Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig
Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,
Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi
Bagian 1 Lelaki Bengis Lelaki berpakaian serba hitam bernama Ivan duduk di kursi agungnya. Ia membaca peta, di sana ada beberapa wilayah yang telah dilingkar dengan spidol merah. Pertanda wilayah itu harus segera ia bumi hanguskan umat islamnya. Salah satunya merupakan wilayah Hazakh, berbatasan langsung dengan negaranya, Balrus.“Sedikit lagi, setelah ini pangkatku akan naik dengan cepat. Aku akan mendapatkan banyak uang dan tunjangan berkali-kali lipat.” Ivan menyentuh dagunya yang licin. Tak ia izinkan beberapa helai janggut tumbuh di sana, sebab hal demikian terlarang di negaranya. Ponselnya berdering ketika ia tengah fokus pada strategi di depan laptopnya. Ia melirik sesaat, panggilan yang berasal dari istrinya tercinta. Lelaki itu mengabaikannya, ia tak punya waktu hanya sekedar basa-basi untuk menjawab pertanyaan yang sama setiap hari. Tak menyerah, ponselnya terus berkedip. Ivan lantas mereject panggilan dan hendak mematikan ponselnya. Namun, pesan masuk dari Sintia harus
Gadis berambut keriting bernama Gulaisha Amira itu mengemas perlengkapan kesehatannya. Ia baru saja memberikan obat pada penduduk di desa yang tak terlalu jauh dari rumahnya. Gu, ia kerap dipanggil demikian. Gadis itu ramah dan murah senyum dengan lesung pipinya. Tak sedikit pula lelaki yang mudah jatuh cinta padanya. Namun, ia pun termasuk gadis yang pemilih. Tak ingin menerima lamaran, sebab ia sedang melanjutkan jenjang pendidikan kedokterannya yang lebih tinggi.“Gu, cepat pergi dari sini wilayah perbatasan sedang digempur habis-habisan. Rumah kita pasti jadi sasaran?” Fani sahabat Gu datang tergesa-gesa. Ia baru saja mendapatkan laporan langsung dari saudaranya yang tinggal di dekat ribath. “Apa?” Oh, tidak keluargaku.” Gegas Gu berlari, kerudung ala kadar terlepas dan rambutnya terurai mengikuti arah angin. Gadis itu bersama Fani memasuki mobil putih fasilitas dari tempat mereka kuliah. “Apa saja berita yang kau dapat?” tanya Gu ketika mobil berjalan di antara rimbunan pepohon
Rambut Gu ditarik paksa oleh Ivan ke dalam kamar miliknya. Beberapa tentara wanita memandang atasannya dengan tatapan sarat makna. Mereka ingin berada di posisi Gu saat itu. Merupakan kehormatan jika bisa berada dalam situasi yang begitu mereka impikan. Namun, lelaki tersebut lebih memilih gadis muslim sebagai mangsanya. Bayangan wajah Sintia terlintas beberapa kali di benak Ivan, lalu lelaki berkepala plontos itu tepis secepat mungkin. Baginya tak ada masalah mencoba wanita lain seperti yang diutarakan oleh bawahannya di atas helikopter. Ia berhak sebagai pemimpin. Dan sudah biasa jika wanita selalu menjadi pelampiasan. Tentara bawahannya sudah sering melakukan itu. Lelaki berwajah bengis itu saja yang terlalu sayang dan menuruti perkataan istrinya. Ivan mengunci pintu kamar. Ia melempar Gu ke atas ranjang. Kamar di mana seumur hidup gadis itu jadikan tempat bernaung kini menjadi saksi bisu terenggut kehormatannya. Namun, gadis berambut keriting itu masih mencoba menyelamatkan diri
Gu yang masih lemah diseret oleh Ivan dengan kasar, tubuhnya dililit selimut. Gadis itu dipecundangi habis-habisan usai kehormatannya direnggut paksa berkali-kali. Namun, ia kini tengah tak berdaya. Tak ada pula yang datang menolong. Gadis itu pun bertanya di dalam hati, ke mana Rabb-nya? Mengapa tak menolong hamban yang sedang ditimpa kezaliman? Ivan membawanya masuk Gu ke helikopter. Ia dipertontonkan bagaimana wilayah Hazakh telah hampir separuhnya dikuasai. Terbukti dari berkibarnya bendera negara tempat lelaki bengis itu mengabdi. Dari atas helikopter Gu melihat bagaimana sebagian wilayahnya dibumi hanguskan. Tak sedikit pula ia lihat eksekusi mati bagi yang berani memberontak. Hatinya hancur dan terluka entah untuk yang keberapa kalinya. Ia menjerit dan menangis sejadi-jadinya demi meluapkan perasaannya. “Lemah!” hardik Ivan. “Bedebah. Penghuni neraka jahanam!” Gadis itu berteriak ke wajah Ivan. “Turunkan helikopter ke dekat sungai deras. Biar dia rasakan dinginnya air sung
Ivan turun dari helikopternya, tergesa-gesa ia berlari sembari menabrak kerumunan lainnya. Rumahnya telah hangus seperti yang digambarkan oleh bawahannya. Letak kediaman lelaki itu yang agak masuk ke dalam dan diantara dereten pohon pinus membuat orang-orang terlambat memanggil pemadam kebaran dan menolong. Ivan memperhatikan tiga jenazah di hadapannya, semuanya tertutup selimut putih. Ia buka perlahan-lahan sembari menguatkan hatinya. Sintia dan dua anaknya telah hangus di dalam rumahnya sendiri. Rumah yang ia bangun dengan susah payah. Lelaki itu kemudian pergi, tak kuat menahan pedih hati kehilangan orang-orang yang ia sayangi. Semua khayalannya tentang hidup mewah bergelimangan harta bersama keluarganya, musnah sudah. Ivan tak lagi punya tempat untuk pulang dan melepaskan lelah. *** Lelaki berwajah bengis itu memperhatikan sisa rumahnya. Ia berjalan ke arah rumah yang diberi garis batas keamanan. Foto-foto keluarganya hangus. Semua barang mahal yang ia beli pun lenyap tak bers