Saat sudah berada di meja kerja, aku seperti biasa menjalankan rutinitas sebagai sekretaris. Menyalakan laptop, mengecek jadwal kerja bos hari ini, dan mengingatkan semua jadwal meeting agar tidak lupa. Namun, baru saja membuka dokumen buat dikerjakan, Mbak Sila datang sambil cengar-cengir seperti orang habis ditampar uang seratus juta. Benar-benar bahagia banget kalau dilihat.
"Ki."
"Hmm."
Aku mencoba tetap fokus menatap laptop meski telinga sudah dipasang buat dengarin berita terbaru dari ratu gibah kantor. Pasti ada sesuatu yang akan Mbak Sila katakan nih.
"Aku denger kabar burung katanya kantor kita bakalan kedatangan boss baru gitu, emang bener, Ki?"
"Nggak tahu deh, Mbak."
"Ih, kamu gimana sih, Ki. Masa sekretaris Pak Haidar nggak tahu berita soal ini!?"
"Duh! Aku jarang buka grup chat, Mbak."
"Ih sumpah kamu ngeselin banget, Ki! Tapi, bye the way kalau ada info apapun soal kantor ini jangan pelit lah sama kita-kita, Ki. Lagian berbagi info tuh sama aja sedekah tahu, Ki."
"Iya, Mbak, nanti aku bagi info kalau ada berita heboh."
"Nah, gitu dong."
Setelah mendengar jawabanku barusan, Mbak Silla langsung pergi menuju ke ruangan divisi keuangan. Benarkan apa kataku, Mbak Sila ke sini pasti ada maunya. Kalau bukan gosip baru, pasti ngajak makan.
Merasa nanti akan ada meeting, dengan cepat aku mengerjakan dokumen yang akan dipresentasikan oleh Pak Bos. Aku sedikit melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Mendadak perasaanku merasa aneh, tumben sekali jam segini Pak Haidar belum datang ke kantor. Biasanya dia manusia paling tepat waktu.
Baru saja membatin, tiba-tiba Pak Haidar nongol, namun ekspresinya tampak berbeda. Auranya tampak terlihat bahagia dan bersinar. Namun ... tunggu, beliau datang bersama siapa? Entah kenapa parasnya sungguh memesona.
Masha Allah, nikmat mana lagi yang engkau dustakan.
"Pagi, Ki," sapa Pak Haidar dengan senyum khasnya.
"Pagi, Pak." Aku membalas sapaan Pak Haidar dengan senyum terbaik. Apalagi di sampingnya ada laki-laki tampan yang membuat jantungku mendadak berdegup kencang.
"Tolong siapkan meeting pagi ini, sepuluh menit lagi, ya, Ki," titah Pak Haidar.
"Baik, Pak," jawabku cepat
Saat Pak Haidar dan laki-laki itu berjalan melewatiku berdiri, kedua mataku sulit sekali untuk dikontrol. Entah kenapa lagi-lagi ingin melirik ke arah ruangan Pak Haidar. Laki-laki itu memiliki bentuk postur tubuh tinggi tegap, atletis, hidung mancung, tatapan matanya juga tampak tajam, ditambah dagunya yang ditumbuhi bewok, membuatku mendadak pengin mengusap lembut.
Tanpa sadar aku berkhayal menikah dengan laki-laki itu. Membayangkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawadah warohmah. Apalagi parasku juga cantik, dan dia tampan. Sudah pasti kita berdua akan menghasilkan bibit unggul.
"Mbak Kiki."
Lagi asyik berkhayal mendadak dikejutkan dengan suara lantang milik Joko. Entah kenapa dia tiba-tiba berada di depan meja kerjaku.
"Apa Joko!?" jawabku ketus.
"Pagi-pagi udah ngelamun, ini kopinya," katanya sambil tersenyum dan menaruh cangkir yang berisi kopi sesuai pesananku.
Joko ini merupakan office boy di sini, pahalanya banyak banget itu anak. Secara dia sering disuruh-suruh anak kantor buat beli gorengan, beli es. Pokoknya kehadiran Joko ini sangat membantu.
"Udah sana pergi, ngapain masih berdiri di sini!?" usirku sambil mengibaskan tangan agar Joko segera pergi dari depan meja kerjaku.
"Ada gosip baru Mbak," bisiknya sambil celingak-celinguk ke arah kanan kiri.
"Apa!?" tanyaku penasaran.
Meski office boy, Joko ini juga anggota grup chat GIBAH SQUAD. Dan lebih parahnya lagi, sinyal gosipnya Joko itu sama seperti Mbak Sila. Sama-sama kenceng.
