BAB 2
Aku kembali berjalan menuju dapur dan meneruskan memarut kelapa. Pekerjaan yang tadi kutinggalkan. Setelah selesai memarut, kuremas hasil parutannya dan kubuat santan. Kemudian kuserahkan pada Wa Imah untuk melengkapi masakan rendangnya.
Sementara itu aku menyalakan kompor dan mulai menggoreng ayam ungkep ayam yang sudah Wa Imah tiriskan.
Ponselku kembali bergetar. Beberapa notifikasi pesan masuk.
“Nomor baru lagi?” Aku menghela napas melihat nomor baru pada layar ponselku. Segera kuusap layar dan kubuka pesan yang masuk.
[Heyyy! Gadis kampung! Ini peringatan saya yang ke sekian! Kamu pake guna-guna apa hah?! Cepetan hilangkan ilmu hitam yang kamu kirimkan pada Ashraf! Kamu tidak pantas menjadi menantu di keluarga Adireja!]
[Saya peringatkan lagi! Saya tidak main-main dengan ancaman saya! Jika kamu masih tidak mau mundur dan bercerai dari Ashraf! Jangan salahkan saya kalau kamu akan mati atau saya buat cacat seumur hidup!!!]
Aku menghela napas panjang. Sehari setelah aku menerima lamaran Tuan Muda Ashraf, aku selalu mendapatkan terror dari nomor yang tidak dikenal. Awalnya aku mengabaikannya, tetapi tidak hanya satu kali aku mendapatkan terror serupa. Hampir setiap hari.
Sudah kublokir, tapi pasti dia akan muncul lagi dengan nomor yang lainnya. Setiap kutelepon, nomor itu sudah tidak aktif.
Terkadang tengah malam dia mengirimkan gambar-gambar yang mengerikan. Gambar orang yang dibunuh, atau ditabrak terkadang mengirimkan gambar orang memegang pistol dengan disertai ancaman-ancaman serupa. Dia mengancam akan membunuhku atau membuatku cacat seumur hidup jika tidak meninggalkan Tuan Muda Ashraf yang kini telah resmi menjadi suamiku.
Hal ini juga sebetulnya yang membuatku meminta pada suamiku untuk membuat acara pernikahan dengan tertutup. Hanya beberapa keluarga yang hadir. Aku pun memintanya menunda acara resepsi pernikahan kami. Namun aku belum memberitahukan alasan yang sebenarnya.
Sebuah pernikahan dadakan yang tidak kutahu dengan pasti penyebabnya. Terkadang aku berpikir apakah Tuan Muda Ashraf sakit hati dengan seorang wanita dan menjadikanku pelarian saja? Namun melihat perlakuannya, aku kembali menepis prasangka itu. Dia sangat baik memperlakukanku.
Selama hampir dua minggu usia pernikahan kami, selama itu pula pesan-pesan terror dan ancaman selalu kuterima. Aku belum menceritakannya pada siapapun termasuk pada suamiku sendiri.
Bagaimanapun aku masih terlalu sungkan dengannya. Kami menikah tanpa proses pacaran, langsung proses lamaran, kemudian menikah.
Karenanya aku membiarkan saja ketika ayahku mengira jika suamiku hanya seorang supir di keluarga Adireja. Aku masih teringat Ketika ayah bicara.
“Ta, kalau orang kaya nyari supir aja udah kayak artis ya? Ganteng dan keren! Kalau supirnya sekeren ini, gimana dengan majikannya, ya?” ucapnya Ketika pertama kali bertemu dengan Tuan Muda Ashraf. Aku hanya tersenyum.
Tuan muda Ashraf hanya datang ke rumahku sekali untuk memintaku pada ayah. Keluargaku mengira calon suamiku hanya seorang pembantu juga di sana. Tidak ada satupun keluarga yang hadir pada waktu itu, baik itu kakak-kakak dari ibuku, saudara sepupuku maupun kakekku sendiri. Kasta mereka terlalu tinggi. Mereka berkelas dan kami rendahan.
Beberapa tetangga ada yang datang membantu menyiapkan hidangan sebetulnya, tapi mereka pun tidak tahu pastinya siapa calon suamiku. Terlebih ayahku yang sudah berkoar-koar tentang profesi calon suamiku yang katanya adalah supir.
