Mama, Savanna memeluk wanita itu erat, mencium tangan dan kedua pipinya lembut. Wanita ini menunggu kepulangannya dan selalu menunggu tanpa kenal lelah! Mungkin ia sering melupakannya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat karena masalahnya namun cintanya tetap sempurna meski tak terbalas sepadan dengan pengorbanannya. Mama adalah nafas kehidupannya, dia telah memberikan hidupnya hingga hari ini. Semua kerja kerasnya bahkan darah dan air matanya telah mengantarkannya dari seorang model amatir hingga menjadi model profesional seperti sekarang. Dunia gemerlap bertabur warna-warni bunga, separuh mimpinya telah diraih di profesi ini meski separuhnya lagi lenyap terkubur waktu. Kehidupan seperti dua sisi mata uang, satu dan lainnya memiliki perbedaan yang kontras.
Dulu tiap jam 06.30 Mama mengantarnya sekolah di Al Azhar 40 dan menjemputnya pada jam 16.30, sekolah full day. Pulang sekolah mandi, sholat maghrib, makan malam, sholat isya berjamaah, tadarus Al Quran terakhir tidur. Disiplin yang sangat ketat untuk anak seusianya, kini Savanna merindukannya. Menjadi model membuatnya sering menunda sholat atau menunaikan sholat terburu-buru, hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Mama selalu memberinya yang terbaik, walau terkadang terlihat keras. Saat anak-anak seusianya masih asyik memeluk bantalnya diperaduan pada pukul 04.00 WIB Mama sudah membangunkannya sekaligus menuntunku ke kamar mandi, awalnya kedinginan namun lama-lama menjadi terbiasa. Setelah itu sholat tahajut dilanjut menghapal juz amma sampai adzan shubuh. Berdua pergi ke mesjid di komplek perumahan. Saking rajinnya sholat shubuh ke mesjid sampai ada seorang ibu memberikan hadiah mukena batik padanya.
"Kamu tidak apa-apa nak...?" suara lembutnya selalu menyejukkan Savanna, seperti oase dipadang pasir yang gersang. Semua masalah seakan luruh hanya dengan mendengar suaranya.
"Saya baik-baik saja, apakah Mama nenonton teve..?" pancing Savanna.
"Berita di teve itu, hampir semua menuduhmu wanprestasi, untung berakhir dengan perdamaian. Mama bangga padamu nak" bibir itu tersenyum lagi, senyum yang selalu ada dalam suka dan duka.
"Belum selesai Ma hingga bisnis Kanaya kembali pulih...." Savanna menghembuskan nafas berat, mengingat masalah itu seakan beban berat kembali menindihnya.
"Apa yang akan kau lakukan..?"
"Berdoa dan berusaha Ma, agar semuanya kembali berjalan normal."
"Kamu selalu bisa melewati episode terburukmu dengan energi positif. Ingatlah, selalu ada solusi terbaik untuk setiap masalah."
"Berkat doa Mama...." Savanna kembali memeluk Mama.
"Kita makan yuk, Mama sudah buatkan udang asam manis dan sup sayuran kesukaanmu."
"Sedapnya, terima kasih Ma" Savanna mencium pipi Mama tanda ucapan terima kasih.
Setelah makan mereka mengobrol berempat, Savana, Mama, bik Sari dan bik Sumi pembantu setia. Bercerita dari hal penting hingga tak penting, membuatnya sejenak melupakan semua masalah. Sepertinya enak menjadi orang tua, mereka telah melewati episode terjal kehidupannya, sisanya diabdikan lebih dekat kepada Sang Pemilik Kehidupan.
.......Hari ini Savanna libur, Alin mengijinkannya tanpa banyak bertanya. Alin kadang tahu apa yang dibutuhkan modelnya, meski sesekali berdebat tapi tak pernah benar-benar marah. Jadwal kerja yang padat membuat Savanna tak memiliki banyak teman tapi ia tak menyesal, setiap pilihan ada konsekwensinya. Setidaknya dengan kerja ia dan Mama bisa mandiri secara finansial, tidak tergantung pada siapapun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya!
