Home / Romansa / DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH / CHAPTER 87. JEDA SEBELUM BADAI

Share

CHAPTER 87. JEDA SEBELUM BADAI

Author: Selena Vyera
last update Last Updated: 2025-07-28 19:30:55

Montavaro malam itu seperti kota mati.

Kabut tipis menyelimuti reruntuhan markas tua Ronald Xavier.

Asap dari cerobong tak aktif masih menempel di dinding bata yang menghitam. Lampu perimeter tidak menyala.

Kilat memori muncul tanpa permisi. Wajah Helena. Tangan yang terangkat. Bunyi tamparan ke pipi Sylvania.

Dendy tak bertanya apa pun hari itu. Tapi dalam diamnya, ia tahu tamparan itu bukan hanya untuk Sylvania.

Itu juga tamparan tak langsung untuknya—karena tetap tinggal dalam batas yang tak pernah diminta, tapi selalu ia jaga.

Dendy berdiri tak jauh—terdiam, karena tahu itu bukan tentang dia. Itu tentang rasa milik yang dibenci. Dan dicintai dalam diam.

Tapi Dendy Alexander tetap turun dari helikopter diam-diam, hanya ditemani satu agen Alexander tanpa tanda pengenal.

Ia tidak bicara. Tidak perlu.

Langkahnya ringan, sepatu tempur hitam tidak bersuara di lantai beton yang retak.

Tangan kanan
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 88. PINTU YANG TAK LAGI SAMA

    Langit di atas Blackstone menggantung kelabu.Hujan tidak turun. Tapi udara mengandung rasa dingin yang sulit dijelaskan—seperti tubuh yang tahu badai sedang mendekat, tapi belum tahu dari arah mana.Tiga kendaraan memasuki perimeter utama.Tanpa iring-iringan.Tanpa pengawalan.David Morgan turun pertama.Ia berjalan tegap, mengenakan mantel hitam panjang. Tidak basah, tapi jelas dari percikan debu di sepatu dan ujung mantel—ia datang dari lokasi yang tidak bersahabat.Langkahnya tidak tergesa. Tapi setiap langkahnya seperti ketukan palu di dalam jantung Blackstone.Di belakangnya, hanya lima menit berselang, Dendy Alexander tiba.Sendiri, kecuali satu agen Alexander yang tidak berbicara sedari perjalanan.Dendy memegang satu map logistik dari Montavaro, tapi wajahnya tak menunjukkan ekspresi kemenangan.Matanya kosong. Wajahnya letih.

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 87. JEDA SEBELUM BADAI

    Montavaro malam itu seperti kota mati.Kabut tipis menyelimuti reruntuhan markas tua Ronald Xavier.Asap dari cerobong tak aktif masih menempel di dinding bata yang menghitam. Lampu perimeter tidak menyala.Kilat memori muncul tanpa permisi. Wajah Helena. Tangan yang terangkat. Bunyi tamparan ke pipi Sylvania.Dendy tak bertanya apa pun hari itu. Tapi dalam diamnya, ia tahu tamparan itu bukan hanya untuk Sylvania.Itu juga tamparan tak langsung untuknya—karena tetap tinggal dalam batas yang tak pernah diminta, tapi selalu ia jaga.Dendy berdiri tak jauh—terdiam, karena tahu itu bukan tentang dia. Itu tentang rasa milik yang dibenci. Dan dicintai dalam diam.Tapi Dendy Alexander tetap turun dari helikopter diam-diam, hanya ditemani satu agen Alexander tanpa tanda pengenal.Ia tidak bicara. Tidak perlu.Langkahnya ringan, sepatu tempur hitam tidak bersuara di lantai beton yang retak.Tangan kanan

