"Kamu tidak suka Sum dengan masakan Ibu?" Bu Saritun terus menanyakan pendapat Sumiyati tentang masakannya selama ini. Gadis berambut panjang itu terdiam cukup lama, terombang-ambing di dalam sebuah dilema dimana ia memang tidak menyukai masakan ibunya yang selalu asin. Akan tetapi dirinya juga tidak bisa jujur karena kejujurannya tentu saja akan membuat sang ibu terluka pastinya."Sum—""Suka kok Bu, Sum sangat suka dengan masakan Ibu." Sumiyati menjawab dengan getir, ia mengulas senyum seolah tidak pernah terjadi apa-apa selama ini. Kejadian yang pernah menimpa ibunya disaat muda hingga berakibat fatal membuat Sumiyati tidak tega untuk mengatakan yang sebenarnya. Sumiyati tahu, jika ia mengatakannya maka sang ibu akan bersedih lalu menyalahkan dirinya sendiri."Kalau begitu kamu segera belanja gih?! Ibu akan bantu menyalakan api di tungku dulu." Bu Saritun terlihat berbinar, wajah yang sangat cantik untuk wanita tua seperti beliau.Sumiyati menoleh ke arah Ilham yang kala itu hanya
"Sum, bagaimana? Jangan buat Ibu makin penasaran," ucap Bu Saritun dengan keing berkerut. Melihat antusias yang diperlihatkan Bu Saritun, Ilham lantas menyahut dengan cepat."Tentu saja enak Nek, Mbak Sum pasti nggak bisa berkata-kata karena saking enaknya. Buktinya nih, Ilham mau nambah lagi," ucap Ilham lalu kembali mengambil bakwan goreng yang masih hangat tersebut. Ilham hanya tersenyum, menikmati gorengan yang menurut Sumiyati memang terasa sangat asin. Seperti biasa, Sumiyati tidak mampu berkata-kata karena dia tidak sanggup menyakiti hati ibunya.Bu Saritun tersenyum puas, melihat Ilham begitu lahap memakannya rasa khawatir yang sempat hadir dalam hati Bu Saritun mendadak lenyap. "Benar kan Sum, Ibu masaknya pasti enak. Nak Ilham, bakwannya gak keasinan kan Nak?"Ilham menggeleng, ia tersenyum sambil mengunyah. "Enggak Nek, tidak asin sama sekali kok. Rasanya sudah pas. Nenek memang pintar memasak. Hmm, Ilham boleh bawa pulang bakwannya Nek?"Alis Sumiyati menaut, ia menatap I
Tring... Tring...Ponsel android Sumiyati yang sudah jadul berbunyi, mengalihkan perhatian si empunya ponsel dari aktifitasnya mengambil jemuran kering dari tali yang ia gelar di belakang rumah. Sumiyati segera berteduh, sore itu masih terasa panas di langit kota Wonogiri.Meletakkan bak ember yang biasanya ia pakai untuk mengambil jemuran kering, Sumiyati lantas merogoh saku daster usang yang ia pakai. Wajahnya terlihat serius ketika sebuah nomer baru masuk ke WhatsApp-nya dan sepertinya tengah mengirim foto.Karena ponsel model lama, Sumiyati harus bersabar ketika ponselnya tersebut sedikit lemot untuk memuat gambar. Beberapa detik kemudian, mata Sumiyati melotot. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat, perlahan tangannya gemetaran disusul perasaan hancur yang menumbuk jantung dan juga dadanya."Apa ini? Foto ini?" Sumiyati menggeleng, ia menutup mulutnya rapat-rapat dengan sebelah tangan. "Mas Susilo, kamu tega Mas."Beberapa detik kemudian, nomer baru itu mengiriminya pesan sin
"Kamu bisa bantu Nenek kan, Ilham?" Bu Saritun kini menyentuh tangan pemuda yang duduk di sebelahnya. Dengan segenap perasaan yang ada, Bu Saritun meminta agar Ilham mau menyelidiki tentang kesedihan Sumiyati yang terlihat begitu berlebihan.Ilham terdiam, ia menunduk sejenak lalu menganggukkan kepala. Setuju dengan apa yang dipinta Bu Saritun, Ilham mencoba memahami posisi wanita tua itu sebagai seorang ibu. "Baik Nek, saya akan bantu sebisa saya."Bu Saritun tersenyum puas, ia menganggukkan kepala tanpa banyak bicara lagi. Wanita tua berambut putih itu lalu melongok ke dalam, memanggil Sumiyati untuk membuatkan kopi. "Sum, Sumiyati!""Iya Bu," sahut Sumiyati dari dalam kamar, gadis itu perlahan membuka pintu kamar lalu menghampiri Bu Saritun yang duduk di luar rumah.Melihat ada Ilham, Sumiyati mencoba terlihat biasa meskipun wajahnya masih terlihat merah karena menangis. "Oh, ada Mas Ilham, sudah lama ya Mas?!""Baru saja Mbak," jawab Ilham pelan sambil tersenyum, benar saja ia bis
