Masuk“Jangan terlalu senang mempermainkan hati yang benar-benar jatuh cinta kepadamu karena suatu saat nanti setelah ia memutuskan untuk pergi, kamu akan menyesalkan hal itu.”Quensa Valery Tzana “Kita sering melihat sesuatu itu lebih berharga, saat kita mengetahui ia sudah hilang dan dimiliki oleh orang lain.” Aksara Emiliano Addison “Cinta sejati bukan tentang menemukan orang yang sempurna, tetapi tentang melihat orang yang tidak sempurna dengan sempurna.” Kaiden Rexza Pranaja
Lihat lebih banyakDi sebuah kamar hotel yang luas, udara terasa panas membakar. Suara umpatan kasar dan desahan tersela mengisi ruangan, meluncur dari mulut Aksara Emiliano Addison—Aksa, seorang remaja tampan pemilik netral hitam itu. Tubuhnya basah oleh peluh, tapi matanya menyala dengan amarah yang menggelora.
“Dasar wanita licik! Jalang sialan! Pengkhianat!” Suara itu meledak keluar, menghentak pinggulnya dengan kasar hingga Quensa menahan nyeri, wajahnya menyiratkan penderitaan yang tak bisa disembunyikan. “Ini yang kau mau, berbagi peluh dengan ku, wanita murahan?” sentak Aksa dengan seringai iblis yang menyeringai di tengah nafasnya yang tersengal, membuat kabut gairah membayang di udara. Matanya tajam menantang. Dengan gerakan seolah tanpa beban, Aksa membalikkan tubuh mungil Quensa. “Tahan kakimu, jalang. Biarkan milikmu yang murahan ini merasakan sakit yang lebih dalam... untuk nikmat yang kau cari selama ini.” Ucapannya mengiris seperti pisau, penuh hinaan yang menusuk hati. Di balik lembaran kegelapan kamar itu, derita dan amarah berkecamuk tanpa henti, menoreh luka di antara dua jiwa yang kini hancur berantakan. Quensa—nama yang kini terucap dengan racun di bibir Aksa. "Kau benar-benar anj***ng, Quensa... Aaahhh... Mona, aku mencintaimu, tapi pengkhianat seperti dia... Benar-benar tidak waras!" erang Aksa dengan mata terpejam, keputusasaan membakar jiwa saat dia terperangkap dalam mimpi buruk ini. Quensa hanya diam, bibirnya membatu, tanpa satu kata pun pembelaan. Dia tahu dia telah menapaki jurang dosa—memburu laki-laki yang sedang berjanji setia pada sahabatnya sendiri, Mona. Kebodohan dan nafsunya membutakan akalnya, hingga ia tega menjebak Aksa, meski tahu pertunangan itu sudah di depan mata. Malam ini, di bawah bayang-bayang pengkhianatan, Quensa Velarry Tzana menodai persahabatan dengan kepuasan berdarah di dadanya, menikmati setiap detik gelap yang membawa luka dalam untuk ketiganya. Diamnya Quensa bukan tanda penyesalan, melainkan bisu yang mencekam, menunggu saat ketika karma menghampirinya dengan dendam yang pahit. Aksa Emiliano Addison menggeliat di ranjang hotel yang berantakan, peluh membasahi tubuhnya. Kamar itu sunyi, hanya napasnya yang memburu dan umpatan lirih yang lolos dari bibirnya. "Sial!" desisnya, mencoba mengingat bagaimana ia bisa sampai di sini. Kepalanya berdenyut, bercampur aduk antara rasa bersalah dan amarah. Di sampingnya, Quensa meringkuk di bawah selimut, tubuhnya bergetar. Kilasan kejadian malam itu berputar di benaknya. Pesta ulang tahun Mona, sahabat Quensa sekaligus tunangannya. Minuman yang terasa aneh, obrolan yang semakin intim dengan Quensa, dan kemudian... kamar hotel ini. Aksa mengacak rambutnya frustrasi. Ia tahu ini salah, sangat salah. Ia mencintai Mona, dan sebentar lagi mereka akan mengikat janji suci. Tapi kenapa ia bisa terjerat dalam perangkap Quensa? "Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Aksa dengan rahang mengeras, suaranya bergetar. Quensa tidak menjawab, hanya semakin mengeratkan selimut di tubuhnya. Aksa bangkit dari ranjang, mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri. Ia telah mengkhianati Mona, dan ia tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya. "Aku akan pergi," ucap Aksa dingin, tanpa menatap Quensa. "Jangan pernah menemui ku lagi dan pergi lah sejauh mungkin." "Aku tak akan pernah menemui kamu lagi! Ini pertama dan terakhir—jangan pernah berpikir aku akan merusak rencana tunanganmu! Sedikit pun aku tak