MasukDia punya segalanya: wajah dewa, Porsche di garasi, nama belakangnya bisa beli kampus. Tapi Kevin Aprilio Cathy jatuh cinta pada satu-satunya cewek yang berani tolak dia depan umum. “Jangan ganggu aku lagi.” Nadia Putri Mahendra — anak beasiswa miskin, makan nasi bungkus, naik angkot tiap hari. Dia benci orang kaya. Dia benci pamer. Tapi dia nggak bisa benci Kevin yang rela basah hujan, yang lawan papa sendiri, yang bilang: “Kalau harus pilih antara lo atau harta warisan triliunan, gue pilih lo.” Saat mantan posesif, queen bee kampus, dan rahasia kelam masa lalu mengancam merobek mereka, pertanyaannya bukan “akankah mereka bersama?” tapi “berapa harga yang harus Kevin bayar supaya Nadia tetap jadi miliknya selamanya?” Cinta yang terlalu mahal untuk dilepaskan. TERLALU TAMPAN DAN KAYA by Anju Mulai baca sekarang — siap nangis, salting, teriak “UPDATE WOI” tiap malam. 😭🔥
Lihat lebih banyakKantin fakultas ekonomi Universitas Nusantara Elite sedang ramai-ramainya jam makan siang. AC-nya dingin banget sampai bikin bulu kuduk merinding, tapi tetap nggak bisa redam panasnya drama yang sebentar lagi bakal meledak.
Kevin Aprilio Cathy baru saja keluar dari antrean VIP (iya, di kampus ini ada antrean khusus buat anak konglo biar nggak ngantre bareng “rakyat jelata”). Di tangannya tray perak berisi salmon grill, truffle pasta, sama es kopi susu gula aren yang harganya bisa buat beli makan sebulan anak kos. Dia melirik ke meja pojok dekat jendela. Di sana duduk Nadia Putri Mahendra sendirian, lagi baca buku tebal berjudul “Capital in the Twenty-First Century” sambil makan nasi kotak bungkus aluminium yang jelas-jelas dibawa dari rumah. Itu dia. Gebetanku yang sudah bikin aku nggak bisa tidur tiga hari ini. Hari ini aku nyanyi. Nggak pake lama-lama lagi. Kevin tarik napas dalam, senyum paling mematikan yang pernah dia latih di depan cermin, lalu melangkah mendekat. Tapi belum sampai tiga langkah… “KEVIIINNNN!!!” Jeritan itu datang dari Clarissa Angelina, anak pemilik jaringan hotel bintang lima, yang langsung lari kecil sambil membawa dua gelas Starbucks. “Vin, aku beliin kamu yang baru! Yang tadi aku liat kamu pesen kopi doang, pasti laper kan? Ini Venti Java Chip extra whip, aku tau kamu suka manis!” Clarissa langsung menyelipkan satu gelas ke tangan Kevin sambil merangkul lengannya erat-erat. Belum sempat Kevin buka mulut, sudah ada yang nyamber lagi. “Eh Clar, jangan egois dong! Kevin pasti lebih suka matcha aku!” Bella Santoso—putri pengusaha tambang—langsung mendorong Clarissa ke samping sambil menyodorkan gelas hijau. “Ini matcha oat milk no sugar, biar badan Kevin tetep sixpack!” Dalam hitungan detik, Kevin sudah dikelilingi lima cewek model-level yang rebutan kasih minuman, makanan, bahkan ada yang langsung buka dompet mau transfer “jajan hari ini”. Kantin mendadak sunyi. Semua mata tertuju ke arah mereka. Kevin cuma bisa bengong sambil pegang tiga gelas sekaligus. Ya Tuhan, mati aku. Dia melirik Nadia lagi. Nadia yang tadinya fokus baca buku, sekarang angkat kepala. Kacamata bulatnya agak melorot, matanya menyipit menatap keributan ini dengan ekspresi… jijik? Kevin panik. Ini kesempatan satu-satunya sebelum Nadia balik fokus ke bukunya lagi. “Permen, guys… bentar ya—” Kevin coba lepas lengan dari cengkeraman Clarissa. “Eh jangan pergi dulu, Vin!” “Kevin foto bareng dulu yuk!” “Aku punya tiket konser Coldplay VIP loh, mau nggak nemenin aku besok?” Kevin akhirnya nekat. Dia taruh tray makannya di meja terdekat (milik anak cowok yang langsung ketakutan dan minggir), lalu menerobos kerumunan cewek-cewek itu kayak Moses membelah Laut Merah. Sampai