Share

Bab 4. Pulang Dadakan

"Tentu saja mau Nek tapi bukannya Mbak Sum sudah ada calon suami? Nanti dia pasti pulang sama calonnya," ucap Ilham sambil tersenyum tenang.

Bu Saritun terdiam, ia menunduk sejenak sebelum akhirnya ia tersenyum tipis pada Ilham. "Iya sih Nak, Nenek sering lupa. Ya sudah Nenek balik pulang dulu ya, makasih untuk bantuannya hari ini. Nenek cuma bisa bawain kamu beras biar kamu bisa masak hari ini."

"Sebenarnya tanpa membawa beras pun Nenek bisa meminta tolong saya, kalau seperti ini saya sendiri yang malah sungkan dengan Nenek." Ilham berkata dengan sungkan, ia bangkit dari duduknya ketika Bu Saritun berdiri dengan menggunakan tongkat yang selama ini selalu setia menemaninya.

"Tidak apa-apa, kalau begini Nenek nggak akan sungkan lagi buat minta tolong. Ya sudah, Nenek balik dulu ya, assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam Nek, hati-hati." Ilham lantas mengantar Bu Saritun menuju ke teras rumah dengan sangat hati-hati. Maklum Bu Saritun sudah tua dan jalannya pun sudah bergetar, hanya saja Ilham tak habis pikir kenapa anak perempuannya masih tega meninggalkan ibunya dalam keadaan seperti itu.

"Siapa Ham?" tanya Bu Wiryo saat Bu Saritun sudah pergi dari teras rumah. Bu Wiryo adalah ibu kandung Ilham, janda sepuluh tahun yang memiliki persewaan sound sistem di kampung tersebut.

"Nenek Saritun Bu," jawab Ilham lalu masuk ke dalam rumah dan duduk kembali di sofa. "Beliau minta tolong buat teleponin anaknya di Jakarta."

"Sumiyati ya?" Bu Wiryo lalu ikut duduk di sofa bersama dengan Ilham.

"Kok ibu tahu?"

"Ya jelas dong, Ibu ini sudah lama di sini. Beda sama kamu yang ikut Bapakmu ke Jakarta dari waktu kecil. Ehm, ini berasnya siapa? Nek Saritun ya?" Bu Wiryo menyentuh beras yang terdapat di dalam plastik hitam dengan wajah keheranan.

"Iya Bu."

"Lain kali jangan diambil, kasihan beliau sudah tua dan hidup sendiri. Sumiyati itu memang keterlaluan, anak gadis tapi gak ada perhatiannya sama orang tua. Udah tahu Bu Saritun itu sudah tua, jalan aja udah nggak bener tapi masih aja cari duit ke kota. Mbok ya sudah tinggal di rumah saja jadi petani kedelai juga nggak papa yang penting bisa merawat ibunya," ucap Bu Wiryo mulai mengomentari hidup Sumiyati dengan wajah sewot.

"Ibu mulai deh, itu kan urusan mereka Bu. Mungkin Mbak Sum punya alasan tersendiri hingga nekat pergi ke ibukota dan bekerja di sana." Ilham meraih ponsel, mengecek beberapa pesan yang terkirim kepadanya via W******p.

"Yang jelas Sumiyati itu kesel sama ibunya. Gimana gak kesel, ketiga calon suaminya itu kabur setelah nyicipin masakan Bu Saritun."

"Masakan? Masakan apa Bu? Memang ada yang beda?" Ilham penasaran, ia menatap ibunya dengan tatapan penuh minat. Bukan karena ingin julid, jujur saja ia baru beberapa bulan di desa sehingga ia tidak tahu menahu soal seluk beluk Bu Saritun.

"Iya masakan Bu Saritun itu selalu keasinan, tiap masak sayur asem pasti asin, sayur tahu pasti asin, goreng ikan pasti asin, apa pun serba asin. Ya sudah calon mantunya pada kabur karena gak tahan dengan masakan mertuanya itu." Bu Wiryo bercerita panjang lebar dan penuh semangat.

Ilham terdiam, ia memahami setiap ucapan ibunya dengan sudut pandang berbeda.

"Eh, Ilham, apa menurutmu Bu Saritun itu sengaja ya bikin masakan asin biar calon menantunya kabur? Kan kalo Sumiyati nikah, Bu Saritun nggak ada yang rawat jadi Bu Saritun sengaja bikin masakannya asin biar calon menantunya gak suka dan gak jadi nikah sama Sumiyati," ucap Bu Wiryo dengan tatapan serius. Wanita paruh baya dengan rambut pendek sebahu itu sedikit berbisik di depan Ilham, tidak ingin ada orang lain yang dengar pembicaraan mereka.

