LOGINBerawal menggantikan pekerjaan sahabatnya. Satu malam di klub mengubah seluruh tatanan kehidupan Giselle. Giselle tak pernah menyangka, kalau pria asing yang menolongnya malam itu adalah Arnon Theodore, sosok pria dingin dan berwibawa yang ternyata Ayah angkat kekasihnya sendiri— Marley Theodore. Sejak malam itu, hidup Giselle tak lagi sama. Bagaimana ia menghadapi keduanya?
View More[“Giselle, aku mohon gantikan aku untuk bekerja malam ini. Kalau tidak, aku harus membayar denda kepada mereka karena telah melanggar kontrak yang telah disepakati. Di Klub Magister, ruang A02 VIP, kau hanya perlu menemani tamu minum sebentar. Setelah itu kau bisa pulang.”]
Giselle menghela nafas, suara Sofia yang diiringi nada panik dan memohon masih terngiang di atas kepalanya. Permintaan itu terus menghantui sejak sore hari. Ia sudah menolak berkali-kali, mengatakan kepada Sofia kalau ia takkan mampu menggantikan bekerja. Tempat itu tak terlalu aman baginya. Seumur hidup, Giselle belum pernah menginjakkan kaki di klub. Tempat hiburan yang penuh pria hidung belang serta aroma alkohol yang selama ini hanya di dengar dari cerita orang. [“Kau tidak akan menolak kan? Ibuku sakit parah, aku membutuhkan gaji malam ini untuk biaya pengobatan jantung ibuku. Giselle, kalau sakit ibuku tidak kumat tiba-tiba, aku tak mungkin merepotkanmu. Aku janji separuh upahku akan menjadi milikmu.”] Lagi dan lagi, Giselle tak kuasa menolak saat mengingat nada permohonan dari Sofia. Ini bukan tentang setengah upah yang akan diberikan Sofia tetapi, ia tak tega, akhirnya meski langkah itu berat, ia tetap setuju. Dan disinilah ia berdiri saat ini, sebuah ruang VIP A02 klub Magister. Ia mendorong troli berisi botol minuman mahal yang berkilau di bawah cahaya temaram. Kemeja hitam ketat yang dipinjam dari Sofia terasa menyesakkan bagian dadanya, rok mini berwarna hitam seakan membatasi ruang geraknya. Lekuk tubuhnya yang memukau seolah mengundang tatapan mesum dari beberapa pria yang tak sengaja berpapasan dengannya. Sejenak, Giselle berdiam diri, sebelum masuk ke dalam sana ia menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya sendiri. “Tenang, Giselle. Apa yang kau lakukan malam ini hanya sebentar. Tidak membutuhkan waktu lama untuk menemani mereka.” gumamnya lirih menyakinkan dirinya sendiri. “Tunggu apa lagi, cepat masuk!” suara penjaga pria menyentak, meminta Giselle agar tidak membuang banyak waktu. “B-baik.” Jawab Giselle segera mendorong troli masuk ke dalam. Bau rokok yang bercampur aroma alkohol menjadi sambutan pertama kali bagi Giselle. Ia semakin mengeratkan pegangan pada troli saat tatapan para pria dengan setelan jas yang duduk disana mengarah padanya. Giselle tak sadar menatap mereka secara bergantian saat telah berdiri di depan para tamu. Lalu, mata itu tak sengaja menangkap sosok pria yang saat ini sedang fokus pada gelas minumnya. Di antara pria-pria dengan jas mahal yang asyik menyesap alkohol puluhan juta itu, duduk seorang Arnon. Hanya diam, hanya pria itu satu-satunya yang tak melirik padanya sedikit pun. Namun … wajah itu terlihat tak asing. Giselle seperti pernah melihat pria itu namun, ia lupa pernah bertemu dimana. Arnon Theodore— seorang konglomerat tersohor di negara ini, sekaligus seorang duda yang banyak diincar oleh para kalangan wanita elite. Banyak wanita yang sekedar bermimpi bisa tidur dengan seorang Arnon namun, mereka semua tak cukup berharga untuk di sentuh. “Hey kau, apa yang kau lakukan dengan berdiri disana. Cepat kemari dan isi gelas kosong milikku!” pria lain berseru