Lima tahun lalu, Nira pergi meninggalkan Raka tanpa sempat menjelaskan alasan sebenarnya. Waktu membuat mereka berubah—Nira kini wanita mandiri yang bekerja keras, sementara Raka menjadi sosok dingin dan berkuasa di perusahaan besar. Takdir mempertemukan mereka kembali, bukan sebagai sepasang kekasih, melainkan sebagai bawahan dan atasan. Setiap tatapan membawa kenangan lama, setiap kata menyinggung luka yang belum sembuh. Nira berusaha tetap profesional, tapi hatinya tahu… perasaannya pada Raka tak pernah benar-benar hilang. Namun, masa lalu yang mereka tinggalkan menyimpan rahasia besar—sebuah alasan yang dulu memaksa Nira pergi. Dan kali ini, ketika semuanya terungkap, mereka harus memilih: menyembuhkan luka bersama, atau kembali hancur untuk yang kedua kalinya.
View MoreSuara langkah sepatu beradu dengan lantai marmer, bergema di ruang lobi yang terlalu megah untuk ukuran perusahaan biasa.
Nira menarik napas dalam-dalam. Ini hari pertamanya bekerja di Raven Group, perusahaan besar yang baru saja membuka divisi baru—dan tempat ia berharap bisa memulai hidup dari awal. Tapi siapa sangka, justru di tempat inilah masa lalunya menunggu. “Nira Adisti?” suara resepsionis memanggilnya lembut. “Silakan langsung ke lantai dua belas. Pak Raka sudah menunggu.” Langkahnya sempat terhenti. Nama itu—Raka. Dada Nira terasa sesak, seperti baru saja ditusuk kenangan yang sudah lama berusaha ia kubur. Mungkinkah… Raka itu Raka yang sama? Ia sempat ingin bertanya, tapi lidahnya kelu. Hanya jantungnya yang berdetak makin cepat, seolah tahu lebih dulu jawabannya. Lima tahun. Lima tahun sejak hari terakhir ia melihat pria itu—dengan wajah penuh kecewa dan tatapan yang tak pernah ia lupakan. Pintu lift terbuka dengan bunyi ding lembut. Nira melangkah keluar, berusaha menata napasnya. Ruang kantor di lantai dua belas terasa dingin, rapi, dan kaku—semuanya memantulkan aura satu orang yang sangat ia kenal. “Masuk.” Suara itu dalam, tenang, tapi menusuk. Nira menelan ludah. Ia membuka pintu ruang kerja paling ujung, dan di sanalah ia melihatnya— Raka. Pria itu duduk di balik meja kaca besar, jas hitam membingkai bahunya yang tegas. Wajahnya sama, tapi lebih dingin, lebih dewasa. Tatapan matanya tak lagi lembut seperti dulu. Dan saat pandangan mereka bertemu, waktu seolah berhenti. Raka memandangi Nira tanpa ekspresi. “Lima tahun,” katanya datar. “Kau kembali, Nira.” Suaranya membuat seluruh tubuh Nira menegang. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi mulutnya terasa terkunci. Ia hanya bisa menunduk. “Saya… saya datang untuk bekerja, Pak.” Nada formal itu membuat bibir Raka menegang tipis, antara sinis dan getir. “Bagus. Di sini, semua orang bekerja. Tidak ada yang datang untuk menjelaskan masa lalu.” Kalimat itu seperti pisau yang diselipkan di antara senyuman. Nira hanya mengangguk pelan, berusaha tampak tenang, padahal dalam dadanya, perasaan campur aduk—rindu, takut, sesal—semuanya menumpuk jadi satu. Raka berdiri, menatapnya dalam-dalam. “Mulai hari ini, kau melapor langsung padaku. Aku ingin melihat sejauh apa kau bisa bertahan di bawah tekananku.” Untuk sesaat, Nira tak tahu apakah itu ancaman, atau tantangan. Yang jelas, ia sadar satu hal: pertemuan ini bukan kebetulan. Dan mungkin, Tuhan