"Tadi Pak Haidar ke sini sama anaknya yang bakalan gantikan posisi beliau."
"Seriusan!? Jangan bohong kamu, Joko!"
"Seriusan Mbak, buka grup aja. Mbak Sila, Sofi sama Bang Rinto udah heboh di sana."
Hmmm, pantes aja dari tadi ponsel milikku getar terus. Ternyata lagi gibahin bos baru. Sepertinya harus nongol nih kalau gibahin laki-laki tampan.
"Ya udah Mbak, aku mau nganter kopi ke ruangan Mbak Sila."
"Oke, jangan lupa info-info gosip terbaru. Bila perlu japri aja seperti biasa."
"Sip, Mbak."
"Astaga!" teriakku kencang yang membuat Joko mendadak berhenti jalan dan menatap ke arahku.
"Kenapa Mbak? kopinya kurang gula?"
"Bukan! Aku lupa kalau disuruh Pak Bos buat siapin meeting, mampus ajalah kalau begini, mana sepuluh menit lagi!" dumelku terus menggerutu.
Dengan gerakan cepat, aku mengambil gagang telepon untuk menelepon bagian-bagian divisi yang akan mengikuti meeting dadakan ini.
Selesai menelepon semua petinggi di setiap divisi untuk segera berkumpul di ruang meeting, hatiku merasa lega karena lolos dari semprotan boss.
Dan, ketika baru akan duduk, Pak Haidar keluar dari ruang kerjanya bersama laki-laki tampan itu. Dengan cepat pula aku menunduk hormat, dan tersenyum dengan manis.
"Kita ke ruang meeting sekarang, Ki."
"Baik, Pak."
Tak mau membuat kesal, aku langsung mengambil buku agenda serta bolpoin untuk mencatat poin-poin penting.
Bisa aku lihat ekspresi dari Mbak Sila yang langsung melotot ketika melihat laki-laki tampan itu. Bener-bener itu emak-emak satu matanya ganjen. Padahal udah punya suami sama anak.
"Gila, Ki, cakep banget begitu. Pepet terus, Ki," bisik Mbak Sila.
"Kalau gitu doain aja dia jodohku, Mbak."
"Pasti, Ki. Tapi, siap-siap jadi yang kedua aja, ya."
"Maksudnya!?"
Aku menatap Mbak Sila yang mesam-mesem sendiri. Entah apa maksudnya dengan jadikan yang kedua. Mirip judul lagu nggak, sih? Kelakuan senior di sini emang sukanya aneh-aneh, kadang bikin kepalaku pusing sendiri. Segala macam harga skincare aja jadi bahan gibah.
Pandanganku langsung menatap ke arah Pak Haidar yang tengah membuka meeting pagi ini. Aku langsung memegang bolpoin untuk bersiap-siap mencatat segala hal yang penting.
Aku terus mendengarkan ucapan Pak Haidar yang terus bercerita tentang perusahaannya ini. Hingga tiba sebuah pernyataan yang membuat diriku begitu terkejut.
"Perkenalkan nama saya Melviano Azekiel, dan saya akan menggantikan posisi Ayah di kantor ini. Dimohon untuk kerja sama yang baik untuk ke depannya."
Semua anggota meeting langsung berdiri, dan menunduk ke arah bos baru itu. Dengan cepat pula aku ikutan menunduk.
Kini aku melihat Pak Haidar tengah memperkenalkan petinggi di setiap divisi yang ikut meeting kepada anaknya itu. Hingga akhirnya kini giliranku yang diperkenalkan oleh Pak Haidar kepadanya.
"Ini namanya Shakira Intan Ayu, biasa dipanggil Kiki. Nanti dia akan jadi sekretaris kamu, kalau kamu butuh sesuatu minta bantuan saja sama Kiki."
Aku tetap tersenyum manis meski dalam hati merasa dag-dig-dug melihat tatapan tajam dari calon bos baru. Cara menatapnya itu bikin merinding disko gitu, benar-benar nyeremin.
"Kalau begitu meeting ini saya cukupkan sekian. Hanya itu saja yang saya sampaikan, kalau mulai hari ini anak saya yang akan menggantikan posisi saya. Jadi mulai besok dan seterusnya kalian akan bertemu, dan dipimpin oleh anak saya. Terima kasih, dan selamat pagi," kata Pak Haidar yang langsung pergi keluar ruang meeting bersama anaknya itu.