memanggil Giselle yang hanya berdiri diam bak patung. Tubuh Giselle tersentak kala itu juga, ia tersadar dari lamunan singkatnya saat tak sengaja memperhatikan sosok Arnon. “Ah, maafkan saya, Tuan.” ia buru-buru mengambil botol sampanye lalu mendekat pada pria yang memanggilnya, meninggalkan rasa penasaran pada Arnon. “Bodoh! Bagaimana caramu melayani kami!” timpal pria yang lainnya dengan nada kesal saat Giselle justru tak sengaja menumpahkan minuman ke bajunya. “Ma-maaf, saya tak sengaja,” Persis setelah itu, atensi Arnon tertarik saat mendengar suara Giselle. Dia diam, namun tidak dengan mata telanjang yang menatap Giselle dari atas hingga bawah. Arnon memperhatikan Giselle dengan seksama. “S-saya akan membersihkan kemeja Anda. Saya sungguh tidak sengaja.” Giselle meraih tisu, dia membantu mengusap kemeja kotor tamu meski tangannya mulai gemetar. Sementara Arnon sendiri menarik bibir tipisnya, ia menggelengkan kepala saat melihat kecerobohan Giselle. Arnon mengangkat gelas kristal di tangannya, kemudian mulai menyesap minuman secara perlahan-lahan tapi, mata itu masih lekat mengamati Giselle dari tempat duduknya. “Nona, apa kau tidak pernah mendengar perihal istilah, permintaan maaf tak cukup hanya dengan kata-kata saja?” Pria di samping pemilik kemeja kotor itu menyahut. Arnon mendengar percakapan itu, dia semakin mengernyit, biasanya Arnon akan masa bodoh dengan segala hal di sekelilingnya. Tetapi entah kenapa, dia merasa Giselle cukup menarik dan berbeda untuk diamati. “A-pa maksud Anda?” tanya Giselle mulai cemas. “Tunjukan niat tulusmu!” Pria itu berbicara sambil menggeser sebotol sampanye kehadapan Giselle. Senyum di wajahnya terpapar penuh kelicikan. Giselle terperangah, ia menatap botol minum di depannya dengan jantung berdebar. “Jika kau tidak mau kesalahanmu sampai di telinga atasanmu. Ku sarankan untuk sedikit pintar. Habiskan minuman itu sekarang juga, kami akan berpikir untuk melepaskanmu!” suruhnya smirk. Giselle sempat linglung dengan apa yang didengar. “Tolong, Tuan. Saya tidak bisa minum.” lirih Giselle, ia berkata jujur berharap mereka berbelas kasih melepaskannya. “Omong kosong!” tamu itu tampak tak percaya, tergelak keras mengejek jawaban Giselle, “Kau tidak bisa minum tapi kau bekerja disini.” “T-tidak, bukan, saya kemari hanya—” “Sudahlah, jangan mencari alasan. Kau mau minum apa kami yang memaksa?” potongnya tanpa mau memberi kesempatan bagi Giselle menjelaskan. Giselle semakin menggelengkan kepala. “Tolong, saya sungguh tidak bisa meminumnya.” “Kalau begitu ganti dengan yang lain.” Mendengar itu, entah kenapa Giselle kian tidak tenang. Apa lagi Giselle bisa menangkap pria yang berada di depannya sedang bermain mata seolah merencanakan sesuatu hal yang buruk. “Bagaimana dengan … buka kemejamu lalu menarilah di depan kami semua.” Deg Giselle terhenyak, ia bangkit dari duduknya yang semula berjongkok berganti berdiri sambil membelalakkan mata. Sangat kejam! Mereka bahkan tidak merasa berdosa sama sekali. Suara gelak tawa mereka mengiringi ketakutan Giselle. Tubuh Giselle gemetar, tangan yang semula terbuka kini terkepal sempurna. Sedangkan Arnon hanya diam, dia masih memantau, ingin melihat sejauh mana pengantar minum itu bisa melawan para pria brengsek yang terus menyudutkan. “Aku tidak mau!” Giselle menolak dengan keras. Kali ini tidak ada lagi rasa hormat. Giselle merasa mereka tak pantas mendapatkan penghormatan. “Berani sekali kau berteriak pada kami!” salah satu pria pemilik kemeja basah itu meradang. “Cepat pegang gadis itu. Dia harus dikasih