Share

4 DIA KEMBALI

Author: Roze
last update Last Updated: 2021-05-17 09:36:30

4 DIA KEMBALI

Di ruangan klub fotografi.

“Hari Sabtu dan Minggu nanti, Gw mau Kita ambil foto di Taman Mini,” kata Reno.

“Bukannya libur?”

“Lo kan anak baru, harus banyak berlatih.”

“Kenapa di Taman Mini? Kenapa harus sama Lo?”

“Karena kalau di Ragunan, nanti bingung ngebedain yang mana Lo, yang mana bukan, dan karena Gw ketuanya, jadi Gw yang nentuin. Udah enggak usah banyak nanya.”

Hari Sabtu.

“Kita naik kereta gantung dulu. Dari atas sana Lo bisa ambil gambar.”

Kami naik kereta gantung. Dari atas sana aku mengambil foto beberapa wahana permainan dan pemandangan yang ada di bawahnya.

“Ini gambarnya buram, coba Lo ambil dari arah lain!”

“Mata Lo kali yang buram, gambarnya terang begini juga.”

“Gw ini senior Lo, kalau soal fotografi Gw lebih berpengalaman.”

“Terserah Lo deh, senior!”

Seharian kami mengelilingi Taman Mini dan mengambil foto. Membuat kakiku rasanya pegal-pegal.

“Besok Kita ke Kota Tua. Disana juga banyak objek yang bagus-bagus. Ingat, ambil gambarnya jangan asal-asalan!”

Keesokannya

“Ini gambarnya kurang terang, butuh pencahayaan, coba Lo ke kiri dikit biar ada cahayanya, coba Lo kasih pencahayaan. Kalau yang ini, terlalu banyak kena cahaya, coba agak gelap dikit!”

“Kayanya hati dan pikiran Lo deh yang butuh penerangan!”

“Lo ngeyel amat sih.”

“Iya senior, Gw tau Lo lebih berpengalaman. Tapi mungkin ini masalah selera. Lo suka putih, Gw suka hitam. Jadi tolong, jangan nyari-nyari alasan biar Lo bisa ngerjain Gw.”

“Gw enggak nyari-nyari alasan biar bisa ngerjain Lo, Gw hanya ....”

“Udah deh, jangan diterusin. Capek Gw berdebat terus sama Lo, enggak ada ujungnya.”

Lagi-lagi kami mencari objek foto sampai malam.

“Lo ngapain foto Gw?”

“Gw enggak ada minat buat foto penampakan.”

Sesampainya di kosan, aku langsung merebahkan diri, dan tertidur.

Di kampus

“Lo belum ngerjain tugasnya Pak Alex? Kok bisa?” tanya Reva.

“Hari Sabtu Gw ke Taman Mini sampai malam. Terus hari Minggu Gw ke Kota Tua, sampai malam juga. Gw cuma sempat ngerjain tugas Bu Tuti dan Pak Agung.”

“Ngapain Lo kesana? Kok enggak ngajak-ngajak, sama siapa?”

“Ambil foto buat klub, sama si Reno.”

“Hah? Lo malam mingguan sama Reno? Enak dong, Gw juga mau.”

“Malam mingguan apaan? Yang ada Gw disiksa dia. Selama ini, Gw kerja dan belajar berjam-jam, tapi Gw enggak pernah selelah dua hari kemarin. Bayangin aja, semua kerjaan Gw dikritik. Frustasi Gw gara-gara dia. Kalau bukan karena beasiswa, Gw langsung keluar dihari pertama Gw daftar jadi anggota.”

“Ran, nanti ada rapat untuk pembentukan panitia ulang tahun klub kita, jam empat, jangan lupa datang,” kata Dito yang baru datang.

Aku mengangguk kecil. Dito lalu duduk di hadapanku.

“Gw cari-cari ternyata Lo disini Dit,” kata Reno yang ikut duduk di sebelah Dito.

Reva langsung senyum-senyum.

“Kayaknya enak nih, Gw boleh minta enggak?” tanya Dito yang melihat kue di atas meja.

“Makan aja, enak loh. Ini Rana yang buat,” kata Reva.

Dito langsung memakan kue itu.

“Iya enak. Enggak nyangka Gw, Lo bisa bikin kue Ra. Gw habisin aja ya, lapar banget Gw. Lo enggak mau kan, Ren?”