Dengan cepat aku langsung mengusap keringat di dahi. Padahal ruangan meeting ini ber-AC, tapi entah kenapa aku merasa gerah selama meeting. Mbak Sila pun langsung menyenggol lenganku cukup kencang.
"Apa Mbak?"
"Mantep tuh, Ki. Dapat bos masih muda, tampan, seksi, pasti kerjamu makin semangat deh. Nggak disodorin kakek-kakek tua macam Pak Haidar."
"Eh, Mbak ngaco deh, gitu-gitu bos kita lho."
"Iya sih bos kita, tapi kerja sama dia kudu perfect banget bikin kepalaku stres. Parahnya bikin muka jerawatan mendadak."
"Emang dasar muka kamu aja yang berminyak, Mbak."
"Eh sialan! Btw, divisiku ada anak baru lho."
"Hah, hari ini udah masuk anak barunya?"
Mbak Sila mengangguk sambil tersenyum miring menatapku. Entah kenapa feelingku rada nggak enak melihat ekspresi muka Mbak Sila.
"Kenapa ekspresinya begitu?"
"Boobs dia lebih gede dari pada punyaku."
"Hahahaha." Sumpah demi apapun aku langsung tertawa ngakak pas Mbak Sila ngomong kalau boobs anak baru lebih gede dari dia. Apalagi ekspresi Mbak Sila langsung cemberut gitu. Sumpah kocak banget. Aku cuma bisa menggeleng aja dengar ocehan Mbak Sila yang kesal dengan anak baru.
"Jangan galak-galak Mbak, nanti dia resign. Soalnya udah sering gonta-ganti staf terus."
"Kata siapa!? Kamu aja baru enam bulan di sini."
"Kata Bang Rinto lah."
"Eh kampret tuh si Rinto."
"Hahahaha, udah nggak usah manyun-manyun. Entar gedein aja lagi Mbak boobsnya."
Sumpah demi apapun, aku masih aja ngakak sampai air mata keluar saking lucunya.
"Ih, gila kita tinggal berdua doang di sini. Bisa mampus kalau telat," gumamku baru nyadar kalau di ruang meeting tinggal Mbak Sila sama aku doang. Saking asyiknya gibahin boobs jadi lupa segalanya.
Dengan cepat aku meraih buku serta bolpoin, telingaku mendengar teriakan Mbak Sila yang memanggil namaku. Kali ini, aku benar-benar nggak pedulikan teriakan Mbak Sila karena nyawaku lebih penting saat ini.
Aku mendesah lega saat sampai di meja kerja, baru saja mendaratkan bokong untuk duduk. Telepon sudah berdering kencang yang bikin aku sedikit kaget.
Ah, sialan.
"Selamat pa—"
"Masuk ke ruangan cepat!"
"Heh."
Tut. Tut. Tut.
Tanpa sadar aku menggigit bibir bawah karena merasa deg-degan. Yang telepon barusan itu bukan suara Pak Haidar. Entah kenapa perasaanku mendadak tak enak, dan takut begini, ya.
Dengan segenap keberanian, aku mengetuk pintu ruangan Pak Haidar, dan mendengar suara dari dalam mempersilakan masuk. Mendadak tangan merasa gemetar sendiri saat mendorong pintu ke arah dalam.
Sambutan pertama yang aku lihat itu tatapan mata melotot yang membuatku merinding."Pe-pe-per-permisi," cicitku pelan.
Sialan, kenapa mendadak gagap begini, sih. Sumpah demi apapun aku takut lihat matanya yang melotot tajam begitu.
