Masih terbayang di benak apa yang dikirim oleh Kaff pagi tadi. Ia berhasil meretas blog milik Mas Ichsan, menelusurinya, lalu mengirimkan beberapa puisi dan curhatan yang tersimpan dalam draft yang tersembunyi di sana.
Suamiku memang suka menulis, kutahu itu sejak dulu. Namun yang ia tulis hanya tips-tips seputar dunia IT. Hobi mereview beberapa produk yang berkaitan dengan bidang keahliannya, baik digital maupun non digital.
Kenyataan yang terjadi berkata lain, Mas Ichsan yang kupikir jauh dari kata melankolis, ternyata sebaliknya. Puisi-puisi miliknya begitu syahdu dan romantis.
Ah, Mas ... padahal sebaris pun tak pernah kau buatkan puisi untukku, istrimu.
Dayu ... Ida Ayu Ambarukmi. Seseorang yang masih menempati posisi khusus di hati suamiku saat ia menulis puisi itu. Lalu, di mana posisiku sebagai istri? Hanya pelarian semata? Lagi-lagi ujung mataku basah. Kutepis semua ingatan. Ini kesalahan karena mencari tahu tentang sesuatu yang bukan porsiku. Seperti ia yang tak pernah mempermasalahkan masa laluku, seharusnya aku pun begitu.
Curiga dan prasangka hanya akan menjadi duri dalam daging. Menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menghancurkan rumah tangga kami. Menghancurkan mimpi yang telah kami bangun di atas puing-puing kenangan masing-masing.
Apa yang akan kudapat ketika berusaha mengorek lebih dalam tentang masa lalunya. Bahagia? lega? Salah jika berpikir bahwa mengetahuinya bisa membuat lega, nyatanya malah menambah luka yang kutoreh sendiri dengan belati yang bernama, penasaran.
Sudah, Rin! Anggap saja impas.
*
Kulirik kanan kiri, ruangan sudah kosong. Memang sudah waktunya istirahat kantor. Tadi, Mayang sempat mengajak makan siang bersama, tapi kutolak. Bekal di dalam tas lebih menggiurkan dibanding makanan apapun di luar sana. Plecing kangkung hasil tanaman sendiri, tahu walik crispy dan kakap goreng tepung. Semuanya hasil masakan suami. Maka nikmat manakah yang bisa kau dustakan wahai istri yang gak bisa masak? Hi hi hi.
Aku terkekeh geli. Bagaimana bisa Mas Ichsan lebih pandai memasak daripada istrinya. Akhir-akhir ini dia memang sering memasak, persis seperti dulu, saat belum mengidap penyakit itu.
Memfoto kotak bekal dan mempostingnya di akun F* asli. Arinda Prasetya. Beberapa tanggapan dari teman berhasil membuatku tertawa, tak ada yang percaya saat kubilang kalau itu masakanku. Lalu, seseakun memberikan react love pada postingan itu.
Ichsan Prasetya.
Sejak kapan ia kembali aktif di sosial media?
***
"Assalamualaikuuum." Salamku seraya membuka pintu yang tak terkunci.
Sunyi, tak ada jawaban. Segera kucari keberadaan suamiku. Apa jangan-jangan ....
Sekuat hati menepis prasangka dan menelusuri semua sudut rumah, tapi tak kutemukan Mas Ichsan di manapun.
Kulirik jam dinding, sudah hampir isya'. Tadi sepulang kantor, Mayang mengajakku ke acara pembukaan salon milik kakaknya. Atas seizin Mas Ichsan, kuterima ajakan Mayang.
Menarik napas dalam-dalam, mengempaskan diri di sofa depan tivi. Tenang, Rin, tenang! Mungkin suamimu sedang jalan-jalan sebentar.
"Assalamualaikuuum."
Terdengar suara lirih suamiku. Aku menghambur keluar."Waalaikum ... salam," jawabku terbata saat melihat kondiasi lelakiku.
Mas Ichsan duduk di kursi teras dengan kaki kotor dan telanjang. Wajah kuyu, rambut acak-acakan dengan keringat membasahi seluruh badan yang terbalut baju dan celana pendek rumahan. Suamiku pasti tak sadar ketika pergi dari rumah, buktinya ia tak mengganti bajunya lebih dulu.
