Arina melangkah pasti, memasuki gedung kantor tempatnya dua tahun lebih ini mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Apalagi yang dilihatnya kemarin malam cukuplah memantapkan hatinya untuk terus melangkah tanpa melihat kembali ke belakang apalagi menunggu masa lalu yang mulai mengganggu.
Ditaruhnya tas pada meja kerja, tak dilihat lagi Wiwid pagi ini, ya hari ini Wiwid akan lamaran. Sebentar lagi sahabatnya itu akan dipersunting pria pujaannya yang tentunya saling mencintai, tak seperti dirinya yang menikah karna dijodohkan lalu berpisah karna hanya dirinya yang berusaha mencintai.
Semoga kebahagian dan kebaikan menaungi rumah tangga sahabatnya itu. Do’a tulus terucap dari dalam hati Arina.
Arina berjalan menuju pantri bawah, pantri khusus staf, dibawanya gelas keramik berwarna putih untuk diisi air minum, saat berjalan menuju pantri, dari arah pintu tengah yang dekat tangga menuju lantai atas, muncul Damar dengan kemeja hem warna biru cerah dengan celana kain warna hitam sembari menenteng jas tas laptop. Nampak gagah dan rupawan, sedetik Arina berdesir juga namun segera dialihkan pandangan seolah tak mengenal. Ringan langkah Arina tanpa memperdulikan tatapan tajam Damar dan tanpa salah tingkah seperti biasa.
Hujan dan gerimis tak lagi sering menyapa bumi, pelan berganti cahaya mentari yang mulai terik memberikan hawa panas tak hanya pada bumi yang dipijak manusia namun juga pada penghuninya, sepert pada Damar, rasa panas sudah menjalar di kepala dan hatinya demi melihat Arina yang nampak sumringah di boncengan pria itu sepulang dari mall.
Damar bergegas mengikutinya saat itu, namun kehilangan jejak saat di perempatan lampu merah. Damar mengumpati macet yang seolah tak ada habisnya.
Tak diperdulikan Yasmin yang langsung duduk dihadapannya saat itu.
“Lho mau kemana mas?” Yasmin heran saat Damar menggeser kursinya dan terburu hendak keluar.
“Mas tunggu, aku kangen sama kamu, baru ketemu juga. Susah banget ketemu kamu sekarang Mas.” Yasmin menahan lengan Damar saat itu. Hatinya masih berdesir kala bersentuhan, bahkan semakin menambah rasa kagumnya pada pria ini yang tampak dewasa dari terakhir mereka bertemu.
“Sory, mamanya anak-anak lagi tungguin.” Damar melepas cekalan Yasmin dan segera mengambil bungkusan sop konro yang tadi dipesannya.
Meninggalkan Yasmin yang melongo dengan seribu tanya.
“Anak? Mas Damar udah nikah lagi?” Yasmin bermonolog sendiri, tak percaya bila Damar sudah menikah lagi dan memilik anak. Dengan siapa menikahnya? Bukankah dulu dirinya sukses membuat kekasihnya itu bercerai dari wanita pilihan ibunya?
Yasmin tertohok. Sudah dua kali Damar menikah namun bukan dirinya yang dipilih.
Kecewa.
Dengan menyibakkan rambut yang dipirang warna coklat, Yasmin memutuskan berjalan ke arah rumah bernyanyi menunggu seseorang yang baru saja dia iyakan ajakan kencannya.
--
“Rin, dipanggil bos Damar ke ruangan beliu!” Rahma menghampiri meja Arina sambil membawa map, nampaknya baru dari ruangan bos.
Arina menarik nafas panjang, jengah. Namun tetap tersenyum dan mengucap terima kasih pada Rahma, karyawati berambut cepak bagian pengarsipan nota – nota.
“Dipanggil buat lagi coba?” Arina bergumam jengkel.
Suara Damar dari dalam mempersilahkan masuk. Tak mau masuk dengan tangan kosong dan agar tgak jadi perhatian karyawan yang lain, Arina membawa map laporan stok saja, padahal seminggu yang lalu sudah di laporkan.
“Duduk Rin!,” Damar mempersilahkan Arina untuk duduk di sofa panjang dekat jendela.
Tak ingin membantah agar tak terjadi drama, Arina menurut saja berjalan duduk di kursi sambil memangku map berwarna biru yang tadi dibawahnya.
Arina tak lagi menjerit atau protes saat melihat Damar mengunci pintu.
Arina diam menunggu apa yang akan dilakukan pria yang dianggap brengsek ini.
