***
Pagi itu angin berembus semilir dengan lembut, cerah warna matahari menyinari perkampungan yang begitu asri dan belum ternodai oleh cerobong asap pabrik.Dengan badan setengah membungkuk, seorang wanita tua renta dengan rambut digelung asal berwarna putih tampak berjalan menuju ke sebuah bangunan semi permanen di kampungnya. Wanita itu memakai tongkat sebagai pegangan saat ia berjalan menyusuri jalan berbatu di hadapannya. Di tangan kirinya nampak ia membawa plastik hitam berisi sesuatu yang terlihat sedikit berat.Bu Saritun namanya, wanita tua renta itu memiliki semangat tinggi untuk bisa sampai ke rumah semi permanen yang berada di kampungnya tersebut. Dengan bermodalkan harapan, ia berharap Nak Ilham—pemilik bangunan semi permanen itu mau meminjamkan telepon genggamnya untuk menelpon Sumiyati—anak kandung semata wayangnya yang bekerja di ibukota."Assalamualaikum Nak Ilham, assalamualaikum." Bu Saritun mengucapkan salam di depan pintu, tubuhnya berpeluh, jantungnya memacu melebihi batas normal hingga membuat tubuh ringkihnya tersebut bergetar."Wa'alaikum salam," jawab Ilham dari dalam rumah. Pemuda berusia dua puluh tujuh tahun itu membuka pintu, cukup kaget karena mendapati tamu istimewa pagi itu. "Nek Saritun? Ada apa Nek? Mari masuk dan duduk Nek.""Iya Nak Ilham, saya masuk ke dalam rumah ya?! Assalamualaikum," ucap Bu Saritun dengan sopan. Bahkan ketika ia masuk ke dalam rumah dengan lantai berkilau itu ia masih saja mengucapkan salam.Setelah Bu Saritun duduk di kursi berukir yang terbuat dari kayu jati, Ilham segera melesat ke dapur dan membuatkan Bu Saritun segelas teh manis hangat. Jarak antara rumah Bu Saritun dengan rumahnya cukup jauh, Ilham yakin pasti wanita tua itu mempertaruhkan segenap jiwa dan raganya untuk bisa sampai ke rumahnya."Ada apa Nenek datang jauh-jauh kemari? Oh ya Nek, diminum dulu teh hangatnya. Ini ada juga gorengan tempe dan tahu, Ilham sendiri yang barusan goreng Nek." Ilham menyodorkan teh manis hangat di meja lengkap dengan gorengan yang ia maksud.Duduk di hadapan Bu Saritun, Ilham mempersilakan wanita tua itu untuk meminum teh dan mengambil cemilannya."Terima kasih Nak," jawab Bu Saritun dengan suara bergetar. Tangan keriput wanita itu terulur untuk menjangkau gelas dan menyeruput teh manis hangat yang ditawarkan kepadanya. "Nenek minum dulu ya Nak. Bismillah."Ilham tersenyum lalu mengangguk, entah kenapa setiap kali melihat nenek itu perasaannya terasa damai lantas mulai merindukan sosok almarhumah neneknya yang telah berpulang satu tahun yang lalu.Bu Saritun tersenyum tipis, ia meletakkan gelas dengan hati-hati di meja. Perlahan ia membungkuk, mengambil bungkusan plastik hitam yang ia bawa dan taruh di samping kakinya. "Nak Ilham, ini ada sedikit beras untuk Nak Ilham masak. Nenek tidak punya apa pun selain beras."Wanita berambut putih itu meletakkan plastik hitam berisi beras di atas meja membuat Ilham merasa sangat sungkan. "Nenek kenapa harus repot-repot membawa beras kemari? Nenek bisa memasaknya untuk makan siang nanti.""Nggak papa Nak Ilham, Nenek ikhlas. Nenek hanya ingin minta tolong sama kamu, semoga Nak Ilham berkenan dan tidak keberatan ya?!""Minta tolong apa Nek?""Nenek minta supaya kamu menelponkan Sumiyati ke kota. Nenek kangen sama anak perempuan Nenek," aku Bu Sumiyati lirih. Wanita itu terlihat sibuk membuka lipatan kain yang ia bawa dan selipkan dibalik stagen yang ia pakai.Dari