelapan   Kemarahan

    “Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.”Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali.Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu.Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban.“Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan.Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun.Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding.Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu.Ildara ting

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status