"Riris!" aku memanggil mengejarnya. Dia terus saja berlari. Aku tak mau menyerah. Dengan lari lebih cepat aku dapat segera menyusulnya.
"Riris! Maafkan Ibu?" dia bergeming dengan sekali terisak. Aku yakin dia sakit hati mendengar obrolan kami. Anak mana yang mau berpisah dengan ibunya. Kucoba merengkuh tubuhnya, dia berusaha memberontak tapi kuterus memaksa untuk memeluknya. Tangisnya pecah. "I-Ibu jahat! Ibu mau memberikan aku pada orang lain! Riris kira cuma Ibu yang benar-benar tulus dengan Riris. Setahuku kasih ibu tak akan pernah surut tapi... Kenapa Ibu Riris tega! Apa karena Riris anak haram?!" pekik Riris langsung membuat air mataku jatuh. "Ka-kata siapa, Ris! Kata siapa kamu anak haram! Didunia ini tak ada anak haram, setiap yang terlahir itu suci!" aku mencoba menenangkannya. Hati ini tercabik mendengar penuturan tentang anak haram. Aku yakin dia dengar dari para tetangga yang suka mengunjing ataupun... Keluarga Mas Azmi! "Kalau gitu sekarang Ibu jawab?! Siapa ayah Riris. Bukankah Bapak Azmi bukan ayah Riris?" aku terpaku, pertanyaan yang sulit kujawab. Ya Allahhh... Kuatkan hambamu ini dan tolong beri jalan untukku menjawab pertanyaan bocah 9 tahun ini. "Bu-bukan Ibu tak mau menyebutkan siapa ayahmu, Ris. Namun jika saja aku sebutkan, kamu tak akan dapat bertemu dengannya!" Riris diam, mungkin dia sedang berfikir tentang ucapanku baru saja. "Ayah Riris sudah tak ada didunia ini sejak Riris masih dalam perut Ibu." Ya Allah... Maafkan aku jika aku harus berbohong sejauh ini. Semoga kelak aku dapat ampunanmu. "Benarkah, Bu? Itu artinya Riris anak yatim?" aku menganguk mengelus pucuk kepalanya dan mencium lembut. "Ayo kita pulang!" "I-ibu ngga akan memberikanku pada orang kan?" tanyanya ragu. Aku tersenyum padanya, "Tidak, Ris. Mana mungkin Ibu tega memberikan kamu pada orang lain!" "Janji ya, Bu?" dia mengulurkan jari kelingkingnya. "Janji!" Kami melangkah menuju rumah, senyum kecil mengembang kembali pada bibirnya. Aku sangat bersyukur. Setidaknya dia masih percaya akan kata-kataku. "Bagaimana, Sah! Kamu setuju kan?" tanya Mas Azmi ketika aku selesai salat Isya dan masuk kekamar untuk sekedar beristirahat. "Nggak, Mas. Aku masih sanggup menghidupi anakku itu!" jawabku sambil menarik slimut. "Sombong kamu, Sah! Lihat saja, jangan harap aku mau menyayanginya bahkan membantu biaya sekolahnya. Itu keputusanku! Semua keperluan Riris tak boleh ada yang ngambil dari uangku! Mengerti!" Mas Azmi menyibakkan selimut dan berjalan keluar. Aku tak peduli. Aku akan tetap mempertahankan Riris walau tanpa dibantu oleh Mas Azmi. Toh selama ini juga uang yang diberikan Mas Azmi memang hanya mampu untuk kebutuhan sehari-hari keluarga ini. Untuk urusan Riris dan segala keperluannya aku yang membelinya dari uang jualan kueh. ~~~~ "Nama kamu siapa? Itu yang digendong anakmu?" kuingat saat itu tengah memungut sampah dikomplek perumahan tempat Mas Azmi bekerja. "Aisyah, Mas. Iya ini anak saya, namanya Riris." "Kenapa dibawa kerja, kemana suamimu?" Mas Azmi yang kala itu belum kuketahui namanya. "Ngga ada yang jaga, Mas. Aku janda!" jawabku. Sejak saat itu Mas Azmi selalu memberiku makanan atau kadang susu untuk Riris yang baru berusia satu tahun. "Mau kah kamu jadi istriku?" ungkapan Mas Azmi membuat aku terpaku, setelah sekian purnama mengenalnya dan terlihat dia sayang denganku juga Riris. Kata lamaran untuk jadi istrinya tak sanggup kutolak. "Tapi aku janda beranak satu, Mas. Apa Mas Azmi mau menerimaku juga anakku?" "Tentu saja! Aku janji akan menyayangi kamu juga Riris seperti anakku sendiri!" ucapnya kala itu. Aku melihatnya sebagai lelaki yang tangung jawab bukan seperti sekarang. Dulu tanpa ragu aku menerimanya menjadi suami, aku yang mempunyai masa lalu kelam saat aku harus kehilangan hal yang paling berharga bagi wanita ketika usiaku masih muda. Yah... Aku diperkosa oleh Om yang merawatku dan itu bukan sekali dua kali. Hingga aku tak tahan