Jenar detik itu juga menghubungi Remo, dan meminta untuk bertemu.
"Kamu harus jelasin saat ini juga! Kalau kamu gak dateng, ya udah aku akan bawa kasus ini ke polisi, orang suruhan kamu akan aku jebloskan ke penjara!" ancam Jenar terlalu naik pitam. Dia tak habis pikir bahwa Remo akan melakukan tindakan begitu piciknya, sekaligus sangat konyol, menguntit istri sendiri? Terlalu tak masuk akal.
Remo tak punya pilihan selain datang juga akhirnya. Setelah menunggu setengah jam, Remo datang meninggalkan lokasi syutingnya. Wajahnya sedikit pucat, sedang Jenar masih terlihat sangat murka. "Aku akui dia emang suruhan aku, tapi sekarang tolong biarkan dia pergi. Ini cukup urusan kita berdua aja."
Jenar menghela napas panjang. Dia biarkan akhirnya orang suruhan Remo untuk pergi, mereka juga tak mungkin bicara empat mata di sana, Jenar mengajak Remo masuk ke dalam sebuah kafe sepi di dalam mall, dia tak acuhkan pesan yang masuk dar
Langit malam bertabur bintang, Jenar duduk di ayunan yang terdapat di teras belakang, menunggu Remo yang belum pulang dari lokasi syuting. Sejak peristiwa penguntitan yang diperintahkan oleh Remo, hubungan mereka memang menjadi lebih dingin dan kaku, Remo sering pulang telat atau tidak mengabari Jenar kapan dia akan pulang. Dan Jenar selalu berakhir mesti menunggu kepulangannya dengan hati dongkol. Satu pesan pun tidak dia terima.Jenar sendiri merasa dirinya masih terus diawasi oleh orang suruhan Remo, hal itu tidak membuat dia merasa nyaman dan aman, melainkan justru merasa takut dan cemas. Jenar melipat tangan di dada, ayunan bergerak perlahan, matanya terus awas menatap ke luar pagar dari sisi samping halaman, lahannya lebih tinggi sehingga Jenar bisa melihat siapa yang ada di jalan dari halaman belakang maupun samping. Dia yakin betul ada seseorang yang mengawasi dirinya dari balik kegelapan di ujung jalan sana."Gak dari si cewek aneh
"Ma-ma-masuk, Tante ..., maksud saya, Mama." Jenar kagok dan segera mempersilakan mama Remo untuk masuk ke dalam rumah.Namun, sebelum mamanya masuk, Remo langsung mengambil tempat di hadapan Jenar. "Mau ngapain datang ke sini?" tanyanya sedingin es batu."Remo ..., kenapa kamu bilang gitu?" bisik Jenar di belakang kepala Remo agar tak terdengar mamanya."Jangan ikut campur Jenar, rumah ini masih rumah aku, harus aku yang menentukan siapa yang bisa masuk sini atau enggak." Sambil berkata begitu, Remo menatap tajam kepada mamanya, mamanya pun menatap lekat balik kepada putera yang lama tidak dia jumpai itu. Atmosfer berubah menjadi begitu kelam dan suram.Jenar terjepit dalam posisi yang sulit. Bagaimana tidak, ini adalah kali pertama dia berjumpa dengan mama Remo, ibu mertuanya, tapi di saat bersamaan, dia tak bisa menyambut dengan selayaknya sebab hubungan yang buruk antara Remo dan mamanya. D
"Oke cut!"Suara dari sutradara menghentikan gerak Remo dan lawan mainnya yang sedang beradegan romantis di atas tempat tidur.Remo memasang muka cemberut, sudah lebih dari lima kali mereka mengulang adegan yang sama. Penyebabnya selalu lawan mainnya yang kikuk dan juga sutradara yang terlalu banyak menuntut."Please yah! Ini tuh adegan ranjang, bukan adegan sembarangan! Kemistrinya di mana?! Kok lu ragu-ragu dipegang sama Remo?!" Sutradara menghardik sang aktris utama wanita.Remo berkacak pinggang, menghela napas sambil sesekali melirik kesal kepada lawan mainnya itu. "Yang serius, dong! Lu pernah berhubungan intim gak sih?!" timpalnya jengkel.Aktris utama wanita bernama Yuki itu meremas tangannya gugup di depan dada. "Sorry ya, gue bener-bener gak tau mesti ngapain!""Ya udah mending lu bedua latihan dulu deh! Lu tentukan mau adegannya kayak apa! Senyaman
