Saat aku keluar, Mas Agus lagi duduk di kursi sambil merokok. Ya ampun, baunya bikin makin enek.Dia menatapku dari atas sampai bawah seperti binatang lapar. Semoga saja karena lagi ngebet dia gak sadar kalau aku nggak perawan.Mas Agus bangkit setelah mematikan rokoknya yang masih tersisa setengah. Menatapku lekat ke setiap sudut. Aku memang sengaja hanya memakai baju tidur yang pendek. Baju tidur yang bisa menampilkan keseksian tubuhku yang sintal.“Kamu lumayan cantik juga, Lis,” katanya. Tangannya mulai membelai ke rambut lalu turun ke pipi, bibir dan leher.“Dulu, malam pertamaku dengan Yasmin gagal, karena ibuku menuduhnya sudah tak perawan. Sekarang, aku harap kejadian seperti itu tidak akan terjadi lagi, karena kamu adalah pilihan ibuku. Aku yakin dia memilihkan jodoh yang terbaik,” katanya dengan deru napas yang mulai memburu.Mas Agus mulai mendaratkan ciumannya padaku. Permainannya biasa saja, masih lebih lihai si Wahyu. Mungkin, karena dia sudah sering melakukannya dengank
“Apa iya, Lilis?” tanya Bu Mae tegas.“Nggak, Bu. Itu cuman tuduhan Mas Agus aja. Bukan aku yang nggak perawan, tapi punya Mas Agus aja yang kekecilan.” AKu kembali beralasan. Wajah Agus memerah, mungkin karena malu atau juga marah karena rahasianya diungkap.Mas Agus maju, lalu ….Plak!Tamparannya mendarat di pipiku.“Bisa saja kamu cari alasan. Dasar lont*!” teriaknya. Aku terbelalak sambil memegangi pipiku yang perih.“MAsa iya, sih, punya kamu kecil, Gus?” Bu Mae menatap Agus dengan heran.“Ibu jangan dengarkan dia. Itu cuman karangannya saja. Dia memang sudah nggak perawan. Aku yakin itu!” Mas Agus berteriak marah.“Malam ini juga aku akan kembalikan kamu sama orangtua kamu. Aku ceraikan kamu,” kata Mas Agus.“Gus, jangan gitu. Masa kamu mengulang lagi masa lalu? Dulu sama si Yasmin, kamu cerai di saat malam pertama. Dan sekarang, kamu cerai lagi di malam pertama. Ibu malu … Gus, maluuuu,” kata Bu Mae berusaha mempertahankan. Hahaha. Bagus. Lumayan, ada yang belain.“Heh, Lili
POV AgusAneh, masa iya segampang itu kalau si Lilis masih perawan? Dia tidak terlihat kesakitan sama sekali. Apa aku tanya yang lain saja ya? Apa iya mereka juga semudah itu?Aku akan coba hubungi Wawan. Dia baru beberapa bulan yang lalu kawin, pasti masih ingat.Aku akan keluar dulu sambil mencari angin segar. Sumpek juga rasanya lihat si Lilis. Bikin aku ingat lagi kejadian tadi.Tuuutt. Tuuutt.“Halo?”“Halo, Wan. Sorry ganggu lu malem-malem. Gue cuman mau nanyain sesuatu yang agak tabu. Soal … soal malam pertama.” Aku hentikan kalimat, karena malu rasanya.Wawan tertawa. “Memangnya kenapa? Eluu belum bisa nembus? Sabaar, gue juga beberapa hari baru bisa lolos. Namanya pengantin baru, jangan terburu-buru,” jawabnya. Aku langsung garuk kepala yang tak gatal.“Justru itu, Wan. Kok gue tadi gampang banget, ya? Masa sekali langsung lolos. Gue jadi curiga, kalau—““Kalau bini elu udah gak perawan? Bisa jadi, Gus. Setau gue, namanya pertama itu pasti seret. Gue, kan, udah 2 kali dapet p
POV Santi.Waduh, jam segini kuda nil masih ngorok aja. Badannya semok, bajunya kebuka nggak beraturan. Perutnya berlipat-lipat kayak emak-emak. Apa ini perempuan pilihan Ibu? Kasian juga si Agus.“Lis, bangun.” Aku berbisik sambil menggoyangkan tubuhnya. Dia mengerjap.“Mbak Santi? Kok di sini? Ngapain?” tanyanya. Dia celingak-celinguk. “Mas Agus mana?”“Dia udah bangun, lagi di luar. Eh, cepetan kamu tampung air pipis, ke sini,” bisikku.Lilis mengernyit. “Buat apaan?” tanyanya.“Kata Ibu, buat dicampur ke minumannya Agus. Biar dia jadi cinta mati sama kamu. Biar tambah nurut.” Aku kembali berbisik. Lilis langsung membulatkan mulutnya.“Ooh. Bentar, Mbak. Tunggu, ya,” katanya langsung bangun dan menyambar mangkuk kecil dari tanganku.“Yes, berhasil,” aku memekik pelan. Tanpa menunggu lama Lilis udah kembali dan memberikan mangkuk kecil berisi air kencingnya Lilis. Duh, bau jengkol. Aku menutup hidung.“Maaf, Mbak, agak bau jengkol, soalnya kemarin semur jengkolnya enak banget,” kata