akhirnya dia berdiri tepat di depan meja Nadia. “Hai… Nadia, kan?” Nadia angkat kepala perlahan. Matanya dingin. Ekspresinya datar banget kayak lagi ngadepin sales asuransi. “Iya. Ada apa?” Kevin langsung aktifin mode charming level 100. Senyumnya yang katanya bisa bikin lutut cewek lemah. “Aku Kevin, dari kelas Ekonomi Makro bareng. Duduk di sebelahmu tadi pagi pas dosen telat.” “Aku tahu siapa kamu,” jawab Nadia datar sambil nutup bukunya pelan. “Seluruh kampus tahu. Ada lagi?” Waduh, cuek banget. Kevin tetep senyum. “Ehm… aku liat kamu makan sendirian. Boleh gabung nggak?” Nadia melirik ke arah kerumunan cewek yang sekarang berdiri sepuluh meter dari situ, mata mereka semua siap membakar siapa saja yang berani dekatin Kevin. “Kayaknya kamu sudah punya temen banyak,” kata Nadia sambil berdiri dan mulai masukin buku ke tas ranselnya yang sudah usang. “Nggak usah maksa gabung sama anak miskin kayak aku. Nanti temen-temenmu marah.” Kevin panik beneran. “Bukan gitu! Aku serius—” “Kevin!” Clarissa sudah nyamperin lagi. “Ayo makan bareng kita di lounge VIP lantai tiga! Ada AC-nya lebih dingin, nggak bau gorengan kayak di sini!” Nadia langsung ambil nasi kotaknya, tasnya, dan… pergi. Langsung ninggalin Kevin berdiri sendirian di situ kayak orang bodoh. Tapi Kevin nggak nyerah. Dia kejar Nadia yang sudah jalan cepet ke arah pintu keluar kantin. “Nadia, tunggu!” Nadia berhenti mendadak, balik badan. Matanya sekarang benar-benar marah. “Apa sih sebenarnya maumu?” suaranya naik sedikit, cukup buat bikin orang-orang di sekitar langsung ambil HP dan mulai rekam. “Aku… aku cuma mau kenalan biasa,” Kevin buru-buru jawab. “Aku suka ngobrol sama kamu. Serius.” Nadia nyengir sinis. “Kenalan biasa? Kamu yakin?” “Iya!” “Orang kaya kayak kamu tiba-tiba dekatin anak beasiswa kayak aku, pasti ada maunya. Mau pamer? Mau bikin konten? Atau lagi bosen sama cewek-cewek model yang ngejar-ngejar kamu itu?” Kevin terdiam. Nadia melangkah lebih dekat. Jaraknya tinggal satu meter. Suaranya pelan tapi tajam. “Dengar ya, Kevin Aprilio Cathy. Aku nggak butuh temen kaya kayak kamu. Aku nggak butuh dompet tebal kamu. Dan aku paling benci orang yang pura-pura rendah hati padahal cuma lagi cari sensasi baru.” Lalu dia bilang kalimat yang langsung bikin jantung Kevin jatuh ke lantai kantin: “Jadi tolong, jangan ganggu aku lagi.” Habis itu Nadia pergi beneran. Ninggalin Kevin yang berdiri mematung di tengah kantin, dikelilingi ratusan pasang mata dan puluhan HP yang sudah rekam semuanya. Di belakangnya, Clarissa dan gengnya mulai bisik-bisik. “Siapa sih cewek itu? Kurang ajar banget!” “Biarkan aja, Vin. Dia cuma iri sama kita.” Kevin cuma bisa menunduk. Tray makannya masih di meja jauh, kopi Starbucks-nya sudah tumpah karena direbut-rebutan tadi. Pertama kali dalam hidupku… aku ditolak sefrontal ini. Dan anehnya… aku malah semakin gila sama dia. Malam itu juga, video “Kevin Aprilio Cathy Ditolak Cewek di Kantin UNE” sudah viral di TikTok kampus. 500 ribu views dalam tiga jam. Dan Kevin? Dia lagi duduk di balkon penthouse-nya di Pantai Indah Kapuk, nge-stalk I* Nadia yang private, sambil senyum-senyum sendiri kayak orang gila. Game on, Nadia Putri Mahendra. Aku bakal bikin kamu jatuh cinta sama aku. Biaya berapa pun, waktu berapa lama pun… aku nggak akan nyerah.Pagi hari.Penthouse Kevin gelap, hanya cahaya matahari pagi menembus tirai. Kevin berdiri di balkon dengan hoodie hitam, rambut berantakan, mata merah karena nggak tidur sama sekali.Nadia masih tertidur di sofa, wajahnya sembab setelah semalaman menangis dalam pelukannya.Arkan duduk di meja bar, laptop terbuka, kopi hitam yang sudah dingin.Kevin akhirnya buka suara tanpa menoleh:“Dia ada di Jakarta.”Arkan menghadap Kevin.