memang ingin memberinya kesempatan kedua… entah untuk menebus, atau kembali terluka. Setelah keluar dari ruangan itu, langkah Nira terasa berat. Ia menunduk, berjalan melewati lorong kantor dengan tatapan kosong. Beberapa karyawan yang lewat menatapnya penasaran, mungkin karena wajahnya pucat seperti kehilangan darah. Tapi Nira tidak peduli. Di dalam lift, ia menatap bayangan dirinya di dinding logam yang mengilap. Wajahnya masih sama—tapi matanya berbeda. Ada beban yang belum hilang. Ada luka yang masih tinggal di sana, bertahun-tahun lamanya. Ia memejamkan mata. "Aku sudah berjanji untuk tidak menangis lagi." Namun begitu pintu lift tertutup, sebutir air mata jatuh juga, diam-diam. Waktu makan siang tiba. Ruang pantry dipenuhi aroma kopi dan suara obrolan ringan antar karyawan. Nira duduk di sudut, memegang cangkir yang sejak tadi belum disentuh. Ia mencoba tersenyum setiap kali seseorang menyapanya, tapi pikirannya masih melayang pada sosok di ruang kerja tadi. “Baru hari pertama, tapi kelihatan tegang banget,” suara ceria terdengar dari samping. Nira menoleh. Seorang wanita berambut pendek tersenyum ramah padanya. “Aku Tia, HR di divisi sebelah. Kamu karyawan baru ya?” Nira mengangguk. “Iya. Nira.” “Wah, semangat ya. Tapi hati-hati, atasan di lantai dua belas itu... terkenal dingin banget. Banyak yang resign gara-gara nggak tahan.” Tia menurunkan suaranya sedikit. “Katanya, dia nggak pernah senyum sama siapa pun. Katanya juga, dia pernah disakiti seseorang sampai sekarang nggak bisa percaya lagi sama perempuan.” Tangan Nira membeku di atas meja. Tia tidak sadar apa yang baru saja ia katakan. Nira menelan ludah, mencoba tersenyum samar. “Oh ya? Sepertinya saya harus berhati-hati, ya.” Tia terkekeh. “Iya, hati-hati aja. Tapi kamu kelihatan kuat, kok. Semoga nggak kena semprot di minggu pertama.” Begitu Tia pergi, Nira menatap cangkir kopinya lama-lama. Kata-kata Tia masih menggema di kepalanya: disakiti seseorang. Ia tahu persis siapa orang itu. Dan rasa bersalah yang sudah lama ia tekan, tiba-tiba terasa begitu nyata. Sore hari, Raka berdiri di depan jendela ruang kerjanya. Dari lantai dua belas, ia bisa melihat pemandangan kota yang penuh lampu, tapi pikirannya justru tidak ke mana-mana. Baru hari pertama, tapi kehadiran Nira sudah mengacaukan ketenangan yang selama ini ia jaga dengan susah payah. Dia masih sama. Tatapannya, suaranya, bahkan cara dia menunduk pun tak berubah. Dan itu menyebalkan. Raka mengepalkan tangan. Lima tahun lalu, ia menunggu penjelasan yang tak pernah datang. Dan sekarang, wanita itu muncul begitu saja, seolah tak terjadi apa-apa. Ia menghela napas berat, lalu berbalik menuju meja kerjanya. Tapi pandangannya tertumbuk pada sebuah benda kecil yang terletak di laci bawah — sepotong liontin perak yang dulu pernah ia simpan, milik seseorang yang kini duduk di kantor yang sama dengannya. Raka menatapnya lama, sebelum menutup laci itu dengan keras. Wajahnya tetap tenang, tapi matanya menyimpan badai. Sementara itu, di meja kecil di ujung ruangan, Nira menatap layar komputer yang menampilkan ratusan file. Tangannya bergetar ringan. Ia mencoba fokus, tapi setiap kali melihat nama “Raka Adiputra” di surat elektronik, dadanya selalu bergetar aneh. Ia tahu, hubungan