Mas Ichsan adalah pribadi yang rapi. Cenderung metroseksual. Hidupnya pun disiplin dan teratur. Dalam kondisi stabil, mana mungkin dia keluar rumah dengan baju seperti ini.
Astagfirullahalladzim ... astagfirullahalladzim .... Menghirup napas dalam-dalam.
"Aku baru aja pulang, Mas," kucium tangannya sambil tersenyum.
Dia bergeming, napasnya memburu karena kelelahan. Segera kuambil segelas air putih untuknya.
"Nih, Mas. Minum dulu," ujarku.
Mas Ichsan menenggak segelas air itu sampai tandas. Aku duduk di sampingnya dengan mimik wajah yang dengan sekuat tenaga kuusahakan tetap ceria. Dia menoleh ke arahku, ada kabut tipis di kedua matanya.
"Untung bisa pulang," lirihnya.
Aku tersenyum dan mengelus bahunya. "Pasti bisa, Mas, kan dah janji nggak akan ninggal aku."
"Tadi hampir nyasar," ujarnya sambil menunduk.
"Nggak kira nyasar, Mas kan hapal di mana rumah kita," ujarku menguatkan.
"Tadi ... aku lupa."
"Cuma lupa sebentar, habis tu ingat lagi, kan?"
Mas Ichsan hanya mengangguk.
Kuremas ujung kemeja, mencari sedikit lagi kekuatan untuk tetap tegar.
Ya Tuhaaan, kupikir segalanya telah kembali seperti semula. Nyatanya aku salah. Perjuanganmu belum berakhir, Rin!
"Mas ...." Kusentuh bahunya, kemudian dia menoleh. "Masuk yuk! Di sini banyak nyamuk, nih kakiku gatel semua," bujukku dengan memperlihatkan betis yang memerah.
Mas Ichsan berdiri. Segera kugandeng dan membawanya ke meja makan.
"Aku beli sate ayam. Mas mau makan dulu, atau mandi dulu?"
Dia bergeming. Aku menarik napas, lalu merubah pertanyaan.
"Aku lapeeer ... pingin maem sate ayam sama Mas. Tapi, Mas harus mandi dulu, ya?"
Mas Ichsan menatapku, tersenyum, lalu berangkat mandi.
Ketika ODS sedang berada dalam fase tak stabil, memang tidak semua kalimat bisa ia mengerti. Oleh karena itu, perlu kalimat khusus untuk membuatnya paham tentang apa yang sedang kami bicarakan.
Usai mandi, kami makan sambil berbincang. Kuceritakan kegiatanku di kantor juga di salon bersama Mayang, dia mendengarkan dengan antusias. Lalu ganti bercerita kegiatannya seharian ini di rumah. Kami tertawa ketika ada hal-hal lucu saat bercerita. Sampai kemudian, ia bercerita tentang hal yang sedari tadi membuatku penasaran.
Mas Ichsan menaruh sendoknya. "Rin," ujarnya.
"Hmm?" Aku melakukan hal yang sama, menjeda suapan.
"Tadi aku denger orang manggil aku."
"Terus?" Aku mendengarkannya baik-baik.
"Suara perempuan. Kayak lagi naik mobil."
Mendengar ceritanya, seperti ada yang perih di dalam sini. Aku diam sejenak, berusaha menguatkan hati.
"Terus ... Mas ngejar mobil itu?" tebakku.
"Iya, aku penasaran itu siapa. Kayak suaranya ...."
Mas Ichsan tak melanjutkannya. Seperti sedang berpikir. Melihat mimik wajahnya, aku pun tak berani bertanya lebih jauh tentang hal itu."Trus Mas ngejarnya sampai mana?" tanyaku mengalihkan obrolan.
"Jauuh, aku gak tau itu di mana. Pas mau pulang, aku lupa jalannya."
"Mas nggak tanya ke orang-orang?"
"Iya, aku tanya. Kamu bilang, kalau lupa kan harus tanya ke orang," ujarnya polos.
Aku tersenyum. "Trus, Mas jalan kaki?"
"Iya, mau naik angkot nggak bawa uang. Mau nelpon kamu nggak bawa hape."
Aku tertawa lirih. "Nggak papa, olahraga sore!"
