Share

Ibu

Menurut Venus, ada dua kategori dewasa di dunia ini. Satu, dewasa dalam hitungan usia. Dan dua, dewasa karena keadaan yang memengaruhi psikis seseorang.

Venus masih berusia lima belas tahun … dan ia memasukkan dirinya sendiri ke kategori dewasa yang kedua.

Otak Venus dipaksa untuk memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak dipikirkan oleh remaja seusianya. Ia diharuskan untuk memperjuangkan hidup dan matinya. Ia dicokoli kebenaran nan menyakitkan secara terus menerus. Seakan-akan ia tidak boleh menjadi anak alay sebentar saja!

Venus menghela napas, merasa seperti sedang syuting sebuah sinetron komedi yang membosankan.

Sudah sembilan hari dia berada di ruang bawah tanah itu. Makan, minum, meregangkan badan, pergi ke kamar mandi, bermain Bubble Shooter dan Zombie Apocalypse di ponselnya. Sesekali meminum obat yang diberikan oleh seorang wanita tua, yang selalu datang ke ruangannya untuk mengantarkan makanan dan mengambil pakaian kotor Venus.

Di hari-hari itu, kehidupan Venus nyaris mendekati normal. Tubuhnya sudah kuat kembali. Sakit di kepala dan telinganya sudah banyak berkurang. Ia tak lagi diserang gejala pusing atau anemia. Venus hampir-hampir merasa nyaman.

Namun, Venus sadar bukan itu tujuan Amerta yang sebenarnya. Meski begitu, Venus pernah mencoba lari dari kesepakatannya dengan Kaisar, dan juga keinginan Amerta untuk bertarung dengan Venus.

Pada hari kelima, ia berniat untuk kabur dari ruang bawah tanah dan markas Amerta sejauh-jauhnya. Namun, Venus gagal; sekadar membuka pintu pun ia tidak mampu. Pintu itu sepertinya dilapisi atau ditempeli oleh anti-Bakat, dan dikunci dari luar dengan kuat. Bahu Venus sampai ngilu akibat terlalu sering mencoba mendobraknya.

(Berhenti mencoba, Venus,) Mustaka bertelepati pada Venus di hari keenam.

“Daripada mengoceh saja, tak bisakah kau membuatku tembus pandang atau apa, 'gitu?” sentak Venus geram, menghempaskan pantatnya pada salah satu dudukan kursi.

Pada hari ketujuh, ia hampir mencoba meretakkan dinding-dinding ruang bawah tanah itu, bahkan juga langit-langitnya, sebelum Mustaka mengingatkan itu tidak gunanya. Percuma menghancurkan ruang bawah tanah jika pada akhirnya Venus terkubur akibat ulahnya sendiri.

“Aku akan melindungi tubuhku dengan membuat selubung dari besi, setelah itu baru meruntuhkan ruang terkutuk ini!” ujar Venus bersemangat.

Mustaka bertelepati lagi dan langsung menjatuhkan semangat Venus dengan kejam. (Saat ruang bawah tanah beserta apapun yang ada di atasnya ini runtuh, Anda akan kembali pingsan karena kelelahan,  lalu selubung itu otomatis akan menghilang. Setelah itu, Anda bisa katakan selamat datang pada berton-ton beban yang akan mencium kepala Anda dengan romantis.)

Venus langsung berteriak frustrasi gara-gara ceramah roh itu, yang sialnya terdengar sangat masuk akal.

“Serius, Ka! Tak bisakah kau memberiku ide yang lebih baik dari itu?” Venus menyergah keras-keras.

(Ka?!)

Venus memutar-mutar bola mata.“Ya, Mustaka! Kau tak mau kupanggil Mus, dan aku capek harus memanggil nama lengkapmu. ‘Ka’ tidak terlalu buruk, kau tahu?”

(Tapi, Venus, itu bahkan bukan nama lengkap saya! Nama lengkap saya—)

“Sudahlah!” tukas Venus sebal. “Kau mau kaupanggil Ka atau Mus?”

(Ka saja, tolong.)

Venus menyeringai.

Pintu tiba-tiba terbuka. Venus langsung berdiri, terkejut. Ia menatap heran pada Ildara yang hanya berdiri di ambang pintu sambil bersedekap. Wanita itu tampak agak bosan.

