LOGIN~Update seminggu sekali. Kalau lebih berarti mood penulis lagi happy~ NB: KHUSUS pembaca dibawah umur dilarang berkunjung Ara dibius oleh mama tirinya untuk dijebak tidur dengan pengusaha perut buncit. Dia kabur dan meminta tolong pada kakak sahabatnya. "Aku akan membayarmu" Zayne yang mengatakan tidak tertarik, menekannya di balik pintu dengan kuat, merobek bajunya dan melakukan hal itu - malam itu. "Aku tidak keberatan menggugurkan anak ini" "Aku juga tidak keberatan membuatnya lagi bersamamu"
View More“Ah…”
Ara mendesis, matanya mengerjap kecil. Sesuatu ada yang aneh dari minumannya. Semua yang ia lihat berbayang.
Udara dingin di koridor hotel menyambut Ara dengan gigitan dingin.
Kesadarannya menipis seperti asap yang ditiup angin, namun ia memaksa tubuhnya terus bergerak menjauh dari kamar hotel tempat ia baru saja melarikan diri.
Dadanya bergemuruh—bukan hanya karena obat bius yang merayap cepat dalam aliran darahnya, tetapi juga kemarahan yang mendidih dan membuat tengkuknya panas.
Ia tahu benar.
Minuman yang tadi dipesan Nadine, mama tirinya, telah dicampur sesuatu. Obat penenang atau entah apalah yang cukup membuat lengannya berat dan kakinya seperti tertanam semen. Tapi Ara tidak boleh jatuh. Tidak malam ini.
Suara pria tua tadi masih terngiang di kepalanya.
“Tenang aja, manis… kita akan bersenang-senang malam ini.”
Ucapan yang keluar dari mulut lelaki berperut buncit, bermata merah, dan beraroma alkohol menusuk. Ara hampir muntah.
“Kau gila kalau pikir aku akan menyentuhmu!”
Kata-katanya waktu itu terdengar lantang di pikirannya—padahal yang keluar hanya gumaman lemah.
“Ssshh… mamamu udah siapin kamu. Masih nolak?” Lelaki itu mencengkram lengannya terlalu erat. “Bawa dia ke kamar.”
Beberapa bodyguard bergerak. Dalam detik terakhir kesadarannya, Ara menjatuhkan tubuh—pura-pura pingsan. Satu-satunya cara agar mereka lengah. Dan berhasil. Ia dipindahkan ke kamar lain. Gelap, asing… namun jauh dari suara pria cabul itu.
Begitu keadaan cukup sepi, Ara memaksa tubuhnya bangkit, meraih mantel panjang yang tergantung di kursi. Mantel itu menutupi gaun tipisnya, namun membuat tubuhnya panas dan memperparah efek obat.
Kini, di lorong hotel, ia berjalan terpincang dengan napas tak beraturan. Langkah-langkah dari arah belakang membuatnya membeku.
“Cari dia! Kalau bocor, kita habis!” suara laki-laki, keras, gelisah.
Ara menekan tombol lift. Semua lantai. Jari-jarinya bergetar. Ia hanya butuh keluar dari gedung ini—atau mati mencoba.
Lift bergerak lambat. Terlalu lambat.
Saat pintu terbuka di lantai tujuh, Ara hampir jatuh tersungkur. Namun yang tersaji di hadapannya bukan lagi lorong gelap, melainkan restoran mewah dengan lampu kristal dan musik klasik yang terasa seperti dunia lain.
Dan di tengah ruangan itu—ia melihat wajah yang sangat ia kenal.
“Tolong….” desisnya hampir tak terdengar.
Ia seperti kenal pria di hadapannya.
Pria tinggi bersetelan rapi, dengan tatapan tajam dan rahang tegas.
Kakak sahabatnya.
Sosok yang seharusnya tidak mungkin ada di sini malam ini.
Zayn menoleh, wajahnya berubah drastis saat melihat gadis pucat dengan langkah gontai dan mantel setengah terbuka yang menyingkap gaun hitam robek di bagian dada.
“Ara?” suaranya turun tajam. Ia langsung berdiri, menghampiri, melepas jasnya, dan menyampirkannya ke tubuh Ara. “Kamu kenapa? Siapa yang—”
“Zayn… tolong…” Ara mencengkeram kerah jas itu. Suaranya pecah. “Bawa aku pergi dari sini.”
Zayn tidak bertanya lagi. Pandangannya menyapu cepat ke sekeliling—dan ia melihat dua pria bersetelan gelap keluar dari lift lain. Lalu, di belakang mereka, seorang lelaki gemuk dengan senyum menjijikkan yang membuat amarah Zayn mengeras.
CEO perusahaan investasi. Salah satu predator paling terkenal di lingkaran bisnis.