“Puas jalan – jalan sama pria lain?.” datar suara Damar menahan geram.
“Bukan urusan Bapak, kan. Kita punya kehidupan masing – masing.” Arina tenang tak ingin terpancing.
“Jelas urusan saya Arina, apalagi menyangkut ibu dari anak saya.” Suara Damar rendah dan mulai berjalan kearah sofa.
“Saya tak menganggu kesenangan Bapak dengan wanita pujaan anda kan, jadi tolong tak usah mengrusi saya juga, dengan siapa saya jalan.” Arina mulai gugup mendapati Damar duduk tepat disampingnya.
“Wanita mana?” Suara Damar mulai meninggi, sudah dia duga bila Arina akan menyangka dirinya masih ada hubungan dengan Yasmin.
“Apa perlu saya ingatkan Bapak tentang wanita rambut pirang tempo hari di mall?” Arina berkata jengkel dengan bibir mengerucut yang nampak menggemaskan dimata Damar.
“Saya nggak ada hubungan apa pun dengan Yasmin Rin.” Damar merendahkan suara sambil menatap Arina.
Arina membuang pandang, menghalau rasa gugup.
“Sekarang tak ada hubungan, apa sudah bosan, bukankah dia wanita yang Bapak cintai hingga rela menjatuhkan talak pada saya di hadapannya?.” Arina mulai berkaca.
“Maafkan saya Rin. Sungguh saya menyesal.”
“Bapak tak mencintai saya, bahkan tak menginginkan pernikahan kita, saya kan orang ketiga yang menghalangi kalian bersatu. Mengapa tak menikahi dia saja pak? Agar tak mengganggu saya lagi dan anak saya.”
“Saya cintanya sama kamu Arina.” Pelan Damar mengucapkan, tangannya berusaha menyibak rambut hitam Arina yang menutupi sebagian wajahnya dari samping.
“Tolong jangan biarkan hatimu menerima cinta dari pria lain.” Damar mendekatkan dahinya pada pelipis kanan Arina.
Arina berdesir dan kaget, namun tak bisa berkutik karna pinggangnya telah ditahan tangan besar Damar agar tak bisa bergeser.
“Lepaskan saya, Pak. Jangan buat seperti ini, apa kata orang nanti, saya takut dikira janda gatal yang menggoda pacar orang.” Arina menggeliat, namun Damar enggan melepaskan.
“Kita pulang sama-sama sabtu nanti ke rumah ibu, saya kangen Davian.” Damar menduselkan keningnya pada pipi mulus itu.
“Kangen? Liat saya nggak pernah, aneh saja Bapak bisa kangen pada anak saya.” Arina jengkel.
Damar tersenyum mendengar kejengkelan wanita ini. Wanita yang takkan dilepaskannya.
Cup!
Satu kecupan diberikan pada pipi kanan Arina dan...
“Ih nyebelin, Bapak nyebelin banget, mesum, jangan sentuh – sentuh saya.” Arina mengamuk dan menghujami tububh Damar dengan pukulan bertubi, tentu saja tak rasa sakit bagi Damar. Apalah artinya tenaga dari tubuh mungil Arina dibanding tubuh tinggi dan bidang miliknya.
Arina terisak.
“Bapak udah lecehin saya,”
Damar semakin mengeratkan pelukan. Bukan begitu maksud Damar. Namun rasa cinta yang semakin membuncah dan rasa cemburu pada Alan yang membuatnya bertindak diluar kesopanan.
“Saya cinta sama kamu Arina, saya ingin kamu dan Davian kembali dan kita beri keluarga yang utuh untuk Davian, jangan biarkan anak kita memanggil papa pada pria lain. Saya tak rela Arina.” Damar memejamkan mata, menyesap aroma mint dari tubuh mantan istrinya itu.
Arina semakin terisak, dan Damar semakin mengeratkan pelukan, menumpahkan rasa sayangnya yang membuncah.
“Tolong jangan nangis lagi sayang.” Damar mengecupi sekali lagi yang mendapat pukulan sekali lagi juga.
Bersambung...