"Ya Allah, benarkah aku menyukainya?" Ilham membatin dalam hati, jelas terasa getaran aneh itu mengguncang dadanya saat ini.Melihat Ilham hanya tertegun di tempat, Sumiyati menautkan alis. Dirinya tidak mengerti kenapa pria itu tiba-tiba terdiam menatapnya. Menggelengkan kepala, Sumiyati lantas melambaikan tangan ke arah Ilham. "Mas, ke sini!"Ilham tersadar, sepertinya ia memang harus merapalkan surat An-Nas untuk mengusir jin yang menguasai otaknya. Pria berjaket jeans biru segera bergegas menuju ke arah Sumiyati, menunjukkan dua tiket yang berhasil dia beli. "Nih tiketnya sudah kebeli. Yuk kita naik!"Sumiyati mengangguk, ia lantas mengikuti langkah kaki Ilham untuk segera naik bianglala seperti yang mereka kehendaki sebelumnya.Malam yang penuh dengan keriuhan orang itu, mereka nikmati bersama-sama sambil menaiki bianglala. Sesekali tertawa lepas untuk menghilangkan penat dan jenuh yang melanda.Terdiam sejenak, Ilham kembali meresapi perasaannya. Perasaan yang terasa begitu nyam
"Gimana ya Mas? Saya—" Gadis itu terdiam, bingung mau menjawab apa. Sambil mengelus rambutnya yang dikuncir ekor kuda sedikit tinggi, Sumiyati nampak berpikir dengan jawaban apa yang akan ia berikan pada Ilham. "Saya sih sudah nggak mikir itu Mas.""Maksudnya Mbak?" Ilham kali ini yang merasa tidak puas, ia menatap Sumiyati, memperjelas apa yang tengah dikatakan lawan bicaranya tersebut."Ya maksudnya, saya mau cari pendamping yang bisa mencintai kekurangan saya dan juga Ibu saya Mas. Saya tahu hal itu sangat mustahil terlebih tahun ini dibuktikan dengan keempat calon suaminya saya yang gak bisa terima saya termasuk kondisi Ibu," jawab Sumiyati jauh lebih gamblang. Gadis itu mengembuskan napas panjang. "Saya memprioritaskan ibu saya dulu Mas, kasihan kalo nantinya suaminya saya syok lihat Ibu saya kayak gitu. Sakit saya bayanginnya."Ilham terdiam, turut larut dengan apa yang dikatakan Sumiyati. Memang sulit mencari pasangan hidup yang cocok dengan diri dan juga lingkungan keluarga. B
"Sum, uang itu—""Kenapa? Nggak ada ya?! Udah kamu kasih ke adik sama ibu kamu?" Sumiyati dongkol, ia lalu melirik ke arah wanita yang berdiri di belakang Susilo yang terlihat asyik makan siomay tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Atau udah buat bayar wanita parasit ini Mas?""Eh, apa kamu bilang?" Wanita bernama Asih itu melotot, ia maju kedepan namun Susilo segera menghadangnya dengan cepat. "Enak saja kamu ngatain aku parasit!""Lha terus apa dong?" Sumiyati gantian nyolot, ia tersenyum mengejek. "Cewek yang gatel, pengen digaruk, dan hobinya cuma icip-icip calon suami orang, yang namanya gitu kalo bukan parasit apa coba?!""Heh kamu berani ya?!" Asih menyalak seperti anjing kepanasan."Sudah, sudah! Asih kamu diam!" Susilo melerai, tidak ingin hawa siang itu jadi bertambah panas karena Asih turut tersulut api kemarahan.Sumiyati tersenyum sambil mengangguk, ia butuh asupan oksigen banyak supaya tetap sadar dan tenang di hadapan Susilo. "Aku nggak mau banyak Mas, sekarang kita putu
Bu Saritun tersungkur ke tanah, kedua lututnya sedikit lecet karena tergores kasarnya tanah merah yang baru saja ia bersihkan dengan sapu lidi. Batinnya menangis, tidak sanggup membayangkan penderitaan yang diderita putrinya tahun ini.Rupanya karena masakannya yang asin, yang selalu ia suguhkan kepada para calon suami Sumiyati justru membawa bencana tersendiri bagi putrinya. Bibir wanita tua itu terkatup, bergetar dibalik tanga keriput yang menutupinya.Bu Saritun menangis, tersedu sambil tertahan. Ia tidak raungan hatinya yang bersalah didengarkan banyak orang. Beruntung rumah satu dengan rumah yang lain berjarak cukup jauh sehingga meskipun ia menangis, tidak ada satu pun tetangga yang memergokinya."Maafkan Ibu Nak, ternyata dibalik keegoisan Ibu kamu menyimpan laramu sendiri. Karena masakan Ibu yang terlalu asin kamu harus ditinggalkan pria impianmu hingga tiga kali. Ya Allah, dosa apa yang sudah hambamu perbuat ini? Apakah wanita tua renta ini sama sekali tidak boleh memasak unt