Pagi ini Mama memintanya untuk mengantarkan ke makam Papa, ia dengan senang hati menyetujuinya. Jika liburan, apapun keinginan Mama akan dipenuhinya. Belanja, silaturohmi ke saudara atau sekedar jalan santai dipagi hari. Mobil sudah diparkir dibawah pohon yang rindang ketika beriringan memasuki areal pemakaman namun langkah Mama terhenti ketika melihat seorang wanita dan anak lelaki yang sedang menabur bunga di makam Papa.
"Ma, sudahlah. Biarkan Papa tenang istirahat di sana, sekarang mereka anggota keluarga kita..." Savanna berusaha menenangkannya.
"Mama belum sanggup bertemu mereka, Mama tidak akan pernah sanggup..." Mama membuang muka, menatap kejauhan. Entah kenapa, Savanna selalu bisa merasakan sakitnya meski belum sepenuhnya jelas apa yang terjadi. Mama selalu menutup diri tentang cerita pribadinya.
"Sampai kapan Ma, sudah dua puluh tahun. Mama jangan menyakiti diri sendiri, berdamailah...." Savanna menatap penuh harap, dilihatnya luka di mata Mama. Luka yang tak pernah sembuh!
"Iklaskan Ma, agar hati Mama damai" Savanna terus berharap.
Tiba-tiba saja wanita dan pemuda tanggung itu sudah berada dihadapannya. Wajah ramahnya membuat Savanna luluh, Bagas anak yang baik Savanna sempat bertemu beberapa kali tanpa sepengetahuan Mama. Bagaimanapun keadaannya Bagas adalah saudara sedarah!
"Mbak Ratih, Savanna...kami sudah selesai, silahkan..." tante Mira mempersilahkan Mama ke makam Papa. Ia mengulurkan tangannya pada Mama sebagai ucapan salam, Mama menyambutnya dengan setengah hati. Mamanya yang lembut berubah tak ramah jika sudah berhadapan dengan tante Mira istri kedua Papa.
"Bagas, kamu sudah kelas berapa..?" Savanna bertanya basa-basi.
"Kelas tiga SMA kak..." jawabnya santun.
"Wah...sebentar lagi kuliah, belajar yang rajin ya. Baiklah kami ke makam dulu..." pamit Savanna.
Mama menaburkan bunga di makam Papa sambil mendoakan kekasih hatinya. Kadang Savanna tak mengerti, bagaimana mungkin dua orang yang awalnya berkasih sayang bisa saling membenci. Ia tak pernah jatuh cinta dan tak pernah ingin jatuh cinta! Jikapun harus menikah, ia tak mau menyerahkan seluruh hatinya. Savanna tak mau terluka seperti Mama, tak mau melakukan kesalahan yang sama.
Alin bilang, ia membangun benteng begitu tinggi hingga orang lain sulit masuk. Savanna selalu bermain aman karena takut terluka, kerja adalah pelariannya! Mungkin Alin benar namun tak sepenuhnya benar. Sulit untuk mengatakan bahwa ia dan Mama pernah mengalami masa-masa yang begitu sulit, terusir dari rumah keluarga besar ditengah malam saat hujan badai. Ia dan Mama menggigil, bahkan dinginnya masih terasakan hingga kini!
"Ma....kenapa Papa tidak pernah mencari kita..?" pertanyaan yang dari kecil belum terjawab, pertanyaan yang melukai Mama tapi Savana selalu ingin tahu jawabannya.
"Kita pulang nak..." Mama menghindar seperti bìasanya. Seharusnya Savanna berhenti bertanya, sudah tak ada gunanya. Masa lalu tinggalah masa lalu, kehidupannya adalah saat ini dan masa depan.
Cinta dan luka membuat Mama terjatuh begitu keras hingga sulit bangkit, tak ada cinta yang lain dihati Mama kecuali Papa. Laki-laki yang begitu dipuja sekaligus dibencinya!