dan memilih untuk kabur dari rumah yang lebih patas disebut neraka. Aku diperlakukan seperti budak, pagi disuruh memulung dan bila malam harus memuaskan nafsu Omku yang mabuk. Orang tuaku meninggal saat kecelakaan bus. Hingga hanya dengan Omku lah aku harus bergantung hidup. Kukira Mas Azmi akan tulus dan aku sangat beruntung memilikinya. Namun ternyata semua itu semu. Hanya bertahan beberapa saat saja. Sekarang sikapnya begitu menunjukan ketidak sukaannya pada Riris. Air mataku meleleh mengingat itu. ~~~~ "Masak apa kamu, Sah?" tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara laki-laki. Dia adalah Sodikin--Suami Mbak Ratih--entah sejak kapan dia pulang. "Masak sayur lodeh, Mas," jawabku cuek tanpa menatapnya. Aku sedikit tak suka dengan perangainya. Kadang kulihat matanya jelalatan dari bawah sampai keatas. Membuat aku risih. Beruntung dia tidak pernah dirumah lama-lama. Kerjaan dia diluar kota sebagai kuli bangunan dan akan pulang sekitar satu atau dua bulan. "Buk... Ayo, kita kepasar!" Mbak Ratih berteriak pada Ibu. Aku yang tengah menyiapkan pesanan Bu RT hanya diam bergeming. "Mas jaga rumah saja ya, aku mau beli baju juga perhiasan." celetuknya pada Mas Sodikin yang duduk sambil baca koran. Aku tak melihat dia menjawab atau tidak. Segera saja aku pergi mengantar pesanan Bu RT yang lumayan banyak. Separuh tadi sudah aku kirim dan ini untuk kedua kalinya karena tak muat jika sekali bawa. Untung jarak rumah Bu RT hanya sepuluh rumah dari rumah kami. Aku tersenyum, melihat uang yang kupegang. Uang bayaran dari Bu RT. Kurasa aku ingin membelikan Riris baju yang kemarin sempat ditawarkan Bu Ijah. "Assalamualaikum... Riris!" panggilku. "Pergi! Pergi dari sini pakde! Riris takut!" suara Riris begitu kencang dari kamarnya yang berada dipojok belakang. Aku segera tersadar bahwa ada hal yang tak beres. "Riris!" ===!!!===Aku terpaku pada sosok yang tergeletak di atas tempat tidur umum rumah sakit. Dada ini bergemuruh, antara benci marah dan trauma juga jijik. Jijik jika ingat tubuh ini selalu ia gauli dengan bengis."Kamu!" kali ini tanganku yang tengah memegang gunting mengeras. Siap mengangkat benda tajam itu dan menghujam ke hati. Orang tak punya hati nurani lebih baik kuambil hatinya. Percuma punya hati namun tak berfungsi."Aisyah! Aaaa ... " tiba-tiba manusia biadab itu bangun dan kaget. Hingga ia berteriak.Saat gunting sudah sampai pada ujung tertinggi aku ayunkan, tiba-tiba tanganku diraih paksa."Lepaskan!" rintihku."Keluar dari jasad Aisyah, Bel!" kali ini Mas Yusuf berkata sambil memlintir tanganku."Lepaskan! Aku sangat tak suka dengan manusia jenis sepertinya!"Kulihat manusia biadab itu sudah kembali memejamkan mata. Apa dia pingsan ketika melihatku ingin membunuhnya."Keluar atau aku keluarkan!" Mas Yusuf kembali dengan tegas berkata."Innalilahi wainnailahi roji'un ... " seorang dokt
Sepanjang jalan pikiranku kalut, apa yang terjadi pada Mas Yusuf, kenapa dia sampai dirumah sakit? Berbagai pertanyaan bergelut dalam otakku. Kakek juga terlihat panik.Sampai dilobi rumah sakit aku segera berjalan ke IGD sesuai apa yang disampaikan oleh Mas Yusuf. Langkahku sedikit tergesa karena jujur aku sangat panik. Mungkin akan kembali tenang setelah melihat keadaanya.Didepan IGD tepat saat dokter keluar, aku langsung menghampirinya."Bagaimana keadaan Mas Yusuf, Dok?" tanyaku langsung. Dokter tak menjawab hanya terlihat sedikit bingung. Kemudian tak lama ada seorang memanggilku."Aisyah, Kakek!" aku langsung membalikan badan dan menghadap kearah sumber suara."Mas Yusuf!" Mas Yusuf menghampiri kami dengan sedikit memegangi perut, wajahnya nampak beberapa luka lebam jalanpun tertatih. Aku heran jika Mas Yusuf disini terus siapa didalam?"Kamu ngga papa, Mas?" tanyaku yang langsung menubruknya karena dia berjalan sedikit oleng. "Bagaimana kondisinya, Dok?" kali ini Mas Yusuf be