lipatan kain yang dijahit menyerupai dompet kuno itu, Bu Saritun mengeluarkan sebuah kertas usang bertuliskan deretan nomor telepon milik Sumiyati."Nak Ilham, ini nomernya sumiyati. Nenek pengen bicara sama dia, apa kamu tidak keberatan untuk memanggil dia sebentar saja?" Bu Sumiyati menatap Ilham dengan tatapan penuh harap."Tentu saja tidak keberatan Nek," ucap Ilham dengan sabar. Pemuda yang memakai sweater warna merah itu meraih kertas usang lalu menatap deretan nomer yang tertera. "Sebentar ya Nek, saya ambil teleponnya dulu.""Iya Nak makasih ya, makasih banyak." Bu Saritun membungkukkan badan, ia tersenyum manis dengan segenap harapan yang timbul dari dalam dadanya.Pagi itu Bu Saritun akan mendengar suara putri yang ia rindukan, suara yang membuatnya semangat untuk menjalani hari di sebuah pedesaan yang asri dan juga bersih.****Seperti hari-hari biasanya, setiap pagi Sumiyati akan diantar Susilo pergi ke sebuah pabrik obat tempat dimana Sumiyati bekerja. Sudah menjadi rutinitas jika Susilo yang bekerja sebagai ojek online itu akan mengantar Sumiyati bekerja sebelum akhirnya ia mengarungi kota Jakarta dan bertarung mencari penghasilan.Matahari perlahan membumbung tinggi, Sumiyati nampak repot mengenakan sepatunya ketika ponsel android miliknya berdering cukup keras. Menatap layar ponsel dan melihat ada nomer baru, Sumiyati nampak terheran-heran."Siapa Sum?" tanya Susilo yang kala itu duduk di teras menunggui Sumiyati selesai memakai sepatu."Enggak tahu Mas, nomer baru." Sumiyati berkata lirih, ia lalu menggeser layar untuk menerima panggilan telepon. "Iya, Hallo?""Hallo, Assalamualaikum. Benar nggak ini dengan Mbak Sumiyati?" Seseorang bersuara maskulin dengan sopan mengucap salam pada Sumiyati."Iya Wa'alaikum salam, benar ini Sumiyati. Ini siapa ya?" Sumiyati bertanya dengan heran, ia menatap Susilo yang kala itu juga turut menatapnya."Saya Ilham Mbak. Oh ya Mbak, ini Bu Saritun ingin ngobrol sebentar sama Mbak. Saya berikan sama beliau ya?!" Pria itu terdengar sedikit berisik, sepertinya ia tengah memberikan ponselnya pada Bu Saritun."Hallo Nak, Assalamualaikum." Bu Saritun menyapa dengan ramah, terdengar bahwa ia begitu bahagia bisa menelpon anak semata wayangnya."Iya hallo, Bu. Wa'alaikum salam, ada apa Bu?" Sumiyati menjawab salam ibunya dengan lembut.Bu Saritun tersenyum lebar. "Iya Nak, Ibu kangen pengen denger suara kamu. Oh ya Nduk, bulan ini kamu jadi pulang kampung kan?"Sumiyati terdiam beberapa saat, ia melirik sekilas pada Susilo yang sedari tadi menyimak pembicaraan mereka yang sengaja di loudspeaker peluh Sumiyati."Nak, hallo—""Iya Bu, Sumiyati denger kok. Kita lihat nanti ya Bu, kalo jadi nanti Sumiyati kabari lewat nomer ini lagi ya Bu?! Sekarang Sum mau berangkat kerja, maaf ya Bu ngobrolnya tidak bisa lama-lama.""Oh nggak papa Nduk, nggak papa. Yang penting kamu hati-hati di kota ya, jangan ceroboh harus tetep rendah hati. Oh ya salam buat calon suami kamu ya, bawa dia pulang kampung, nanti Ibu masakin pepes ikan yang enak buat dia.""Iya Bu, sudah ya Bu. Assalamualaikum," ucap Sumiyati dengan wajah segan dan terlihat sedih."Wa'alaikum salam, hati-hati ya Nak." Saritun menjawab salam Sumiyati dan masih sempat berpesan.Sumiyati menarik napas, ia mematikan panggilan telepon dengan segera. Kala itu wajah Susilo yang semula secerah mentari pagi mendadak mendung seperti hendak terjadi tsunami."Pepes ikan yang