Ara bergumam lemah, “Tubuhku terasa aneh… sial… obat apa yang mereka campur…”
Zayn sudah tahu jawabannya bahkan sebelum Ara selesai bicara.
Ia memajukan tubuhnya, memeluk bahu Ara, menutupi wajahnya dengan jas.
Dan rasa punggung yang bertabrakan secara tidak sengaja itu membuat ara kembali teringat kenangannya. Rasa ia dipeluk oleh Zayn hari ini lebih melekat, lebih candu.
Sepertinya ia mulai dipengaruhi obat.
Zayn membawanya keluar melalui pintu dapur. “Maaf, kami perlu lewat sini. Ada situasi darurat,” katanya singkat namun penuh wibawa.
Koki hanya mengangguk, terlalu bingung untuk membantah.
Di balik dapur, tangga darurat dengan dinding kaca membentang ke bawah, memantulkan bayangan Ara yang limbung. Mereka bergegas menyusuri lorong belakang dan tiba di tangga darurat yang memiliki dinding kaca membentang dari lantai ke langit-langit.
Dari sana, Ara bisa melihat parkiran depan hotel—dan jantungnya langsung tercekat.
Di lobi bawah, mobil keluarga Ara terparkir. Dan di depannya—seorang wanita dengan langkah tegas mondar-mandir.
Mama tirinya sedang berada di depan lobi hotel, mengenakan mantel mewah dan sepatu hak tinggi yang menimbulkan suara khas setiap kali menghantam lantai. Matanya menyisir area sekitar dengan gelisah.
Ara menghentikan langkah Zayn.
“Tung…guuh…” desisnya lemah, mencoba menarik lengan Zayn.
Tapi kekuatannya tak cukup. Tubuhnya kehilangan keseimbangan dan jatuh begitu saja di anak tangga. Seluruh tubuhnya bergetar hebat—efek obat belum sepenuhnya hilang.
"Ara!"
Zayn menangkapnya tepat sebelum kepalanya menghantam anak tangga. Tubuhnya panas, napasnya pendek, dan pikiran yang seharusnya waspada kini terdistorsi oleh racun yang mengalir dalam darahnya.
Dan Zayn… terlalu dekat.
Aroma tubuh Zayn menyapu indera Ara—parfum maskulin dengan aroma dasar cedar dan sedikit rempah hangat. Campuran yang membuat detak jantung Ara semakin menggila. Kepalanya bersandar ke dada Zayn tanpa sadar, dan untuk sesaat, tubuhnya menemukan sedikit ketenangan di sana.
“Kita nggak bisa turun lewat sana,” bisiknya. “Dia di situ. Nadine.”
Zayn melirik ke dinding kaca di sebelah mereka, membuat posisinya makin dekat dalam merangkul Ara. Ini menyebabkan gadis itu benar-benar berada di ambang kendalinya sendiri.
Sial.
"Zayn…" Bibirnya bergerak sendiri, suaranya serak. "Kau laki-laki, kan?"
Zayn mengerutkan kening. "Kenapa?"
"Kau… tidak tertarik padaku?" Gemetar. "Atau—kau tidak mampu?"
Kata-kata itu meluncur seperti pisau, tapi Ara bahkan tidak menyadari betapa berbahayanya itu. Obat itu menggerogoti kesadarannya, membuatnya menggapai kerah kemeja Zayn dengan jari-jari yang tidak stabil.
"Aku bisa membayarmu," bisiknya, nafasnya membakar kulit Zayn. "Tolong…"
Zayn mengepal. Bayar?
Gagasan itu menyayat seperti pisau—bayangkan jika yang menemukan Ara bukan dirinya. Jika lelaki lain mendengar rayuan tak sadar itu, melihatnya seperti ini lengannya gemetar, bibir tergigit, bahkan mata berair berhasil memperkuat kesan rapuhnya.
Apakah dia akan menawarkan diri pada mereka juga?
Pikiran itu membakar lebih ganas daripada amarah.
Sebelum Ara bisa menambahkan kata lain, Zayn menggenggam rahangnya, jari-jarinya menekan ke dalam kulit. "Kau benar-benar tidak tahu bahayanya bermain api," desisnya, nafasnya membakar.
Lalu—
Zayn mendorong bahunya pelan.
Bibirnya menghantam Ara dengan kekasaran yang disengaja, bukan ciuman, tapi hukuman. Sebuah klaim yang menggigit, mendesak, membuat Ara terhuyung ke belakang hingga punggungnya menempel di dinding kaca.
Dan tubuh Ara—terkutuk oleh racun dan ingatan lama—langsung merespons.
Tangannya mencakar bahu Zayn, menariknya lebih dekat, lebih dalam, seperti orang tenggelam yang bersedia dihancurkan asal bisa bernapas. Zayn menggeram, mendorong seluruh berat badannya ke depan hingga kaca bergetar di belakang Ara.
