Engsel pintu berdentang saat seseorang membuka pintu ruangan tempat Venus berada. Venus masih duduk di atas tempat tidurnya dan menyandarkan punggung, kedua matanya terpejam. Kepala anak itu mendongak, sesekali wajahnya mengernyit kesakitan. Rasanya seperti Kesatria Jarum dan Raja Godam tengah menyerang telinga dan kepalanya secara serempak.
“Halo, Anak Haram.”
Venus memaksakan diri untuk membuka mata dan melihat siapa yang dengan berani menghina dirinya seperti itu.
Sosok itu adalah seorang wanita berambut hitam pendek, dengan riasan tebal yang tampak menakutkan. Matanya berwarna cokelat … atau kemerah-merahan? Venus tidak yakin dengan itu. Wanita berkulit eksotis itu memakai terusan hitam dengan belahan dada sangat rendah; membuat Venus bertanya-tanya, bagaimana perasaan Mustaka saat ini.
Wanita itu tiba-tiba menyeringai. Ada yang menggelitik pikiran Venus. Ia seperti pernah melihatnya di suatu tempat … di mana? Nyeri di kepala Venus makin berdenyut gara-gara terlalu keras memeras ingatan.
“Anda sopan sekali, Bu, menyebut saya Anak Haram.” Venus bergumam sambil menekan sisi kepalanya kuat-kuat.
Wanita itu tersenyum miring. Ia menyeret salah satu kursi mengilat, lalu meletakkan dan mendudukinya di samping tempat tidur Venus.
“Baik sekali kau memujiku sopan, Nak,” katanya lancar. Ia menyilangkan kaki dengan sikap agak berlebihan. “Bicara tentang kesopanan, rasanya kurang pas kalau aku sudah tahu namamu, tapi kau belum. Perkenalkan, namaku Ildara.”
Venus sangat bersyukur Ildara tidak menyodorkan tangan untuk mengajaknya berjabat tangan. Dipanggil secara tidak sopan saja sudah cukup untuk membuat Venus tidak menyukai wanita itu.
“Apa maumu?” tanya Venus tenang. Ia memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh apa arti dari julukan Anak Haram itu untuknya.
Wanita itu menyeringai lagi. “Mauku banyak. Untuk saat ini, biarkan aku bertanya satu hal.” Ildara menatap Venus lekat-lekat. “Kau tidak mengingatku?”
Mata Venus mengerjap cepat dua kali.
“Aku sepertinya memang pernah melihatmu, tapi tidak ingat di mana,” aku Venus heran. “Memangnya kenapa?”
Ildara tersenyum licik. “Oh, tidak apa-apa. Lagipula, kau hanya pernah melihatku sekali. Dari kejauhan pula. Jadi, kumaklumi kalau kau tidak ingat.”
Venus mendengus. “Kalau Alun-Alun Kematian adalah tempat yang kaumaksud—”
“Pantai,” sela Ildara. “Kau melihatku di pantai sore itu.”
Venus menatap Ildara, tercengang. Tiba-tiba saja ia ingat tentang anak kecil yang berlarian dan—
“—kau salah seorang pencari remis itu?”
Ildara bertepuk tangan pelan. “Benar sekali!”
Kening Venus mengernyit. “Jadi, kau ingin mengatakan, kalau kau adalah seorang volt yang sedang liburan ke Bumi Pertama?”
Ildara menggeleng. “Aku tidak sedang liburan. Aku sedang memburu makanan.”
Venus mengeluh. Nyanyian Kenya benar-benar berdampak buruk pada kewarasannya. Bisa-bisanya Kaisar malah menyuruh Venus untuk membunuh Amerta—ayah kandungnya—sementara keadaan Venus sangat tidak stabil seperti ini?!
“Entahlah, Ildara, terserah kau saja,” ujar Venus agak kesal. “Bisakah kau pergi dan tinggalkan aku sendiri?”
Ildara bangkit berdiri dengan perlahan. Kursi di bawah wanita itu berderit saat terdorong ke belakang oleh kakinya.
“Tidak masalah, Nak.” Ildara meletakkan sebuah ponsel layar sentuh di atas pangkuan Venus. “Aku … Amerta menitipkan itu padamu. Ayah yang payah, ya?”