"Ah, masak iya sih Bu tapi—"

"Assalamualaikum Ilham, Bu Wiryo. Assalamualaikum," seseorang menyapa dari luar pintu. Suaranya terdengar begitu buru-buru dan juga panik membuat Bu Wiryo serta Ilham segera bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke teras rumah.

"Wa'alaikum salam Parto, ada apa?" Bu Wiryo keheranan saat melihat Parto—tetangga mereka terengah-engah di teras rumah.

"Itu Bu, anu... Bu Saritun terpeleset di jalan. Beliau pingsan dan sekarang masih ada di gardu listrik depan jalan sana." Parto mengabarkan sambil menata napas.

"Apa? Ilham, ayo kita ke sana Nak. Ayo kita bantu Bu Saritun, aduh... Udah tua juga masih suka jalan jauh-jauh, kalo jatuh repotin tetangga juga kan?!" Bu Wiryo mengomel, meskipun begitu ia juga tak kalah panik sambil mencari sandal jepit di halaman rumahnya.

Pagi itu pedesaan yang begitu asri digegerkan dengan jatuhnya Bu Saritun di jalan tanjakan dekat rumah Bu Wiryo. Jalanan memang masih berbatu dan Bu Saritun terpeleset karenanya. Entah harus bagaimana, yang pastinya Bu Saritun harus segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan penanganan.

**

Dahi Sumiyati berkerut, ia mengusap peluhnya saat melihat tujuh belas panggilan tak terjawab terdapat di dalam ponselnya. Bekerja di pabrik obat dan memenuhi peraturannya untuk tidak menggunakan ponsel saat bekerja, membuat Sumiyati tidak bisa menggunakan ponselnya dengan leluasa.

Nomor tidak dikenal itu sepertinya terus menghubungi ketika Sumiyati masih sibuk bekerja, saat jam istirahat barulah ia bisa melihat bagaimana panggilan itu telah terjadi berkali-kali pada nomer miliknya.

Sumiyati mencoba mengabaikan panggilan, toh jika memang penting pasti akan memanggil lagi bukan?!

Baru saja Sumiyati menyimpan ponsel pada saku bajunya, ponsel itu bergetar sekali lagi. Sumiyati mengentikan langkahnya menuju kantin, ia menerima panggilan dari nomer yang sama yang telah menghubungi berkali-kali tadi.

"Hallo, ini siapa ya?" Sumiyati mengangkat telepon, berjalan pelan menuju kantin untuk mengisi perut.

"Hallo Mbak Sum, assalamualaikum." Suara pria terdengar panik dari sana.

"Iya Wa'alaikum salam, ini siapa ya?"

"Aku Ilham Mbak, yang tadi pagi telepon Mbak."

"Oh, ada apa Mas?" Sumiyati lalu menjadi tempat duduk yang nyaman untuk mengobrol bersama.

"Ini Mbak, Bu Saritun tadi pagi terpeleset di jalan. Beliau dilarikan ke rumah sakit Jaya Sentosa, sampai saat ini beliau belum sadarkan diri. Apa Mbak bisa pulang? Kasihan Bu Saritun tidak ada yang jaga." Ilham menyampaikan berita dengan sangat hati-hati.

"Apa Mas? Ibu jatuh?" Sumiyati tertahan, wajahnya menegang. Tanpa sadar ia bangkit dari duduknya dengan wajah panik.

"Iya Mbak, saya khawatir dengan Bu Saritun karena sejak pagi belum juga siuman dari pingsannya."

"Ba-baik Mas, saya akan segera pulang. Tolong jaga ibu saya sebentar ya Mas, saya mau urus ijin dulu." Sumiyati memijat pelipisnya dengan bingung.

"Iya Mbak, ya sudah saya tutup dulu teleponnya ya Mbak. Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam," jawab Sumiyati lalu menutup panggilan telepon. Wajah gadis itu terlihat tegang, ia menggigit bibir dengan perasaan khawatir juga panik.

Menatap ponselnya, Sumiyati hendak menelpon Susilo. Ia harus meminta ijin pada calon suaminya itu untuk pulang ke desa, syukur-syukur jika Susilo mau menemaninya pulang.

Menekan nomer ponsel Susilo, Sumiyati berharap pria berkulit bersih dan berwajah cukup ganteng itu mau mengangkat teleponnya.

Harapan tinggal harapan, tiga kali panggilannya lewat begitu saja. Sumiyati menggigit bibir, wajahnya memerah hendak menangis. Kemana perginya pria itu? Apakah pekerjaannya sangat sibuk hingga tidak sempat angkat telepon.

"Mas, kamu dimana Mas? Angkat teleponku Mas. Ini penting banget, angkat Mas. Angkat!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status