Salsa 19.Pukul sepuluh pagi aku terbangun dari pingsan. Kepalaku masih terasa sedikit berdenyut. Saat aku membuka mata, aku melihat sudah berada di kamar. Entah siapa yang membawaku ke sini, mungkin Ayah.Pintu kamar dibuka dan terlihat Ayah dan semua orang masih di sana. Malah sekarang ada beberapa orang dari kelurahan yang datang ke rumah.Desas desus itu pasti sudah menyebar ke mana-mana. Fitnah tentang aku yang menggoda suami Tiara, aku yang ingin dilayaninya. Mengingat hal itu membuat kepalaku semakin pusing."Saya dan semua perangkat desa sudah mendengar tentang Salsa. Warga tidak terima ada kejadian seperti itu di kampung kita ini. Jadi, apa keputusan, Bapak?" tanya pak lurah pada Ayah.Bukan pertanyaan, tapi lebih ke kalimat menyudutkan Ayah untuk bertindak sesuai dengan permintaan masyarakat desa. "Saya akan mengusirnya," jawab Ayah dengan lantang. Memenuhi keinginan mereka tanpa memikirkan tentangku. Jika aku pergi, ke mana lagi aku harus tinggal. Siapa yang mau menampun
Salsa 20.Aku pergi.Benar-benar tak ada lagi yang tersisa di hidupku.Tak ada lagi sisa kepercayaan mereka untukku, bahkan Reza yang kuharap bisa percaya dan akan menjadi pendamping hidupku selamanya, juga tak percaya padaku. Ia sama dengan semua orang, menuduhku gadis murahan yang menggoda lelaki dengan tak tahu diri.Sakit sekali mendengar hinaan dari orang yang perlahan kucintai sepenuh hati.Bahkan saat aku keluar rumah, orang-orang kampung masih berada di luar rumahnya. Mereka berkumpul seperti sedang membicarakanku. Terbukti saat aku melangkah melewati pagar rumah mereka, hinaan itu dilontarkan lagi padaku."Pasti nyesel deh si Mirna adopsi dia. Ckck! Hampir aja anak kandungnya jadi korban.""Anak gak bener emang. Udah turunan dari ayah ibu kandungnya.""Memang sih, mana ada anak yang lahir secara baik-baik dibuang begitu saja."Aku tetap melangkah pergi, dalam tetes-tetes air mata karena perih dalam hati.Tas ransel masih di punggung, juga satu tas selempang yang masih di pun
Salsa 21.Aku tiba di rumah kontrakan Desi, yang ternyata jaraknya tak jauh dari tempatku bekerja. Aku juga baru tahu ia tinggal di sini. Aku merasa lega karena besok bisa pergi bekerja cukup dengan jalan kaki saja."Di depan sana tempat kerjaku," kataku pada Desi memberitahu."Oh ya? Padahal aku sering belanja di sana, tapi pas malam pulang kerja ""Ah, pantes saja kita tak pernah bertemu. Aku hanya kerja sampai sore." Desi mengangguk. Kemudian ia meminta aku menyimpan nomor ponselnya agar jika ada sesuatu bisa langsung menghubunginya."Kakak gak apa-apa kalau aku tinggal sendiri?" tanyanya. Mungkin khawatir dengan keadaanku yang terlihat lemas.Aku menggeleng. "Gak apa-apa,""Kakak tiduran aja ya, aku pulang sore. Makanannya udah aku masak di bawah tudung saji. Atau kalau mau nanti aku pesenin makanan aja ke sini,"Aku mengerti kekhawatirannya, tapi ia juga harus kembali bekerja. Ya, namanya juga bekerja di tempat orang, tidak boleh seenaknya."Iya, nanti aku makan yang udah ada s
Salsa 22.Aku tercekat untuk sesaat melihat orang yang kini berada di depanku."Ayah?" kataku seraya menautkan dua alis. Entah apa yang belum selesai antara kami, bukankah kemarin ia mengusirku dari rumah? Bahkan saat aku mengiba ia tak peduli.Lalu, untuk apa lagi menemuiku. Jika hanya untuk menambah luka di hati, aku sudah tak sanggup lagi, karena luka yang ditorehkan oleh orang yang dulunya menyayangi, itu berkali-kali lipat sakitnya."Salsa …." Ayah mendekat. Kulihat raut wajahnya jauh berbeda seperti saat marah waktu itu."Kenapa Ayah di sini?" tanyaku yang juga mendekat padanya. Ayah terlihat seperti ada hal yang ingin ia sampaikan, dan aku ingin mendengarkannya."Duduk dulu, Nak!" kata Ayah seraya menuntunku untuk duduk di sebuah kursi yang ada di depan tempatku bekerja.Ia membuka jaket yang bisa dikenakannya, karena tadi motoran ke sini sepulang kerja.Aku duduk menuruti perintahnya. Lalu gerombolan pertanyaan muncul dari mulut Ayah yang sepertinya mengkhawatirkanku. Aku mas
