Malam beranjak meninggi. Bulan purnama tanggal enam belas cemerlang di langit. Cahayanya hangat membasuh bumi.
Di luar mulai sepi, sudah tidak terdengar suara anak-anak yang ramai bermain. Hanya sesekali terdengar suara nyaring khas penjual kue putu, atau suara tukang nasi goreng berteriak sambil memukul piring dengan sendok yang menimbulkan suara berdenting.Bram keluar dari kamar mandi. Lelaki itu segera mengenakan piyama tidur yang sudah disiapkan Elya, kemudian mengibaskan rambut, berusaha mengeringkannya.Dulu, Elya akan langsung protes jika Bram melakukan itu. Bikin basah lantai, dinding, airnya bercipratan kemana-mana. Tapi sekarang, Elya hanya melirik sekilas, kemudian kembali sibuk dengan ponselnya.Bram menarik napas. Tadi dia sengaja melakukan itu, memancing Elya. Tapi istrinya itu tidak bergeming. Entah kesibukan apa yang dia lakukan dengan ponselnya itu.Bram berjalan cepat ke arah Elya. Dia merampas benda segi empat itu dan menyimpannya dalam saku piyama."Kembalikan!" Elya yang terkejut langsung berteriak.Bram bergeming. Dia memilih berjalan keluar kamar menuju dapur. Dulu, Elya akan dengan senang hati menemaninya makan malam. Bertanya aktivitasnya di kantor hari ini. Menuangkan air minum, menyeka nasi yang menempel di ujung bibirnya, sesekali ikut makan dari piringnya. Ah … dia sangat merindukan masa itu.Bram mengeluarkan ponsel Elya dari saku piyama. Berusaha membuka kunci ponsel Elya. Gagal. Sialan! Bram memaki dalam hati. Elya mengganti kuncinya.Capcay di atas meja makan menggoda. Mengobati rasa dongkol Bram. Lelaki itu tersenyum, Elya memang pintar masak. Isterinya itu paket lengkap. Selain pandai menjaga penampilan, pandai melayani semua kebutuhannya, pandai juga memasak. Sempurna."Astaga!" Bram yang sedang memasukkan sesendok capcay ke dalam mulut tersedak. Wajahnya memerah. Dia segera meraih gelas air minum dan meneguknya cepat. Bram terbatuk, memukul-mukul dadanya. Beberapa saat kemudian dia bisa bernapas lega.Elya yang berdiri di samping kursi menatap Bram tidak bersalah. Tadi dia langsung mengambil ponselnya yang tergeletak di dekat tangan Bram. Secepat kilat. Takut ditahan Bram lagi kalau dia telat mengambilnya."ELYA!" Bram berteriak saat Elya melenggang begitu saja menuju kamar tidur mereka.Bram membanting sendok di tangannya. Isi piring berhamburan terkena hantaman sendok. Hilang sudah nafsu makannya. Perut yang tadi keroncongan mendadak kenyang.Bram bergegas berdiri dan membuka pintu kamar kemudian langsung membantingnya dengan keras."APA MAUMU, EL?!" Bram menarik tangan Elya dan memaksanya menghadap ke arah dirinya.Elya terjajar. Sejenak wajahnya pias. Bram tidak pernah kasar padanya. Ini pertama kali Bram berlaku kasar selama sepuluh tahun pernikahan mereka.Hanya sejenak. Sedetik kemudian Elya sudah bisa menguasai keadaan. Wajahnya kembali tenang. Elya tahu, dia harus tenang jika ingin menang.Mungkin tadi dia sudah keterlaluan, sehingga emosi Bram tersulut."Kenapa, Mas?" Elya berkata lembut sambil membenarkan posisinya berdiri."Sssttt … Jangan teriak-teriak ah. Malu, nanti ada tetangga yang dengar." Elya tersenyum manis sambil membenarkan posisi rambutnya yang agak sedikit berantakan karena tadi hampir jatuh ditarik Bram."Kenapa kamu seperti ini, El?" Bram menatap Elya frustasi. Dia benar-benar pusing dengan tingkah isterinya."Seperti ini bagaimana?" Elya pura-pura bodoh. Dalam hati dia bersorak gembira melihat sinar kelelahan di mata suaminya.