Tanpa menunggu jawaban dari Reno, Dito langsung menghabiskan kue itu.

“Oya, Minggu depan ada pelantikan anggota baru, di Anyer. Semua anggota baru wajib datang,” kata Reno kepadaku.

“Untung waktunya enggak bentrok sama pelantikan di klub Gw ya. Kalau enggak, pasti Lo bingung Ran,” kata Dito.

“Emang kapan?” tanya Reva.

“Minggu depannya lagi,” kata Dito.

Bakalan sering bolos kerja nih, pikirku.

“Pelantikannya dimana Dit?”

“Di puncak Rev.”

Hari Sabtu telah tiba. Anggota klub sudah berkumpul. Acaranya akan diadakan selama dua hari, jadi panitia acara menyewa sebuah vila. Anggota senior mengabsen. Setelah semuanya siap, bis mulai berjalan. Suara tawa dan nyanyian terdengar.

Aku menahan diri untuk tidak tertidur. Reno sibuk mengambil foto. Anto, senior berkacamata memainkan gitar. Ada juga yang membagikan cemilan.

Tanpa terasa akhirnya kami tiba. Kami meletakkan barang-barang kami di vila, lalu langsung menuju pantai. Game dan kegiatan lainnya dimulai. Aku menyiapkan kameraku. Aku memotret perahu dan batu karang yang ada disekitarnya.

Kegiatan terus berlanjut hingga larut malam.

Pagi-pagi sekali kami dibangunkan. Aku yang sudah terbiasa sedikit tidur dan bangun sepagi mungkin bisa langsung menyesuaikan keadaan.

Waktu demi waktu berlalu, acara bebas diadakan. Aku duduk di tepi pantai. Riak kecil air laut membasahi kakiku. Aku teringat ibuku.

Lagi, dan lagi.

Aku tertidur di dalam bis. Rasa kantuk ini sulit untuk dihindari. Aku duduk dalam angkot, sedangkan Reno duduk di sampingku. Kami sama sekali tidak mengobrol. Aku turun di depan gang kosan. Menyeret kakiku dengan agak berat.

Satu minggu lagi telah berlalu, sekarang giliran klub seni yang mengadakan pelantikan. Rasanya aku ingin sekali tidur sehari penuh, tanpa harus memikirkan apa-apa dan melakukan apapun. Acara juga dilakukan selama dua hari. Tulang-tulangku sepertinya mau rontok.

“Ko bengong?” tanya Dito.

“Ngantuk Gw.”

“Sama nih, Gw juga. Bosan Gw.”

Aku tersenyum, dia kan panitianya, kenapa malah dia yang bosan?

Akhirnya kami pulang juga. Aku langsung merebahkan badanku di kasur. Tidak ingin memikirkan hari esok. Tugas-tugas kuliah, ataupun pekerjaan. Tidak ingin memikirkan apapun ...

***

“Rana!” seorang pria memanggilku.

Selama beberapa menit aku mematung melihat kehadirannya yang tidak pernah kubayangkan. Aku tidak mengingat wajahnya, namun entah mengapa aku bisa langsung mengetahui siapa dia. Tak ada perasaan rindu apalagi bahagia saat melihatnya. Yang ada hanyalah perasaan benci dan dendam.

Kenapa aku harus bertemu dengannya disini, sekarang?

Pria itu memakai kemeja biru laut, sepatunya bersih mengkilap. Dia memakai jam tangan merk terkenal.

Minyak wangi beraroma lembut tercium, bahkan orang yang berada dijarak jauh tetap bisa mencium aromanya. Dia memakai kacamata. Rambutnya sedikit beruban. Aku melihat mobil mewah terparkir di depan pagar kosan.

“Lama tidak bertemu, bagaimana keadaan Kamu?” tanyanya dengan tersenyum.

“Mau apa Anda kesini, dan dari mana Anda tau kalau Saya tinggal disini?” tanyaku membentak.

Ada perasaan terkejut dalam dirinya. Perkataanku tentu saja bukan sesuatu yang dia harapkan.

“Kenapa bicara begitu? Tentu saja banyak yang harus Kita bicarakan. Tentang ibu Kamu dan Kamu.”

