BAB 56 - Pov Author
Sembilan bulan kemudian
“Ma, gimana Sinta dan bayinya?” Ashraf datang dengn tergopoh. Sementara Danes berdiri mematung menatap ekspresi wajah ayahnya yang tampak penuh kekhawatiran.
“Kamu tuh, ya … enggak anak pertama, enggak anak kedua datangnya telat terus, Ash … udah kayak polisi India tahu!” gerutu Nyonya Maisa sambil menatap kesal pada putranya.
Ashraf menarik napas kasar.
“Ya, namanya macet mana bisa dihindari! Ini aja udah kecepatan maksimal, Ma!” ucapnya sambil melangkahkan kakinya menuju ruang bersalin.
“Boss! Anakku laki-laki! Yes!” Tiba-tiba suara yang tidak asing muncul dari balik pintu ruang bersalin yang bersebelahan dengan ruang Sinta. Mike tampak sumringah mengabarkan kebahagiaan yang begitu besar di rasakannya.
“Congrats!” ucap Ashraf sambil melempar sekilas senyum pada wajah sumringah lelaki yang baru saja membuktikan jika dia m
Sequel 1 - Dinikahi Konglomerat MJD 1 Namaku Adinda Putri Hartawan. Putri pertama dari Restika Serena Hartawan dengan ayah Indra. Menjadi salah satu pewaris kerajaan bisnis hartawan grup menjadi beban tersendiri buatku. Selama menjalani kehidupan, aku selalu bertemu dengan orang-orang baik. Aku jadi ragu, apakah kebaikan mereka benar-benar dari hati? Ataukah hanya karena mereka tahu jika keluargaku termasuk dalam deretan orang terkaya di Indonesia? Dengan segala usaha akhirnya aku bisa meyakinkan kedua orang tuaku. Aku akan baik-baik saja dengan semua pilihan ini. Aku ingin menjadi diri sendiri dan keluar dari zona nyaman ini. Setelah lulus sekolah SMA aku tidak langsung melanjutkan kuliah. Aku tidak ingin ada teman sekelasku yang tahu jati diriku. Selama satu tahun aku memutuskan unt
SEQUEL 1 - DINIKAHI KONGLOMERAT MJD2 Di kontrakan tiga petak. “Din … pinjem lipcream dong!” Kepala Susan muncul dari ambang pintu kontrakan petakan. “Maskara yang tadi pagi kamu pinjem mana? Balikin dulu!” ucapku sambil masih menyandarkan tubuh pada dinding kontrakan. Mataku masih menyaksikan berita di televisi terkait berita geliat bisnis di tanah air. “Ah elaaah! Maskara sama lipcream itu dua hal yang berbeda … aku masih mau pake juga, entar kubalikin bareng, deh!” “Janji, ya!” Aku meliriknya sambil mencari kebenaran dari tatap matanya. “Janji, dong! Kita kan temaaan!” ucapnya sambil mengacungkan jari jempol ke arahku.