Tuan Muda Ashraf hanya datang ditemani ajudannya waktu itu. Karena memang aku meminta jangan membawa banyak orang. Bagaimanapun aku takut dia akan malu pada keluarganya yang lain ketika melihat kondisi gubuk reyotku.
“Ta! Becus kerja gak sih?!”
Suara Teh Selvi membuatku terperanjat.
“Astagfirulloh!” pekikku sambil mematikan kompor. Ayam yang kugoreng ternyata sudah gosong dan berasap.
“Udah dua tahun jadi babu di kota, tetep aja gak becus kerja! Untung majikanmu gak pecat kamu! Kelas rendahan kayak kamu ‘kan bertebaran, tinggal menjentikan jari ganti deh! Babu rendahan!” cibirnya lagi.
Aku menarik napas panjang. Pikiranku saja sedang kacau sekarang dengan pesan-pesan terror itu. Ditambah omelan dari mulut cabenya Teh Selvi.
“Kalau semua ayam yang kamu goreng gosong? Kamu pergi lagi ke pasar beli ayam lagi pake duit kamu sendiri, punya gak?” cibirnya sambil menuang air ke dalam gelas dan berjalan menghampiriku yang sedang mengangkat ayam yang gosong.
“Udahlah Teh, gaji babu cuma berapa, beda sama Teteh yang kerja kantoran! Kasian kalau suruh ganti! Lagian emang Teh Selvi mau makan ayam yang dibeli dari hasil kuli rendahan kayak gitu,” cibir Teh Rema yang baru saja datang. Dia meletakkan semua piring dan gelas kotor begitu saja kemudian pergi.
“Ta, cuciin semua! Tangan kami takut rusak nanti! Tuh kamu kan lihat kuku cantik kami, kemarin kami habis perawatan,” ucap Teh Rema lagi sambil memamerkan kuku-kukunya yang penuh dengan kutek.
“Kami ‘kan mau menghadiri acara besar, harus tampil cantik maksimal iya, gak?”Teh Rema melirik Teh Selvi.
Mereka tertawa meledek sambil berlalu. Aku tidak ingat jika di pojok dapur ada wanita berhati lembut itu. Ketika kumenoleh, ibu tengah menyeka air matanya. Aku menghampirinya.
“Ibu kenapa?” Dia memelukku.
“Maafin ibu sama ayah kamu, Ta! Kalau saja kami punya uang dan menyekolahkan kamu tinggi, mungkin kakak-kakak sepupumu tidak akan merendahkanmu seperti ini?” isaknya. Wa Imah hanya sesekali melirik ke arahku dan ibu.
“Bu, sudahlah! Sinta tidak apa-apa! Tuhan tidak akan salah memilih orang yang akan Dia tinggikan, Allah tidak hanya melihat dari pendidikannya. Apakah ibu pernah mendengar jika Nabi Muhammad kuliah S1 atau S2, enggak ‘kan Bu? Meskipun seluruh dunia merendahkan orang itu, jika Allah meninggikannya semua bisa apa? Ibu hanya perlu mendoakanku agar tetap menjadi orang yang penuh syukur dan berada di jalan-Nya. Ibu mau kan jika Allah memilihku dan meninggikan derajat kita suatu hari nanti?”
