Share

Bab 2. Telepon Dari Kampung

***

Pagi itu angin berembus semilir dengan lembut, cerah warna matahari menyinari perkampungan yang begitu asri dan belum ternodai oleh cerobong asap pabrik.

Dengan badan setengah membungkuk, seorang wanita tua renta dengan rambut digelung asal berwarna putih tampak berjalan menuju ke sebuah bangunan semi permanen di kampungnya. Wanita itu memakai tongkat sebagai pegangan saat ia berjalan menyusuri jalan berbatu di hadapannya. Di tangan kirinya nampak ia membawa plastik hitam berisi sesuatu yang terlihat sedikit berat.

Bu Saritun namanya, wanita tua renta itu memiliki semangat tinggi untuk bisa sampai ke rumah semi permanen yang berada di kampungnya tersebut. Dengan bermodalkan harapan, ia berharap Nak Ilham—pemilik bangunan semi permanen itu mau meminjamkan telepon genggamnya untuk menelpon Sumiyati—anak kandung semata wayangnya yang bekerja di ibukota.

"Assalamualaikum Nak Ilham, assalamualaikum." Bu Saritun mengucapkan salam di depan pintu, tubuhnya berpeluh, jantungnya memacu melebihi batas normal hingga membuat tubuh ringkihnya tersebut bergetar.

"Wa'alaikum salam," jawab Ilham dari dalam rumah. Pemuda berusia dua puluh tujuh tahun itu membuka pintu, cukup kaget karena mendapati tamu istimewa pagi itu. "Nek Saritun? Ada apa Nek? Mari masuk dan duduk Nek."

"Iya Nak Ilham, saya masuk ke dalam rumah ya?! Assalamualaikum," ucap Bu Saritun dengan sopan. Bahkan ketika ia masuk ke dalam rumah dengan lantai berkilau itu ia masih saja mengucapkan salam.

Setelah  Bu Saritun duduk di kursi berukir yang terbuat dari kayu jati, Ilham segera melesat ke dapur dan membuatkan Bu Saritun segelas teh manis hangat. Jarak antara rumah Bu Saritun dengan rumahnya cukup jauh, Ilham yakin pasti wanita tua itu mempertaruhkan segenap jiwa dan raganya untuk bisa sampai ke rumahnya.

"Ada apa Nenek datang jauh-jauh kemari? Oh ya Nek, diminum dulu teh hangatnya. Ini ada juga gorengan tempe dan tahu, Ilham sendiri yang barusan goreng Nek." Ilham menyodorkan teh manis hangat di meja lengkap dengan gorengan yang ia maksud.

Duduk di hadapan Bu Saritun, Ilham mempersilakan wanita tua itu untuk meminum teh dan mengambil cemilannya.

"Terima kasih Nak," jawab Bu Saritun dengan suara bergetar. Tangan keriput wanita itu terulur untuk menjangkau gelas dan menyeruput teh manis hangat yang ditawarkan kepadanya. "Nenek minum dulu ya Nak. Bismillah."

Ilham tersenyum lalu mengangguk, entah kenapa setiap kali melihat nenek itu perasaannya terasa damai lantas mulai merindukan sosok almarhumah neneknya yang telah berpulang satu tahun yang lalu.

Bu Saritun tersenyum tipis, ia meletakkan gelas dengan hati-hati di meja. Perlahan ia membungkuk, mengambil bungkusan plastik hitam yang ia bawa dan taruh di samping kakinya. "Nak Ilham, ini ada sedikit beras untuk Nak Ilham masak. Nenek tidak punya apa pun selain beras."

Wanita berambut putih itu meletakkan plastik hitam berisi beras di atas meja membuat Ilham merasa sangat sungkan. "Nenek kenapa harus repot-repot membawa beras kemari? Nenek bisa memasaknya untuk makan siang nanti."

"Nggak papa Nak Ilham, Nenek ikhlas. Nenek hanya ingin minta tolong sama kamu, semoga Nak Ilham berkenan dan tidak keberatan ya?!"

"Minta tolong apa Nek?"

"Nenek minta supaya kamu menelponkan Sumiyati ke kota. Nenek kangen sama anak perempuan Nenek," aku Bu Sumiyati lirih. Wanita itu terlihat sibuk membuka lipatan kain yang ia bawa dan selipkan dibalik stagen yang ia pakai.

Dari lipatan kain yang dijahit menyerupai dompet kuno itu, Bu Saritun mengeluarkan sebuah kertas usang bertuliskan deretan nomor telepon milik Sumiyati.

"Nak Ilham, ini nomernya sumiyati. Nenek pengen bicara sama dia, apa kamu tidak keberatan untuk memanggil dia sebentar saja?" Bu Sumiyati menatap Ilham dengan tatapan penuh harap.

"Tentu saja tidak keberatan Nek," ucap Ilham dengan sabar. Pemuda yang memakai sweater warna merah itu meraih kertas usang lalu menatap deretan nomer yang tertera. "Sebentar ya Nek, saya ambil teleponnya dulu."

"Iya Nak makasih ya, makasih banyak." Bu Saritun membungkukkan badan, ia tersenyum manis dengan segenap harapan yang timbul dari dalam dadanya.

