****
"Kenapa lagi? Kamu mau ngajak aku bertengkar pagi-pagi kayak gini?" Susilo begitu sewot saat Sumiyati mengejar langkahnya lalu menarik tangannya dengan cepat.Sumiyati menarik napas, ia menatap Susilo dengan tatapan begitu keras. Ya, calon suaminya ini memang berbeda dari yang lainnya. Ia terlalu keras seperti baru, bila ia bilang tidak ya seterusnya tetap saja tidak."Mas, kamu kok ngomong gitu sih?! Apa kamu nggak kasihan sama ibuku? Beliau udah tua Mas, harusnya aku tuh udah berhenti kerja dan merawat ibu di rumah." Sumiyati menerangkan, ia menundukkan kepala dengan wajah terlihat sedih."Lalu apa kamu nggak kasihan sama ibuku, Sum? Kalo sama-sama tua mah tuaan ibuku tapi aku tetep kuat, aku tetep jaga perasaan kamu. Kita sama-sama bekerja untuk masa depan kita, jangan lemah hanya karena rengekan orang tua. Kamu juga tahu kan ibuku juga minta aku supaya pulang terus nginep kayak apa yang dilakukan oleh ibu kamu tapi aku tetep kukuh, karena kita punya masa depan Sum. Kita nggak bisa makan kalo nurutin keinginan orang tua aja." Susilo mengeluarkan semua uneg-unegnya, menatap Sumiyati seolah ingin melahapnya mentah-mentah."Mas, tapi ibumu masih memiliki suami. Setidaknya ada orang lain yang jagain ibu kamu, terus ibuku—""Nggak ada alasan ya Sum, kita nggak boleh lemah karena rengekan orang tua. Aku tega sama ibuku, kamu juga dong. Sekarang kamu mau kerja apa enggak? Kalo enggak ya udah, aku mulai berangkat kerja nih." Susilo lalu melanjutkan langkah kakinya menuju ke ujung jalan dimana motor matik miliknya diparkir di sana.Sumiyati hanya diam, ia mengikuti langkah Susilo untuk pergi diantar ke tempat kerja. Pagi itu perasaannya benar-benar ruwet, cukup sulit bagi Sumiyati untuk meluluhkan hati Susilo. Jika bukan karena cinta mati, sudah pasti ia akan meninggalkan Susilo dan memilih hidup sendiri.Terkadang Sumiyati berpikir, terbuat dari apakah hati calon suaminya tersebut? Terkadang juga Sumiyati bertanya-tanya, kenapa setiap ucapan Susilo terkadang mengandung kebenaran meskipun menyakitkan?!Pagi menjelang siang itu menjadi saksi pertengkaran Sumiyati dengan Susilo bab telepon dari kampung. Meski Sumiyati tidak tega untuk menolak keinginan ibunya, Sumiyati juga tidak bisa mengabaikan pemikiran Susilo mengenai masa depan mereka. Ya, kebenaran terkadang pahit tapi memang harus selalu dijalani. Bukankah begitu?!****"Terima kasih ya Nak Ilham, Nenek senang sekali bisa berbicara dengan Sumiyati. Anak ibu itu orangnya keras tapi hatinya lembut dan tidak tegaan, kadang Nenek merasa harus mikir, kenapa anak itu memiliki hati seperti itu." Nenek Saritun meletakkan ponsel di meja dengan hati-hati.Nak Ilham hanya tersenyum, menatap nenek itu dengan sepenuh hati dan mendengarkan segala ceritanya dengan penuh seksama. "Nek, apa Mbak Sum nggak ingin pulang dan merawat Nenek? Nenek kan sudah tua, sudah waktunya tinggal di rumah dan tidak melakukan apapun."Bu Saritun tersenyum, ia terkekeh hingga menunjukkan giginya yang walaupun tidak putih tapi tetap terlihat kuat dan masih utuh. "Nenek tidak ingin merepotkan siapa pun termasuk Sumiyati. Dia masih gadis tapi terlambat menikah karena banyak pria yang meninggalkannya. Nenek sedih menceritakan hal ini tapi Sum memang memiliki kenyataan seperti itu. Setahun ini ada tiga pria yang ingin melamarnya, setiap datang ke rumah maka keesokan harinya Sumiyati pasti bercerita jika calon suaminya memutuskannya."Ilham mengerutkan kening, ada cerita yang membuatnya sedikit tertarik. "Memangnya kenapa Nek?"Bu Saritun menggeleng pelan, mimik wajahnya terlihat sedih. "Nenek tidak tahu, setiap kali Nenek tanya, Sum tidak pernah mau jawab. Dia hanya bilang kalo lelakinya merasa tidak cocok saja sama Sum, begitu. Nenek sedih Nak Ilham, bagaimana jika nanti Nenek kembali pada Allah sementara Sum sama sekali belum menikah."Kesedihan Bu Saritun dapat dirasakan oleh pemuda dua puluh tujuh tahun itu, perlahan Ilham mengulurkan tangan lalu mengusap tangan Bu Saritun yang keriput. Ia tersenyum manis lalu menenangkannya. "Mbak Sum pasti akan segera menemukan jodohnya Nek, doakan saja ya.""Ya, sudah pasti Nenek doakan Sumiyati segera dapat jodoh yang baik. Nenek dengar dia akan pulang membawa calon suaminya yang keempat, Nenek harap kali ini pernikahan itu benar-benar terjadi dan membuat Sumiyati bahagia." Bu Saritun tersenyum, perlahan ia menghapus air mata yang merembes di sudut matanya yang sendu.Ilham menganggukkan kepala, berdoa dalam hati supaya keinginan Bu Saritun segera diijabah oleh Tuhan."Lalu Nak Ilham sendiri kapan nikahnya?" Bu Saritun mendadak bertanya, ia terkekeh ketika menanyakan hal itu. "Nak Ilham sudah cukup umur untuk menikah."Wajah Ilham memerah membuat Bu Saritun kembali terkekeh. Pemuda itu tersenyum malu sambil menggaruk kulit kepalanya yang tidak gatal. "Saya belum bertemu jodohnya, Nek. Seperti mbak Sum, saya juga ditolak perempuan.""Loh kenapa Nak Ilham? Nak Ilham ganteng loh, sekolah tinggi, dan juga mapan. Perempuan mana yang menolak Nak Ilham?!" Bu Saritun sedikit terkejut dengan pengakuan pria muda tersebut.Ilham tersenyum kecut, ia menunduk sejenak. "Gadis itu sudah hamil duluan dengan pria lain, Nek."Bu Saritun kembali terkejut, suasana kembali menegang cukup lama. Akhirnya wanita tua berambut putih itu menepuk bahu Ilham dengan lembut. "Kamu beruntung Nak dihindarkan dari malapetaka. Bersabar, kamu bakal dapat jodoh yang lebih baik. Nenek doakan supaya kamu segera didekatkan dengan jodoh kamu ya?!""Makasih ya Nek untuk doanya," ucap Ilham pelan lalu meraih tangan Bu Saritun. Tanpa rasa malu, Ilham mencium tangan wanita tua renta itu untuk meminta doa restu.Bu Saritun mengangguk, tersenyum tipis sambil mendoakan dalam hati. Percakapan kembali tertunda, hanya terdengar suara kambing dan ayam yang bersahutan minta diberi pakan."Ehm, Nak Ilham Nenek bisa minta tolong satu lagi nggak?" Bu Saritun mengajukan pertanyaan, wajahnya sedikit sungkan saat mengatakannya."Apa Nek? Katakan saja."Bu Saritun menatap Ilham, ia menunduk. "Maukah Nak Ilham menjemput Sumiyati di terminal nanti saat ia pulang kemari? Nenek punya firasat dia akan pulang sendiri nanti. Nak Ilham, bisa bantu Nenek bukan?!"*****"Tentu saja mau Nek tapi bukannya Mbak Sum sudah ada calon suami? Nanti dia pasti pulang sama calonnya," ucap Ilham sambil tersenyum tenang. Bu Saritun terdiam, ia menunduk sejenak sebelum akhirnya ia tersenyum tipis pada Ilham. "Iya sih Nak, Nenek sering lupa. Ya sudah Nenek balik pulang dulu ya, makasih untuk bantuannya hari ini. Nenek cuma bisa bawain kamu beras biar kamu bisa masak hari ini.""Sebenarnya tanpa membawa beras pun Nenek bisa meminta tolong saya, kalau seperti ini saya sendiri yang malah sungkan dengan Nenek." Ilham berkata dengan sungkan, ia bangkit dari duduknya ketika Bu Saritun berdiri dengan menggunakan tongkat yang selama ini selalu setia menemaninya."Tidak apa-apa, kalau begini Nenek nggak akan sungkan lagi buat minta tolong. Ya sudah, Nenek balik dulu ya, assalamualaikum.""Wa'alaikum salam Nek, hati-hati." Ilham lantas mengantar Bu Saritun menuju ke teras rumah dengan sangat hati-hati. Maklum Bu Saritun sudah tua dan jalannya pun sudah bergetar, hanya saja