“Kau kira aku sudi menjadi tamengmu seumur hidup? Nikmatilah! Nikmati semua sakit yang sengaja kau goreskan di relung terdalam perasaanku, Mas.” Batin Elya bergejolak. Ingin rasanya dia mencakar muka laki-laki bergelar suami di hadapannya.Lelaki yang telah mencabut habis semua perasaannya. Lelaki pengecut, yang rela menggadaikan perasan isterinya, agar terhindar dari setiap cerca. Lelaki kerdil, yang rela membuat istrinya menderita, agar mendapatkan tameng untuk menghindari setiap kotoran yang dilemparkan ke wajahnya."El … aku minta maaf." Bram memegang kedua tangan Elya.Dia lelah dengan semua sikap Elya. Wanita itu memang masih melayaninya dengan baik. Menyiapkan semua keperluannya, mencuci, memasak, merapikan rumah. Elya memang tidak ingin dibantu asisten rumah tangga. Dia lebih suka mengerjakan semua sendiri. Elya bahkan masih melayani kebutuhan batinnya. Istrinya itu tidak pernah menolak saat dia meminta.Tapi semua itu hanya kepalsuan. Elya tidak tulus melayaninya, dan wanita itu benar-benar menunjukkan dia melakukan itu hanya karena kewajibannya sebagai seorang isteri. Dibalik sikap manisnya, Elya sengaja menunjukkan pada Bram, dia melakukan semua itu dengan terpaksa.Elya melepaskan genggaman tangan Bram. Dia melingkarkan tangan Bram di pinggangnya. Elya membenamkan kepalanya dalam dada bidang Bram. Mendongak, menatap mata Bram."Apa kau juga akan meminta maaf, andai aku tidak menemukan rahasia terbesarmu itu, Mas?" Elya menggerakkan jari telunjuk kanannya. Melukis lambang tanda cinta di dada sebelah kanan Bram, sambil kepalanya tetap bersandar di dada suaminya itu."Aku benar-benar menyesal, El." Bram mengelus rambut Elya perlahan. Wangi rambut itu masih sama. Aroma yang sangat disukainya.Elya tertawa kecil, membuat Bram sedikit melonggarkan pelukannya. dia menatap mata Elya. Mata yang membuatnya jatuh hati, karena keindahannya. Ah … apa yang tidak indah dari seorang Elya? Isterinya itu nyaris sempurna sebagai seorang wanita."Menyesal untuk apa?" Elya tersenyum sambil memegang pipi suaminya. dia mengelusnya perlahan, merasakan bulu-bulu tajam yang baru tumbuh di sekitarnya."Aku menyesal menyembunyikan semua itu, El." Suara Bram tercekat.Elya menggeleng. Senyum itu semakin lebar."El ….""Ssssssttt, kau bukan menyesal, Mas. Kau hanya ketahuan." Elya memotong ucapan Bram. Senyum itu masih menghiasi wajah cantiknya."Andai aku tidak tahu, aku yakin seratus persen, sampai saat ini pun kamu akan tetap mengubur semua kebenaran itu kan, Sayang?" Elya menatap Bram yang terlihat kikuk. Dia melepaskan pelukan mereka perlahan."Aku ngantuk, Mas, tidur yuk?" Elya mengecup pipi Bram dan menggandeng tangan suaminya itu menuju kasur tempat peraduan mereka. Hal yang dulu biasa dia lakukan. Tapi entah kenapa, kini saat Elya melakukannya, Bram merasa tersiksa. Dia tahu, Elya melakukan itu semua untuk menghukumnya.Elya sengaja bersikap seperti itu, untuk menyiksa perasaan Bram. Tidak ada gunanya marah dan mengamuk membabi buta, hanya akan membuat lelaki