Setelah mampu berdamai dengan hati dan kesedihan, juga dendam yang tak akan pernah surut, Gu menerima dengan sepenuhnya anak yang dititipkan dalam kandungannya. Bahkan ia rutin memeriksakan calon bayi dalam rahimnya, demi agar tidak kekurangan vitamin. Cinta, tak bisa dipungkiri tumbuh perlahan-lahan, walau hadirnya dengan cara yang sangat menyakitkan. Usia kandungan itu telah memasuki lima bulan, tak sabar Gu ingin mengetahui apa anak yang dikandungnya, entah laki-laki atau perempuan. Sarah jadi ikut ketularan bahagia sendiri. Ia tak sabar juga menanti cucunya untuk lahir. Setiap malam sebelum tidur selalu ia bacakan ayat-ayat suci agar anak dalam kandungan itu terbiasa mendengarnya. “Semoga yang lahir nanti anak perempuan. Aku tak pernah mengurus mereka dari dulu. Pasti menyenangkan.” Sarah mengelus perut Gu yang sudah mulai bergerak. Terkadang gadis itu menyesali mengapa dulu ia nyaris menggugurkan kandungannya. “Aku lebih memilih anak laki-laki saja. Supaya besarnya nanti dia b
“Humaira, iya nama yang cantik untukmu, Cucuku.” Sarah mengelus pipi anak Gu. Ia dijemput oleh orang suruhan Hela untuk menjenguk satu pendatang baru di dunia mereka bertiga. Gadis tanpa suami itu hanya mengangguk saja, ia sendiri tidak pernah sibuk memikirkan nama untuk putrinya. Sebab yang lebih antusias menanti kelahirannya yaitu Sarah Ketika kondisi Gu dan putrinya sudah baik-baik saja. Hela mengantar ketiganya pulang. Empat perempuan dalam kendaraan yang sama. Memiliki nasib yang hampir-hampir mirip. Humaira sendiri belum tahu akan bagaimana jalan hidupnya, ia hanya dibesarkan dengan para ibu saja tanpa kehadiran seorang ayah yang jauh berada beberapa ratus kilometer dari desa itu. Untuk pertama kalinya Hela masuk ke rumah kecil Sarah. Hunian yang hangat sebab ada tawa anak kecil di dalamnya. Tidak ada yang spesial dalam penyambutan sang bayi, hanya makan malam biasa yang dimasak bersama Hela dan Sarah. Gu sendiri sedang asyik menimang putrinya. Mereka tak menggunakan box bayi,
Hela sedang menjalankan sebuah operasi caesar, salah satu ibu yang telah cukup umur untuk melahirkan. Tentu saja Gu ada di sana membantu. Dua tahun sudah ia menjadi asisten Hela, sudah banyak yang ia kuasai walau tak mengeyam pendidikan di fakultas lanjutan. Ilegal memang, tapi semua juga terjadi karena suatu sebab. Bisa saja Gu melanjutkan kuliahnya. Namun, negara yang ia tinggali kini juga berada dalam pengaruh Balrus. Hingga dua wanita itu sama-sama tak berani terlalu menampakkan diri. Berada di daerah perbatasan dan sunyi merupakan pilihan yang tepat.“Selesai.” Gu sudah merapikan jahitan pada perut ibu itu. Sementara bayi yang telah dikeluarkan diurus bersama dua orang perawat. “Kau semakin mahir. Andai saja ada cara untuk melegalkan kemampuanmu.” Hela membuka pakaian operasinya. Ia keluar dari ruangan itu, selanjutnya para perawat yang mengurus semuanya. Gu dan Hela sama-sama mencuci tangan di kamar mandi khusus tenaga medis. Wajah yang sama-sama kelelahan. Hari ini begitu bera
Gu terpekur di depan makam Sarah. Wanita itu dikubur di ladang tempat mereka biasa menanam kentang atau tanaman lainnya. Penyesalan gadis itu tiada terkira, andai saja permintaan untuk pergi ke Negeri Syam bisa ia jangkau, akan ia penuhi. Sayangnya, untuk ke sana pun tidak mudah. Apalagi untuk ibu tanpa suami dan anak tanpa ayah seperti mereka berdua. Tidak ada yang melindungi. Beruntung saja penyelenggaraan jenazah itu dibantu oleh Hela serta beberapa tetangga. Semampunya Gu ikuti sesuai tata cara islam. Masih ingat gadis bermata biru itu dengan perkatan Sarah beberapa minggu lalu. “Gu, aku sudah membeli kain kafan, memang di sini harganya mahal sekali. Tapi aku menggunakan uangku sendiri,” ujar Sarah ketika Gu baru saja pulang kerja. “Untuk apa, Bu?” Terkejut gadis itu, serasa ia akan ditinggal mati dalam waktu dekat. “Jaga-jaga andai aku mati. Apa kau tak kasihan denganku, Gu, sedikit saja.” Menghiba wanita paruh baya itu. “Maksud Ibu, apa? Adakah yang ingin Ibu beli?” tanya Gu