Salsa 23.Minggu pagi, Ayah sudah tiba di kontrakan Desi tepat saat pukul delapan pagi. Hari ini kami berencana untuk melihat lokasi kontrakan yang sudah disewakan oleh Ayah."Lokasinya strategis, tempatnya ramai. Kemarin Ayah coba-coba tanya teman buat nyari kerjaan kamu. Ayah dapat, Sa."Saat Ayah menuruni motor, ia langsung mengatakan itu seolah tak mau menunda waktu untuk memberiku kejutan.Aku merasa lega bukan main, setidaknya saat sampai di sana aku tak menjadi pengangguran dan akan merepotkan Ayah untuk memberiku uang atau menjenguk karena jarakanya lumayan jauh kata Ayah.Aku berpamitan pada Desi pagi ini. Kami berpelukan sejenak dan kuucapkan terimakasih atas semua kebaikannya."Kalau misal nanti kamu pindah kerja lagi, kabari aku ya, biar sesekali kita bisa bertemu." Aku berkata padanya.Kami menjadi lebih dekat beberapa hari ini, dan aku tak ingin hilang komunikasi dengannya seperti dulu saat kami tak lagi satu SMA."Iya, Kak!" sahutnya. Terlihat raut sedihnya akan keperg
Salsa 24.Hari ini aku langsung masuk kerja untuk hari pertama. Kemarin, seharian Ayah menghabiskan waktu untukku. Tak rela sebenarnya berpisah dengan Ayah, tapi apa boleh buat. Ia memiliki tanggungjawab lain yang harus dipenuhi."Ayah bohong ke Mama. Ayah bilang ketemu teman. Kalau dia tau Ayah ketemu kamu, pasti marah lagi, berantem lagi. Tapi, tidak sepenuhnya bohong, karena memang benar Budi itu teman Ayah." Jawaban Ayah saat kutanyai keadaan di rumah. Saat kutanyai Mama tahu atau tidak ia menemuiku. Mama masih membenciku, sebab itu Ayah harus berbohong. Apalagi jika sampai Tiara tahu tempat tinggalku, atau lebih parahnya jika ia tahu Ayah membayarkan biaya sewa kontrakan untuk tempat tinggalku. Bisa habis aku dimaki sama Tiara.Setelah membereskan rumah, kami diantar oleh Pak Budi menuju ke tempat kerjaku. Tak henti aku bersyukur karena bertemu orang-orang baik. Ayah bertanya ke pak Budi tentang pekerjaan, Pak Budi tanya ke teman lainnya. Informasi dari teman ke teman yang akh
Salsa 25.Pagi ini, aku tak perlu naik angkutan umum karena Bu Mariani menawarkan untuk pergi bersamanya. Lumayan hemat ongkos.Pun aku belum gajian, masih ada sisa uang yang diberikan Ayah waktu itu.Semalam, Bu Mariani memintaku untuk tidur di rumahnya setelah kukatakan ada yang mengikuti. Aku menurutinya, karena masih merasa trauma dengan perbuatan Andre waktu itu.Aku takut jika orang yang mengikuti itu punya niat jahat padaku.Di tempat kerja aku bisa melupakan semua kenangan buruk itu sejenak, karena aku benar-benar sibuk melayani pembeli.Dari pagi hingga siang, pengunjung penuh di cafe kami."Salsa tolong antarkan makanan ini ya." Yuli, salah satu teman bagian packing memberikan perintah.Ini untuk pertama kali aku disuruh mengantarkan pesanan online. Belum berpengalaman sebenarnya, tapi sepertinya memang untuk membiasakanku.Yuli menyebutkan alamat tempat yang akan kutuju. Di kertas resi juga terdapat nomor ponsel yang akan mempermudah jika aku nyasar mencari alamatnya."Oke
Salsa 26."Jangan lupa kunci pintu, Sa!" Pak Budi mengingatkanku setelah kukatakan bahwa malam ini aku akan kembali tidur di rumahku. Pasangan pemilik kontrakan itu membuat hatiku lebih tenang tinggal di sini, karena mereka seperti Ayah dan Ibu untukku. Mereka menjaga amanah yang disampaikan Ayah waktu itu untuk menjagaku. Jadi aku merasa aman.Di samping kontrakanku juga ada yang tinggal, jadi tidak terlalu sepi meskipun di rumah aku tetap sendiri."Yakin udah gak takut?" tanya Bu Mariani sebelum aku pamit pulang."Iya, Bu." Aku menjawab mantap."Kalau ada apa-apa, langsung telpon Ibu, ya!" katanya.Aku menganggukkan kepala.Setelah bertemu lelaki itu aku tidak takut lagi, karena sepertinya memang tidak berniat jahat padaku.Meskipun perawakannya terlihat seperti preman dan menyebalkan.Namun, entah mengapa malam ini rasanya sulit untuk terpejam, pikiranku terus dikuasai oleh bayangannya. Padahal aku baru mengenalnya.Bukan tentang rasa yang tiba-tiba ada, tapi tentang penasaran ya