"Kau bahkan tidak tahu siapa yang kau ajak bermain," suaranya parau di antara ciuman yang hampir menyakitkan. Tangan besarnya merayap ke leher Ara, jempol menekan lembut di bawah dagu—ancaman dan janji sekaligus.
Ara mengerang, tapi Zayn menelan suara itu, mendesakkan lidahnya ke dalam mulut gadis itu yang membuat lututnya lunglai.
Dia tidak bisa lagi berpikir.
Ara sama sekali tidak tahu bahwa Leo—aktor besar yang reputasinya sedang naik di industri hiburan—juga diundang ke acara variety show ini. Dunia memang tidak tahu hubungan darah mereka. Bahkan Leo sendiri tampaknya berusaha keras menyembunyikannya.Dan Ara paham. Kalau publik tahu kenyataan itu, reputasi Leo bisa hancur hanya karena satu fakta: keluarga mereka adalah hasil perselingkuhan.Dilihat dari sisi mana pun, keluarga yang masuk ke hidup Ara adalah keluarga pelakor.Rendra, ayah Ara, menikahi ibu kandung Ara lewat perjodohan bisnis. Pernikahan itu terlihat harmonis—setidaknya dari luar. Sampai akhirnya sang ibu meninggal setelah melahirkan Ara.“Tuan besar makin kejam sama anaknya setelah nyonya besar tiada.&rdquo
Saat Ezra mengetuk pintu kabin Ara untuk mengajaknya makan, pintu itu terbuka pelan dan muncullah wajah Ara—masih berbekas bantal, mata setengah sadar, dan rambut berantakan seperti habis berkelahi dengan selimut.Cantik, iya.Tapi membayangkan kemungkinan liur tidur masih menempel di pipinya membuat Ezra secara naluriah mundur setengah langkah.Dia benar-benar pisopobia.“Setidaknya cuci muka dulu, Ra,” katanya datar.Ara menguap tanpa malu. “Sebagai orang yang sudah pernah lihat wajahku waktu berak… kenapa aku harus sungkan?”Ezra spontan menutup mulut Ara dengan tangannya. Mata bulatnya la
Sesuai kesepakatan, Ara dijemput oleh Ezra keesokan harinya. Karena Ara belum selesai berkemas, ia terpaksa masuk ke dalam rumah dan—seperti biasa—langsung menjadi pusat pertanyaan dari Nyonya Endra.“Apakah Ara benar-benar menginap di rumah temanmu kemarin malam? Bagaimana kalian bisa bertemu sebelumnya? Tante bukan menuduh, ya. Hanya saja kemarin Ara tiba-tiba menghilang dari rumah. Tante takut dia berbohong bilang menginap di tempat kalian padahal tidak.”Ezra tidak langsung menjawab, malah meneliti ekspresi wanita itu. Ia memang tidak diberi tahu oleh Ara maupun kakaknya tentang bagaimana Ara bisa berakhir tidur di rumah mereka. Dugaan awalnya mungkin Ara bertemu kakaknya di club malam. Tapi melihat gelagat ibu tiri Ara, Ezra merasa masalahnya justru berasal dari sini.“Kenapa Tante tidak percaya pada anak Tante sendiri?” tanya Ezra lembut namun tegas. Wanita ini selalu berusaha tampil sebagai ibu tiri yang baik di depan orang-orang yang bisa menguntungkan dirinya. “Setahu saya Ar
Ara mengenakan gaun pengantin yang anggun, berdiri di depan rumah kaca berwarna-warni. Zayn, dalam setelan putih, memegang sebuket mawar merah menyala saat mendekat. Tatapan dinginnya mencair, membuatnya terlihat sempurna seperti pangeran dongeng. Setiap langkah yang diambilnya disertai kata-kata manis.“Sayang, kurasa aku sakit—dan sakit parah. Entah kapan ini dimulai, tapi hanya kau yang kuinginkan. Aku rindu bertemu denganmu setiap hari. Dan setelah hari ini, kita akan bersama selamanya.”Zayn menciumnya dengan ganas. Jantung Ara berdebar kencang. Ia tersenyum manis—sebelum nada dering telepon membangunkannya.Ara terlonjak. Ia rupanya tertidur di dalam bathtub. Untung ia tidak mati tenggelam karena tergelincir.“Apa yang kupikirkan sampai bermimpi begitu?”Ia bangkit, membilas tubuhnya dari sisa busa bath bomb, lalu melilitkan jubah mandi. Ponselnya terus bergetar dari dalam celana yang tadi ia lepaskan di dekat wastafel. Ia mengangkat pakaian itu, mengambil ponselnya, kemudian me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.