POV Lilis.Tunggu, bagaimana mungkin mereka bisa tahu kalau aku sedang hamil? Aku melongo melihat keributan ini.“Iya, ayo kita bawa saja ke dokter biar yakin.” Mbak Santi menimpali ucapan ibunya.Mampus gue!“Eh, eh, sebentar-sebentar. Kenapa kalian mau maksa aku ke dokter. Aku nggak mau pokoknya! Ini fitnah! Pencemaran nama baik.” Aku meneriaki mereka yang terus saja menarik tanganku.“Heh, tadi, aku dan Mbak Santi udah ngetes air kencing kamu pake tespek dan hasilnya positif. Masih juga kamu mau nyangkal, hah?” bentak Mas Agus.Aku langsung menatap kakak ipar yang tadi pagi sempat meminta aku menampung air kencing yang katanya untuk membuat Mas Agus menurut padaku, tapi ternyata semua itu bohong. Rupanya ini hanya akal-akalan mereka saja untuk mengetesnya.“Sorry, ya, Lis. Aku cuman bantu adekku aja. Soal itu bikin kamu kesel, resiko kamu sendiri udah bohongin kami semua,” katanya dengan enteng.“Sekarang kamu jawab, anak siapa yang ada di perutmu itu?” bentak Mas Agus dengan mata
“Hei, Bu Mae. Apa-apaan ini? kenapa kalian mengarak anakku seperti ini? kalian anggap apa si Lilis?” teriak Ibu lagi yang sepertinya berbicara pada Bu Mae dan ibu-ibu yang mengiringinya.“Hei, Bu Kardun, kamu sudah membohongi kami. Ternyata si Lilis sudah hamil duluan. Sekarang dia mau dibawa ke rumah orang yang seharusnya bertanggungjawab!” kata Bu Mae sama-sama berteriak.“Si-siapa?” tanya Ibu tergagap.“Siapa lagi kalau bukan si Adit? Dokter mesum yang sok baik,” katanya lagi. Aku semakin tertawa dalam hati.Ibu pasti setuju kalau dr.Adit yang mengambil alih tanggung jawab yang seharusnya tugas si Wahyu. Dr.Adit jauh lebih ganteng dan lebih mapan.“Waduh, jadi yang hamilin si Lilis itu Dokter Adit?” terdengar ibu-ibu itu menanyakannya pada Bu Mae.“Ya, itu kata si Lilis. Bener nggaknya saya juga nggak tahu. Makanya sekarang mau ditanyakan sama si Adit,” jawab Bu Mae.“Kalau seandainya bener, nggak nyangka banget ya. Dia itu dokter paling terkenal baik di sekecamatan ini. Dia udah
“Emh, itu … iya, Pak Dokter, saya sedang mengandung anaknya Pak Dokter,” ucap Mbak Lilis sambil senyam-senyum genit.Mas Adit semakin melongo dengan keningnya tambah mengerut. “Saya?” tanyanya bingung. “Kapan saya nyentuh Lilis?”“Ah, Pak Dokter. Kalau kemarin belum nyentuh Lilis, sekarang, kan, bisa,” katanya yang langsung mendekat dan menarik tangan Mas Adit tanpa malu. Mataku melebar. Hatiku terasa panas.“Maaf, Lis. Kenapa jadi begini?” tanya Mas Adit menepis sopan tangan Mbak Lilis yang terus menarik tangan suamiku.“Kalian ngaku saja! Aku tidak mau menanggung perbuatan orang lain! usir saja si Lilis dan si Adit dari kampung ini!” teriak Mas Agus lantang.“Iya, usir saja manusia mesum dari kampung ini. bikin sial!” teriak Bu Mae.“Sebentar, ibu-ibu. Saya tidak mengerti dengan tuduhan ini. Saya sama sekali tidak pernah wanita selain istri saya,” ujar Mas Adit dengan tangan menunjuk padaku.“Kalau istri saya hamil, tentu saja saya tidak akan mengelak dari tanggungjawab. Kalau saya
Aku terkesima dengan kata-kata yang diucapkan oleh Mas Adit. Aku pikir dia tidak mengelak karena mengakuinya, ternyata … begitu.“Ayo, buktikan saja, Lis, kalau bayi itu memang anaknya si Adit!” kata Bu Mae penuh semangat.Mbak Lilis tampak salah tingkah dan melirik pada ibunya.“Mbak Lilis berani, kalau misalnya Mas Adit minta tes DNA?” Aku menimpali.Mas Agus mengangguk-angngukan kepalanya sambil menatap Mbak Lilis.“Tes DNA gimana maksdunya?” Mbak Lilis tampak kebingungan.“Tes DNA, ngetes bayi ini dengan si Adit. Dengan tes itu bisa dilihat apakah benar bayi ini anaknya si Adit atau bukan.” Mas Agus yang bantu menjawab sambil berkacak pinggang.“Eemh, itu … kenapa harus dites segala?” Mbak Lilis celingukan. Wajahnya terlihat semakin pucat.“Kalau hasil tesnya menunjukan jika bayi ini benar anaknya Mas Adit, Mbak Lilis berhak untuk minta tanggungjawab dari suami saya. Tapi jika hasilnya ternyata tidak sesuai, jangan salahkan jika Mas Adit menuntut Mbak Lilis atas pencemaran nama b