Pov Author Selamat Membaca! Maafkan kalau kurang maksimal. Masih oleng Mak Othornya 😁 Rumah Madina dan Alka sudah ramai sejak pagi. Beberapa tetangga turut rewang karena untuk pertama kalinya Madina dan Alka akan menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilan untuk cucu pertamanya. Awalnya Nyonya Sinta bersikeras agar semua perayaan dilaksanakan di rumahnya. Namun Madina menolak, karena ingin terlibat langsung dalam syukuran calon cucu pertamanya itu. Meskipun demikian, Tuan Ashraf tidak kalah antusias dalam menyambut kehadiran cucu-cucunya. Lelaki yang masih terlihat jelas garis ketampanannya itu tidak mau tinggal diam. Sejak pagi, semua orang dibuat berdecak kagum dengan kiriman beragam makanan dengan kualitas premium ke kediaman besannya. Beragam makanan itu untuk
Pov Author Selamat Membaca! Alma menelan saliva. Benar-benar gugup dan takut. Khawatir jika dirinya memang belum hamil. Tidak kuasa melihat wajah Arya kecewa nanti. “Bismillah, semoga Engkau memudahkan segalanya,” batinnya. Arya menuju ke bagian pendaftaran. Beberapa pasang mata tampak mencuri-curi pandang pada lelaki yang menggamit jemarinya itu. Tampak mereka mengusap perutnya, mungkin berharap memiliki anak rupawan seperti lelaki gagah yang membersamai Alma. Usai daftar. Mereka duduk berjejeran dengan beberapa wanita hamil. Namanya juga poli kandungan, isinya kebanyakan wanita-wanita hamil pastinya. Tampak mereka bersama masing-masing pasangan. Hanya ada satu orang yang tampak sendirian, hamilnya sudah kentara mungkin sudah tujuh bulanan. “Hamil
Pov Alma (bulan madu) Extra part Gaess! Selamat Membaca! Coba komen yang masih hadir di sini! 😁 Hari ini kami sudah berada di salah satu tempat yang jauh dari keramaian. Kata Bang Arya kami ini sedang bulan madu. Di sini hanya ada kami berdua. Entah seberapa kaya suamiku ini. Satu area pulau ini katanya hanya di sewa oleh kami selama seminggu. Selain para pekerja yang memang ada, tidak ada lagi pengunjung lainnya. Bang Arya melingkarkan lengan kekarnya pada pinggangku. Aku menyandarkan kepalaku yang tak terbalut kerudung ini pada dada bidangnya. Kami duduk bersisian tanpa cela. Sesiang ini masih betah menikmati suasana cottage terbuka yang kami tempati. Dari sini, kami bisa langsung menatap indahnya riak gelombang lautan. Hembusan angin sepoi yang mendamaikan.&n
Pov Author “Bang, ini aku Alma---istrimu. Sadarlah, Bang! Maafkan aku yang bodoh ini! Kalau kamu sadar, aku berjanji akan mengabulkan apapun keinginanmu, Bang! Sadarlah, Bang!” ucapnya sambil terisak. Alma duduk pada kursi di tepi ranjang tempatnya berbaring. Detak jam dinding terdengar. Entah sudah berapa lama dia berbicara sendiri hingga akhirnya terlelap. Tiba-tiba dia menatap sosok berpakaian putih itu datang mendekat. Dia mengusap pucuk kepalanya dan berbisik. “Terima kasih, Dek … terima kasih sudah menjagaku,” lirihnya lembut. Wajahnya tampak. Gerak jemari yang digenggamnya membuat Alma mengerjap. Rupanya dia kembali tertidur dan bermimpi bertemu dengan Arya. “Bang, kamu sudah sadar?” Alma menata
Pov Alma Selamat Membaca! “Alma! Maafkan aku. Rumah tangga ini tidak bisa kita lanjutkan! Terima kasih sudah memberiku kebebasan! Aku bisa leluasa memilih hidupku ke depannya! Aku pergi … jaga diri baik-baik!” “B—Bang, B—Bang Arya!” Satu sentuhan mengguncang bahuku. Aku mengerjap ditengah isak. Rupanya aku tertidur selepas shalat isya tadi di kamar belakang. “Ma, kamu kenapa? Mimpi?” Anggrainin tengah menatapku. “Astagfirulloh ....” Aku menyeka sudut mata yang hangat. Aku menangis. Isaknya terbawa ke alam nyata. Barusan aku bermimpi, Bang Arya benar-benar terasa nyata. Dia memakai pakaian
Pov Author Selamat Membaca! Pikiran Arya berkecamuk. Semua campur aduk menjadi satu. Kalimat demi kalimat yang Azka ucapkan membuat dirinya benar-benar tidak bisa berpikir dengan baik. Ya, memang foto itu benar, dirinya dan Naila pernah mengikat janji untuk menua bersama. Semua yang Azka ucapkan itu benar, dia menikahi Alma karena pernah berjanji jika dia akan membalas hutang nyawa pada Azka dengan cara apapun juga. Menikahi Alma tanpa cinta, itu juga benar. Awalnya dia memperlakukan dengan baik karena rasa tanggung jawab akan amanah dari sahabatnya itu. Harusnya Arya senang ketika lelaki itu tidak lagi menuntutnya untuknya terkungkung dalam hutang budi. Dia sudah bisa bebas kembali ke dalam kehidupannya tanpa terikat janji pada Azka untuk memperla