berniat!" Suaranya meledak, penuh kebencian yang menggelegak. Aksa menatap tajam, amarahnya membara seperti bara api yang siap membakar. "Tak berniat? Lalu apa ini? Kau menjebakku dengan minuman sialan itu semalam, Kau benar-benar wanita murahan!" Dentuman kata-katanya menghujam, menusuk hingga ke dasar jiwa. Quensa membalas dengan senyum dingin penuh ejekan, mencoba menutupi luka yang tersayat dalam hatinya. "Jangan marah berlebihan. Kamu tak rugi apa-apa. Aku masih perawan, ingat itu! Dan jangan munafik, semalam kamu juga menikmati setiap detiknya. Dan berapa kali kamu keluar?" Malam itu bergulir sampai fajar menyingsing, kata-kata mereka beradu seperti pedang tajam. "Aku tak terima keperjakaan ku dicuri, dan kamu yang pertama menikmatinya—wanita murahan, kau jangan percaya diri itu karena pengaruh obat sialan, kalau tidak ada obat itu aku tidak sudi melakukan nya jangan untuk keluar, hidup pun pusaka ku tidak akan pernah terjadi dengan wanita murahan sepertimu." desis Aksa, matanya berkobar. Dalam sekejap, tangannya mencengkram leher Quensa dengan kekuatan yang menakutkan, lalu tamparan keras mendarat di wajah cantiknya. Luka bukan hanya di kulit, tapi merobek setiap harapan yang tersisa dalam jiwa gadis itu. Quensa seketika terdiam, Wajahnya terlihat dingin. Aksa berbalik dan melangkah keluar kamar, meninggalkan Quensa dalam kesunyian dan penyesalan yang mendalam. Di luar, Aksa menarik napas dalam-dalam. Ia harus menemui Mona, menjelaskan semuanya. Tapi bagaimana jika Mona tidak bisa memaafkannya? Bagaimana jika ia kehilangan segalanya karena kesalahan bodoh ini? "Arghhh... Quensa sialan!" Aksa menggeram, tangan kanannya meremas rambutnya sendiri penuh frustrasi, napasnya memburu seolah dikejar bayangan buruk. Langkahnya tergesa, takut wajah lelah dan luka di tubuhnya terbaca oleh siapa pun yang kebetulan lewat. Setelah kepergian Aksa, dia tersungkur di bawah selimut hotel yang dingin. "Aughhh... sakitnya tak tertahankan," keluh Quensa, tubuhnya seolah remuk redam, bukan hanya karena rasa sakit fisik tapi juga luka yang ditinggalkan oleh perlakuan kasar Aksa. "Dasar munafik!" gumamnya penuh amarah sekaligus kecewa, seperti menampar diri sendiri yang dulu begitu percaya. Tiba-tiba, dering ponselnya memecah keheningan ruangan itu. Suara nada dering yang terus bergema membahana, menggema di sudut-sudut kamar hotel yang sunyi dan penuh luka ini. Layar ponsel menampilkan nama Mona, sahabat yang selama ini pernah ia khianati—sebuah dosa yang membuat dada Quensa makin sesak. Rasa bersalah menelan batinnya, membuatnya menunduk malu sebelum akhirnya jari jemarinya gemetar mengangkat panggilan itu. “Angkat, Beb... Ini penting!” pesan Mona muncul tanpa kompromi, menyuruh Quensa mengangkat teleponnya di tengah kekacauan hatinya yang bercabang-cabang antara penyesalan dan harapan rapuh. "Ada apa...?" suara Queensa nyaris berbisik, lemah dan rapuh saat menyapa sahabatnya melalui telepon. "Kamu baru bangun, beb? Ini sudah siang, lho!" teriak Mona di ujung sana, penuh keheranan sekaligus cemas. "Iya... kita kan sudah lulus, nggak sekolah lagi," jawab Queensa dengan nada datar, seolah kata-katanya terhisap oleh kekosongan di dalam hatinya. "Tunggu... kamu nggak ingat? Hari ini kita harusnya party lagi, kumpul bareng teman-teman!" bentak Mona, nadanya melonjak penuh semangat. "Hey, Queensa... suaramu terdengar sangat lesu," Mila ikut menyela, mencoba menyentuh sisi lain dari temannya yang semakin menjauh. "Semalam kamu ke mana, Quensa? Kok tiba-tiba menghilang tanpa kabar?" tanya Mona dengan suara yang mengandung kekhawatiran mendalam. Kalimat itu menusuk pelipis Queensa. Ia terpaku, mulutnya terkunci rapat, rasa bersalah, dan keputusasaan bercampur begitu tajam di dalam dadanya. Diamnya menjadi jawaban paling menggetarkan bagi sahabat-sahabatnya yang hanya ingin mengerti dan meraih kembali sosok yang semakin lenyap di antara mereka.Kaiden diam saja, tak menjawab. Dengan gerakan pelan namun pasti, ia menarik selimut