Hela tak bisa tidur beberapa malam. Ia tahu cepat atau lambat suaminya akan mengetuk pintu rumah itu. Lalu masuk dan entah apa yang akan terjadi pada dirinya. Wanita berambut pirang tersebut sudah sangat paham perangai lelaki yang sudah tak terhitung berapa banyak perempuan yang telah disakiti. Suara decit mobil direm terdengar di telinga Hela. Wanita itu duduk dengan tenang sambil menenggak segelas anggur merah, ia tahu ini merupakan detik-detik kematiannya. Atau jika tidak mati ia pun tak ubahnya seperti mayat hidup saja diperbudak lelak bengis itu. Sebelum semua itu terjadi, ia mengambil ponselnya menghubungi seorang gadis yang ia khawatirkan akan terjadi sesuatu juga padanya juga sang putri, sebab identitas mereka yang begitu kentara sebagai muslim. Beruntung Sarah telah berpulang terlebih dahulu. Panggilan itu akhirnya diangkat juga. “Gu, ini pesan terakhirku untukmu. Pergilah, sekarang juga, yang jauh, jangan pernah berpikir untuk kembali. Selamatkan hidupmu juga putrimu,” uca
“Kau yang gila! Bagaimana kalau mobil ini menabrak pembatas jalan dan kita mati, ha!” bentak Ed. Ia terkejut dengan tindakan nekat Gu. “Lebih baik kita mati bertiga dariapada kau membawaku ke Cina. Kau gila? Cina itu jauh dari sini, ras kita juga berbeda dengan mereka. Pikirkan dua kali Ed. Pakai otakmu jangan hanya nafsu saja yang kau utamakan.” “Ya, kau pikir kita harus ke mana. Hanya ada dua pilihan. Ada dua wilayah yang masih dekat dengan Balrus tapi tak akan pernah mereka berani mengusiknya. Satu Cina, satu lagi Negeri Syam. Aku tak mau ke Syam, di sana kaku dan tak boleh minum dan main judi dan main perempuan. Apa enaknya hidup kaku seperti itu.” “Ke mana? Negeri Syam. Iya aku pilih ke sana saja. Antar aku ke sana. Aku tak mau ke Cina titik!” “Aku tak mau, titik.” Tak kalah Ed berargumentasi. Maira hanya melihat bergantian dua orang dewasa itu saling adu mulut. Sampai akhirnya … “Aku tak suka main kasar sebenarnya, Ed. Tapi kalau kau tak mengantarku ke Syam. Aku tembak kepa
Ali dan Firdaus sejak sampai di Negeri Syam telah menjadi sahabat yang begitu dekat satu sama lain. Mereka saling memberi manfaat. Ali mengajarkan ragam ilmu pengetahuan tentang senjata, cara membangun ketahanan fisik, strategi perang, hingga lambat laun Firdaus tubuhnya menjadi semakin kekar dan tegap. Akhirnya lelaki berambut ikal itu mengajarkan pada yang lain juga. Ali sesekali turun tangan jika memang diperlukan. Dibawah pengawasan dua orang pria itu terbentuklah suatu kesatuan yang cukup kuat. Sudah banyak wilayah yang berhasil dibebaskan. Bahkan tak menutup kemungkinan untuk menguasai armada angkatan udara milik musuh. Hanya saja usaha lebih keras tetap dibutuhkan. Sedangkan Firdaus sendiri mengajarkan ilmu agama pada Ali. Tak jarang pula keduanya pergi ke majelis ilmu bersama-sama. Ragam pengetahuan baru Ali dapatkan. Di tahun pertama ia intens belajar membaca Al Qur’an, sholat dan tetap turun perang. Lalu dengan memantapkan hati di tahun itu juga ia menunaikan ibadah puasa s
“Silakan ikut dengan kami. Ada beberapa pertanyaan yang harus engkau jawab terlebih dahulu, Ukhti,” ucap Firdaus pada Gu. Lelaki berambut ikal itu mempersilakan gadis pendatang baru untuk jalan. Namun, yang diminta malah lebih fokus memandang seorang pria yang memeluk putrinya. Gu memanggil Maira, gadis itu turun dan membawa lari kaca mata milik Ali, walau terjatuh di jalan. Sejenak Gu menatap lelaki asing yang mengenakan tutup kain di wajahnya. Tinggi badan itu dan cara berjalannya, sepertinya tidak asing. Mata biru dan keabuan itu sempat saling menatap sejenak. Kemudian Ali segera saja berpaling. Ia memang sejak serius hijrah tak mau menatap mata wanita lama-lama. Takut hanyut dalam keindahan sesaat dan sesat juga semu. Tidak bagi Gu, ia seolah-olah tak berkedip dibuatnya. “Ah, tidak mungkin, iblis itu tak masuk akal ada di sini. Dia pasti ada di Balrus dan sedang merencanakan penyerangan lain.” Gu menggendong Maira lalu berjalan ke pos yang dimaksud Firdaus. Ada beberapa pertanya