Venus dengan cepat menelepati Mustaka. (Kira-kira dia mau apa, ya?)

(Entahlah.) Venus membayangkan Mustaka sedang menggeleng atau mengangkat bahu. Menyebalkan sekali saat kau punya partner rahasia yang benar-benar rahasia. Mustaka mengupil pun Venus tak akan tahu.

(Hati-hati saja, Venus.) Mustaka mewanti-wanti. (Dia itu kuyang. Lindungi darah Anda dengan benar.)

Venus diam-diam mendengus. (Yang benar saja, Ka. Dia tak akan membunuhku, atau dia akan berakhir di tangan ayahku yang mulia.)

Venus berdeham-deham. Ia mengangguk ke arah Ildara dengan sikap berani.

“Ada apa?” tanyanya santai, seakan sedang berbicara dengan teman sejawat.

Ildara mendesah. “Amerta ingin aku menunjukkanmu sesuatu sebelum kalian saling bunuh.”

Santai sekali kedengarannya. Venus mengantongi ponselnya, lalu berjalan menghampiri Ildara. Ia mengisyaratkan wanita dewasa itu untuk memimpin jalan mereka.

Saat Venus melangkah keluar dari ruang tahanannya, hatinya berdebar gugup. Segala rencana yang sangat mendadak berseliweran di benaknya. Ia harus sekuat tenaga menahan kakinya untuk tidak berlari. Percuma kabur kalau akhir-akhirnya tersesat di antara lorong-lorong batu yang kini mereka lewati.

Ildara tampaknya benar-benar kebosanan dan tak punya keinginan untuk mengobrol. Jadi, Venus kembali berkomunikasi lewat jalur rohaniah bersama Mustaka.

Venus berpikir sejenak. (Ka, seandainya kita lari—)

(Tak akan berhasil,) sela Mustaka tak kalah bosan dengan Ildara. (Anda tak tahu wilayah ini, begitu juga saya. Maka, rencana apa pun yang sedang Anda pikirkan tak akan berhasil. Sama sekali.)

Venus menggerutu tak jelas seraya bersedekap. Ekspresinya tampak begitu jengkel. Ildara berhenti dan menoleh.

“Kau kenapa?”

Venus membeku. “A-Aku—”

(Jangan bilang kalau ada roh di sini!) Tiba-tiba Mustaka menginterupsi.

Venus mencoba tidak menampilkan ekspresi jengkel lagi.

Anak itu berdeham. “Tidak apa-apa, Ildara. Aku cuma bosan. Kapan kita sampai ke tempat tujuan?”

Ildara mengangguk tak acuh. Ia menunjuk ke depan dengan dagunya, lalu mengangkat bahu. “Sebentar lagi.”

Venus kira, kata "sebentar lagi" artinya satu tahun lagi. Ternyata Ildara tidak sejahat itu.

Tujuh menit kemudian mereka sudah berdiri di depan pintu besar dari kayu. Ildara mendorongnya begitu saja, seakan memang tidak dikunci atau apa.

Venus mengikuti saat Ildara masuk. Wanita dewasa itu langsung menuju ke sebuah lemari pendek di seberang ruangan. Lemari gelap itu terbuat dari kayu. Venus mendekatinya dari belakang.

Lemari itu penuh debu dan engselnya sudah karatan. Ildara sampai harus merenggutnya secara paksa hingga pintu itu terlepas dari tempatnya.

“Kau kuat sekali,” gumam Venus tanpa sadar.

Ildara mendengus saja; sama sekali tak menoleh. Venus melihat hanya ada satu barang di lemari itu; koper hitam yang lumayan besar.

Ildara menariknya keluar sambil mengernyitkan hidung. Ia berdiri, lalu membawa dan meletakkan koper itu ke atas meja dengan satu sentakan.

Mereka berdua terbatuk-batuk saat debu di meja dan koper berterbangan.

“Pekerjaan aneh,” sungut Ildara kesal.

Ia mencoba membuka koper itu dengan wajah masih menampakkan kesebalan. Venus melongok saat kopernya terbuka.

Jantung anak perempuan itu berhenti berdetak selama sedetik, lalu kembali berdegup lebih kencang.

Venus mengambil dua pigura di bagian paling atas isi koper itu. Tangannya bergetar.

“Kau kenal dia?” Ildara memandangnya heran.

Venus tertawa gemetar. “Dia ibuku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status