******
Membuka jendela kamar dipagi hari rasanya begitu berbeda, menghirup udaranya yang basah membuat paru-paru terasa segar. Awan putih berarak seputih kapas, terlihat lembut dan hangat. Waktu kecil Savanna bermimpi bisa memiliki rumah diatas awan, seperti kisah si Jacky dan pohon kacang. Melayang dan menikmati kedamaian dimana tidak ada lagi air mata dan rasa sakit. Tapi ia hanya manusia biasa dan melewati berbagai peristiwa untuk sampai pada hari ini. Merasakan sakit, kegagalan dan amarah. Ada sebuah lagu yang ketika mendengarnya Savanna merasa berada pada sebuah dunia impiannya, musik akustiknya membuatnya terhanyut.....
Sejuta Mimpi
Aku menutup mata namun bisa melihat
Sebuah dunia yang menungguku yang kusebut duniakuMelewati kegelapan melewati pintuMelewati tempat yang belum pernah orang singgahi sebelumnyaTapi tempat itu serasa rumahAku berlari ke dunia yang kita rancang
Bagikan mimpimu bersamakuKau mungkin benar, kau mungkin salahTapi katakanlah, bahwa kau akan membawakuPada dunia yang kau lihatPada dunia dimana aku menutup mataku untuk melihatSatu-satunya cita-cita dimasa kecilnya adalah menjadi hafiz, penghapal Al-Quran. Tak semudah seperti kelihatannya, sepertinya hanya untuk orang-orang terpilih saja yang bisa mencapainya. Menjadi model bukanlah cita-citanya tapi Allah memberi rejeki secara financial lewat profesi ini. Tingginya 175 cm dengan sepasang bola mata bulat dan warna kulit coklat. Media bilang, model eksotis dari timur. Lamunannya buyar ketika mendengar suara ketukan pintu, Mama muncul dengan wajah yang sangat sulit diartikan. Jantung Savanna berdenyut sedikit keras, belum pernah dilihatnya wajah Mama seperti itu!
"Mama, ada yang penting rupanya?" tanya Savanna hati-hati.
"Duduk sini nak, Mama mau menjawab pertanyaanmu tadi siang..." Mama menarik tangannya agar duduk lebih dekat.
"Jika Mama tidak siap lupakanlah, saya sudah tidak membutuhkan jawabannya" Savanna menggenggan tangan Mama yang terasa begitu dingin, ia merasa bersalah telah memberi beban.
"Tidak nak, kamu berhak tahu apa yang terjadi di keluarga kita. Selama ini Mama menguburnya hanya untuk kebaikan diri sendiri, Mama egois..." bahu wanita itu terguncang.
"Ma itu tidak penting lagi sekarang..." Savanna tak tahan melihat mama menangis.
"Selama ini Papa mencari kita beberapa kali, Mama yang melarang dan mengatakan jangan pernah mencari lagi. Maafkan orang tua ini nak..." air mata membasahi pipi tuanya.
"Cukup Ma, tudak usah dilanjutkan...." Savanna serba salah.
"Dari awal hubungan Mama dan Papa memang ditentang keluarga besarnya, puncaknya ketika orang tua Papa membawa Mira ke rumah. Mama tak terima dan memilih pergi dari rumah keluarga besar itu ditengah malam hujan badai" Mama mengingat kepergiannya malam itu, menyelinap pintu belakang tanpa pamit. Tak ada yang mengusir namun dengan kwhadiran Mira dirinya seperti terusir dari rumah itu.
"Bagaimana reaksi Papa Ma..."
"Papa adalah anak laki-laki satu-satunya, Papa bingung untuk memilih antara ibu atau istri. Mama sakit hati karena Papa lebih memilih ibunya..." andai waktu bisa diulang, andai dulu bisa lebih dewasa dalam menyikapi masalah tentu segalanya akan jauh lebih baik. Tapi semua sudah terjadi dan menjadi masa lalu.
"Sudahlah Ma, semuanya telah berlalu..." Savanna memeluknya erat, menangis bersama.
"Tak ada rumah tangga sempurna, begitupun rumah tangga kita dan orang lain. Lupakanlah masa lalu Ma, kita bangun hari depan lebih baik..." Savanna memberikan kekuatan.