“Kalau maksud Anda kesini untuk meminta maaf dan berharap Saya akan memanggil Anda Ayah, itu tidak akan pernah terjadi!”

“Apa maksud Kamu?”

“Bagi Saya, Ayah saya sudah mati sejak dia meninggalkan ibu dan Saya empat belas tahun yang lalu. Apa menurut Anda, Saya akan memaafkan begitu saja?”

“Tapi bukan itu yang terjadi.”

“Apa Anda kesini hanya untuk membela diri?”

“Tidak. Ayah memang salah. Seharusnya Ayah tidak pergi begitu saja. Ayah datang kesini untuk mengajak Kamu tinggal bersama Kami,” katanya.

“Tinggal bersama? Selama empat belas tahun Anda pergi lalu tiba-tiba datang untuk mengajak tinggal bersama kalian? Anda, istri Anda dan anak-anak Anda yang lain? Jangan mimpi!”

“Tidak apa-apa kalau sekarang Kamu tidak mau. Tapi Ayah akan terus datang kesini, ke kampus bahkan ke tempat kerja Kamu setiap harinya sampai Kamu berubah pikiran. Ada banyak hal yang harus Ayah sampaikan,” katanya.

Setelah berpamitan dia pun pergi. Ini pagi yang buruk untukku. Kulangkahkan kakiku ke kamar, mengunci pintu. Tidak lagi berniat untuk kuliah hari ini.

Perasaan sakit hati selama hampir empat belas tahun ini menguasai hatiku. Tangisan ibu di depan pintu rumah saat melihat kepergiannya seperti siaran ulang yang diputar sangat lambat.

SMS dan WA dari Reva tidak kubalas, telpnya pun tidak kuangkat. Selama tiga hari ini aku tidak kuliah ataupun kerja, dan selama tiga hari ini dia selalu datang ke kosanku. Entah itu pagi ataupun sore, dan sepertinya dia tau kalau aku memang selalu di kosan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   37 BONUS CHAPTER

    37 BONUS CHAPTER Aku membesuk Reva yang baru saja melahirkan anak pertamanya yang berjenis kelamin laki-laki. “Siapa namanya, Rev?” tanyaku sambil menggendong bayi tampan itu. “Arkana Albian Abizar.” “A semua?” “Hahaha, Albian nama keluargaku, kan. Abizar nama keluarga Dito. Maklumlah lah Ran, aku kan anak satu-satunya, jadi kedua orang tuaku ingin nama Albian tetap dipakai.” “Halo baby Arkana, jadi anak yang soleh ya dan sehat selalu, membanggakan kedua orang tua kamu.” Reno mengusap perutku yang sudah membuncit. Saat ini aku juga sudah mengandung lima bulan. Keluarga Reno sangat bahagia saat pertama kali mengetahui soal kehamilanku. Reno menjadi suami yang siaga. Setiap malam dia selalu menemaniku yang susah tidur dan yang terkadang ingin ini itu. Pagi harinya dia akan membuatkan susu hamil untukku. Banyak hal yang sudah Reno lakukan, bukan hanya saat aku hamil saja. Aku benar-benar ber

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   36 KEBAHAGIAAN DI LAUT BIRU

    36 KEBAHAGIAAN DI LAUT BIRU Reno menggenggam tanganku dengan erat, seolah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. “Ren ....” “Sstttt ... sudah tenang saja, kita akan menikah dan kamu tidak boleh pergi lagi tanpa aku.” Ck, percaya diri sekali dia. Entah kenapa aku memang tidak dapat menghilangkan rasa tidak percaya diriku mengenai hubungan dengan laki-laki. “Yang harus kamu pikirkan itu mengenai konsep pernikahan kita nanti. Kamu pasti mau menikah di pantai, kan. Tenang saja, selama ini aku sudah menyiapkan semuanya, kamu tinggal memilihnya saja.” “Yang paling penting itu restu, Ren.” “Ya pasti direstuin lah, Yang!” Yang? Maksudnya, Sayang? Aku menahan senyum, tapi Reno menyadarinya. “Kok kamu senyum-senyum sendiri gitu, sih? Sudah gak sabar ya, nikah sama aku?” Tuh kan, sekarang jadi aku kamu, biasanya juga gue elo. “Dih, percaya diri

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   35 SESEORANG ITU DIA

    35 SESEORANG ITU DIA Awalnya aku merasa kagum, namun tidak pernah kutunjukan. Orang yang selama berbulan-bulan kulihat turun bersamaku di pemberhentian terakhir. Seolah dia menjagaku di keheningan malam dan aku merasa aman dan nyaman dengan itu. Orang yang akhirnya menjadi rekan kerjaku di kafe, dan ternyata dia juga satu kampus denganku. Meskipun kami sering bertengkar di kafe dan bersikap tidak peduli satu sama lain di kampus, namun aku tidak pernah benar-benar membencinya. Entah apa penyebabnya, aku juga tidak tahu. Saat pertama kali ke rumah om Hendro dan bertemu dengannya, seperti ada petir yang menyambarku. Aku merasa kecewa, aku terjebak mimpi buruk dan tidak bisa keluar. Kenapa orang yang aku kagumi harus menjadi saudara yang kubenci. Aku tutupi perasaanku rapat-rapat, dan rasa kagum itu harus aku kubur dalam-dalam. Saat tahu kami tidak bersaudara, ada perasaan lega dan senang. Aku bisa kembali mengaguminya sebagai seorang teman, d

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   34 TENTANG ISI HATI

    34 TENTANG ISI HATI "Terus waktu seperti diputar ke belakang lagi, saat gw mendengar percakapan itu. Tuhan enggak mungkin ngasih perasaan sayang seperti itu ke adik gw sendiri, dan ternyata memang bukan perasaan gw yang salah.” Reno terdiam sejenak, kemudian melanjutkan kembali. “Awalnya gw merasa penasaran kenapa lo selalu duduk sendiri di kantin sekolah atau di perpustakaan. Lo enggak pernah memperhatikan siapa orang-orang yang ada di sekitar lo, seolah mereka tiang listrik yang bergerak, yang kalau lo dekat-dekat bakalan kesetrum. Berkali-kali kita berpapasan, tetapi lo enggak pernah mandang gw sekali pun. Lo enggak pernah tersenyum atau pun marah. Tetapi saat ada Dito, lo selalu tersenyum dan merasa senang, tapi karena dia juga lo kecewa dan patah hati. Gw pengen bikin lo tersenyum tapi ujung-ujungnya kita selalu berantem. Lo sering mandangin hujan dari kamar lo, seolah lo lagi curhat sama hujan itu. Tadinya, gw kira ayah menyuruh gw ngekos di sit

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   33 INGIN MEMULAI HIDUP BARU

    33 INGIN MEMULAI HIDUP BARU Om Hendro dan tante Ajeng sepertinya masih keberatan, tapi akhirnya mereka setuju juga. Aku memasukkan bajuku ke dalam koper. “Lo pergi karena patah hati?” “Ren, lo pernah nanya pertanyaan yang sama juga kan dulu. Kenapa harus diulang lagi, sih? Gw bosan menjawab pertanyaan yang sama dengan jawaban yang sama juga. Sebagai mantan teman kerja dan senior, seharusnya lo ngedukung gw.” “Gw bukannya enggak ngedukung, tapi ....” “Dah enggak usah tapi-tapian.” “Kan bentar lagi juga gw mau nikah.” “Oya, selamat ya. Entar gw datang deh. Gw doakan semoga dia bahagia.” “Kok cuma dia, gw enggak?” “Ya lo sih udah pasti bahagia lah, kan lo yang mau. Justru dia yang gw cemaskan.” “Ya bahagia juga, lah. Kata orang-orang, gw baik, ganteng, lucu, hmmm ... apa lagi yang belum, ya?” “Tapi kurang waras!” “Coba deh, hati dan pikiran lo

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   32 PERNIKAHAN

    32 PERNIKAHAN Reno yang merancang bangunannya, sedangkan Reva menulis daftar semua kebutuhan. Dito, Vivian, dan Andre juga ikut membantu. Bukan hanya mereka, tante Hartini dan ibu kos juga ikut andil. Tante Hartini menghubungi teman-teman lamanya semasa tinggal di rumah yatim. Mengerjakan semua ini, entah mengapa perasaanku campur aduk. “Kita bisa membuat beberapa kegiatan, untuk melatih kemandirian mereka. Misalnya setiap hari Minggu kita bikin kegiatan membuat kue, nanti hasilnya bisa dijual. Bercocok tanam, kerajinan tangan dan yang lainnya. Masalah tenaga pengajar enggak usah khawatir, teman-teman kampus kita siap bantu. Masing-masing dari mereka bisa ngajarin keahlian mereka. Misalnya, gw bisa ngajarin melukis. Nah karena Reva suka banget sama fashion, dia bisa ngajarin merancang baju, tinggal cari orang yang bisa ngejahit. Pokoknya lo tenang aja Ran, semua udah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya,” kata Dito. Aku tersenyum penuh rasa terima k