"Iya, sampe keringetan."
Melirik ke wajah Mas Ichsan yang mimiknya sudah berubah santai. Berhenti sejenak, menimbang lebih dulu apakah pertanyaanku tepat untuk saat ini.
"Emmm ... dulu nih, ya. Mas kan pernah tuh lupa jalan. Ingat?"
"Kapan?"
"Dulu, yang aku jemput di masjid malam-malam."
Lelaki di hadapku tampak berpikir.
"Ooh iya ya ingat, yang kamu nangis trus peluk aku kenceng-kenceng di depan banyak orang?"
Aku tertawa. "Iya bener. Adegan memalukan ituh. Mas masih inget?"
"Ingetlah ... aku kan gak amnesia!"gerutuannya terdengar ketus. Namun kutahu ia hanya bercanda.
Aku tertawa.
"Waktu itu, Mas pergi karena ada suara kayak gitu juga?"
"Iya, sering aku denger suara itu," jelasnya.
"Kalau tidur sering mimpi juga?"
"Emmm ... kadang iya."
Kulirik mimik wajahnya sebelum melanjutkan pertanyaan. Masih terlihat santai.
"Mas inget, nggak? Suara itu ... mirip punya siapa?" tanyaku hati-hati.
"Bukan mirip. Itu memang suara Dayu."
"Dayu?" Ternyata benar dugaanku!"Iya, namanya Ida Ayu Ambarukmi, tapi aku panggilnya Dayu," jawabnya santai. Seolah sedang bicara dengan teman curhatnya.
"Ohh ...." Hanya kata itu yg keluar lirih dari bibirku.
Di dalam sini, rasanya seperti sedang menjerang air dan hampir mendidih."Di mana ya sekarang ..." lirih Mas Ichsan.
Refleks aku menyahut, "Siapa? Dayu?" Kusadari nada bicara mulai meninggi. Padahal sudah kutahan sekuat hati.
Mas Ichsan mengangguk, matanya terlihat sayu.
Astagfirullahalladzim ... astagfirullahalladzim. Sudah basah, mandi saja sekalian, Rin! Kepalang tanggung. Daripada tersiksa rasa penasaran, lebih baik tuntaskan. Kalaupun akhirnya teramat sakit, kau tahu ke mana harus mencari pertolongan. Kuhela napas, lalu berdeham untuk menormalkan suara.
"Lagi kangen Dayu, ya, Mas?" tanyaku santai- setelah berhasil mengontrol emosi- seolah-olah ini bukan masalah pelik.
"Enggak," jawabnya.
Aku tersenyum, kali ini bukan pura-pura.
"Eh, Rin ..."
"Hmm?"
"Kalau sering mimpi anak kecil, artinya apa ya?" tanyanya polos.
Aku mengernyit heran, tapi wajah polos suamiku selalu berhasil mengundang tawa.
"Anak kecil? Bayi? Biasanya mau dapat rejeki.""Enggak, udah agak gede. Segini," jelasnya menggambarkan tinggi badan dengan menjarak antara lantai dengan tangannya.
Sekitar umur tujuh atau delapan tahun."Mas pingin punya anak, kali!" Aku terkekeh, menjawab sekenanya.
Astagaaa!
Detik berikutnya, amat kusesali apa yang baru saja terucap. Membicarakan tentang anak di hadapannya sama halnya dengan membuka luka. Kuamati reaksi suamiku, syukurlah dia tak terganggu. Mungkin sedang tak fokus mendengarku, sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Aku dulu ... hampir punya anak, tapi nggak jadi," ujarnya lirih.
Aku tersentak. Piring bekas makan di hadapan tak sengaja terdepak. Untung tak jatuh, tapi cukup membuat Mas Ichsan kaget.
Sejak kami menikah, aku tak pernah hamil apalagi keguguran. Itu artinya, ada sesuatu yang ia sembunyikan. Berbagai macam prasangka berkekelabat di kepala. Apa itu bagian dari masa lalu? Atau ... dia selingkuh?
Mata mulai memanas, sekuat hati menahan biar air beningnya gagal mengalir. Kusadari tubuh ini mematung hingga beberapa waktu kemudian. Bingung, kaget, sedih, marah, kecewa. Entah tak bisa lagi mendefinisikan apa yang terasa.