10 TAHUN KEMUDIAN.Nama Adeeva Putri Anggara kini sudah meroket ke berbagai penjuru sudut kota Jakarta, dan beberapa kota besar di pulau Jawa. Bisnis makanan yang dikelolanya kini semakin berkembang sangat luar biasa. Adeeva kini menjadi salah satu wanita tersukses di mata orang-orang dan masyarakat karena keahliannya dalam bidang bisnis.Tak heran jika banyak gosip yang melekat pada dirinya dulu sebelum memiliki pendamping hidup. Banyak sekali pria yang mendekati sesosok Adeeva, namun tidak satupun yang berhasil memikat hatinya. Adeeva hanya menganggap jika pria-pria itu cuma mencari sensasi semata karena dirinya sudah mulai dikenal publik.Dia kini habis membuka cabang kafe-nya di kota Semarang. Saat menuruni pesawat, hatinya merasakan gejolak rindu yang luar biasa kepada seseorang yang sudah menemani hari-harinya selama lima tahun terakhir ini. Adeeva rasanya ingin sekali memeluk pria itu dan buah hatinya yang selalu memberikan warna kehidupan.Banyakn
Adeeva kali ini masih merasa bingung dan ragu atas keputusannya. Semenjak malam sabtu kemarin Baim mengutarakan perasaannya itu membuat sabtu pagi ini terasa malas beraktifitas. Adeeva yang biasa rajin sudah berada di dapur kali ini masih berada di atas kasur gulang guling seperti anak remaja yang baru puber.Tak lama pintu kamarnya dibuka dan menampilkan sesosok Kiki dengan gaya khasnya yang selalu mendesah panjang ketika melihat anak perempuannya masih betah di atas kasur.“Kamu enggak ke kafe?” tanya Kiki.“Hari ini Adeeva enggak mau masuk.”“Kenapa?”“Males aja, Bun.”“Galau gara-gara lamaran Baim semalam?”Adeeva diam, ia tidak merespon namun kepalanya langsung kepikiran dengan ungkapan hati Baim semalam. Akan tetapi Alex pun sama sudah mengungkapkan dengan romantis dan sesuai khayalannya. Ditambah Leonel yang tampak amat begitu menyesal telah menyakitinya.&ldquo
Jumat pagi ini Baim mendatangi makam istrinya. Tak lupa ia membelikan bunga kesukaan Adiba. Ia menaruh di depan batu nisan Adiba dan menyiramkan air mawar ke atas tanah gundukan itu. Baim berdoa di sana agar kubur istrinya diberikan kelapangan. Ia juga mengusap batu nisan itu lembut sambil memanggil nama Adiba di dalam hati.“Sekarang anak kita sudah besar sayang,” ujar Baim. Seakan-akan mengatakan kepada Adiba yang masih hidup. Mengajaknya mengobrol seperti biasa meski tidak ada respon apapun. “Dia menjadi anak yang sangat begitu menggemaskan. Bahkan sangat cantik seperti kamu sayang.”Baim tersenyum, dan menunduk menatap tanah gundukan yang sudah ia tabur bunga. “Namanya Ayesha seperti yang kamu inginkan. Bahkan ia seperti kamu. Sangat pemilih untuk dekat dengan orang lain. Harus benar-benar kenal dulu baru mau. Tapi, ada yang membuatku heran. Dia bisa dekat dan langsung akrab dengan perempuan bernama Adeeva. Dia dulu perempuan yang sang
Setelah menikmati makan bakso bersama, mereka langsung berkeliling bangunan di kota tua. Bahkan Alex kini lebih memeluk pinggang Adeeva sangat posesif.Merasa lelah berkeliling dari bangunan satu ke yang lainnya membuat mereka duduk di sebuah bangku yang berada di sana.Alex tiba-tiba langsung menyelipkan rambut Adeeva ke belakang telinga. Tatapannya langsung berubah serius namun masih menunjukkan kelembutan.“Adeeva ….”“Hmm.”“Kamu tahu kan kalau aku ke sini untuk melamarmu?”Adeeva mengangguk. “Iya, aku tahu kok.”Alex langsung merogoh ke saku jaket kulit yang dipakainya. Alex mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dan segera berlutut di depan Adeeva yang tengah duduk.Merasa terkejut dengan tindakan Alex membuat Adeeva langsung menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Mata Adeeva bahkan sangat berkaca-kaca melihat sikap Alex yang sungguh sangat romantis.