“Lo yakin?”Kevin memasukkan rokok ke mulut, menyalakannya, menghembuskan asap cepat.“CCTV di bawah penthouse gue tadi malam… ada seorang cowok berdiri di seberang jalan selama empat menit.”Kevin membuang abu.“Tim keamanan gue telepon jam lima pagi.”Arkan tersentak.“Itu—”Kevin menatap Arkan dengan mata yang tajam dan gelap.“Kairo.”Arkan langsung menutup laptop.“Mana rekamannya?”Kevin menggeleng.“Dia nutup wajah. Hoodie hitam. Tapi… cara berdirinya, cara dia miring kepala sedikit…”Kevin menggertakkan gigi.“Itu gaya gue waktu SMA.”Arkan menelan luda
Video terus berjalan.Hujan.Suara langkah kaki di tanah basah.Napas seseorang yang terengah.Kevin menatap layar tanpa berkedip.Tubuhnya kaku.Di video, seorang remaja laki-laki menyeret tangan seorang gadis kelas 10 yang basah kuyup — rambutnya menempel di wajah, lututnya berdarah.Gadis itu adalah Nadia.Dan laki-laki itu—Kevin merasakan jantungnya berhenti.Remaja itu mendongak ke kamera.Wajahnya jelas.Fitur wajahnya… sama.Suara… sama.Tatapan… sama.Hanya lebih muda.Tiga tahun lebih muda.“Nggak… ini nggak bener…”Kevin mundur selangkah.Nafasnya patah.“Ini… gak mungkin… GAK MUNGKIN…”Di layar, remaja itu tersenyum kecil.Penuh obsesi.“Kalau gue nggak bisa punya lo, Nad…orang lain juga nggak boleh.”Kevin menutup mulutnya.Tangan gemetar.“VIN…”Nadia memegang hoodie Kevin, tubuhnya gemetaran.“Aku udah bilang… jangan liat…”Tapi Kevin menepis tangan Nadia—BUKAN karena marah pada Nadia.Melainkan karena dia merasa…dia sendiri sedang jatuh.“ITU SUARA GUE!!”Kevin bert
Gelap.Sunyi.Listrik padam total.Nadia memeluk dada Kevin, tubuhnya gemetar keras.Tok. Tok. Tok.Ketukan itu lagi.Tiga kali.Pelan.Berirama.Kevin menoleh ke jendela besar penthouse yang sekarang hanya diterangi kilat hujan.“Nad, tetap di belakang gue,” bisiknya pelan.Nadia menggenggam baju Kevin sampai kusut.“Jangan buka, Vin… please…”Kevin menelan ludah, mengatur napas, langkahnya pelan mendekat ke kaca yang dipenuhi butiran air.Di luar sana, dari lantai 32, tidak mungkin ada orang yang bisa mengetuk kaca.Tidak ada balkon.Tidak ada akses servis.Hanya angin.Dan hujan badai.Tapi ketukan itu jelas.Terarah.Tok. Tok. Tok.Kilatan petir menyinari kaca sesaat.Dan Kevin melihatnya.Seseorang berdiri di rooftop gedung seberang.Bukan monster.Bukan bayangan kosong.Seseorang nyata.Pria muda, berjaket hitam, memegang…sebuah payung hitam persis seperti milik Arkan.Wajahnya tidak terlihat jelas.Tapi tubuhnya…sikapnya…Tidak asing.Kevin tidak bisa melihat detail — hujan t
Pukul 00.32 – Penthouse KevinHujan masih menghantam jendela kaca besar.Nadia duduk di sofa, dibungkus selimut tebal, wajahnya pucat.Matanya kosong.Kevin menyiapkan teh hangat, tapi tangannya gemetar.Ini pertama kalinya Kevin benar-benar melihat Nadia…hilang.Dia duduk di sebelah Nadia, pelan, takut membuatnya makin runtuh.“Nad…”Kevin menyentuh punggung tangan Nadia.Nadia terkejut kecil, lalu memalingkan wajah.“Sorry. Gue… gak bisa tenang.”Kevin menelan ludah.Napasnya pendek.“Lo boleh takut. Lo boleh nangis. Tapi lo gak sendirian.”Nadia menggigit bibir bawah, menahan tangis yang ingin meledak.“Kalau lo tau nama itu, Vin…segala hal tentang gue bakal berubah.”Kevin meraih wajah Nadia dengan kedua tangan, lembut.“Gue nggak peduli namanya.Gue peduli siapa yang bikin lo kayak gini.”Nadia menutup mata erat-erat.“Jangan paksa gue…”Kevin menunduk, menyentuh kening Nadia dengan keningnya.“Nad. Gue nggak mau kehilangan lo hanya karena rahasia yang lo simpan sendiri.”Nadia












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.