"Mas, aku ingin pulang kampung hari ini. Ibuku jatuh dan dibawa ke rumah sakit," ucap Sumiyati lirih pada Susilo Via telepon siang itu.Susilo mendengkus. "Apalagi sih ibu kamu tuh?! Ada-ada aja. Seneng banget kayaknya habisin tabungan anaknya.""Mas, hati-hati kalo ngomong. Dia itu ibuku Mas," ucap Sumiyati tak berkenan ketika Susilo mulai mencela ibunya."Iya tahu dia ibu kamu, ibu yang suka repotin anaknya." Susilo menimpali, ia terdengar begitu kesal saat mendengar ibu Sumiyati jatuh dan dibawa ke rumah sakit. "Kalo kamu mau pulang, pulang aja. Aku nggak ikut.""Tapi Mas aku nggak ada ongkos pulang. Uang gajiku udah aku titipin ke kamu Mas, ehm... Apa boleh aku minta uangnya buat biaya balik kampung Mas?" Sumiyati meminta dengan hati-hati."Enggak, enggak bisa. Duit gaji itu kan ditabung sama-sama buat biaya pernikahan kita. Aku nggak bisa kasih duit kamu sekarang, kalo duitnya diambil lagi lalu kapan kita bisa nikahannya? Mikir dong Sum, mikir! Sudahlah, aku mau kerja. Pinjem tem
**"Ya kalo sudah jodoh, mau gimana lagi Bu?! Mau perawan tua, mau perawan ting-ting, semua sama aja di mata Allah." Ilham menjawab lugas, ia terlihat tenang setenang air lautan. Menatap ponselnya sekali lagi, Ilham mengecek baterai ponsel yang tinggal tiga puluh persen."Ya kalo bisa cari yang ting-ting, yang kinyis-kinyis. Kamu tuh ya, masih perjaka, ganteng. Masa iya mau sama perawan tua, miskin lagi. Enggak deh Ham, coba pikirkan lagi niatnya. Kamu pasti mleyot gara-gara belum sarapan tadi." Bu Wiryo berceramah, sesekali menepuk lutut putranya dengan nada bicara yang menggebu-gebu."Buat apa Bu yang ting-ting, yang muda, kalo akhirnya juga kagak bener," timpal Ilham lantas memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket jeans yang ia pakai."Maksud kamu Nela? Udah dong jangan pikirin Nela lagi. Dia memang gadis gak bener, udah dipinang eh malah hamidun sama cowok lain. Bener-bener nggak bener itu bocah," ucap Bu Wiryo sambil menggelengkan kepala dan berdecap."Dia pilihan ibu kan waktu i
Sumiyati hanya diam, wajahnya terlihat murung ketika pemuda yang baru saja ia kenal itu menanyakan tentang calon suaminya yang tidak ikut pulang bersamanya. Gadis itu mengenakan kembali masker duckbill yang ia pakai, kekecewaan yang tergambar di wajahnya tersamarkan ketika ia mengenakan kembali masker tersebut."Ah, pasti calon suami Mbak sibuk ya?! Dia pasti punya pekerjaan mapan sehingga tidak bisa pulang ke kampung sama Mbak. Wah beruntung sekali punya calon imam seperti itu," ucap Ilham meneruskan ucapannya ketika tahu Sumiyati tak bisa menjawab apa yang menjadi pertanyaannya. "Ayo Mbak, itu mobil saya yang warnanya hitam."Ilham tersenyum, ia menunjuk pada mobil sedan mulus warna hitam yang terparkir rapi di luar terminal. Sekali lagi Sumiyati merasa rendah sekaligus takjub, pemuda yang sangat ramah itu bahkan memiliki kendaraan pribadi yang cukup bagus untuk ditumpangi."Itu-itu mobilnya Mas?" Sumiyati bergumam lirih, merasa ragu untuk mengikuti langkah Ilham."Iya Mbak, kenapa