Ya Allah ... nyuwun tambahi sabar lan kekuatan. Haruskah sesakit ini ujian yang harus kutanggung untuk menjadi pribadi yang lebih baik? Seorang perempuan berlumur dosa yang telah bertekad menjadi istri terhormat. Haruskah sesulit ini? Kuatkan hati ini, Tuhan. Jangan sampai kembali ke dalam nikmatnya dosa karena tak lagi sanggup menahan coba.
"Rin." Mas Ichsan sudah berdiri di samping kursi yang kududuki.
Aku mendongak, menggigit bibir kuat-kuat agar tak terlihat bergetar.
"Aku salah ngomong, ya?" tanyanya. Sepertinya ia sudah mulai sadar situasi.
Aku tersenyum, menggeleng, masih dengan bibir terkatup rapat.
"Maaf, Rin. Tadi aku gak sengaja cerita ke kamu," sesalnya.
Kusembunyikan wajah di perut Mas Ichsan dan menuntaskan segalanya melalui air mata. Dia merengkuh kepalaku, napasnya terdengar berat, lalu disusul tubuhnya yang sedikit bergetar. Aku tahu, dia menangis. Tangis pertama yang pernah kulihat sepanjang mengenalnya.
***
Seorang perempuan berambut panjang dalam balutan kebaya biru muda berhias senteng di pinggangnya. Manis. Foto pertama yang kulihat dari puluhan foto yang dikirim oleh Kaff.
"Sekalian tuntaskan, biar nggak jadi beban," bunyi pesan Kaff, dan aku setuju dengannya.
"Aku pingin tau semuanya," balasku.
"Yakin, kuat?" tanyanya memastikan.
"Jangan ngeremehin!" Kutambahkan emot marah. Kuyakin, di sana Kaff sedang tertawa. Dia cukup tahu serapuh apa hati ini.
Berderet-deret foto terkirim padaku.
"Kalau dah nggak sanggup, kamu tau ke mana harus lari."
Dasar raja gombaaal! Aku pura-pura tak mengerti.
"Ke mana?""Masih ada satu bantal dan satu guling di sini."
Kaff mengirimkan foto ranjangnya."Buaya daraaaaaaat! Gakda ahlak," balasku.
Si Buaya hanya membalas dengan emoticon tertawa. Aku tahu, dia hanya bercanda. Kaff pernah mengakui bahwa dirinya memang buaya. Tapi seliar apapun dia menggali, takkan pernah bermain di lubang yang masih ada pemiliknya.
Mengakhiri obrolan kami, lalu memeriksa puluhan foto yang dikirim oleh Kaff. Beberapa menampilkan seorang perempuan dengan pose yang berbeda dan lainnya berupa hasil screenshoot berbagai halaman yang kuperlukan untuk menjawab semua rasa penasaran.
Bismillahirrohmanirrohim, semoga langkah yang kutempuh ini tak pernah salah. Perjalanan menyusun kepingan puzzle sudah dimulai. Dari sinilah akan terjawab semua rasa curiga. Menuntaskan keingintahuan yang menyesakkan dada.
Sebenarnya ingin bertanya langsung pada Mas Ichsan. Tapi kuurungkan. Ada banyak hal yang menjadi pertimbangan. Curiga dan prasangka adalah bom waktu yang suatu saat bisa meledak dan meluluhlantakkan mahligai rumah tangga. Untuk menjinakkannya, diperlukan keterbukaan dan komunikasi dari kedua belah pihak. Saling mengoreksi, jujur, memahami, dan menerima apapun yang terjadi.
Kenyataannya, mana mungkin hal itu bisa diterapkan dalam rumah tangga yang timpang?
Berkomunikasi dan mencecar Mas Ichsan dengan pertanyaan seputar kecurigaanku pada Dayu. Bisakah? jelas tidak. Terlalu besar risiko yang kupertaruhkan.
Suamiku bukan orang biasa, dia luar biasa. Perlu cara yang luar biasa untuk menyelesaikan hal apapun dalam hidup kami berdua.
Aku terkejut saat sebuah lengan menyodorkan plastik bening berisi box makanan.
"Ehh!"
