"Tentu saja mau Nek tapi bukannya Mbak Sum sudah ada calon suami? Nanti dia pasti pulang sama calonnya," ucap Ilham sambil tersenyum tenang.
Bu Saritun terdiam, ia menunduk sejenak sebelum akhirnya ia tersenyum tipis pada Ilham. "Iya sih Nak, Nenek sering lupa. Ya sudah Nenek balik pulang dulu ya, makasih untuk bantuannya hari ini. Nenek cuma bisa bawain kamu beras biar kamu bisa masak hari ini.""Sebenarnya tanpa membawa beras pun Nenek bisa meminta tolong saya, kalau seperti ini saya sendiri yang malah sungkan dengan Nenek." Ilham berkata dengan sungkan, ia bangkit dari duduknya ketika Bu Saritun berdiri dengan menggunakan tongkat yang selama ini selalu setia menemaninya."Tidak apa-apa, kalau begini Nenek nggak akan sungkan lagi buat minta tolong. Ya sudah, Nenek balik dulu ya, assalamualaikum.""Wa'alaikum salam Nek, hati-hati." Ilham lantas mengantar Bu Saritun menuju ke teras rumah dengan sangat hati-hati. Maklum Bu Saritun sudah tua dan jalannya pun sudah bergetar, hanya saja Ilham tak habis pikir kenapa anak perempuannya masih tega meninggalkan ibunya dalam keadaan seperti itu."Siapa Ham?" tanya Bu Wiryo saat Bu Saritun sudah pergi dari teras rumah. Bu Wiryo adalah ibu kandung Ilham, janda sepuluh tahun yang memiliki persewaan sound sistem di kampung tersebut."Nenek Saritun Bu," jawab Ilham lalu masuk ke dalam rumah dan duduk kembali di sofa. "Beliau minta tolong buat teleponin anaknya di Jakarta.""Sumiyati ya?" Bu Wiryo lalu ikut duduk di sofa bersama dengan Ilham."Kok ibu tahu?""Ya jelas dong, Ibu ini sudah lama di sini. Beda sama kamu yang ikut Bapakmu ke Jakarta dari waktu kecil. Ehm, ini berasnya siapa? Nek Saritun ya?" Bu Wiryo menyentuh beras yang terdapat di dalam plastik hitam dengan wajah keheranan."Iya Bu.""Lain kali jangan diambil, kasihan beliau sudah tua dan hidup sendiri. Sumiyati itu memang keterlaluan, anak gadis tapi gak ada perhatiannya sama orang tua. Udah tahu Bu Saritun itu sudah tua, jalan aja udah nggak bener tapi masih aja cari duit ke kota. Mbok ya sudah tinggal di rumah saja jadi petani kedelai juga nggak papa yang penting bisa merawat ibunya," ucap Bu Wiryo mulai mengomentari hidup Sumiyati dengan wajah sewot."Ibu mulai deh, itu kan urusan mereka Bu. Mungkin Mbak Sum punya alasan tersendiri hingga nekat pergi ke ibukota dan bekerja di sana." Ilham meraih ponsel, mengecek beberapa pesan yang terkirim kepadanya via W******p."Yang jelas Sumiyati itu kesel sama ibunya. Gimana gak kesel, ketiga calon suaminya itu kabur setelah nyicipin masakan Bu Saritun.""Masakan? Masakan apa Bu? Memang ada yang beda?" Ilham penasaran, ia menatap ibunya dengan tatapan penuh minat. Bukan karena ingin julid, jujur saja ia baru beberapa bulan di desa sehingga ia tidak tahu menahu soal seluk beluk Bu Saritun."Iya masakan Bu Saritun itu selalu keasinan, tiap masak sayur asem pasti asin, sayur tahu pasti asin, goreng ikan pasti asin, apa pun serba asin. Ya sudah calon mantunya pada kabur karena gak tahan dengan masakan mertuanya itu." Bu Wiryo bercerita panjang lebar dan penuh semangat.Ilham