Share

Bab. 6

“Arin, sudah pulang?” suara Alan mengagetkan Arina tertunduk menunggu angkutan umum sore itu.

“Mas Alan, koq disini?” Arina heran dengan keberadaan Alan di kota ini.

dari pakaiannya nampaknya Alan baru saja menghadiri pertemuan. Kemeja putih bergaris biru yang dilipat hingga siku dengan bawahan celana kain warna hitam dan sepatu pantovel membuat pria tiga puluh tahunan ini nampak begitu menarik di mata kaum hawa. Beberepa pekerja wanita yang juga akan pulang sore itu nampak memandang kagum pada lelaki itu. Namun tidak dengan Arina, tak sedikitpun rasa yang lain terselip di hatinya untuk pria ini, meski Alan jelas sedang berusaha mendekatinya dan memberi perhatian pada Davian, namun Arina sungguh tak merespon, baginya Alan hanya sekedar kawan bermain di kampung dulu.

“Ada kegiatan dari Dinas Sosial yang membahas bantuan untuk masyarakat kampung yang memiliki usaha kecil ataupun kebun Rin.”

“Itu kaya gimana mas?”

“Jadi masyarakat desa yang memiliki kebun atau sawah  satu atau dua petak nanti akan mendapatkan pelatihan tentang tanaman yang layak ditanam sesuai jenis tanahnya, untuk bibit dan pupuknya, nanti akan diberikan bantuan dari pemerintah, melalui aparatur desa Rin, makanya saya dan pak Bahri diundang menghadiri kegiatan ini.”

“Wah bagus dong, berarti Bapak juga bisa dapat bantuan ini.” Harap Arina.

“Insya Allah, Bapak kan ada sawah juga, sebenarnya Bapak kalau kesulitan dengan tenaga saat menanam padi boleh mengganti dengan menanam sayur juga Rin, panennya cepat, tiga minggu saja sudah bisa panen.”

“Tapi pasarannya susah mas, bapak kan sendiri, belum ngangkutnya ke pasar. Mas Safri nggak bisa diharepin terus, beliau juga ada kerjaan sendiri.”

“Itu gampang Rin, untuk pasaran nanti ada dari kantor desa yang bakalan mengurus, bila sudah siap panen, maka pengepul sayuran yang akan datang dan memanen sendiri selesai itu langsung dibayar sayuran para petani Rin. Bagus sebenarnya petani nggak tunggun lama sudah bisa pegang uang, mungkin nggak sebanyak dengan kalau hasil padi atau jagung tapi putaran uangnya cepat kalau bertanam sayur.” Panjang lebar Alan menjelaskan tentang bantuan untuk petani nanti di desa mereka.

Tentu menjadi harapan besar bagi petani seperti orang tua Arina, yang hanya mengandalkan hasil sawah dan kiriman dari Arina.

“Bagus juga mas kalau kaya gitu jadi petani nggak lama menderita.”

“Iya, mungkin lusa atau senin kami mengumpulkan masyarakat di balai desa Rin untuk menyampaikan tentang bantuan ini.”

Arina ikut senang mendengar penjelasan Alan tentang bantuan untuk desa mereka.

Tentu besar harapan bagi para petani disana.

“Kamu capek nggak?,” Alan menyadarkan Arina yang terlihat melamun.

“Dikit mas, akhir bulan soalnya.”

“Boleh temani saya carikan Davi ole-ole?, sekalian jalan – jalan Rin.” Terdengar penuh harap suara Alan mengucapkan itu.

“Jangan repot-repot mas kalau untuk Davi,” Arina merasa tak enak hati.

“Enggak apa-apa Rin, sekalian jalan – jalan mumpung lagi di kota.”

“Tapi yang dekat – dekat aja Mas ya, aku juga nggak tahu jalan sepenuhnya disini, jarang keluar Mas, kecuali untuk kerja dan balik ke kostan. Biasanya kalau jalan Wiwid yang ajak.”

Arina memang tak begitu hafal jalan di kota ini, sekali jalan paling ke mall yang tak jauh dari kantor. Untuk kebutuhan sehari-hari, Arina belanja di pasar tradsisional yang tak jauh dari kost-kostannya. Palingan ke minimarket sejuta umat yang tak jauh dari gang kostanya atau tidak di depan kantornya ini. Kalaupun ada libur Arina lebih memilih pulang ke desa menemui orang tua dan anaknya.

“Iya nggak apa – apa, kita ke mall yang jalan Perintis aja, sekalian ke Ramayana cari kemeja kerja.”

“Boleh deh,”

Arina naik duduk di boncengan motor merah itu, Alan senang bukan main, bisa jalan dan membonceng wanita idamannya ini. Nampak Arina berusaha menjaga jarak di atas motor ini.

Sementara dilantai tiga gedung kantor diatas sana, tampak Damar menahan geram melihat mamanya Davi dibonceng oleh pria asing.

--

Damar seperti orang gila saja mengikuti kemana Arina dan laki – laki itu berjalan. Dia harus sembunyi-sembunyi menjaga jarak namun tetap menjaga wibawa agar tak nampak sedang memata-matai seseorang.

Sempat Arina dengar tadi memanggi nama pria itu. Mas Alan, ini pria yang tempo hari membelikan anaknya robot, waktu berkunjung yang lalu Davi memberitahu papanya ini.

“Robot ini dari om Alan pa.” Suara cadel Davi yang mengatakannya, namun saat itu ada mantan mertuanya jadi tak sempat ditanyai putranya itu.