mereka sudah berakhir. Tapi perasaan… tidak semudah itu dimatikan. "Kau harus kuat, Nira," bisiknya pada diri sendiri. "Kau datang ke sini bukan untuk menangis, tapi untuk menebus apa yang sudah kau hancurkan." Namun jauh di dalam hati, Nira tahu — di balik setiap lembar laporan dan perintah kerja, ia sedang berjalan di atas kenangan lama yang bisa pecah kapan saja. Dan ketika jam kerja usai, ia sadar satu hal: Pertemuan tadi bukan akhir. Itu baru permulaan dari kisah yang belum selesai — kisah yang menunggu untuk disembuhkan, atau mungkin, diulang kembali dengan cara yang sama menyakitkannya.Pagi di Jakarta berjalan seperti biasa—padat, bising, dan terburu-buru. Tapi di hati Raka, segalanya terasa lambat, berat, seperti langkah yang tak tahu arah. Ia berdiri di balkon apartemennya, secangkir kopi hitam di tangan, memandangi jalanan yang mulai ramai di bawah sana.Ia tidak tidur semalaman.Kata-kata Nira terus terulang di kepalanya, seperti gema yang tak mau berhenti.> “Aku pergi karena ibuku sakit.”“Aku nggak mau jadi beban kamu, Raka.”Raka meneguk kopinya yang kini sudah dingin. Ia ingin percaya. Ia memang percaya. Tapi di balik semua itu, ada perasaan ganjil—seolah Nira masih menyembunyikan sesuatu. Ia tahu tatapan Nira semalam, cara matanya bergetar saat bicara. Itu bukan tatapan orang yang sudah berkata semuanya.Dan nalurinya jarang salah.---Beberapa jam kemudian, di kantor, suasana terasa tegang tapi tenang di permukaan. Semua orang sibuk dengan proyek masing-masing. Nira duduk di me
Hujan belum berhenti sejak sore.Langit gelap, diselimuti awan tebal, dan suara petir sesekali terdengar menggema di kejauhan. Di apartemen kecilnya, Nira duduk bersandar di sofa, menatap kosong ke arah jendela yang berembun. Di tangannya, secangkir teh sudah dingin. Di ponselnya, pesan dari Raka masih terbuka.> “Kamu bilang waktu itu harus memilih. Tapi siapa yang kamu pilih, Nira?”Ia menatap pesan itu lama, lalu meletakkan ponselnya di meja. Matanya terasa panas.Raka memang pantas marah. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk memendam luka tanpa penjelasan. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan hingga kini masih menghantui dirinya sendiri?---Lima tahun lalu.Hari itu, Nira berlari keluar dari rumah sakit dengan air mata menetes di wajah. Di tangannya, ia menggenggam surat hasil pemeriksaan—tulisan dokter yang dingin dan singkat, tapi menghancurkan seluruh dunianya.> “Ibu Sulastri men
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berembus lewat celah jendela ruang kerja Nira yang belum juga ia tutup, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Lampu-lampu gedung tinggi di luar berkelip samar, sementara di dalam ruangan, hanya bunyi kipas angin kecil dan detak jarum jam yang mengisi kesunyian. Nira menatap layar laptop yang masih menampilkan laporan desain yang belum selesai. Tapi pikirannya melayang entah ke mana. Ia mencoba fokus, tapi setiap kali menatap angka dan diagram, wajah Raka kembali muncul di benaknya—tatapan tajamnya, caranya diam tapi penuh arti, hingga nada suaranya yang kini terdengar lebih dalam, lebih dewasa… lebih dingin. Sudah dua hari sejak pertemuan itu di kafe. Dua hari sejak ia mengatakan bahwa ia tidak berniat kembali ke masa lalu, padahal hatinya berbohong. Dan dua hari juga sejak Raka mengirim pesan terakhir yang belum ia balas. “Kalau bukan cinta, lalu apa yang tersisa, Nira?” Pertanyaan itu terus menggema di kepala. Ia ing