MJD 3 “Jadi kamu lebih memilih berdua sama wanita miskin di kontrakan sempit seperti ini daripada menemaniku jalan-jalan pagi?” matanya memicing tajam.Cecilia Pradipta Putri, gadis bermata sipit dengan rambut sebahu itu menyilangkan tangan di dada. Dia sudah berdiri dengan pongah sambil menatap ke arah kami.Dwi Rama menoleh padaku sekilas, kemudian berdiri. Lelaki itu menghampiri Cecilia---wanita yang sudah lama tergila-gila padanya.“Cecil … kamu kho ngomongnya gitu?” ucapnya. Dwi Rama tidak mungkin berkata kasar, menolak maupun melawan. Karena posisinya di perusahaan bisa-bisa dipertaruhkan. Aku sudah tahu itu dari rekan-rekan kerja yang lain.“Kamu mau aku bilangin Papah kalau kamu sudah bohongin aku, putri kesayangannya?” Kulihat gadis itu memanyunkan bibirnya manja sambil menatap lelaki yang masih berdiri tidak jauh darinya itu.Dwi Rama menghela napas. Dia menoleh ke
Amplop itu masih tergeletak didekat kakiku. Sementara gadis itu pergi begitu saja meninggalkanku.Tuti datang dari dalam sambil mengibas-ibaskan tangannya yang masih basah. Dia melirik amplop yang tergeletak didekat kakiku.“Eh amplop apaan itu? BTW tadi ada suara siapa?”Dia jongkok memungut amplop itu.“Dari Lina,” jawabku singkat sambil menatapnya.“Oh,” ucapnya sambil memonyongkan bibirnya. Dia melihat ke dalam amplop itu dan memeriksanya.“Kenapa dia marah-marah?” selidikku.“Biasalah, Din … aku butuh suntikan dana … mungkin dia bosan minj
"Apakah kemarin itu dia berbohong? Mengatakan ibunya sakit dan membutuhkan uang?”Kulihat Tuti dan lelaki itu berjalan bergandengan menuju sebuah sepeda motor mega pro yang terparkir tidak jauh dari sana. Mereka duduk berboncengan dan melaju berbaur dengan keramaian.Aku menatap punggungnya yang perlahan menghilang ditelan belokan. Ternyata aku masih benar-benar mentah di dunia luar ini. Tuti yang kukasihani ternyata hanyalah seseorang yang pandai berakting. Rupanya salah ada satu jenisskillbaru yang kini kutahu yaitu keahlian berpura-pura.“Eh, pagi-pagi ngelamun? Kamu mikirin apa, sih?”Dwi Rama sudah datang dengan membawa dua porsi sarapan. Dia satukan dalam satu plastik berwarna putih.“Enggak,” jawabku dengan malas.Dia malah terkekeh kemudian menyalakan kembali mobiln
"Apakah dia orang kaya yang menyamar sepertiku? Ataukah dia pebisnis barang haram terlarang yang sedang bersembunyi dari buronan polisi?” Otakku mulai menerka-nerka sambil tak luput memperhatikan gerak-geriknya.Dia terburu-buru menyimpan gawai mahalnya kembali ke dalam saku jaket itu setelah selesai menelpon. Aku berdiri dan menghampirinya untuk membayar satu porsi ketoprak yang rasanya agak berbeda dari ketoprak yang biasa kubeli. Enak sih, tapi agak aneh.“Berapa, Bang?” Aku berdiri dan menghampirinya.“Sepuluh ribu,” jawabnya singkat. Wajahnya tetap sedingin salju.“Duhhh … bikin greget aja, sih!” batinku sambil menyodorkan uang selembar lima puluh ribuan padanya.Dia menerimany
Aku melempar pandang sembarang. Namun siapa sangka seseorang ternyata tengah berdiri mematung di samping gerobaknya di seberang jalan. Sedang apa lelaki salju itu di sana? Kenapa dia seperti melihat ke arahku?“Kenapa aku jadi geer gini … lagipula siapa aku sampe harus diperhatikannya!” gumamku sambil memutar kembali tubuhku, terus berjalan melewati pintu gerbang.Aku menyapa security yang berjaga hari ini.“Pagi, Mbak Dinda!”Yang jaga hari ini rupanya Irwan---security paling sok keren di sini. Aku tersenyum dan menganggukan kepala.“Pagi Pak Irwan … wah rambutnya hari ini rapi sekali, ya?” sapaku sambil terus berlalu.Kulihat
"Hah, kenapa juga jadi dia yang repot … justru ini semakin menarik, bagaimana mungkin aku akan kalah jika yang memutuskan ditolak atau diterimanya sebuah keputusan itu ada di tanganku!”Kita lihat nanti apa yang akan kuberikan padamu, Mak Lampir. Selamat menunggu hari yang akan berkesan sepanjang hidupmu.Aku berjalan kembali ke kubikel tempatku bekerja. Menghabiskan hari ini dengan bosan. Sesekali melihat jam, mengambil air minum, membuat teh. Kapan kerjanya? Ya gitu, ketika pikiran sedang tidak sinkron hanya ini yang terbayang untuk dilakukan.Eh tiba-tiba teringat tukang ketoprak jaim. Gimana dia ya kalau jualannya lagi rame? Tetap cool kayak tadi gak ya? Eh, terus kalau dia kerja di kantoran kayaknya keren, ya? Tapi kho ganteng-ganteng mau ya jualan ketoprak?Pi