POV DamarBetapa senang mama dan papa saat tahu akan kubawa ke desa menengok cucu mereka. Tentu segala persiapan dilakukan mama dan papa, karna bukan hanya akan bertemu cucu yang didambakan namun juga akan bertemu sahabat mereka. Rasa malu dan sungkan masih ada, namun rencanaku untuk menyatukan kembali keluarga kami tak bisa ditawar lagi.Sebenarnya mama akan ke kantorku dulu bertemu dan minta maaf pada mantan menantu kesayangnnya itu, namun melihat pria kemarin mencoba mendekati Arina, tentu tak bisa kuanggap remeh.Aku harus berterima kasih pada mbak Eva dan mas Safri yang turut andil dalam menjalankan rencanaku, tentu saja tanpa Arina ketahui. Mereka berdua bukan hanya membantu mengurus Davian namun sekarang juga membantuku agar bisa bersatu kembali dengan Arina. Tentu mas Safri yang lebih dulu menyampaikan maksud pada pak Sayuti.Harusnya Arina pulang sore ini ke desa menengok putra kami, tentu rindu telah membuncah di dadanya, namun kuberi pekerjaan tambahan agar harus lembur sam
Sungguh Arina tak menyangka akan kehadiran Damar di rumah orang tuanya sore ini. Arina sebenarnya sudah merasa lain saat Damar memberinya tumpukan pekerjaan untuk menghitung nota yang sudah lama dan sudah dibayarkan, karna mati lampu dan tak mungkin lembur hingga larut meskipun Wiwid membantu tadi, Arina memutuskan untuk pulang, namun heran juga saat Wiwid berulang kali memastikan kalau dirinya tak pulang ke rumah ibu bapak dulu hari ini.“Besok aja Rin pulangnya,” wajah Wiwid nampak cemas, namun Arina berpura tak memperhatikan.Ah rupanya Wiwid juga ada dibalik kedatangan Damar ke rumah orang tuanya.Lalu saat Damar tak masuk kantor hampir seminggu, setiap Arina melakukan panggilan video pada ibu selalu ibu mengakhiri cepat- cepat dan bahkan sempat mendengar suara Davian memanggil papa namun ibu sudah langsung mematikan ponsel saat itu.Lebih kaget lagi saat Arina meihat bu Intan dan pak Mahmud kedua mantan mertuanya, pak Mahmud dan bapak bahkan nampak asyik berbincang di teras sampi
“Jadi, nak Damar ini datang bersama orang tuanya ingin melamar kamu lagi nduk.” Suara bu Fatimah membuat Arina sedikit kaget, tak percaya dengan kenekatan Damar yang tak main-main.Beberapa kali memang dirinya diberi sinyal langsung maupun tak langsung akan perasaan Damar padanya, bahkan yang terakhir keluar langsung dari bibir ayah putranya itu sambil memeluknya di sofa kantor beberapa hari yang lalu.Namun Arina tetap saja ragu, bayang-bayang kesakitan yang dirasa sewaktu ditalak belum juga enyah sepenuhnya dari pikirannya, bahkan bayangan saat Damar mencumbui wanita itu di ruang tamu, masih Arina ingat saat suatu malam Yasmin datang menjemput Damar minta ditemani makan malam, Yasmin langsung memeluk Damar yang keluar dari ruang kerja dan memagut bibir lelaki yang saat itu berstatus suaminya, tanpa mereka sadari Arina melihat karna hendak ke dapur ingin mengambil air minum. Ya dulu memang Yasmin sering datang ke rumah, saat Damar sudah memberi tahu Arina akan keberadaan wanita yang
Ucapan hamdalah terdengar, terucap dari bibir yang hadir di ruang tamu rumah orang tua Arina hari ini, setelah mendengar jawaban Arina atas lamaran orang tua Damar tempo hari. Dua setelah kedatangan pertama bu Intan dan pak Mahmud di rumah pak Sayuti, hari ini mereka datang kembali, tak hanya bertiga dengan Damar namun membawa rombongan sekitar tujuh orang, ada juga cincin dan kue – kue serta buah-buahan yang mereka bawah, bu Intan yang berdarah bugis dari pihak ibu beliau, tentu tak melupakan tradisi bila melamar anak gadis orang. Meskipun Arina ini janda dan mantan menantu beliau, namun diperlakukan tetap sama. Tak lupa mahar berupa uang yang pak Sayuti sebutkan, tak banyak. Namun bu Intan dan pak Mahmud menambahnya berkali lipat, sebagai wujud rasa sayang pada Arina, tak lupa sawah satu petak diserahkan untuk Arina sebagai mahar tambahan. Apapun yang terjadi dikemudian hari, sawah itu itu tetap milik Arina.Pak Sayuti dan bu Fatimah berulang menolak, namun bu Intan dan pak Mahmud t