itu senang karena telah berhasil membohonginya. Berhasil membuatnya terlihat bodoh selama tujuh tahun pernikahan mereka.Dia ingin lelaki itu mati perlahan karena telah membohonginya selama bertahun-tahun. Dia ingin lelaki itu mati tersiksa perasaannya sendiri karena telah menyiksanya selama ini. Dia ingin lelaki itu tenggelam, dalam lubang yang telah dia gali dengan kedua tangannya sendiri."Apa maumu, El?" Bram duduk di pinggir ranjang. Dia menatap Elya menghiba. Suaranya terdengar putus asa.Elya menarik selimut bulu tebal yang berwarna senada dengan seprai kasur. Merah hati. Membuat kulitnya yang putih terlihat sangat kontras."Ceraikan aku, Mas!" Elya menatap Bram tajam.Bram menggertakkan giginya. Lelaki itu menggeleng tegas. Dia tidak ingin kehilangan Elya sampai kapan pun.Elya tersenyum. Dia tahu Bram tidak akan melepaskannya. Tidak akan semudah itu.“Baiklah, maka nikmatilah rasanya tersiksa karena manisnya cinta yang kusuguhkan. Kau akan mati perlahan karena mabuk kepayang, seperti semut yang mati, karena tenggelam dalam manisnya lautan gula.” Batin Elya terus berbisik.Elya mengecup pipi Bram sekali lagi. Dia merebahkan diri dengan nyaman, kemudian dengan anggun menarik selimut bulu merah hati, menutupi semua tubuhnya.Elya tersenyum manis pada Bram yang menatapnya dengan tatapan yang entahlah."Selamat malam, Mas ….""Apa kabar Rossa?" Elya akhirnya kembali bertanya setelah mereka terdiam cukup lama."Ah iya. Dia sehat, anaknya juga sudah bertambah besar. Sedang dalam tahap merangkak ke sana kemari. Rossa titip salam untukmu."Elya tertawa kecil. Mengangguk. Salam balik untuk Rossa maksudnya. "Dia sangat berterima kasih padamu, El. Boleh tahu kenapa?""Hei! Kau mau tahu saja. Itu rahasia antara para wanita." Elya tertawa sambil mengedipkan mata.Elya menarik napas. Ingatannya melayang pada siang itu, saat dia dan Rossa akhirnya setuju untuk bersepakat. "Apa yang mau kau bicarakan, El?""Aku ingin menawarkan kerjasama.""Kerjasama?" Rossa tertawa kecil."Hei! Ingat berapa kali kau menolak tawaranku? Dua kali!" Wanita yang tengah berbadan dua itu berteriak."Lalu, apa menurutmu aku akan menerima begitu saja tawaran darimu setelah saat ini aku berada di atas angin, hah?!" Napas Rossa menderu."Tena
Bram tersenyum melihat Elya yang sedang duduk di mobil dengan pintu terbuka. Dia tahu wanita itu sedang menunggunya. Tadi mereka berjanji akan makan siang bersama setelah semua urusan selesai.Bram menarik napas panjang. Bahkan dari kejauhan, kecantikan Elya masih terlihat sangat jelas. Di usianya yang menjelang pertengahan kepala tiga, Elya tampil sebagai wanita matang dengan segala kesempurnaanya. Lelaki itu kembali menarik napas panjang. Andai dulu dia jujur pada Elya tentang hasil pemeriksaan, akankah kisah mereka tetap berakhir seperti ini?"Bram." Satu suara menyapa Bram.Lelaki berkaos putih itu menoleh ke arah sumber suara."Pa ….""Kata Elya kalian ada acara?""Iya, Pa. Kami mau makan siang di luar. Nostalgia, di resto dulu tempat aku melamar Elya." Bram tersenyum malu-malu."Pergilah, Bram. Melihat dari sikap Elya, Papa yakin masih ada kesempatan bagimu untuk memenangkan hatinya." Papa Lin menepuk bah