Jenar menata meja makan sekali lagi, memastikan semua siap dan layak untuk makan malam romantis dia dan Remo."Dia pasti capek malam ini, udah seharusnya aku gak nambah-nambahin masalah dia." Jenar menghela napas kemudian mengecek jam dinding. Bentar lagi dia bakal sampe, batinnya.Meninggalkan meja makan, Jenar berlalu ke ruang tamu untuk menyalakan TV. "Nonton acara gosip aja kali ya? Ketimbang boring gue nungguin dia." Jenar mengganti channel melalui remote.Tak ada firasat sama sekali ketika acara gosip itu menayangkan berita seputar syuting terbaru Remo untuk film mendatang. Sampai tiba muncul dugaan cinta lokasi. Jenar mengernyitkan kening."Apa-apaan nih?! Cinlok?""... Hal ini belum dikonfirmasi oleh Remo maupun Yuki, namun produser berkata hal itu bisa saja terjadi mengingat kedekatan tak biasa di antara mereka berdua. Lantas bagaimana kabar pernika
Syuting berjalan lancar sampai siang menjelang, Remo dan Yuki beristirahat sementara sutradara mengambil adegan lainnya dengan pemeran pendukung."Makan siang udah datang belum, sih?" tanya Remo kepada Putri, salah satu asistennya."Udah, mau makan nasi kotak?" tanya Putri."Emang makan siangnya nasi kotak? Mending pesan aja deh! Yang lain, bosan makan nasi kotak!"Sementara Remo fokus bicara dengan Putri, sebuah taksi berhenti di depan area syuting. Jenar turun dari taksi itu dengan membawa sebuah rantang yang cukup besar. "Sayang ...! Makan siang ...!" seru Jenar sambil berlari mendekat.Remo terbelalak, dia tak menduga sama sekali kalau Jenar sungguh merealisasikan niatnya, dia sangka apa yang dikatakan Jenar kemarin tidak lah serius. Semua mata tertuju kepada Jenar saat ini. Termasuk mata para kru, Yuki dan juga Putri yang telah lebih dahulu mengenal Jenar. Remo berdiri dan m
Remo makin naik pitam dengan perlawanan yang diberi Jenar. Dia merasa ditolak, direndahkan, dan dianggap remeh. Kian melonjak emosi, Remo menahan tubuh Jenar dengan tubuhnya sendiri."Lepasin aku Remo! Mestinya bukan aku yang kamu larang untuk ketemu Jaka atau siapa pun, tapi kamu yang stop ngikutin aku! Aku muak kamu intai!" teriak Jenar terus memberontak."Kamu milik aku! Aku gak mau kamu ketemu siapa pun selain aku!""Kamu butuh obat penenang, Remo! Please! Kamu akan nyesal lakukan ini ke aku!" erang Jenar.Remo memberi satu ciuman yang menyakitkan bagi Jenar. Tak mampu menahan segala perih yang mendera, Jenar meringis, "Lebih baik kita cerai aja ..., please ...."Bagai tersambar petir di siang bolong, Remo terdiam selama hampir satu menit. Jenar juga kaget melihat diam nya Remo, dia tatap mata Remo, Remo tak bicara sama sekali, hanya aura yang meruak dari tubuhnya
Pupil mata Remo membesar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Berobat? Berobat apa? Emangnya aku sakit apa?" tanya Remo dingin.Jenar menghela napas agak panjang. "Kamu tau sendiri kekurangan kamu, kamu harus menerima itu semua, Mo. Jangan menyangkal, ini demi kebaikan kamu.""Bukan itu yang aku tanya, aku tanya ... apa sakit aku? Jelasin dong kalau memang itu benar, biar aku gak menyangkal lagi." Remo terdengar sinis, Jenar tahu Remo tak senang sama sekali."Kamu bikin aku berada di posisi yang sulit, Mo ... kamu sadar gak sih?" Jenar menatap lurus Remo, ditepisnya rasa ragu dan takut yang sempat hinggap di dada. "Kita gak bisa lanjut kalau terus kayak gini, kesabaran aku ada batasnya!" tegas Jenar sambil berdiri."Terus mau kamu apa? Kamu mau aku bilang kalau aku ini gila? Orang gak waras? Mau kamu umumkan ke seluruh dunia? Kalau suami kamu ini ..., yang katanya aktor terkenal
Cahaya senja masuk menembus kaca gedung perkantoran, membuat meja kerja Jenar tampak menguning dan jingga. Dia rapikan file-file di tempatnya, lantas dia tutup laptop. Pulpen, pensil, semua masuk ke dalam kotaknya, dan tersusun rapi.Jenar menggendong tas, siap untuk pulang. Namun, Jaka tiba-tiba berlari ke hadapannya. "Nar, kamu gak apa-apa kan?""Soal apa?" Jenar balik bertanya."Ya ... You know, suami kamu, si Remo, soal aku ngomong sama kamu kemarin, buat minta maaf."Senyum Jenar mengembang. "Kalem aja, gak ada masalah apa-apa kok, lagian kita kan sekantor, satu kampung lagi, mau diam-diaman sampe kapan? Ya kan? Gak mungkin banget." Jenar tertawa kecil. Menutupi apa yang terjadi sebetulnya di antara dia dan Remo."Oke deh, syukur kalau dia ngerti. Eh, mau aku antar pulang gak?""No no no ..., kalau untuk yang satu itu, duh maaf-maaf aja nih, aku belum punya nyali!" tawa Jenar.