enak apanya?! Yang ada pepes ikan keasinan. Ah, paling garam sekilo dimasukin semuanya," sewot Susilo tanpa menatap mata Sumiyati."Mas, jangan seperti itu dong!""Seperti itu gimana?! Kenyataan kan ucapanku?! Ibumu itu kalo masak serba keasinan. Sayur asem asin, tempe asin, tahu asin, telur dadar pun asin. Entah deh, serba asin semua. Aku heran ibumu itu apa emang bener-bener nggak bisa rasain asin apa enggak sih?!" Susilo terus saja berkomentar buruk membuat wajah Sumiyati tak kalah manyun."Mas, namanya orangtua ya wajarlah kalo masak sering salah kasih rasa. Makhlumin dong Mas, dia itu ibuku dan juga calon mertuamu." Sumiyati bangkit dari duduknya, telah selesai mengenakan sepatu kerjanya.Susilo mendengus, ia bangkit dari duduknya lalu berkacak pinggang. "Pokoknya aku ogah kalo nginep di sana, aku sayang sama lambung dan juga ususku. Kalo kamu tetep mau nginep ya sudah, nginep aja. Tapi jangan berharap lebih sama hubungan kita, kamu seenaknya aku juga bisa seenaknya. Dah, ayo kita berangkat. Aku nggak mau berdebat lagi soal masakan asin."Susilo lantas beranjak pergi meninggalkan Sumiyati, moodnya benar-benar ambyar pagi itu. "Mas, tunggu Mas! Kita harus ngobrol tentang ini Mas. Tunggu!"***Pernikahan Sumiyati dengan Ilham berjalan dengan lancar, mengambil lokasi di rumah Bu Saritun, resepsi yang terjadi pada hari Minggu itu berjalan sesuai dengan harapan semua pihak.Musik khas suku Jawa yang berbunyi begitu syahdu, selaras dengan musik kendang yang dipukul bertalu-talu. Tamu perlahan bergerak datang, memberi selamat pada sang mempelai dengan raut wajah gembira dan penuh sukacita. Ya, sekarang Sumiyati telah memiliki pendamping yang tampan dan mau menerima kekurangannya hingga maut memisahkan.Berbeda dengan Sumiyati dan Ilham yang masih dipajang di kursi pelaminan, Bu Saritun berjalan menepi ke pinggiran rumah tanpa ada satu orang pun yang tahu. Wanita tua itu menahan haru yang cukup dalam, kedua bola matanya memerah dan ia cukup terisak dengan keadaan yang tengah terjadi sekarang.Ya, siapa yang tidak terharu melihat kondisi Sumiyati sekarang. Sebagai ibu tunggal, Saritun pernah merasakan bagaimana susahnya berjuang sendirian membesarkan seorang anak. Sumiyati tumbuh
Segala niat baik pasti akan direstui dan dipercepat jalannya oleh Tuhan. Setidaknya Ilham mempercayai pepatah itu di dalam hidupnya. Lihat saja, dua minggu berlalu dengan cepat. Pemuda itu mempersiapkan segalanya dengan matang, ia memesan dekorasi pernikahan sekaligus catering makanan untuk tamu yang hadir di acara pernikahannya nanti.Tidak hanya itu, ia mengurus semua dokumen kelengkapan untuk pernikahan dengan sangat hati-hati dan juga penuh semangat tinggi. Tidak mungkin bagi Ilham untuk mundur, ia telah separuh jalan dan baginya semua yang ia jalani sekarang adalah kenikmatan dari perjuangan yang ia lalui sekali seumur hidup.Setelah berkutat dengan segala hal yang berbau dengan pernikahan, hari spesial itu telah tiba. Ilham sudah tidak sabar menunggu waktu dimana ia akan berjumpa dengan Sumiyati di pelaminan. Ya, tentu saja dia rindu karena selama dua minggu ini sama sekali tidak bertemu dengan Sumiyati dikarenakan kesibukannya mengurusi segala hal.Ilham selalu sabar, bukankah