Pagi itu Bu Saritun akan mendengar suara putri yang ia rindukan, suara yang membuatnya semangat untuk menjalani hari di sebuah pedesaan yang asri dan juga bersih.

****

Seperti hari-hari biasanya, setiap pagi Sumiyati akan diantar Susilo pergi ke sebuah pabrik obat tempat dimana Sumiyati bekerja. Sudah menjadi rutinitas jika Susilo yang bekerja sebagai ojek online itu akan mengantar Sumiyati bekerja sebelum akhirnya ia mengarungi kota Jakarta dan bertarung mencari penghasilan.

Matahari perlahan membumbung tinggi, Sumiyati nampak repot mengenakan sepatunya ketika ponsel android miliknya berdering cukup keras.  Menatap layar ponsel dan melihat ada nomer baru, Sumiyati nampak terheran-heran.

"Siapa Sum?" tanya Susilo yang kala itu duduk di teras menunggui Sumiyati selesai memakai sepatu.

"Enggak tahu Mas, nomer baru." Sumiyati berkata lirih, ia lalu menggeser layar untuk menerima panggilan telepon. "Iya, Hallo?"

"Hallo, Assalamualaikum. Benar nggak ini dengan Mbak Sumiyati?" Seseorang bersuara maskulin dengan sopan mengucap salam pada Sumiyati.

"Iya Wa'alaikum salam, benar ini Sumiyati. Ini siapa ya?" Sumiyati bertanya dengan heran, ia menatap Susilo yang kala itu juga turut menatapnya.

"Saya Ilham Mbak. Oh ya Mbak, ini Bu Saritun ingin ngobrol sebentar sama Mbak. Saya berikan sama beliau ya?!" Pria itu terdengar sedikit berisik, sepertinya ia tengah memberikan ponselnya pada Bu Saritun.

"Hallo Nak, Assalamualaikum." Bu Saritun menyapa dengan ramah, terdengar bahwa ia begitu bahagia bisa menelpon anak semata wayangnya.

"Iya hallo, Bu. Wa'alaikum salam, ada apa Bu?" Sumiyati menjawab salam ibunya dengan lembut.

Bu Saritun tersenyum lebar. "Iya Nak, Ibu kangen pengen denger suara kamu. Oh ya Nduk, bulan ini kamu jadi pulang kampung kan?"

Sumiyati terdiam beberapa saat, ia melirik sekilas pada Susilo yang sedari tadi menyimak pembicaraan mereka yang sengaja di loudspeaker peluh Sumiyati.

"Nak, hallo—"

"Iya Bu, Sumiyati denger kok. Kita lihat nanti ya Bu, kalo jadi nanti Sumiyati kabari lewat nomer ini lagi ya Bu?! Sekarang Sum mau berangkat kerja, maaf ya Bu ngobrolnya tidak bisa lama-lama."

"Oh nggak papa Nduk, nggak papa. Yang penting kamu hati-hati di kota ya, jangan ceroboh harus tetep rendah hati. Oh ya salam buat calon suami kamu ya, bawa dia pulang kampung, nanti Ibu masakin pepes ikan yang enak buat dia."

"Iya Bu, sudah ya Bu. Assalamualaikum," ucap Sumiyati dengan wajah segan dan terlihat sedih.

"Wa'alaikum salam, hati-hati ya Nak." Saritun menjawab salam Sumiyati dan masih sempat berpesan.

Sumiyati menarik napas, ia mematikan panggilan telepon dengan segera. Kala itu wajah Susilo yang semula secerah mentari pagi mendadak mendung seperti hendak terjadi tsunami.

"Pepes ikan yang enak apanya?! Yang ada pepes ikan keasinan. Ah, paling garam sekilo dimasukin semuanya," sewot Susilo tanpa menatap mata Sumiyati.

"Mas, jangan seperti itu dong!"

"Seperti itu gimana?! Kenyataan kan ucapanku?! Ibumu itu kalo masak serba keasinan. Sayur asem asin, tempe asin, tahu asin, telur dadar pun asin. Entah deh, serba asin semua. Aku heran ibumu itu apa emang bener-bener nggak bisa rasain asin apa enggak sih?!" Susilo terus saja berkomentar buruk membuat wajah Sumiyati tak kalah manyun.

"Mas, namanya orangtua ya wajarlah kalo masak sering salah kasih rasa. Makhlumin dong Mas, dia itu ibuku dan juga calon mertuamu." Sumiyati bangkit dari duduknya, telah selesai mengenakan sepatu kerjanya.

Susilo mendengus, ia bangkit dari duduknya lalu berkacak pinggang. "Pokoknya aku ogah kalo nginep di sana, aku sayang sama lambung dan juga ususku. Kalo kamu tetep mau nginep ya sudah, nginep aja. Tapi jangan berharap lebih sama hubungan kita, kamu seenaknya aku juga bisa seenaknya. Dah, ayo kita berangkat. Aku nggak mau berdebat lagi soal masakan asin."

Susilo lantas beranjak pergi meninggalkan Sumiyati, moodnya benar-benar ambyar pagi itu. "Mas, tunggu Mas! Kita harus ngobrol tentang ini Mas. Tunggu!"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status