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   31 DIA ADALAH AYAH TERBAIK

    31 DIA ADALAH AYAH TERBAIK Aku menuju kamarku dan mengambil buku tabungan dan ATM-nya, lalu kembali ke bawah. “Ini. Ini semua uang yang sudah Om kirimkan kepadanya untuk memenuhi kebutuhanku. Jumlahnya masih sama, tidak ada yang berkurang sedikit pun.” Aku menyerahkan buku tabungan dan ATM itu pada om Hendro. “Rana ... seharusnya ayah yang minta maaf. Ayah enggak ada maksud untuk menyembunyikan kebenarannya dari kamu. Ayah hanya takut, kalau kamu nanti tahu, kamu akan pergi karena merasa tidak berhak ada di rumah ini.” Aku langsung melihatnya. Dia masih menyebut dirinya ayah padaku, dan dia tidak ingin aku pergi kalau aku tahu dia bukan ayahku? Aku semakin merasa malu. Mengapa om Hendro begitu baik padaku? Dia membiarkan anak-anaknya berpikir kalau dia memiliki anak dari perempuan lain, hanya untuk menjagaku, yang bahkan tidak memiliki hubungan darah dengannya sedikit pun. Apakah orang lain akan melakukan ha

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   30 MAAFKAN AKU

    30 MAAFKAN AKU “Rana, ayah mau bicara. Ayo turun!” Aku dan Reno turun dan duduk di ruang keluarga. Aku melihat wajah mereka yang terlihat serius, apa yang akan dibicarakan adalah hal yang sangat penting? “Rana, ada hal serius yang ingin ayah bicarakan.” Om Hendro dan tante Ajeng berpandangan. Apa seperti yang aku pikirkan? “Ini menyangkut masa depan kamu. Begini, kamu kan sudah dewasa dan sudah cukup umur. Ayah bermaksud ingin menjodohkan kamu dengan seseorang, tapi ayah tidak akan memaksa, semua keputusan ada di tangan Kamu.” Nah loh, kok enggak seperti yang aku kira, meskipun agak menjurus dikit. Orang tua Reno berpandangan, menunggu reaksiku. Aku melihat Reno, dia juga kelihatan kaget. Berarti dia juga enggak tau apa-apa. “Iya, nanti aku pikirkan dulu.” Kami berbicara dengan santai, tentang pria yang akan dijodohkan denganku. Pria itu berumur 30 tahun, lulusan luar n

  • DI PEMBERHENTIAN TERAKHIR   29 INGIN MELAMAR

    29 INGIN MELAMAR Aku menyiram tanaman. Aroma mawar membuat suasana di taman ini lebih menyenangkan. Aku baru memperhatikan kalau di taman belakang ini ada bunga kesukaan ibu. “Rana, rencana kamu hari ini apa?” tanya tante Ajeng. Reno dan yang lainnya sudah berkumpul dan duduk di pinggir taman. “Aku mau ke tempat Reva.” “Oya Rana, ayah mau kamu kerja di perusahaan ayah. Ayah sudah nyiapin posisi manajer untuk kamu,” kata om Hendro. “Tapi ....” “Tolong bantu ayah, ya. Reno juga kan sekarang sudah kerja di perusahaan. Kalau ada kalian berdua, pasti lebih baik.” Bagaimana nanti om Hendro akan memperkenalkan aku. Anaknya, kah? Keponakan? Atau hanya sebagai manajer biasa? Siang harinya aku bertemu dengan Reva. Dia memelukku. Aku membawakan oleh-oleh untuknya dan Dito. “Dito gimana kabarnya, Rev?” “Baik-baik aja. Pokoknya hari ini khusus untuk kita berdua. Lo ngin

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status