terdiam, ia memahami setiap ucapan ibunya dengan sudut pandang berbeda."Eh, Ilham, apa menurutmu Bu Saritun itu sengaja ya bikin masakan asin biar calon menantunya kabur? Kan kalo Sumiyati nikah, Bu Saritun nggak ada yang rawat jadi Bu Saritun sengaja bikin masakannya asin biar calon menantunya gak suka dan gak jadi nikah sama Sumiyati," ucap Bu Wiryo dengan tatapan serius. Wanita paruh baya dengan rambut pendek sebahu itu sedikit berbisik di depan Ilham, tidak ingin ada orang lain yang dengar pembicaraan mereka."Ah, masak iya sih Bu tapi—""Assalamualaikum Ilham, Bu Wiryo. Assalamualaikum," seseorang menyapa dari luar pintu. Suaranya terdengar begitu buru-buru dan juga panik membuat Bu Wiryo serta Ilham segera bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke teras rumah."Wa'alaikum salam Parto, ada apa?" Bu Wiryo keheranan saat melihat Parto—tetangga mereka terengah-engah di teras rumah."Itu Bu, anu... Bu Saritun terpeleset di jalan. Beliau pingsan dan sekarang masih ada di gardu listrik depan jalan sana." Parto mengabarkan sambil menata napas."Apa? Ilham, ayo kita ke sana Nak. Ayo kita bantu Bu Saritun, aduh... Udah tua juga masih suka jalan jauh-jauh, kalo jatuh repotin tetangga juga kan?!" Bu Wiryo mengomel, meskipun begitu ia juga tak kalah panik sambil mencari sandal jepit di halaman rumahnya.Pagi itu pedesaan yang begitu asri digegerkan dengan jatuhnya Bu Saritun di jalan tanjakan dekat rumah Bu Wiryo. Jalanan memang masih berbatu dan Bu Saritun terpeleset karenanya. Entah harus bagaimana, yang pastinya Bu Saritun harus segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan penanganan.**Dahi Sumiyati berkerut, ia mengusap peluhnya saat melihat tujuh belas panggilan tak terjawab terdapat di dalam ponselnya. Bekerja di pabrik obat dan memenuhi peraturannya untuk tidak menggunakan ponsel saat bekerja, membuat Sumiyati tidak bisa menggunakan ponselnya dengan leluasa.Nomor tidak dikenal itu sepertinya terus menghubungi ketika Sumiyati masih sibuk bekerja, saat jam istirahat barulah ia bisa melihat bagaimana panggilan itu telah terjadi berkali-kali pada nomer miliknya.Sumiyati mencoba mengabaikan panggilan, toh jika memang penting pasti akan memanggil lagi bukan?!Baru saja Sumiyati menyimpan ponsel pada saku bajunya, ponsel itu bergetar sekali lagi. Sumiyati mengentikan langkahnya menuju kantin, ia menerima panggilan dari nomer yang sama yang telah menghubungi berkali-kali tadi."Hallo, ini siapa ya?" Sumiyati mengangkat telepon, berjalan pelan menuju kantin untuk mengisi perut."Hallo Mbak Sum, assalamualaikum." Suara pria terdengar panik dari sana."Iya Wa'alaikum salam, ini siapa ya?""Aku Ilham Mbak, yang tadi pagi telepon Mbak.""Oh, ada apa Mas?" Sumiyati lalu menjadi tempat duduk yang nyaman untuk mengobrol bersama."Ini Mbak, Bu Saritun tadi pagi terpeleset di jalan. Beliau dilarikan ke rumah sakit Jaya Sentosa, sampai saat ini beliau belum sadarkan diri. Apa Mbak bisa pulang? Kasihan Bu Saritun tidak ada yang jaga." Ilham menyampaikan berita dengan sangat hati-hati."Apa Mas? Ibu jatuh?" Sumiyati