Damar ingat juga, pernah Arina menyebut namanya saat meminta Arina membuatkan teh, saat itu Arina berbicara di telepon dengan Davian.

“Oh mau merebut jodohku rupanya”, geram Damar dalam hati.

Namun Damar pun sedikit lega, sebab tak nampak sekalipun pria itu berusaha menyentuh atau berbicara dengan Arina terlalu dekat. Pria ini cukup sopan. Bahkan tadi sempat dilihatnya Alan masuk ke mushollah mall yang terletak di lantai atas, Damar juga tadi masuk sholat maghrib. Arina yang tak sholat, terlihat hanya duduk di bangku pengunjung yang tak jauh dari letak musholla. Mungkin sedang datang bulan.

Sekarang mereka sedang berada di Ramayana, terlihat Alan mengambil kemeja dua helai dan sepatu anak kecil juga sepasang sweter berwarna biru tua ukuran Davian. Damar yakin itu pasti untuk putranya. Namun Arina terlihat menolak saat Alan menawari blouse warna putih lengan panjang untuk dirinya. Damar lega.

“Buat Davi aja mas, ini udah cukup.” Arina tetap menolak saat ditawari sepatu warna hitam oleh Alan.

“Kamu tolak semua Rin.” Alan tersenyum masam.

“Jangan mas, ini juga sudah cukup buat Davi.” Arina sungkan.

Alan semakin kagum pada mama muda ini. Hidup seadaanya nyaris kekurangan namun tak silau ketika ditawari barang-barang oleh seseorang, tak seperti wanita pada umumnya. Langsung berbinar mata bila ada pria yang mendekati, entah dengan tulus atau modus.

“Kalau gitu kita makan ya, baru pulang.” Tawar Alan lagi.

“Boleh.” Arina juga memang sudah merasa lapar.

Lalu mereka berdua menuju food court di lantai tiga yang berhadapan dengan bioskop 21.

Alan dan Arina mengambil tempat didepan gerai nasi campur komplit, berbagai pilihan menu sudah tersedia disana. Rasa lapar sejak sore tadi dan lelah berjalan di mall, membuat Arina ingin makan menu yang berat.

Dipilihnya nasi campur cap cay dan ayam goreng, sementara Alan ikut saja dengan menu yang dipesan Arina.

“Minumnya mau apa mas,” Arina menanyai Alan yang tak memegang buku menu.

“ Apa yang ada Rin?”

“Pesan minumnya yang nggak ada di desa mas, kalau es teh nggak usah, di rumah juga bisa buat sendiri.” Arina berguyon.

Lalu mereka berdua tertawa, tak menyadari ada seorang pria yang duduk tak jauh dari belakang Arina yang sedang menahan geram mendengar tawa mereka. Papanya Davian ketar ketir sendiri.

Jadilah milo dingin dan air putih kemasan pilihan mereka.

lalu mereka makan dalam diam agar bisa cepat pulang mengingat waktu sudah hampir pukul delapan malam.

“Makasih Rin, untuk hari ini.” Alan berkata sambil menyeruput milo dingin yang terasa segar di tenggorokan.

“Sama – sama mas, makasih juga sudah beli ini itu buat Davi, jangan sering-sering mas, bisa bangkrut nanti.” Arina tertawa pelan.

“Enggak apa- apa Rin, buat nyenengin Davi, siapa tahu mamanya memberi respon yang baik sama bujang seperti saya.” Alan berkata sambil mencuri pandang pada Arina.

“Jangan Mas. Mas Alan ini bujang, jangan mengharap perhatian sama janda miskin seperti saya mas, banyak perawan diluar sana yang pantas buat mas Alan.” Arina tetap merendah.

“Mengapa tak mau membuka hati untuk saya Rin?” Alan berharap.

“Karna saya tak pantas mas.” Arina mengaduk -aduk milo yang sisa setengah gelas.

“Selalu merendah kamu Rin, apa kamu trauma?”

Arina diam saja. Diam yang menandakan bahwa wanita ini memang sedikit trauma bila berhubungan dengan perasaan pada lawan jenis.

“Kita pulang mas, udah larut.” Pinta Arina sambil melihat jam di pergelangan tangan kanannya.

“Iya, mari kuantar.” Alan meraih jaket dan kunci motor.

Arina membantu membawa tas belanjaan tadi.

Damar tak menyadari bila Arina dan Alan telah beranjak dari tempat duduknya. Justrus suara Yasmin yang menyadarkannya.

“Mas Damar!” seru Yasmin yang tampak girang bertemu mantan yang namanya masih tersimpan di hatinya itu.

Damar kaget bukan main, saat melihat Yasmin  sudah berdiri dihadapannya dengan menggunakan rok jeans mini diatas lutut dan baju kaos warna kuning bergambar hati, saat kepalanya berputar hendak mengecek Arina, tepat Arina juga berjalan ke arah melewati mereka. Tatapan mata mereka sempat bersirobok. Arina tersenyum sinis tipis, Damar salah tingkah. Yasmin tak sempat melihat Arina karna sibuk menarik kursi di depan Damar padahal tak dipersilahkan oleh pria itu. Alan yang tak tahu apa-apa, merasa bahagia saat Arina tak sengaja menyentuh lengannya.

“Ayo mas kita pulang.” Ajak Arina sekali lagi yang diangguki oleh Alan.

Lalu berjalan beriringan keluar menuju parkiran.

Tinggallah Damar terduduk antara malu, kaget dan bingung.

Ini seperti ke gep dengan mantan kekasih oleh mantan istri.

Gimana rasanya ke gep pak bos?

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status