tebal, menaikkannya hingga menutupi seluruh tubuh Quensa. “Om...?” suara Quensa melemah, tangannya ragu-ragu meraih tangan Kaiden untuk menahan. Getarannya terasa begitu halus, penuh harap. Kaiden menghela napas panjang, matanya samar-samar menatap jauh. Perlahan, dengan kelembutan yang seakan menyembunyikan amarah, ia melepaskan genggaman Quensa, lalu berbalik pergi tanpa sepatah kata penjelasan. Tubuh Quensa gemetar hebat, tangisnya pecah sembari menatap punggung Kaiden yang kini tertutup pintu kamar, meninggalkannya dalam keheningan yang menusuk hati. Dari balik pintu, tinju Carel mengepal dengan kekuatan yang hampir memecahkan dinding. Dia melangkah maju, tatapannya membara saat melihat kamar itu kosong tanpa Kaiden. Suaranya pecah, menorehkan ancaman yang menggema di ruang sempit itu, “Jangan pernah melangkahi batas dan jangan sekali-kali ingkari janji yang sudah kita buat.” Quensa ters
Mobil melaju pelan memasuki area perusahaan. Kaiden membuka pintu dan menuruni mobil, tatapannya langsung tertuju pada sosok Quensa yang duduk kaku, wajahnya dingin tanpa ekspresi. "Kamu mau ikut ke kantor?" tawarnya, suaranya mengandung keinginan tapi juga sabar yang mulai menipis. Quensa menatap balik, suara dinginnya menusuk, "Apa Mama suruh aku ikut?" Sekilas, Kaiden memalingkan wajah, napasnya berat menahan frustasi yang merayapi hatinya. Tapi hanya dalam hitungan detik, matanya kembali mengunci pada Quensa. "Enggak. Tapi kalau kamu mau, turun aja." Quensa menyingkirkan sedikit lipatan bajunya, pandangannya tajam tapi terdengar dingin, "Terima kasih, Om. Aku pengen pulang." Kaiden menghela napas panjang, berusaha menahan gelombang emosi karena hari ini ada rapat penting yang tak boleh dia lewatkan. Ia merunduk, tangan lembutnya menyentuh perut bulat Quensa. "Daddy harus kerja dulu, jangan rewel di perut Mommy. Daddy janji, nanti akan pulang cepat." Jari-jarinya mengelus per
Setelah sarapan yang terasa begitu hambar, Quensa bangkit dari duduknya. Ia meraih coat berwarna cokelat dan mantel senada dari lemari. Udara New York di musim gugur memang cukup menusuk tulang. Ia ingin merasakan pagi di kota impiannya, meski hanya seorang diri.Langkah Quensa membawanya ke Central Park. Daun-daun berguguran dengan warna-warni yang memukau. Pemandangan yang seharusnya indah itu justru membuat hatinya semakin pilu. Ia mengamati pasangan-pasangan yang berjalan bergandengan tangan, tertawa bersama. Pemandangan yang sangat kontras dengan kehidupannya."Sayang, setidaknya kita bisa tinggal di negara impian mommy...." gumam Quensa sambil mengelus perutnya yang sudah membesar. Usia kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh. Kehadiran sang buah hati seharusnya menjadi pelipur lara, namun bayangan Kaiden selalu menghantuinya dan membuat hatinya terasa sesak. Bagaimana tidak, Quensa sudah jatuh hati pada pria tampan dan dia sudah sangat percaya diri kalau Kaiden pun memiliki p
Berbeda dengan Kaiden yang tetap tenang tanpa secuil pun tanda keterkejutan menghiasi wajahnya, Carel justru melonjak penuh semangat, duduk manis di pangkuan Kaiden dengan senyum manja yang memekakkan telinga. "Honey... Akhirnya kita akan tinggal bersama juga..." suaranya mengalun penuh keyakinan, seolah dunia hanya milik mereka berdua. "Tinggal bersama...." Quensa mengerutkan dahinya, rasa jijik menyusup tanpa bisa disembunyikan. Matanya membulat penuh pertanyaan saat menatap Kaiden, mencari jawaban atas kata-kata yang nyaris menghancurkan harapannya. Namun Kaiden tetap membeku dalam diam, wajahnya datar, bagai batu tak bergerak. "Iya, aku akan tinggal di sini. Ini sudah jadi kesepakatan kita, kan, honey?" Carel menatap Kaiden dengan ekspresi manja. Kaiden hanya menghembuskan nafas pendek, "Hem," jawabnya singkat, dingin. Quensa tak sanggup bertahan lebih lama. Dia bangkit dengan langkah berat, menelan kepahitan yang merayap ke hatinya, lalu menghilang masuk kamar. Di sisi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ulasan-ulasan