tertahan, wajahnya menegang. Tanpa sadar ia bangkit dari duduknya dengan wajah panik."Iya Mbak, saya khawatir dengan Bu Saritun karena sejak pagi belum juga siuman dari pingsannya.""Ba-baik Mas, saya akan segera pulang. Tolong jaga ibu saya sebentar ya Mas, saya mau urus ijin dulu." Sumiyati memijat pelipisnya dengan bingung."Iya Mbak, ya sudah saya tutup dulu teleponnya ya Mbak. Assalamualaikum.""Wa'alaikum salam," jawab Sumiyati lalu menutup panggilan telepon. Wajah gadis itu terlihat tegang, ia menggigit bibir dengan perasaan khawatir juga panik.Menatap ponselnya, Sumiyati hendak menelpon Susilo. Ia harus meminta ijin pada calon suaminya itu untuk pulang ke desa, syukur-syukur jika Susilo mau menemaninya pulang.Menekan nomer ponsel Susilo, Sumiyati berharap pria berkulit bersih dan berwajah cukup ganteng itu mau mengangkat teleponnya.Harapan tinggal harapan, tiga kali panggilannya lewat begitu saja. Sumiyati menggigit bibir, wajahnya memerah hendak menangis. Kemana perginya pria itu? Apakah pekerjaannya sangat sibuk hingga tidak sempat angkat telepon."Mas, kamu dimana Mas? Angkat teleponku Mas. Ini penting banget, angkat Mas. Angkat!"***"Mas, aku ingin pulang kampung hari ini. Ibuku jatuh dan dibawa ke rumah sakit," ucap Sumiyati lirih pada Susilo Via telepon siang itu.Susilo mendengkus. "Apalagi sih ibu kamu tuh?! Ada-ada aja. Seneng banget kayaknya habisin tabungan anaknya.""Mas, hati-hati kalo ngomong. Dia itu ibuku Mas," ucap Sumiyati tak berkenan ketika Susilo mulai mencela ibunya."Iya tahu dia ibu kamu, ibu yang suka repotin anaknya." Susilo menimpali, ia terdengar begitu kesal saat mendengar ibu Sumiyati jatuh dan dibawa ke rumah sakit. "Kalo kamu mau pulang, pulang aja. Aku nggak ikut.""Tapi Mas aku nggak ada ongkos pulang. Uang gajiku udah aku titipin ke kamu Mas, ehm... Apa boleh aku minta uangnya buat biaya balik kampung Mas?" Sumiyati meminta dengan hati-hati."Enggak, enggak bisa. Duit gaji itu kan ditabung sama-sama buat biaya pernikahan kita. Aku nggak bisa kasih duit kamu sekarang, kalo duitnya diambil lagi lalu kapan kita bisa nikahannya? Mikir dong Sum, mikir! Sudahlah, aku mau kerja. Pinjem tem
**"Ya kalo sudah jodoh, mau gimana lagi Bu?! Mau perawan tua, mau perawan ting-ting, semua sama aja di mata Allah." Ilham menjawab lugas, ia terlihat tenang setenang air lautan. Menatap ponselnya sekali lagi, Ilham mengecek baterai ponsel yang tinggal tiga puluh persen."Ya kalo bisa cari yang ting-ting, yang kinyis-kinyis. Kamu tuh ya, masih perjaka, ganteng. Masa iya mau sama perawan tua, miskin lagi. Enggak deh Ham, coba pikirkan lagi niatnya. Kamu pasti mleyot gara-gara belum sarapan tadi." Bu Wiryo berceramah, sesekali menepuk lutut putranya dengan nada bicara yang menggebu-gebu."Buat apa Bu yang ting-ting, yang muda, kalo akhirnya juga kagak bener," timpal Ilham lantas memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket jeans yang ia pakai."Maksud kamu Nela? Udah dong jangan pikirin Nela lagi. Dia memang gadis gak bener, udah dipinang eh malah hamidun sama cowok lain. Bener-bener