"Maaf, Mbak. Kaget ya?" Pak Ali terkekeh.
"Nggih, Pak. Saya kira siapa."
Pak Ali menaruh bungkusan plastik di meja kerjaku.
"Lho, saya nggak pesan apapun hari ini, Pak."
Istirahat makan siang kali ini, sengaja kugunakan untuk memeriksa foto-foto kiriman Kaff. Tak sabar rasanya.
"Ini memang buat Mbak, kok!" Pak Ali meyakinkan.
"Lha, tapi ini siapa yang pesan?" tanyaku penasaran.
"Udah, makan aja. Mbak Arin belum makan siang, kan?"
"Belum. Masih kenyang, Pak. Makanya saya malas makan." jawabku.
"Ambil aja, makan nanti kalau dah pulang, Mbak." Pak Ali memberi saran.
"Monggo buat Bapak aja," tawarku.
"Lha, saya sudah makan, Mbak. Menu yang sama," jawabnya.
"Oalaah. Ini dari siapa sih, Pak?" tanyaku penasaran.
"Ambil aja, inshaallah halal." Pak Ali meninggalkannya di meja.
Karena penasaran, kubuka box styrofoam tersebut. Tahu lontong tanpa toge dengan taburan bawang goreng yang cukup banyak.
Wuahhh, menggoda selera.Seulas senyum datang tanpa diundang saat mengingat seseorang yang dulu selalu protes dengan kebiasaanku makan banyak bawang. Takut kalau ciuman, mulutku bau bawang. Ha ha ha. Ada ada saja. Mungkin dia lupa kalau di dalam tas selalu tersedia permen karet rasa mint sebagai pembersih gigi darurat. Hi hi hi
Kuhentikan tawa saat menyadari seperti ada yang sedang memperhatikan. Tapi ... hanya ada aku di ruangan ini. Tiba-tiba jadi merinding.
Kuedarkan pandangan ke arah luar. Seorang laki-laki berdiri di dekat pintu dengan bibir tersenyum. Manis sekali.
Ooo eem jiii! Kuatkan aku ya Tuhan. Jangan sampai senyumku terlalu lebar. Bisa-bisa dikira ke-ge-err-an, atau lebih parahnya lagi, keganjenan!
Kulihat gerakan mulutnya tanpa suara, menyuruh makan. Aku mengangguk dengan senyum tertahan. Baru kali ini ia menyuruhku makan banyak bawang.
45. PulangPULANG"Kamu kurusan, Nduk," ujar Ibu saat menungguiku bersiap-siap.Aku hanya tersenyum ke arahnya. Memang benar, beberapa bulan terakhir, aku tak selera makan. Bagaimana mungkin aku bisa menikmati makanan, sementara seluruh pikiran hanya tertuju pada Mas Ichsan."Jaga kesehatan, Nduk. Setelah ini, kamu harus dua kali lebih kuat. Karena yang akan kamu jaga bukan cuma Nohan.""Nggih, Bu. Rinda dah nyiapin semuanya," jawabku untuk membesarkan hati Ibu. Padahal kenyataannya, masih ada keraguan menyelimuti hati.Bagaimana jika nanti Mas Ichsan kambuh dan berulah?Bagaimana perasaan Nohan jika tahu kondisi ayahnya yang sebenarnya?Bagaimana bila nanti ... ah, biarlah apa kata nanti. Terpenting, aku sudah berusaha.Sebenaranya hal itulah yang selama ini berkecamuk di dalam pikiran dan membuat hidupku tidak tenang.Jujur, kembalinya Mas Ichsan tak hanya membawa kebahagiaan bagiku, ada suatu perasaan lain yang
Tak biasanya wifi portabel milikku ini bermasalah. Aku segera membawa laptop menuju balkon, lalu menggantinya dengan jaringan internet hotel dan kembali berselancar di akun youtube milik Arbian Herdi.Gerak jemariku terhenti tatkala terpampang sebuah video dengan gambar pemuda yang sedang mencoba berinteraksi dengan seorang ODGJ di suatu emperan toko.Dadaku berdesir melihatnya. Segera menekan tombol play dan kuperhatikan dengan seksama. Dari tanggal yang tertera, video tersebut diunggah beberapa hari yang lalu.Menit-menit berlalu tanpa terasa. Jiwaku seolah melayang di suatu tempat antahberantah, rasanya itu semua tak mungkin. Aku ... masih belum percaya. Lebih tepatnya aku menolak percaya terhadap apa yang baru saja kusaksikan.Video milik seorang aktivis tersebut sukses membuat hatiku jatuh sejatuh-jatuhnya. Bahkan aku tak bisa lagi menerjemahkan apa yang kini terasa.Antara sadar atau tidak. Antara mimpi atau nyata. Antara ilusi atau fakta. Ak