Pov ArinaDamar Ganendra, pria pertama yang mencuri hatiku, namun dia juga pria pertama yang melukai perasaanku, mengikis cinta yang perlahan tumbuh dihatiku saat pertama kali kulihat mata tajamnya memandangku sore itu di rumah bapak.Sempat kulihat keraguan di wajahnya saat diberitahu bahwa kami berdua akan dinikahkan.Dan benar saja, keraguannya tak hanya di wajahnya namun tiga bulan setelah pernikahan kami, aku ditalaknya dihadapan wanita yang menjadi kekasihnya selama ini. Oh rupanya aku menjadi orang ketiga diantara mereka.Miris dan kecewa itu yang kurasa, ternyata aku menjadi orang ketiga dari dua orang yang saling mencintai.Mengapa Bapak dan ibu tak menanyakan dulu apakah mas Damar ini punya kekasih atau tidak. Mengapa pula bu Intan harus memilih aku, sedangkan mas Damar punya kekasih yang jauh lebih cantik dan tentu punya segalanya.Penampilannya yang modis dengan rok diatas lutut dipadankan dengan kaos warna putih dan rambut sepunggung yang diwarnai tentu membuatnya nampak
Rahang Damar mengeras demi melihat gambar masa lalunya yang dikirim ke ponsel milik Arina. Nomor pengirim pun tak tersimpan di nomor ponselnya. Damar sebenarnya mencurigai salah satu karyawannya yang satu ruangan dengan Arina. Sebab beberapa hari yang lalu dilihatnya gadis berambut cepak itu duduk bersama Yasmin, bisa saja Rahma adalah keluarga atau kawan Yasmin yang mengetahui tentang hubungan dirinya di masa lalu dengan wanita itu.Sungguh kemarahannya pada sang pengirim gambar tak sebesar rasa khawatirnya pada Arina, takut – takut bila calon istrinya itu akan berfikir yang tidak – tidak tentang foto masa lalunya itu.“Koq, kamu disini, Mas?” Arina kaget dengan kedatangan Damar di rumahnya jam dua siang ini.Damar gelisah luar biasa saat menghubugi Arina sejak tiga jam yang lalu namun ponsel milik wanita itu tak aktif.Nalarnya sudah menduga yang tidak – tidak, apakah Arina terpengaruh dengan gambar itu lalu membatalkan pernikahan mereka yang tinggal dua hari lagi. Niatnya yang t
Kedua pengantin baru rasa lama ini terkapar di apartemen milik Damar. Rasa lelah membuat Arina langsung tertelungkup diatas kasur, sementara Damar merengangkan badan di atas sofa panjang. Seharian duduk sabagai raja dan ratu lalu selepas isya menyetir lagi balik ke kota, untung Davian tadi sudah tidur jadi tidak ada drama merengek.Pak Mahmud dan bu Intan memberikan voucher bulan madu di hotel namun Arina dan Damar memilih bulan madu di apartemen saja, ke hotelnya nanti sama – sama Davian saja sekalian ingin mengajak anak mereka berenang.Tadi bu Fatimah dan bu Intan menyiapak makanan di rantang bersusun lima dan kue – kue di wadah plastik lainnya untuk mereka bawa.“Pengantin baru nggak usah masak, pasti kalian capek nanti.” Ucap bu Intan pada anak dan menantunya.“Nanti kamu panasin lagi Rin makanannya buat Damar, sekalian bawa nasi aja, biar nggak masak lagi.” Bu Fatimah menyiapkan termos nasi kecil untuk mereka bawa. “Sekalian bawa gula dan teh kalau belum ada di apartemen kali
Sudah dua hari ini Arina tak menanggapi setiap omongan Damar. Bukan karna si penelpon yang mengganggu aktivitas intim mereka kemarin malam, namun surat pengunduran diri yang diminta Damar untuk ditandatangani.“Kalau aku dicerai lagi gimana, mas pikir gampang cari kerja apalagi nanti kalau statusku jadi janda lagi.” Arina tak henti mengomel sambil merapikan pakaian suaminya ke dalam lemari dan sesekali menahan ringisan di antara pangkal paha.“Yang bilang mau ceraiin kamu siapa sih.” Pelan Damar berkata sambil mendekati Arina dan memeluknya dari belakang.Kali ini Damar tak ingin gegabah seperti dulu. Sebisa mungkin rasa sabar dan pengertian dia tanamkan dalam dirinya bila memyangkut Arina. Damar tahu, Arina belum sepenuhnya menerima cintanya lagi, entah kapan, atau mungkin menerima namun tak utuh lagi. Seperi kaca yang sudah diretakkan, bukankah Damar sendiri yang telah meretakkan kaca itu.Arina menggeliat melepaskan diri namun tangan kekar Damar tak bergeming dari tubuh langsingnya