Gadis berparas ayu itu terus menunduk, ada kegundahan hati yang saat ini melanda tanpa bisa ia katakan pada siapa pun. Tidak hanya Ilham atau pun keluarga besar, semua orang yang hadir di ruangan itu tengah menunggu Sumiyati untuk menjawabnya secara langsung.Dalam satu tarikan napas dan menyebut asma Allah dalam hati, Sumiyati menganggukkan kepala. Semua orang mengucapkan hamdalah sebagai tanda syukur mereka atas keputusan yang sudah terjadi saat ini.Pak Jono tersenyum, ia turut bahagia dengan anggukan kepala Sumiyati yang artinya ia mau dan bersedia menerima lamaran dari Ilham Supriyadi. Tidak ada rasa yang lebih berarti selain anggukan kepala Sumiyati yang mampu melegakan hati orang banyak khususnya keluarga Ilham."Alhamdulillah, ananda Sumiyati sudah memberikan jawaban dengan anggukan kepala. Itu artinya gadis cantik di keluarga kami ini telah menerima lamaran dari Nak Ilham Supriyadi." Pak Jono berkata pada Pak Hardi terkait lamaran itu, wajah berbinar terlihat dari kedua belah
"Bu, keluarga Mas Ilham mau datang kemari Bu." Sumiyati angkat bicara setelah mereka berdua selesai makan malam bersama.Bu Saritun yang baru saja selesai meminum teh manis yang tersuguh di meja segera menoleh ke arah Sumiyati. Mata wanita tua itu menyorot tajam, ada hal yang ingin ia tanyakan setelah Sum berhasil mengatakan apa yang menjadi beban pikirannya."Mau kemari?" Ulang Bu Saritun dengan nada heran. "Untuk apa Sum? Kamu bikin masalah di tempat kerja?"Sumiyati menatap ibunya sekilas, ada rasa bimbang sekaligus takut yang tercermin dari wajah ibunya yang keriput. Sumiyati segera menepis, ia menggelengkan kepala dengan cepat. "Bukan Bu. Sum tidak melakukan kesalahan apa pun.""Kalau tidak melakukan kesalahan lalu kenapa mereka sekeluarga mau datang kemari? Jangan bikin Ibu deg-degan Sum." Wajah Bu Saritun semakin takut, perlahan wajahnya berubah menjadi pucat.Sumiyati menunduk, ia menggigit bibirnya yang ranum dengan perasaan yang sama persis dengan apa yang dirasakan ibunya.
"Iya Mbak Sum, kami sekeluarga akan datang bertamu." Ilham mengangguk, ia memberanikan diri menatap bola mata pujaan hatinya tersebut. "Saya ingin melamar Mbak di depan keluarga. Saya ingin Mbak jadi istri saya untuk selamanya. Mbak, Mbak tidak keberatan kan?!"Pemuda berusia dua puluh tujuh tahun itu menatap Sumiyati dengan tatapan penuh, tidak ingin kehilangan kesempatan ia mengutarakan semua isi hatinya pada Sumiyati termasuk keinginannya untuk datang ke rumah dan melamar.Wajah Sumiyati terlihat tegang, ia menunduk dengan wajah menghadap ke tanah. Jujur ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan mudah, butuh beberapa alasan bagi dirinya untuk tetap pada pendirian dimana ia tidak bisa sembarangan lagi untuk menerima seorang pasangan."Apakah Mas Ilham serius? Saya tidak ingin Mas salah pasangan dan akhirnya menyesal. Selama ini Mas tahu kan keadaan saya dan ibu saya seperti apa?! Mungkin Mas bisa menerima segala kekurangan saya tapi ibu—apakah Mas bisa menerima kekurangan ibu say
"Bu, apa benar Ibu nggak suka sama Mbak Sum? Atau jangan-jangan Ibu sudah suka tapi gengsi untuk mengakuinya? Bu jujur saja, Ilham pengen denger pengakuan Ibu."Bu Wiryo terpaku, ia menatap mata ilham dengan segenap perasaan bingung yang ia punya. Memalingkan muka dengan cepat, Bu Wiryo pura-pura mencomot risoles yang ia buat barusan. "Mending kamu segera mandi deh Ham, segera buka toko sama bulikmu sana.""Bu, kenapa sih sikap Ibu aneh sekali?! Ilham sudah besar Bu, sudah bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk." Ilham terlihat mulai merajuk, jujur saja ia tidak suka dengan sikap ibunya yang nampak tarik ulur dengan perasaan Ilham saat ini. "Jika Ilham memilih Mbak Sum sebagai pendamping itu artinya Ilham sudah siap dengan segala risiko yang akan terjadi. Selama ini aku pun tidak pernah kurang dalam mengamati Mbak Sum, Bu. Dia orang baik, meskipun ia serba kekurangan ia tidak pernah berbohong tentang hidupnya."Bu Wiryo terus saja cuek, ia terdiam dan memilih untuk menikma