Enam bulan setelah penangkapan Kakek Harimurti."Selamat Siang, pemirsa Berita Dalam Negeri.Setelah melalui proses sidang yang alot karena Harimurti melakukan perlawanan yang cukup kuat. Hari ini akhirnya keputusan banding resmi ditolak.Harimurti dijerat dengan pasal berlapis. Pertama penyalahgunaan obat sehingga membahayakan keselamatan orang lain pasal 1 UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan.Kedua pencemaran nama baik terhadap perusahaan Lakhsita pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).Ketiga pengancaman akan menghabisi nyawa orang lain pasal 368 KUHP.Dengan adanya tuntutan pasal berlapis, Harimurti dijatuhi hukuman denda yang sangat banyak dan hukuman kurungan dalam jangka waktu yang lama.Sangat disayangkan. Di masa-masa akhir menuju tutup usia, Harimurti harus kehilangan semua kekayaan dan kehormatannya. Harimurti bahkan ditangkap di kantor pusat Harimurti Grup, tempat ya
Papa Lin tersenyum puas menatap Elya. Menantunya itu memang layak dikagumi. Jika menuntut Harimurti dengan jalan biasa, pasti lelaki tua itu akan bebas dengan mudah.Dengan melakukan semua ini, mereka bisa mendapatkan dukungan yang sangat besar dari masyarakat. Apa lagi jika memanfaatkan kisah rumah tangga Elya dan Bram yang selama sepuluh tahun belum dikaruniai keturunan. Pasti emosi publik akan semakin meledak.Elya tersenyum menatap Kakek Harimurti yang mematung. Lelaki tua itu melihat dirinya dengan tatapan kosong."Kau terlalu angkuh Harimurti! Seolah bisa menyelesaikan semua dengan uang dan relasi yang kau miliki, kau lupa tidak semua hal bisa dibeli. Salah satunya harga diri. Kini, kau bukan siapa-siapa lagi di negeri ini." Lembut suara Elya terdengar, membuat Kakek Harimurti terdiam."Seorang pemilik imperium bisnis ternama, kini hanya seorang calon pesakitan yang akan menghabiskan sisa waktunya dalam keadaan hina! Semua itu karena nafsu
"Lepas!" Elya berteriak sambil memberontak."Bagaimana, Elya?" Kakek Harimurti terkekeh melihat wajah Elya yang memerah.Elya tidak gentar sedikit pun dengan keadaan di sini. Dia pernah melihat hal yang lebih keji. Kedua orangtuanya mati terbakar dan menjadi abu di depan matanya sendiri."Ternyata selama ini kalian telah mengetahui aku yang telah membuat Bram mandul, hah?!" Kakek Harimurti berdiri tegak di hadapan Elya yang dipegang oleh dua orang suruhannya.Kakek Harimurti tertawa terbahak-bahak. "Kau betul, Elya! Aku memang telah memberikan obat itu selama lebih dari tiga puluh tahun. Cucu dari jalan darahku lebih pantas memimpin perusahaan ini dibandingkan dengan keturunan Lin s*alan itu!""KRIMINAL!" Elya berteriak kencang sambil memberontak.Kakek Harimurti kembali tertawa terbahak-bahak. "Kriminal? Tidak ada yang kriminal di negeri ini selama kau punya uang dan relasi!" Kakek Harimurti menatap Elya ding
"Jelaskan!" Bentakan Kakek Harimurti memenuhi lantai paling atas kantor pusat Harimurti Grup. Suara serak itu gemetar menahan amarah.Papa Lin menarik napas panjang. Lelaki tua di hadapannya ini terlihat sangat marah. Hilang sudah rasa hormatnya selama ini. Orang yang dianggapnya sudah seperti ayah kandung sendiri, ternyata musuh yang menikam dari belakang."Tenanglah dulu, Pa.""Jelaskan maksud semuanya, Lin.""Maksud yang mana?""Kenapa kau melakukan konferensi pers?!" Kakek Harimurti berteriak kencang. Giginya bergemeletuk melihat Papa Lin yang tampak tenang-tenang saja."Kenapa tidak?" Papa Lin tersenyum. Matanya menatap dua orang bodyguard berbadan atletis yang berdiri tegap menjaga pintu. Dia yakin sekali, pasti di luar ruangan jumlah mereka lebih banyak lagi."Lin!" Kakek Harimurti menggebrak meja."Apa masalahnya, Pa?" Papa Lin menatap Kakek Harimurti dengan ekspresi pura-pura bingung.Kakek Ha