Setelah kepergiaan Adeeva dari kantornya, Baim langsung termenung mendengar penuturan dari perempuan itu. Perempuan yang baru dikenalnya beberapa waktu silam. Meski dalam hati ada ketertarikan kepada perempuan itu, namun masih ada ketakutan yang hinggap di benaknya. Baim takut menyakiti hati perempuan itu jika suatu saat mengingat almarhum istrinya. Apakah nanti perempuan itu akan menerimanya jika suatu saat nanti Baim masih terus mengingat Adiba? Meski sesosok Adiba sudah tiada, akan tetapi tetap saja takut melukai perasaan Adeeva.Tak ingin pusing pun membuat Baim langsung mengempaskan perasaan itu. menghilangkan benak Adeeva di pikirannya dan terus fokus bekerja untuk masa depan Ayesha nanti. Baginya, Ayesha lebih penting dan utama dibanding perasaan hatinya.Lain hal dengan posisi Adeeva yang masih termenung di depan kantor Baim. Ia sudah bisa menyimpulkan perasaan Baim kepadanya. Pria itu hanya menganggap teman saja tidak lebih dari situ. Adeeva pun akhirnya manta
Adeeva tidak menjawab apapun atas permintaan kesempatan kedua yang diucapakan oleh Leonel. Adeeva hanya tersenyum dan menyuruh pria itu untuk pergi kembali hotel agar bisa istirahat. Bukan ia labil atau bagaimana. Akan tetapi ia tidak tega melihat mata lelah di wajah Leonel. Ia mencoba bersikap biasa selayaknya teman. Adeeva hanya ingin bersahabat dengan berdamai dengan masa lalunya tidak lebih. Meski masih memiliki perasaan kepada pria itu, akan tetapi itu hanya sekadar sisa-sisa yang dulu saja.“Apa tujuan dia ke sini?” tanya Kiki.“Meminta kesempatan kedua, Bun.”“Jangan kamu kasih, Adeeva!” sambar Ryan, yang sedang fokus menikmati nasi goreng buatan Kiki.Adeeva yang masih sibuk berkutat di dapur pun menoleh ke arah meja menatap Ryan yang sedang menatapnya. Adeeva hanya menghela napas panjang.“Tapi dia bilang menyesal gitu, Yah,” ujar Adeeva kemudian.“Menyesal terus nanti begitu lag
Pagi ini tumben-tumbenan Adeeva terjun ke dapur untuk membantu memasak menu sarapan. Kiki sendiri merasa bingung dan merasa aneh dengan perubahan sikap anaknya yang menjadi lebih giat bekerja dan terjun dapur. Entah apa yang mempengaruhinya yang pasti Kiki sangat bersukur.“Semalam pulang jam berapa?” tanya Kiki, penasaran.“Jam setengah satu.”Sontak Kiki terkejut mendengar itu. Adeeva hanya meringis saja melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh sang bunda.“Pulang jam setengah satu? Dan kini kamu sudah bangun?” Kiki merasa takjub luar biasa. Kebiasaan anaknya ia paham betul jika tidur lewat tengah malam pasti akan bangun siang jam sembilan. Itupun harus dipaksa bangun. Kalau tidak dipaksa akan bablas sampai sore mungkin.Adeeva hanya mesam-mesem saja mendengar bundanya takjub. Ia terus mengiris-iris cabai hijau dan tempe. Kiki pun mengerutkan kening bingung.“Kamu mau masak apa?”“
Mereka memutuskan pulang dari mall centar park setelah pukul sembilan malam. Bahkan, Baim mengajak Adeeva makan kembali sebelum benar-benar pulang. Kali ini mereka lebih memilih mampir makan di sebuah makanan pinggir jalan. Mereka lebih memilih angkringan sebagai tempat mereka makan karena porsi yang tidak terlalu banyak membuat mereka memilih itu.Adeeva bahkan selalu dengan senang hati menuruti apa yang dikatakan oleh pria itu. Ayesha bahkan sudah terlelap tidur di pangkuannya sejak tadi. Baim yang memang memiliki tipikal tidak enakan langsung mengambil alih dan mempersilakan Adeeva untuk lebih leluasa makan.“Biar aku aja gapapa,” kata Adeeva.“Kamu makanlah. Aku sudah terbiasa begini jadi tenang saja.”Adeeva tersenyum manis, ia pun mulai mengambil sate telur puyuh, sate usus, dan berbagai macam lauk lainnya. Bahkan mereka berdua dengan kompak memesan minuman wedang jahe.Melihat Baim yang repot menggendong batita, Adeev
Adeeva dan Baim akhirnya sampai. Mereka berdua langsung turun dan segera bergegas masuk. Di sana ada Bi Surti yang sedang menggendong Ayesha. Baim sendiri memilih pamit ke kamar untuk mandi dan lainnya.Lain hal dengan Adeeva yang mencuci kaki dan tangan terlebih dahulu sebelum memegang Ayesha. Bagaimanapun ia takut membawa virus yang membuat anak itu terkena sakit nantinya.“Ayesha lihat tuh, Mama datang,” celetuk Bi Surti.Adeeva hanya tersenyum saja saat mendengarkan Surti berkata seperti itu. Ia tidak marah sekali karena memang dalam hatinya pun berharap seperti itu.Dari awal bertemu dengan Ayesha pun perasaannya tidak bisa bohong kalau ia sangat senang juga bahagia dengan bayi mungil itu.“Ayesha sayang, kamu sudah makan belum?” tanya Adeeva saat sudah menggendong Ayesha. Bahkan bayi itu langsung merespon dengan senyum dan ocehannya yang selalu lucu dan menggemaskan di mata Adeeva.Surti pun menatap senang