"Sum, bau apa ini? Sepertinya kok gosong?" Bu Saritun bertanya pada Sumiyati yang saat itu tengah mencuci piring.Bu Saritun yang duduk di meja makan sambil menikmati teh hangat subuh itu menoleh ke arah Sumiyati, memastikan bahwa anak gadisnya mendengar apa yang ia bicarakan. Namun setelah sekian detik tak ada sahutan, Bu Saritun kembali memanggil Sumiyati dengan alis menaut satu sama lain. "Sum... Kamu masak apa?!"Setelah Bu Saritun bertanya dengan nada sedikit keras, Sum yang kala itu mencuci piring lantas tersadar jika ia tengah menghangatkan sayur lodeh kacang panjang sisa kemarin. Tanpa banyak bicara, ia pantas buru-buru ke belakang dan memastikan sayurnya aman.Bu Saritun menggeleng, tak biasanya anak perempuannya seperti itu. Kira-kira dia tengah memikirkan apa ya?! Wanita itu lagi-lagi menggeleng, menyeruput teh manisnya dengan sepenuh jiwa.Sesaat setelah ia menikmati teh, ia melihat Sum masuk ke dapur utama sambil mengangkat panci panas dan meletakkannya di tempat dimana b
"Memangnya kamu serius Ham?" Bu Wiryo bertanya, ia menatap putra semata wayangnya dengan tatapan tajam. Pertanyaaan ini bukan hanya sekali dua kali ia layangkan pada Ilham, wanita paruh baya dengan sanggul seadanya itu memang sengaja terus bertanya karena ia takut hati putranya bisa berubah-ubah setiap waktu."Kalau Ilham bilang serius, Ibu akan marah?" Ilham balik bertanya, pria berusia dua puluh tujuh tahun itu tak kalah pandai. Ia tidak ingin menimbulkan hawa panas dalam jiwa ibunya meledak sehingga ia memancingnya demikian.Bu Wiryo mengalihkan tatap, pura-pura kembali sibuk dengan kue putu yang digelar di hadapannya. "Kue-nya sangat enak, di sini sudah jarang ada pedagang lewat yang jualan seperti ini."Ilham hanya diam, ia yakin ibunya berkata demikian hanya untuk mengalihkan topik pembicaraan serius yang terjadi di ruang tengah tersebut. Ilham tak kecewa, ia sudah tahu bagaimana watak ibunya tersebut. "Bu, Ilham sudah menyatakan cinta sama Mbak Sum."Mendengar pengakuan itu, Bu
"Makasih ya Mas sudah mau antar pulang," ucap Sumiyati ketika ia baru saja turun dari boncengan motor matik milik Ilham di halaman rumah.Gadis berusia tiga puluh tahun itu melepas helm yang ia pakai lalu menyerahkannya ke Ilham yang masih berusaha mematikan mesin motor. "Tidak turun dan masuk dulu?"Ilham tersenyum manis, ia menganggukkan kepala. "Turun dong, saya kan pengen ketemu Nek Saritun."Pemuda itu menerima helm, meletakkan di atas kaca spion lalu turun dari motor. Halah, alasan saja jika ia ingin bertemu dengan Nek Saritun. Yang sebenarnya dalam otak pemuda itu adalah menikmati sore yang indah bersama Sumiyati sambil menyesap teh manis bersama-sama. Aduh, anak muda mah bisa saja cari alasan supaya bisa berlama-lama untuk bersama. Dih!Tak lama kemudian, Bu Saritun terlihat tergopoh-gopoh keluar dari dalam rumah. Senyum wanita tua itu mengembang melihat kedatangan putrinya bersama dengan Ilham.Melihat Bu Saritun datang, Ilham menatapnya dengan berbinar. Ia lantas datang meny