Pagi itu, matahari terasa lebih terik dari biasanya. Nira menatap bayangannya di cermin kecil meja kerja. Wajahnya tampak lelah, lingkar hitam di bawah matanya samar-samar terlihat. Ia belum tidur sejak pertemuan tadi malam — kata-kata Raka terus berputar di kepalanya seperti lagu yang tak mau berhenti. “Kali ini, jangan pergi tanpa penjelasan.” Kalimat itu seperti tusukan lembut di dada. Raka masih marah, ya. Tapi di balik nada dinginnya, Nira tahu… ada sisa perasaan yang belum padam. Dan justru itu yang membuat segalanya makin rumit. Ia meneguk kopi dingin di mejanya, mencoba fokus pada layar komputer. Tapi huruf-huruf di monitor tampak kabur. Yang ia lihat hanyalah pantulan wajahnya sendiri — seorang perempuan yang mencoba terlihat kuat, padahal hatinya masih di masa lalu. Ketukan di pintu membuatnya tersadar. “Masuk,” katanya cepat. Reza muncul dengan senyum ramah. “Pagi, Bu Nira. Pak Raka minta tolong laporan revisi kemarin dikirim ke ruangannya jam sebelas, ya.” “Bai
Nira menatap jam dinding di ruangannya. Jarum panjang sudah lewat angka delapan, tapi jemarinya masih menekan-nekan papan keyboard dengan ritme gugup. Semua karyawan lain sudah pulang, lampu-lampu kantor mulai diredupkan, hanya tersisa cahaya putih dari layar komputer yang memantul di wajahnya. Satu pesan dari Raka sejak tadi tak juga ia buka. “Temui saya di ruang rapat lantai dua puluh pukul delapan malam.” Nada pesannya pendek, formal, seperti biasa. Tapi Nira tahu — ini bukan tentang pekerjaan. Dan justru karena itu, napasnya terasa berat sejak menerima pesan itu sore tadi. Sudah lima tahun. Lima tahun ia berusaha menata hidup, meyakinkan diri bahwa semua sudah selesai. Tapi begitu Raka kembali hadir di depan matanya, semua pertahanan itu ambruk seperti pasir tersapu ombak. Ia menarik napas panjang, menegakkan tubuh. “Aku harus hadapi ini,” bisiknya pada diri sendiri, meski suaranya nyaris tak terdengar. Ruang rapat di lantai dua puluh terasa terlalu besar malam itu. Lamp
Raka berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya. Langit Jakarta sore itu berwarna abu-abu pucat, seperti meniru isi kepalanya yang berantakan. Dari lantai dua puluh, dunia tampak kecil. Mobil-mobil berdesakan di bawah sana, orang-orang sibuk berlari mengejar waktu. Dan ia—berdiri di balik kaca, tampak tenang di luar, tapi di dalam dadanya, badai sedang berkecamuk. Lima tahun. Sudah lima tahun ia hidup dengan kesibukan, dengan kerja keras, dengan ambisi yang menumpuk—semua demi melupakan satu nama: Nira. Namun semua usahanya runtuh hanya dalam satu detik ketika pagi tadi perempuan itu melangkah masuk ke ruangannya, dengan wajah yang sama, senyum yang sama, dan tatapan yang sama… hanya sedikit lebih lelah. Ia memejamkan mata, menghembuskan napas panjang. Rasanya seperti diseret kembali ke masa lalu—ke malam terakhir sebelum Nira pergi. Ia masih ingat hujan deras di luar jendela, aroma kopi yang mulai dingin di meja, dan pesan singkat di ponselnya: “Maaf, Rak. Aku harus pergi.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments