Share

Perubahan Sikap

“Mulai hari ini dan seterusnya kamu nggak usah buatin Mas bekel kerja lagi,” ujar Bima datar.

“Emang kenapa, Mas?”

“Kalau dibilang nggak usah ya nggak usah, lagian kan kasian kamu repot tiap pagi nyiapin bekel. Aku kan masih bisa beli di luar.”

“Tapi, Mas aku nggak pernah ngerasa direpotin, kamu kan suami aku dan itu emang udah kewajiban aku sebagai istri kamu.”

“Dan patuh sama perintah suami juga kan kewajiban seorang istri, bener nggak?” tanyanya menegaskan.

Aisyah menarik napas dalam, “Iya, Mas.”

            Bima bergegas berangkat kerja sedangkan Aisyah segera bersiap-siap ke luar rumah sebelum teman-teman mertuanya datang.

“Ma, semuanya sudah Aisyah siapin. Aku pamit ya.” Aisyah bersalaman lantas pergi

       Aisyah sudah lama diperlakukan menjadi orang asing hanya karena ia belum bisa memberikan keturunan untuk keluarga Bima meskipun demikian ia tak pernah menceritakan kepedihannya itu sedikit pun pada kedua orang tuanya. Perempuan malang itu berusaha sendiri mencari berbagai pengobatan medis ataupun herbal, namun hingga sekarang tak kunjung membuahkan hasil, saat-saat kritis seperti itu tak sedikit pun perhatian Bima tertuang padanya alih-alih memberikan support pada istrinya, Bima justru semakin membuat Aisyah terpuruk dalam keadaan itu. Aisyah seorang yang kuat dan pantang menyerah, ia tetap mempunyai harapan kelak ia bisa menjadi seorang ibu walau ia harus berjuang sendiri.

“Mas, aku udah masakin ceker ayam balado kesukaanmu,” ucap Aisyah sembari melontarkan senyum.

“Aku udah makan di luar tadi, kamu makan aja sendiri,” sahut Bima datar.

“Tumben, Mas makan di luar? Udah laper banget ya, Mas? Kalau besok-besok kayak gitu lagi Aisyah boleh kan bawain langsung ke kantor?”

“Kamu kok cerewet banget sih! Kamu mau mempermalukan aku di depan teman-teman kantor? Di bawain bekal segala kek anak kecil,” ucap Bima kesal.

“Aku kan nanya baik-baik, Mas. Nggak perlu marah-marah juga kan? Kalau Mas nggak mau aku nggak maksa kok.”

“Kamu ini emang hobi buat suami kamu marah ya!” timpal wanita tua itu dari ruang makan.

“Maaf, Ma.”

“Udah mending kamu jauh-jauh deh, Mas mau istirahat daripada panjang lebar urusannya aku males debat hari ini.”

“Di luar dingin, Mas. Mas mau aku siapin air anget buat mandi?”

“Kamu ini budek atau apa sih? Udah nggak usah peduli, sana jauh-jauh ilfeel aku liat kamu lama-lama.” 

Aisyah mengelus dada, “Astagfirullah, Mas.”

Mertua Aisyah hanya menatap tajam perempuan malang itu, berdalih menasehati anaknya agar tak berlaku demikian pada istrinya seperti biasa wanita tua itu sudah pasti akan membela anaknya yang sudah nyata salah.

“Mas, kamu sibuk nggak?”

“Kenapa?” sahutnya sembari menggosok-gosok rambutnya yang masih basah.

“Aku mau bicara masalah penting,” ucap Aisyah ragu.

“Masalah apa?”

“Kalau, Mas bulan ini nggak sibuk. Mas mau nggak kita jalanin program hamil lagi?”

Bima menepuk jidat, “Gila kamu ya! Ini udah yang keberapa kali? Kalau udah nggak bisa nggak usah mimpi deh kamu.”

“Mas! Bisa nggak kamu, nggak usah ngerendahin aku kayak gitu. Aku ini siapa sih di mata kamu? Kamu tu suami aku Mas harusnya kamu dukung aku di kondisi kayak gini.”

“Ya emang kenyataannya kayak gitu, kalau emang bisa udah dari dulu kamu hamil!”

“Mas, usaha itu dari kita berdua. Selama ini yang usaha itu cuma aku, berobat ke sana ke mari lagian selain kesehatan tubuh pentingnya menjaga kesehatan mental itu perlu! Kalau Mas bersikap kayak gini terus ke aku, aku lama-lama bisa stres tau nggak,” ucap Aisyah gemetar.

“Lagian kamu mimpinya ketinggian, aku kan udah bilang dari dulu kamu itu emang nggak bisa hamil! Udahlah terima nasib aja susah banget.”

“Mas! Sejak kapan sih hati nurani kamu hilang Mas? Mungkin ini sebabnya Allah belum ngasi kita keturunan. Kamu jadi suami yang baik untuk aku aja nggak bisa apalagi jadi seorang ayah nanti,” sahut Aisyah geram.

Tangan Bima meraih mulut Aisyah dan memegangnya dengan keras, “KAMU KALAU BICARA DIJAGA YA!” pekik Bima.

“Apa lagi ini, Mas? Akhir-akhir ini kamu udah banyak berubah! Sekarang kamu udah berani main tangan sama aku?” ucap Aisyah ketakutan.

Bima menatap Aisyah tajam dengan napas yang menggebu, “Sekali lagi aku kasi tau ke kamu ya! Kalau ngomong sama aku itu dijaga mulutnya, Paham!”

Pertikaian di antara keduanya semakin memanas.

“Mas, kenapa sih? Aku salah apa sama kamu, Mas.” Aisyah sudah tak bisa lagi membendung air matanya

“Kenapa? Kenapa? Kenapa? Aku muak dengar pertanyaan itu, kapan sih kamu sadar diri! Aku tuh capek tau nggak, capek! Aku sekarang cuma punya Mama dan sampai sekarang aku belum bisa bahagiain dia dan itu semua karena aku nikah sama perempuan MANDUL!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status