nggak bener itu bocah," ucap Bu Wiryo sambil menggelengkan kepala dan berdecap."Dia pilihan ibu kan waktu i
Sumiyati hanya diam, wajahnya terlihat murung ketika pemuda yang baru saja ia kenal itu menanyakan tentang calon suaminya yang tidak ikut pulang bersamanya. Gadis itu mengenakan kembali masker duckbill yang ia pakai, kekecewaan yang tergambar di wajahnya tersamarkan ketika ia mengenakan kembali masker tersebut."Ah, pasti calon suami Mbak sibuk ya?! Dia pasti punya pekerjaan mapan sehingga tidak bisa pulang ke kampung sama Mbak. Wah beruntung sekali punya calon imam seperti itu," ucap Ilham meneruskan ucapannya ketika tahu Sumiyati tak bisa menjawab apa yang menjadi pertanyaannya. "Ayo Mbak, itu mobil saya yang warnanya hitam."Ilham tersenyum, ia menunjuk pada mobil sedan mulus warna hitam yang terparkir rapi di luar terminal. Sekali lagi Sumiyati merasa rendah sekaligus takjub, pemuda yang sangat ramah itu bahkan memiliki kendaraan pribadi yang cukup bagus untuk ditumpangi."Itu-itu mobilnya Mas?" Sumiyati bergumam lirih, merasa ragu untuk mengikuti langkah Ilham."Iya Mbak, kenapa
Sesampainya Sumiyati di rumah sakit, wajah gadis itu nampak menegang. Keadaan ibunya yang tak kunjung siuman menjadi beban tersendiri untuknya.Setelah memakai seragam berwarna biru untuk menjenguk ibunya yang masih dirawat di ICU, air mata Sumiyati sama sekali tidak bisa terbendung melihat kondisi Bu Saritun yang pucat dan terbujur tak sadarkan diri di atas ranjang putih."Assalamualaikum Bu, Sumiyati pulang. Ibu bangun ya, bukankah Ibu kangen banget sama Si Sum?" bisik Sumiyati di telinga kiri ibunya. Gadis itu menghapus air mata yang merembes di sudut mata kirinya. Kesedihan yang ia rasa akibat melihat ibunya seperti itu sama sekali tidak bisa dibendung.Hingga sang dokter jaga datang, meminta untuk Sumiyati keluar dan berjaga di luar sana. Sumiyati menarik napas, menerima perintah dokter meskipun ada berat yang terasa.Berjalan keluar dari ruangan Bu Saritun, Sumiyati harus menghadapi Bu Wiryo—ibu kandung dari Ilham Suntoro."Terima kasih ya Bu sudah bantu Ibu saya pergi ke rumah
Malam itu menjadi malam yang panjang bagi Sumiyati untuk merenung. Semua cerita yang disampaikan Bu Wiryo begitu jelas dan masih terngiang di kedua telinganya.Sumiyati tidak mampu terpejam, cerita yang diberikan Bu Wiryo benar-benar menguras energinya saat ini. Gadis itu menelan ludah, tidak terpikirkan bagaimana penderitaan ibunya kala itu. Rasa sakit yang menimpanya hingga kehilangan salah satu saraf yang berakibat fatal.Sekarang, setelah tahu semuanya, apakah Sumiyati berani untuk meninggalkan ibunya barang sejenak?! Gadis itu menarik napas, ia merasa gelisah luar biasa. Kata dokter yang ia temui beberapa jam yang lalu, kemungkinan untuk Bu Saritun sembuh hanya beberapa persen saja. Beliau memiliki luka dalam yang seseorang tidak pernah tahu betapa sakitnya penderitaan itu.Andai saja Allah memberi Sumiyati kesempatan maka Sumiyati akan menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin. Ia tidak akan mengumpat ibunya lagi walau dalam hati, ia bahkan ikhlas lahir batin jika diminta untuk