Sesampainya Sumiyati di rumah sakit, wajah gadis itu nampak menegang. Keadaan ibunya yang tak kunjung siuman menjadi beban tersendiri untuknya.Setelah memakai seragam berwarna biru untuk menjenguk ibunya yang masih dirawat di ICU, air mata Sumiyati sama sekali tidak bisa terbendung melihat kondisi Bu Saritun yang pucat dan terbujur tak sadarkan diri di atas ranjang putih."Assalamualaikum Bu, Sumiyati pulang. Ibu bangun ya, bukankah Ibu kangen banget sama Si Sum?" bisik Sumiyati di telinga kiri ibunya. Gadis itu menghapus air mata yang merembes di sudut mata kirinya. Kesedihan yang ia rasa akibat melihat ibunya seperti itu sama sekali tidak bisa dibendung.Hingga sang dokter jaga datang, meminta untuk Sumiyati keluar dan berjaga di luar sana. Sumiyati menarik napas, menerima perintah dokter meskipun ada berat yang terasa.Berjalan keluar dari ruangan Bu Saritun, Sumiyati harus menghadapi Bu Wiryo—ibu kandung dari Ilham Suntoro."Terima kasih ya Bu sudah bantu Ibu saya pergi ke rumah
Malam itu menjadi malam yang panjang bagi Sumiyati untuk merenung. Semua cerita yang disampaikan Bu Wiryo begitu jelas dan masih terngiang di kedua telinganya.Sumiyati tidak mampu terpejam, cerita yang diberikan Bu Wiryo benar-benar menguras energinya saat ini. Gadis itu menelan ludah, tidak terpikirkan bagaimana penderitaan ibunya kala itu. Rasa sakit yang menimpanya hingga kehilangan salah satu saraf yang berakibat fatal.Sekarang, setelah tahu semuanya, apakah Sumiyati berani untuk meninggalkan ibunya barang sejenak?! Gadis itu menarik napas, ia merasa gelisah luar biasa. Kata dokter yang ia temui beberapa jam yang lalu, kemungkinan untuk Bu Saritun sembuh hanya beberapa persen saja. Beliau memiliki luka dalam yang seseorang tidak pernah tahu betapa sakitnya penderitaan itu.Andai saja Allah memberi Sumiyati kesempatan maka Sumiyati akan menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin. Ia tidak akan mengumpat ibunya lagi walau dalam hati, ia bahkan ikhlas lahir batin jika diminta untuk
Sumiyati melangkah cepat memasuki ruang ICU, mengabaikan perasaannya yang buruk terhadap telepon Susilo yang baru saja memporak-porandakan perasaannya. Tersenyum manis pada wanita tua yang telah mensgndungnya tersebut, Sumiyati menggenggam tangan Bu Saritun dengan penuh cinta."Assalamualaikum Bu, selamat pagi." Sumiyati menyapa ibunya di pagi yang cerah dan mulai panas tersebut. Sebuah senyuman ia haturkan pada sang ibunda yang lambat laun baru disadarinya telah berkorban banyak dalam hidupnya.Wanita tua dengan kepala dibalut perban itu tersenyum lemah, perlahan tangannya yang ringkih menyentuh pipi Sumiyati dengan lembut. "Wa'alaikum salam, Nduk. Selamat pagi."Keduanya terdiam seribu bahasa, hanya saling menatap satu sama lain seolah tidak ingin terpisahkan oleh jarak dan juga waktu.Menarik napas panjang, Sumiyati duduk di kursi yang sudah disediakan di dalam ruangan itu lalu menatap ibunya lekat-lekat. "Maafin Sum ya Bu, Sum bahkan tidak memiliki perhatian lebih untuk Ibu. Bahka
"Mas Ilham—" Sumiyati tertegun saat sosok berperawakan kurus tinggi dengan wajah tampan itu menyodorkan sebuah tisu ke arahnya. Dengan senyuman manis yang terlukis di bibirnya, Ilham mencoba memahami apa yang tengah terjadi pada diri Sumiyati saat ini. "Ambil tisu ini, hapus air mata yang sudah jatuh ke pipi. Saya tidak tahu kesedihan apa yang membuat kamu menangis, hanya saja saya peduli dan ikut bersedih saat melihat kamu menangis."Sumiyati menatap tisu berbungkus plastik warna pink tersebut dengan tatapan ragu, tisu dengan harga seribuan itu perlahan ia ambil dari tangan Ilham. "Terima kasih Mas."Gadis itu menunduk, mencabut tisu dari bungkus plastik lalu mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan lembut.Ilham menarik napas, ia duduk di sebelah Sumiyati dengan gusar. "Kamu lapar tidak? Sembari menunggu Bu Saritun pindah kamar, bagaimana jika kita jajan bubur ayam di depan rumah sakit? Aku dengar bubur ayam di pojok rumah sakit rasanya nikmat dan juga murah."Sumiyati meng