Suara Papa Lin terdengar berwibawa."Saat ini. Saya hanya berdiri sebagai penengah, untuk rumor yang sangat simpang siur terjadi dalam dunia bisnis. Saya, mewakili Harimurti Grup merasa perlu angkat bicara, agar rumor tidak semakin berkembang dan menyesatkan kita semua.Saya diberikan mandat oleh anak saya, Bramantyo Harimurti. Karena menurutnya, saya lebih mumpuni dalam menyelesaikan rumor ini.Sepenuhnya kepemimpinan Harimurti Grup saat ini dipegang oleh Bram. Semua keputusan, walau hanya untuk membunuh seekor semut pun di dalam Harimurti Grup harus atas seizin Bram.Menjawab rumor yang beredar tentang perebutan kekuasan dalam lingkaran keluarga Harimurti, itu tidak benar sama sekali.Sebagai pemimpin perusahaan, Bram yang berhak menentukan arah perusahaan selanjutnya. Karena saya dan Ayahanda Harimurti sudah tidak memiliki kuasa apapun lagi dalam lingkar perusahaan.Selain itu, mengenai rumor kedua yang beredar, yakni tent
"Ini rangkaian terakhir, Bram. Setelah ini kita lakukan pengecekan secara keseluruhan, baik darah maupun sp*rma." Dokter Lucky menjelaskan sambil menyiapkan resep untuk Bram."Bagaimana, dok?""Apa yang bagaimana, El?" Dokter Lucky tersenyum sambil menatap Elya."Mas Bram." Elya mengulum senyum.Dokter Lucky tertawa melihat Elya yang salah tingkah."Kau ini seperti masih perawan saja, El. Malu-malu begitu."Bram ikut tertawa mendengar omongan dokter Lucky. Dadanya berdebar kencang. Takut hasilnya tidak sesuai dengan harapan."Sejauh ini hasilnya baik. Tapi harus saya pastikan lagi dengan hasil pengecekan terakhir nanti. Sudah tidak sabar menanti kehadiran buah hati ya?" Dokter Lucky mengedipkan sebelah mata.Elya dan Bram tertawa berbarengan."Ada lagi yang mau ditanyakan?""Cukup dok," jawab Bram sambil menerima resep yang diserahkan dokter Lucky.Setelah beberapa percakapan lagi, Ely
"Panggil Papa saja, El." Papa Lin tersenyum kecil saat tawanya reda."Papa apa kabar?" Elya tersenyum cerah. melihat cahaya di mata Papa Lin, dia tahu, dia sudah berhasil membangunkan singa tidur itu."Sehat, El. Kau sibuk sekali akhir-akhir ini sepertinya? Saat acara selamatan kelahiran anak Lira kemarin juga kita tidak sempat bercakap-cakap."Percakapan mereka terhenti. Pramusaji mengantarkan pesanan yang telah lebih dulu Elya pesan saat reservasi tempat.Kebetulan sekali, restauran di rooftop gedung pencakar langit tertinggi itu sedang sepi malam ini. Hanya ada tiga pelanggan. Duduk mereka juga berjauhan, sehingga membuat obrolan mereka lebih bebas."Sibuk, Pa. Bagaimana tidak sibuk? Aku ingin menggulingkan salah satu pemilik perusahaan paling berpengaruh. Tentu banyak hal yang harus kulakukan." Elya tertawa kecil.Papa Lin tersenyum. Istri pertama Bram ini memang selalu berbicara langsung ke intinya."Bagaimana, El?" Papa Lin mulai memasukkan pot