Ildara berbalik dan meninggalkan ruangan itu dengan langkah-langkah anggun. Sebelum Ildara menutup pintu, ia menoleh pada Venus yang masih menatapnya dengan sorot mata tak terbaca.
“Benci aku sesukamu, Bizura, dan akuilah, Amerta memang ayah yang payah. Namun, kau bahkan lebih dari sekadar payah!” Ekspresi Ildara berubah tamak. “Seandainya diperbolehkan, aku sendirilah yang akan mengisap habis darahmu. Sayang sekali!0”
(Wah!) Mustaka tiba-tiba berbisik ke kepala Venus. (Kenapa ada manusia jelmaan kuyang di sini?)
• •
Tak ada sinyal di ponsel yang diberikan oleh Ildara pada Venus.
Tentu saja tidak ada. Apa yang diharapkan dari berada di ruang bawah tanah? Seberapa dalam ruangan Venus itu berada?
Venus lagi-lagi mengeluh. Ia duduk meringkuk di sudut tempat tidur, dengan tangan masih mencengkeram kepala dan membekap telinganya yang berdenging. Denyut nyeri menyerang keduanya, membuat Venus marah-marah sendiri. Anak itu semakin jengkel saat suara Mustaka kembali membisu dan tak kunjung muncul saat ia memanggilnya.
Bergerak perlahan, Venus merebahkan badan dan menatap nyalang langit-langit kemerahan di atasnya. Sosok gosong di lapangan tiba-tiba menyerang ingatannya. Venus gemetar, kemudian menggeleng kuat tiga kali, seakan ingin mengusir lalat yang menjengkelkan.
Setelah beberapa menit menenangkan diri, pikiran lain kembali muncul. Citra foto sang ibu seakan melayang-layang ganjil di sudut benaknya.
Venus mendesah. Seandainya waktu bisa diulang, dia pasti akan menyempatkan waktu sekadar untuk menyisipkan foto itu ke saku jaket atau celananya. Atau, lebih baik lagi, kabur meninggalkan rumah sebelum Bima mendorongnya ke Portal Gelap nan celaka.
Sungguh, itu cuma angan-angan. Namun, Venus mau mempertaruhkan segalanya agar hidupnya kembali normal; senormal manusia biasa. Bahkan jika dia harus menjadi gelandangan sekali pun. Paling buruk yang akan dihadapi oleh tunawisma mungkin cuma Satpol-PP, atau keharusan berpuasa selama berhari-hari lamanya.
Berat rasanya saat kenyataan tak membiarkan angan-angan Venus menjadi ada.
Venus mencoba memanggil Mustaka lagi, tapi hasilnya nihil. Entah roh itu sedang makan atau buang air besar. Pikiran itu membuat Venus mendengus geli. Dia benar-benar ingin tahu apakah roh masih harus buang air besar atau tidak.
Ponsel di samping gadis itu tiba-tiba bergetar. Ia meraihnya, lalu berpikir-pikir sebentar saat pengingat berjudul "Ayahmu akan datang! Asyik, 'kan?" muncul di layar gawai itu.
Venus tidak merasa asyik sama sekali. Malah, entah kenapa ia jadi gugup sendiri. Ia bangun begitu mendadak, alhasil membuatnya meringis lagi. Selama semenit penuh, pandangannya menggelap dan berkunang-kunang, sebelum akhirnya kembali normal.
Venus membuka ponselnya kembali, lalu mengetuk rincian pengingat tadi. Pengingat itu disetel tepat pada jam sembilan malam … dengan tanggal yang berbeda satu hari saat Venus dihukum. Itu artinya Venus sudah berasa di ruang bawah tanah ini selama dua puluh empat jam. Pengetahuan itu membuat perut Venus jadi berkeruyuk. Ia berdecak-decak kesal, lalu melemparkan ponselnya asal-asalan ke samping.
Venus menarik dan mengembuskan napas secara teratur, tapi ia tidak bisa menahan untuk tak menggigit bibir atau membuka tutup kepalan tangan dengan gelisah.
Pintu tiba-tiba menjeblak terbuka. Venus tersentak. Terperangah. Anak itu tidak percaya kalau tamu barusan adalah sosok ayah kandungnya.