Aku berdiri seraya merapikan kebaya yang terasa cukup sempit di tubuh ini. Berat badanku masih bertahan di angka empat puluh tiga, tak pernah berubah sejak masa gadis. Namun bentuk tubuh gadis-meskipun bukan perawan-tentu akan berbeda dengan seseorang yang sudah pernah melahirkan, apalagi setelah usia kepala tiga. Perubahan ukuran lingkar lengan atas dan bagian dada membuat kebaya terasa agak sesak.Berjalan pelan menuju pelaminan putih berhias bunga warna senada dengan dedaunan hijau menjuntai indah. Sederhana, namun nampak elegan. Lalu mataku tertuju pada sepasang merpati putih yang terkurung di dalam sangkar keemasan. Setelah acara usai nanti, pengantin akan melepaskan merpati tersebut sebagai simbol bahwa mereka sudah siap menempuh hidup yang baru.Ah, kenapa hal ini malah mengingatkan pada prosesi dalam pernikahanku dengan Mas Ichsan dahulu.Di depan sana, seorang laki-laki berdiri tegap dengan senyum santunnya. Wajah itu semakin memesona dalam balutan baju
Bulan ketiga di ibukota, Nohan sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan baru kami, begitupun aku. Mak Nini dan Pak Tikno turut menemaniku ke kota ini. Setidaknya, sampai aku memiliki pendamping lagi, begitulah perjanjian tak tertulisku dengan Ayah sebelum beliau mengizinkanku pindah.Sebulan terakhir, aku menjalani aktivitas di tempat kerja yang baru. Menjadi staf pengajar pada sekolah tinggi manajemen industri di kota ini. Memilih mengikuti jejak Ayah sebagai seorang pendidik, berharap dengan pekerjaan yang tak terlalu menyita waktu ini akan ada lebih banyak waktu untuk membersamai tumbuh kembang Nohan dan mempelajari pola asuh terbaik untuknya.Kembali memulai karir dari nol, kembali memulai hidup yang baru setelah sebelumnya berusaha membebaskan hati dan pikiran dari kenangan masa lalu. Bukan untuk melupakan, melainkan untuk merelakan dan menerima setiap takdir yang sudah digariskan.Melupakan Mas Ichsan adalah salah satu hal yang mustahil kulakukan. Bagaiman
Setelah beberapa menit memindai dari atas ke bawah, kembali lagi menelisik wajah yang rasanya tak terlalu asing bagiku. Andai cambang lebat tak ada di sana dan menutupi ... lesung pipi itu.Astagaaa! Ternyata benar-benar dia."Bukannya kamu masih di pulau seberang?" tanyaku pada lelaki tersebut."Iya, ini iseng aja mampir ke mari.""Berenang?""Naik sampan."Ayah turut tertawa menanggapi candaan kami. Sejak dulu dia memang sering berkelakar dengan menyebut Australia sebagai pulau seberang, karena memang letaknya hanya terpisah samudera dengan bagian timur Pulau Jawa.Ia lantas duduk kembali berhadapan dengan Ayah, sementara aku memilih tempat di samping Ayah sehingga posisi kami berseberangan.Mata berbingkai bulu lentik tersebut menatap lekat-lekat ke arahku, memindai penampilan seperti yang tadi kulakukan padanya. Sementara aku, setengah menunduk, namun ekor mata sipit milikku tentu masih bisa meliriknya dengan leluasa.