"Terima kasih nak, kamu kekuatan Mama.." keduanya berpelukan, membakar masa lalu menjadi abu dan merenda hari depan dengan penuh harapan. Terima kasih Tuhan.
Usianya masih tiga tahun ketika meninggalkan rumah besar itu tapi Savanna masih mengingat wajah Papa dan merasakan kasih sayangnya. Ia selalu merindukan Papa tapi mama selalu punya alasan untuk menghentikan keinginannya. Membelikan sepeda, mainan baru atau mengajak-nya jalan-jalan agar ia melupakan keinginannya itu. Akhirnya Savanna berhenti bertanya. Saat dewasa ia menemukan cara untuk melarikan diri dari rasa kecewanya dengan bekerja! Kerja membuatnya menemukan impiannya hingga ia bertemu dengan pemuda itu. Muhammad Thoriq Al-Farisi, Savanna seperti menemukan oase dari padang pasir gersang kehidupannya. Suara tartilnya yang penuh dinamika saat membaca Al-Qur'an, sepasang tatapannya yang singkat membuat ia seperti menemukan "dunianya yang hilang" dunia normal seorang gadis!
*****
Ilham mondar-mandir diruang tamu, Edward menemuinya dan meminta tolong sebagai mediator pertemuannya dengan Thoriq. Tentu saja Ilham tak bisa menolak, ketika Edward menjadi mualaf dirinya adalah guru pembimbingnya bahkan ia menuntunnya hingga kini atas permintaan Savanna. Posisinya serba sulit, untungnya Thoriq tak pernah bertanya apa-apa. Ilham sungguh kagum akan kebesaran hati Thoriq, ia mengijinkan Ilham menjadi pembimbing Edward. Meski masih bingung Ilham mengabulkan permintaan Edward, dipanggilnya nomor Thoriq."Assalamualaikum, apakah kau sedang sibuk?" tanya Ilham basa-basi, bingung untuk memulai."Tidak, ada yang bisa dibantu Ilham?" Thoriq mengerutkan keningnya, aneh mendengar suara Ilham yang terdengar gugup."Seseorang datang kerumahku dan ingin bertemu denganmu, aku berharap kamu segera datang..." Ilham meminta sahabatnya untuk datang kerumahnya."Seseorang, bisakah kau sebutkan namanya?" Thoriq penasaran, tidak biasanya Ilham bermain ra
Ilham menatap berkeliling, beberapa tukang menyelesaikan finishing rumah tinggal Thoriq. Pak Sardi tersenyum senang melihat gambar bestek yang tak berubah, sesuai desain nona Savanna.Beberapa komponen dasar interior sudah dipasang terutama untuk dapur dan kamar mandi. Meja dapur dilengkapi dengan wastafel dan keran sudah terpasang. Pada tahap akhir ini, pekerjaan interior dapur dapat dilanjutkan dengan pekerjaan yang berkaitan dengan perkayuan dan aksesorisnya seperti lemari dan kabinet. Serta berbagai detail interior yang diperlukan mulai dari lampu dan lampu hias, wallpaper dan lain sebagainya."Apa yang terjadi denganmu?" Ilham menatap sahabatnya, prihatin."Tidak apa-apa, aku hanya belum beruntung saja.""Dan menenggelamkan dirimu disini?" Ilham tersenyum sinis, tak dapat mengendalikan diri. Sejatinya ia hanya tak ingin melihat sahabatnya menderita tapi laki-laki dihadapannya ini terlalu keras kepala diperingati, mungkin kepalanya harus terbentur
Menikah itu membuat ikatan dan janji bukan hanya dengan pasangan tapi juga dihadapan manusia dan Allah. Dan ketika melakukan pernikahan sesungguhnya kalian telah melaksanakan separuh dari agama Islam. Bagaimana mungkin Savanna sanggup meninggalkan Edward dan harapan keluarganya...? Sementara hari pernikahannya tinggal menghitung hari, seminggu bukan waktu yang panjang kini Savanna tak lagi bisa berlari. Dua kakinya seperti terikat oleh rantai yang berbeda!Rasanya ingin tidur lebih lama agar ketika bangun masalahnya selesai dan tak mengingat apa-apa tapi pikirannya tak mau diajak tidur. Membayangkan persiapan pernikahannya dengan Thoriq membuat air matanya merembes membasahi kedua pipinya, rasanya kepalanya seperti terbentur memikirkan itu. Jangankan untuk berkata, melihat tatapan Thoriq saja Savanna tak sanggup. Betapa Thoriq telah melakukan banyak hal untuk pernikahan ini, Savanna malu mengingat ini. Saat semua impiannya berada didepan mata ia terhalang oleh rasa yang tak d