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 86. BELENGGU BERDARAH

    Benteng Belegrive sore itu diselimuti kabut tipis.Di bawah langit pucat, Kevin Xavier turun dari kendaraan lapangan tanpa suara.Langkahnya berat, tapi tegak.Tubuhnya masih memulihkan trauma dari luka tebas pedang di punggungnya. Tapi bukan fisik yang paling sakit. Melainkan diam… yang ia terima sejak bangun dari koma.Tak ada suara dari David.Tak ada pesan dari Helena.Dan Dendy? Hanya bayangan samar dari seseorang yang tak lagi bisa ia tempatkan dalam kategori sahabat atau pengkhianat.Saat ia menjejakkan kaki di lorong utama, suara berhak tumit menyambutnya.Sylvania.Sepupunya.Perempuan itu berdiri di ujung lorong dengan postur tenang dan bibir mengulum senyum mengejek.“Kevin Xavier,” ucapnya ringan. “Atau harus kupanggil apa sekarang? Putra buangan? Ksatria tanpa darah?”Kevin tidak langsung menjawab.Ia hanya men

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 85. SUARA YANG TAK DIMINTA

    Pusat Komando Blackstone sempat gelap selama tiga menit.Tiga menit sunyi.Tiga menit buta.Tiga menit tanpa tanda… dari David, Dendy, dan Kevin.Helena berdiri di depan layar yang mati total.Pundaknya tegang, napasnya tidak stabil.Wolf berdiri beberapa meter di belakangnya, membongkar kotak server cadangan dengan jemari yang penuh percikan arus listrik halus.“Masih belum ada ping balik dari Velmora timur, Belegrive, atau Montavaro,” ucap Wolf pendek.Helena tak menjawab.Tangannya menahan kabel utama yang hangus di beberapa titik.Ia mencabut dan menyambung ulang, pelan—dengan presisi yang hanya muncul dari seseorang yang sudah terlalu sering menyelamatkan sesuatu sendirian.“Enkripsinya dipelintir dari dalam,” gumamnya pelan.“Bukan sabotase penuh. Lebih mirip pesan.”“Pesan untuk siapa?” tanya Wolf.

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 84. SUARA YANG TIDAK DIMATIKAN

    Langkah David Morgan bergema di lorong utama Velmora Timur.Suara sepatunya tak nyaring, tapi cukup untuk membuat dua pengawal Emily Davies saling menoleh diam-diam.Markas itu tampak lebih bersih dari biasanya. Terlalu bersih.Dan David tahu: tempat yang terlalu bersih... biasanya menyembunyikan sesuatu yang belum dikubur.David melirik kamera pengawas yang menempel di sudut langit-langit.Lampu indikatornya mati. Tapi David tahu—dalam dunia bawah tanah, kamera yang mati bukan berarti tidak merekam.Itu hanya berarti: seseorang ingin kau berpikir kau tidak sedang diawasi.Tangannya menyusup ke dalam mantel gelap, menyentuh pelan bekas luka di pinggang kiri—luka dari Montavaro dua tahun lalu.Luka yang terjadi tak lama setelah Emily menghilang... tanpa penjelasan.Emily berdiri di ujung ruangan, menghadap jendela kaca besar.Rambut hitamnya teri

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 83. SEBELUM TOMBOL DITEKAN

    Lorong ke ruang senjata Blackstone masih lengang.Lampu temaram memantulkan siluet tiga pria berbeda luka, berbeda diam, tapi sama-sama membawa beban yang belum selesai.David melangkah duluan. Walau masih ada perban di perutnya, jas gelapnya tetap rapi.Dendy menyusul tenang, satu tangan menyentuh sisi dada kanannya—seperti mengingat sisa tembakan malam itu.Kevin datang paling akhir. Punggungnya masih diperban ketat. Langkahnya pelan, tapi tidak ragu.Pintu otomatis terbuka.Dan di dalam sana, Helena sudah berdiri.Tegak di depan meja senjata, rambut terikat asal, dan matanya fokus menata amunisi seperti sedang menyusun strategi perang di pikirannya sendiri.Ia menoleh saat mendengar langkah kakaknya.Sorotnya langsung melunak.“Perutmu masih nyeri?” tanyanya pelan, tapi tulus.David tersenyum tipis. “Sedikit. Tapi bukan nyeri yang bisa menghentikan Morgan.”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status