Kuusap kedua netra mataku yang basah, berucap istighfar agar diberi ketenangan hati."Astagfirullah!" Kembali kutatap Mas Yusuf. Dia masih pada posisinya. Aku bingung harus bagaimana."Mas!" Kucoba memegang pundaknya. Tanpa respon."Mas!" Kali ini nada suaraku sedikit kutinggikan."Eh iya, Syah," ucapnya tanpa menoleh ke arahku. Tangannya sibuk mengusap matanya. Dia menangiskah?"Mas kenapa? Apa kecewa dengan masa laluku?" tanyaku hati-hati.Tanpa menjawab dia justru tersenyum,"jangan berfikir begitu, setiap manusia memiliki masa lalu. Justru Mas sangat sedih dan terpukul dengan nasib yang menimpamu, Syah. Sekarang yang terpenting jangan sampai masa lalu itu terulang ataupun justru kembali mengusik kehidupanmu yang sekarang. Kamu sembuh dari traumatis cukup lama jadi Mas tak ingin kamu kembali pada keadaan dulu!" Mas Yusuf mengusap lembut kepalaku.Aku tersenyum, dalam hati bersyukur bisa bersama orang yang nyatanya mengerti tentang perasaan dan kondisiku. Semoga dia memang benar jodo
Aku terbangun pagi ini, rasanya kenapa aku merasa sangat lelah sekali, bahkan aku tak ingat kapan memejamkan mata. Bergegas mandi dengan mengguyur seluruh badanku. Saat tengah menyampo rambut aku teringat bahwa semalam aku pergi bersama Mas Yusuf kejadian demi kejadian aku ingat sampai aku juga teringat ketika ada telfon yang ternyata dari Om Aceng. Dia mengingatkan pada kejadian tempo dulu yang membuat aku traumatis berat. Kini tubuhku seketika menggigil namun aku segera mengucap istighfar, agar di beri ketenangan hati. Alhamdulillah...akhirnya aku dapat mengontrol perasaanku. Namun, apa yang terjadi semalam? Apa aku?Pasti semalam Mas Yusuf dan kakek begitu mencemaskanku. Harus kujawab apa kalau mereka bertanya tentang apa penyebab aku hilang kendali dan ketakutan luar biasa.Segera aku menguyur tubuhku dan langsung bergegas untuk keluar kamar mandi. Aura masuk dan langsung tersenyum kearahku."Ibu, nanti aku mau ke Mall sama Kakek, Ibu mau ikut?" tanyanya."Nggak, Aura. Kamu pergi
PoV YusufAku melihat Aisyah pucat pasi. Kukira dia akan senang dan kita bisa melihat kota dari atas sana. Nyatanya salah, ternyata Aisyah phobia ketinggian. Hampir saja aku membuatnya pingsan. Aku jadi merasa sangat bersalah. Kutenangkan dia, kuberi minum agar jantungnya kembali memompa dengan normal. duh! kok aku jadi seceroboh itu.Hp Aisyah berdering ketika kita akan melangkah untuk sekedar jalan-jalan saja. Aku kapok mengajak Aisyah menaiki wahana. Lebih baik sekarang aku bertanya dulu, jangan gegabah. 'Ah! Ada yang jual bunga. Lebih baik aku membelinya. Sedikit romantis kan ngga papa.'Kubergegas membeli satu tangkai bunga mawar merah. setelah membayar aku bergegas menuju Aisyah yang masih menelfon. Kusodorkan bunga padanya. Betapa aku kaget melihat raut wajah Aisyah yang lebih pucat dari yang tadi. Kenapa dia? Phobia bunga juga?"Kamu kenapa, Syah?" tanyaku yang langsung membuang bunga itu.Bibirnya bergetar hebat, raut ketakutan terpampang jelas pada wajahnya. Dia...dia kenap
Aku yang akan sempat lari menuju kamar Kakek berubah haluan kembali ke depan."Tolong panggil kan dokter!" Perintahku pada salah satu penjaga keamanan.Aku melihat kedepan, disana suasana sudah terasa tak kondusif. Bahkan para tamu sedikit terlihat panik."Ada apa dengan Riris?" tanyaku."Ini, Non. Tadi tamu yang pulang lebih awal karena di usir Non. Memaksa Riris ikut dengannya kemudian kami merebutnya hingga akhirnya terjadi baku hantam."Aku yakin yang dimaksud pasti Mas Azmi. Apa maunya dia? Apa dia ingin menculik Riris?"Terus kenapa Riris berteriak?""Tadi saat terjadi tarik menarik dia terjatuh, Non."Aku segera menuju dimana Riris tengah diobati."Habis ini bawa Aura masuk! Kemudian perketat penjagaan. Aku mau lihat kondisi kakek dulu."Sungguh, semua kenapa jadi kacau seperti ini. Kakek pingsan dan tak tau sebabnya sekarang Mas Azmi pun tak menyerah. Andai boleh memilih, lebih baik hidup sederhana namun aman, dari pada seperti ini. Hidup serba ada tapi rasanya banyak sekali m