Savanna hanya menangis melihat keadaan Edward, lelaki gagah dan baik hati yang dikenalnya tidak terlihat lagi. Tubuhnya terbungkus perban dan dalam keadaan koma selama 10 hari.Senyum menggodanya mungkin tak akan dilihatnya lagi, Edward selalu ada untuknya juga saat dirinya dalam keadaan terpuruk ketika Thoriq membuangnya. Walaupun Savanna belum bisa melupakan kemarahannya atas kejadian di Tiger Top Nepal tapi sudah memaafkannya, tak ada gunanya menyimpan dendam karena dendam hanya membuat jiwanya sakit."Dia kehilangan semua ingatannya bahkan tak mengenal kedua orang tuanya, satu-satunya yang dia ingat hanya namamu. Savanna Halina Putri, dia sangat memujamu hingga ingatan tentangmu terbawa dialam bawah sadarnya..." Hanny Hananto menahan isak, ditatapnya Edward yang terbaring dengan pandangan sedih. Sahabat terbaiknya dimasa kuliah itu kini terbaring tak berdaya, betapa cepatnya waktu mengubah segalanya. Hanny mengingat dosanya saat di Tiger Top Nepal rasanya
Persiapan pernikahan membuat orang seluruh rumah sibuk termasuk keluarga Thoriq, terlihat Mama dan Umi sangat bahagia. Mereka sering bertemu dan membahas masalah yang sama. Savanna menangis menyadari kebodohannya, bagaimana mungkin dirinya satu selimut dengan Edward pada malam itu...? Mengingat itu perutnya melilit dan kepalanya terasa berputar. Seseorang mengetuk pintu kamarnya, Thoriq!"Kakak..." Savanna terperanjat, seperti melihat mahluk lain ia langsung memegangi pelipisnya."Wajahmu pucat dan terkejut melihatku, kenapa?" Thoriq menatapnya dengan dahi berkerut."Ya sedikit pusing, mungkin kelelahan. Kakak ada perlu denganku?" pertanyaan konyol, kalau tidak perlu tentu saja tidak mengetuk pintu kamarnya. Savanna menghembuskan nafas panjang, terlihat berat."Tadinya mau fitting busana penganten tapi kalau masih sakit gak papa kok, masih bisa ditunda. Kamu istirahat saja" Thoriq tersenyum maklum meski hatinya terus bertanya-tanya, sejak pulang dar
Menikah dengan Muhammad Thoriq adalah impian Savana sejak bertemu dengannya di Kairo. Meraihnya dengan perjuangan dan menggenggamnya dengan pengorbanan telah dilakukan tanpa henti. Thoriq layak mendapatkan semua itu karena penghormatannya terhadap Umi dan keberhasilan menjaga kehormatannya sebagai pemuda muslim. Mengingat semua ini Savana merasa kecil dan tak berharga, harusnya wanita itu lebih bisa menjaga diri dibanding laki-laki. Hanny Hananto menjenguknya dirumah sakit, wajahnya terlihat layu tak seperti biasanya. Ia seperti ikut larut dalam rasa sakit yang diderita modelnya, gadis Indonesia dengan sepasang bola mata bulat dan warna kulit coklat eksotik. Savana sangat berbeda, bekerja sama dengannya membuat bisnis batik tulisnya terus merangkak di grafik penjualan tertinggi selama setahun. Jika mungkin ingin dikontraknya Savana untuk produk batik tulisnya hingga lima tahun kedepan, namun untuk kontrak dua tahun yang di New York City saja belum ada respon. Banyak model la