Venus melihat mereka melalui kacamata malam yang dia kenakan, ketika akhirnya dia dan Ildara tiba di sebuah lubang yang hampir melingkar dengan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi mereka. Berada di sisi tebing, sekelompok orang "kecil" berbisik ketika mereka menyaksikan kedatangan Venus dan Ildara.“Orang-orang” ini, yang Mustaka panggil Ebu Gogo, tingginya hanya sekitar satu meter, wajah mereka ditutupi bulu lebat seperti primata non-manusia. Perut mereka membuncit seperti pot, dengan telinga mencuat seolah-olah telinga mereka telah menggunakan beban yang tidak terlihat selama sisa hidup mereka.Venus terus berjalan ke tengah lapangan kecil yang terbuka dengan langkah lambat sambil mengamati makhluk lain. Namun, tiba-tiba salah satu Ebu Gogo dengan bulu coklat muda di wajahnya mendekati Venus dengan cara berjalan kikuk. Meski begitu, ekspresinya terlihat seperti sedang marah.Ven
Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau ti
Malam itu Venus hanya tidur selama beberapa jam saja. Entah kenapa ia akhir-akhir ini punya masalah dengan pola tidurnya. Rasanya seperti ia lelah jika harus tidur lama-lama. Padahal tidurnya selalu kurang dari delapan jam.Setelah melempar tubuh lelaki yang ia bunuh tadi malam keluar gerbang kompleks, Venus segera pergi tidur saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Namun pada jam tiga pagi, ia terbangun dan tak bisa lagi memejamkan mata. Venus menghabiskan dini hari itu dengan menjelajahi ruang bawah tanah yang berdebu dan membaca beberapa buku fiksi koleksi Ildara di sana.Mustaka sama sekali tak menyahut saat gadis itu memanggilnya dengan telepati. Sedangkan Kaisar … sepertinya memang Venus tak bisa berbicara dengannya secara sembarangan. Kecuali Kaisar sendiri yang memulai.Pada jam lima, mata Venus berkedip-kedip lelah. Ia setengah mendesah lega, karena akhirnya mengantuk lagi. Namun gadis itu terpaksa berteriak sebal sendiri di kamarn
Besok adalah hari keempat belas sejak kepergian Ildara. Untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini, Venus merasakan kemarahan yang berlebih akibat Ildara yang sama sekali tak memberi kabar padanya. Venus bahkan sempat berpikir, kenapa waktu itu dia tidak memberikan masa tenggat lebih cepat dari ini pada Ildara. Ketidaksabaran membuat anak itu menjadi gerah terus-terusan berada di rumah besar ini. Meskipun punya teman tak kasatmata seperti Mustaka atau Kaisar—meski yang satu ini jarang sekali bertelepati dengannya—tapi Venus tetap merasakan kesepian. Benda yang disebut dengan televisi … Venus hanya menyalakan itu saat ia butuh melihat berita tentangnya lagi. Lagipula, Venus tiba-tiba menjadi benci dengan segala film yang ada di dimensi bumi ini. Semua film menceritakan tentang kebaikan akan selalu menang; bahwa kejahatan pasti akan hancur. Sesuatu yang menjadikan diri Venus lebih sinis dari seharusnya. Takdir nyata tak seindah dalam halusinasi film semata, pikir Venus saat
Malam itu Venus tak bisa tidur. Ia pergi ke halaman belakang rumah Ildara yang megah. Halaman itu tersambung dengan hutan lebat yang gelap dan tampak menakutkan.Venus melatih dan mengerahkan Bakat-nya dengan kegilaan yang tak kunjung mereda. Sekali Ildara pernah menegur Venus karena terlalu berlebih-lebihan dalam mengerahkan Bakat Petir, sehingga menciptakan guntur dan petir di mana-mana.Beberapa pohon di dalam hutan tampak terbakar. Namun, dalam ketidaksadaran, ia juga menurunkan hujan lebat di atasnya, sehingga api cepat padam.Venus membentak liar pada Ildara dan mengusirnya dengan percikan-percikan listrik. Setelah itu si kuyang tak lagi muncul untuk menegurnya.Venus membentak ke udara saat beberapa pohon di tepi hutan tercerabut dan terlempar satu-dua meter jauhnya.Belasan banaspati tiba-tiba melesat dan melemparkan api ke arah Venus. Namun, makhluk-makhluk itu tak mendapatkan ketakutan Venus, sehingga ukuran dan kekuatan mereka tak lebih
“Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.”Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali.Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu.Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban.“Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan.Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun.Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding.Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu.Ildara ting