Hujan deras yang mengguyur kota Banyuwangi pagi itu seakan menambah pilu yang menguasai seluruh sendi kehidupanku. Terdengar tangisan Nohan timbul tenggelam. Ingin sekali membawanya dalam gendongan dan memberikannya ASI, namun tubuh sialan ini berkhianat padaku. Bahkan untuk sekadar membuka mata saja aku tak mampu.Rumah ini terasa sedikit gaduh, diikuti suara-suara orang mengaji beriring isak tangis beberapa perempuan. Cahaya di pelupuk mata seakan mengecil, redup, semakin buram, lalu ... segalanya tertutup kegelapan.***Perlahan membuka mata, memindai setiap sudut ruangan bernuansa ungu muda dengan aneka rupa boneka tertata rapi di salah satu sudutnya. Sepertinya tidurku terlalu lama sehingga tubuh ini terasa begitu lemah.Menoleh ke samping dan mendapati senyuman Ibu, sementara Ayah menatap dengan netra sendu lalu bangkit dari tempat duduknya dan mengusap puncak kepalaku sesaat sebelum keluar dari ruangan."Haus, Nak?" Suara Ibu terasa begitu l
39. Kenang LukaLaptop di hadapan menampilkan jejak tindih jemari yang tertuang dari ungkapan rindu di dalam dada. Berpuluh menit memindai rasa menjadi sebuah tulisan yang selama ini selalu berhasil mengobat resah. Menulis adalah caraku berbicara tentang segala hal yang tak mungkin terungkap sempurna di dunia nyata.KENANGOleh: Arinda PrasetyaSisa-sisa senyummu masih tercecer pada tiap sudut ruangan. Aroma tubuh, deru napas juga kelabat bayang masih memenuhi ruang pikiran.Setiap kata, tingkah laku, gaya bicara khas jiwamu yang begitu lembut, dan tiap tatapan mesra dari netra teduhmu itu, menjadi candu yang lagi dan lagi selalu kurindu.Kunikmati masa-masa sakit saat kehilanganmu. Kunikmati haru biru tangis menanti kepulanganmu, berharap kenyataan hanyalah mimpi buruk yang akan berakhir ketika azan subuh. Kunikmati tiap jengkal harapan semu. Kunikmati perih sepi yang menyusup pada setiap inchi pori-pori.Merindumu yang tak lagi terjan
38. Aku Cuma Cinta KamuDering panggilan pada handphone Mas Ichsan mengagetkan Nohan yang hampir saja terlelap. Bayi enam bulan tersebut menggigit sumber asinya kuat-kuat, membuatku terpekik kesakitan."Sayang ... mimik bunda jadi sakit kalau digigit. Nih jadi merah. Disayang aja, ya?" ujarku pada bayi dengan satu gigi tersebut. Dia sedang berada pada fase oral, senang menggigit apapun, terlebih ketika sedang kaget atau marah.Bayi mungilku seolah menjawab dengan ocehannya. Sejak masih dalam kandungan, aku memang sering melatihnya berkomunikasi. Menurut penjelasan dokter, kesehatan mental dan kecerdasan bayi bisa dibentuk sejak sebelum ia lahir. Salah satu cara ialah dengan mengajaknya berkomunikasi secara rutin.Nohan memandangku sambil mengucek matanya, sepertinya ia sangat mengantuk.Samar-samar terdengar Mas Ichsan berbicara serius dengan lawan bicaranya di seberang telepon. Tentang ... Zara. Jantungku berdebar tak karuan saat mendengar nada bi
Perjalanan kali ini terasa begitu melegakan. Ada Mas Ichsan bersama kami. Kami sedang dalam perjalan kembali ke rumah setelah lebih dahulu mengantarkan Mama dan Papa.Masih teringat wajah sedih Mama saat melepas kami pergi. Bukan karena tak ingin berpisah dengan putranya, namunvkarena beliau khawatir dan tak tega jika aku harus mengurus seorang bayi dan juga suamiku yang sedang tak stabil. Akan tetapi, membiarkannya tinggal jauh dariku, malah berpotensi memperburuk keadaannya. Lagi pula ... aku juga tak tega jika harus berpisah lagi dengannya.Mobil melaju membelah jalanan pantura. Mas Ichsan mengobrol dengan Pak Tikno sementara Mak Nini tertidur di sampingku. Kudekap Nohan yang tengah tertidur dengan satu tangan, lalu bermain dengan gawai di tangan kanan.Bucin Cinta Tanpa PamrihRaung-raung memuj