Sumiyati melangkah cepat memasuki ruang ICU, mengabaikan perasaannya yang buruk terhadap telepon Susilo yang baru saja memporak-porandakan perasaannya. Tersenyum manis pada wanita tua yang telah mensgndungnya tersebut, Sumiyati menggenggam tangan Bu Saritun dengan penuh cinta."Assalamualaikum Bu, selamat pagi." Sumiyati menyapa ibunya di pagi yang cerah dan mulai panas tersebut. Sebuah senyuman ia haturkan pada sang ibunda yang lambat laun baru disadarinya telah berkorban banyak dalam hidupnya.Wanita tua dengan kepala dibalut perban itu tersenyum lemah, perlahan tangannya yang ringkih menyentuh pipi Sumiyati dengan lembut. "Wa'alaikum salam, Nduk. Selamat pagi."Keduanya terdiam seribu bahasa, hanya saling menatap satu sama lain seolah tidak ingin terpisahkan oleh jarak dan juga waktu.Menarik napas panjang, Sumiyati duduk di kursi yang sudah disediakan di dalam ruangan itu lalu menatap ibunya lekat-lekat. "Maafin Sum ya Bu, Sum bahkan tidak memiliki perhatian lebih untuk Ibu. Bahka
"Mas Ilham—" Sumiyati tertegun saat sosok berperawakan kurus tinggi dengan wajah tampan itu menyodorkan sebuah tisu ke arahnya. Dengan senyuman manis yang terlukis di bibirnya, Ilham mencoba memahami apa yang tengah terjadi pada diri Sumiyati saat ini. "Ambil tisu ini, hapus air mata yang sudah jatuh ke pipi. Saya tidak tahu kesedihan apa yang membuat kamu menangis, hanya saja saya peduli dan ikut bersedih saat melihat kamu menangis."Sumiyati menatap tisu berbungkus plastik warna pink tersebut dengan tatapan ragu, tisu dengan harga seribuan itu perlahan ia ambil dari tangan Ilham. "Terima kasih Mas."Gadis itu menunduk, mencabut tisu dari bungkus plastik lalu mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan lembut.Ilham menarik napas, ia duduk di sebelah Sumiyati dengan gusar. "Kamu lapar tidak? Sembari menunggu Bu Saritun pindah kamar, bagaimana jika kita jajan bubur ayam di depan rumah sakit? Aku dengar bubur ayam di pojok rumah sakit rasanya nikmat dan juga murah."Sumiyati meng
"Mau pinjam uang Bu?" Susilo mengulangi apa yang baru saja ia dengar dari ibunya. Rasanya ia menyesal karena telah mengangkat panggilan ibunya yang selalu saja terkait dengan uang."Iya, pinjam uang. Kamu ada 'kan? Kalo misal kagak ada coba deh kamu minta bantuan sama Sum. Demi adik iparnya, Ibu yakin kok Sum pasti mau. Dia kan baik hati, Sus.""Empat juta mana ada Bu?! Ibu tahu sendiri 'kan kalo aku sama Sum kerja mati-matian untuk biaya nikah kami akhir tahun ini." Susilo memberi pengertian, sedikit keberatan jika wanita yang sudah melahirkannya itu meminjam duit sebegitu besarnya."Kan masih akhir tahun, masih ada waktu tiga bulan lagi buat kembaliin duitnya. Lagipula duit segitu pasti kecil-lah buat Sumiyati, dia kan kerja di pabrik obat, gajinya besar setiap bulan. Harusnya Sum itu kasih duit sama Ibu jadi Ibu nggak perlu lagi minjam-minjam sama dia kayak orang lain."Susilo terdiam, ia terpaku sesaat dan bingung harus menjawab apa pada perkataan ibunya. Haruskah ia meminjami wan