pelajaran.” Yang lainnya juga turut geram, dan Arnon menjadi satu-satunya pria yang masih diam tak bereaksi. Arnon hanya merasa … tontonan kali ini kian menarik! Giselle ingin bersingkut mundur lalu kabur. Namun, tangannya lebih dulu ditarik dari belakang, tubuh Giselle sontak berbalik, dia menggelengkan kepala, memberontak. Tetapi karena tenaga yang tak sebanding, Giselle tak bisa lolos dengan mudah. “Tolong jangan— hmp!” mulutnya terbungkam saat dicekoki oleh minuman alkohol. “Uhuk!” Giselle terbatuk-batuk. Ia memberontak, hingga alkohol tersebut jatuh, cairan itu membasahi kemeja putihnya. Minuman itu sangat buruk, lidahnya terasa tertusuk, tenggorokannya terasa terbakar. Tetapi mereka masih tak berbelas kasih. Berulang kali Giselle terbatuk dalam siksaan, yang ada mereka justru saling lempar tawa penuh kebahagian. Mata yang telah berkaca-kaca itu tak sengaja bersitatap dengan Arnon yang masih duduk dengan tenang. Ya! Sekali lagi, hanya Arnon yang masih duduk tenang sembari menikmati minuman di tangannya. “Lucuti saja pakaiannya.” suara sorak bahagia itu datang dari wanita penghibur. Giselle semakin panik, ia mengerahkan tenaga mendorong sosok pria yang memegang tangannya. Sekarang bukan lari keluar, melainkan berlari ke arah Arnon hingga langkahnya yang tak stabil, berakhir membuat Giselle tak sengaja jatuh ke pelukan Arnon. Grep! “Tuan!” Noel— kaki tangan itu cukup panik saat ada seseorang yang lancang menyentuh Arnon. Noel akan menarik badan Giselle, akan tetapi Arnon sudah lebih dulu mengangkat sebelah tangan membiarkan. Semua orang sontak terdiam, nafas mereka tertahan dengan takut. Pasalnya mereka tahu jika Arnon bukan sosok yang mudah disinggung. Berbeda dengan Giselle, dia yang setengah sadar memberanikan diri menarik kerah kemeja Arnon. “Tolong aku!” Sepasang manik sayu itu sedang memohon pada Arnon. Sungguh mengesankan! “Aku mohon selamatkan aku dan biarkan aku pergi.” Sebelah tangan Arnon terangkat, dia menyentuh bawah dagu Giselle dengan pelan, lalu menekan dagu itu ke atas membiarkan wajah Giselle menengadah. Membiarkan mata di antara mereka saling bertukar pandang satu sama lain. “Siapa namamu?” “G-Giselle.” Seringai Arnon terbit. “Imbalan apa yang ku dapatkan jika membantumu. Hm?”"Nona Sofia memang sedang hamil saat ini. Tapi kami sangat menyayangkan bahwa bayi dalam kandungan Nona Sofia tidak bisa diselamatkan. Saya menemukan bahwa Nona Sofia sering mengkonsumsi minuman keras ditambah lagi dengan tekanan yang baru saja beliau alami, membuat kandungannya lemah dan tak mampu dipertahankan." Penjelasan dokter tersebut terasa mendengungkan telinga Giselle. Keterangan tersebut bukan membuat Giselle iba namun, justru membuat Giselle semakin terhantam oleh fakta mengenai Sofia yang memang sedang hamil saat ini. Tubuh Giselle lemas tak bertenaga, matanya memanas karena telah berkaca-kaca oleh genangan air mata. Kenapa mereka harus begitu tega. Apa salahnya selama ini? Giselle bertanya-tanya mengenai kekurangan pada dirinya sendiri hingga harus mendapatkan penghianatan dari orang terdekat. "Giselle, ini bukan salahmu." Septia— dia yang selalu setia mendampingi Giselle kini mengusap punggung Giselle untuk menenangkan
"Aku sungguh tidak tahu apa salah Sofia. Kenapa Sofia harus diincar oleh mereka. Apa motif mereka melakukan hal kejam seperti ini." Giselle mengeluh, dia meremas kedua tangan yang telah dingin saat berdiri di lorong panjang rumah sakit.Giselle yang ditemani oleh Septia, kini masih menunggu Sofia yang diperiksa oleh dokter saat sahabatnya itu tidak sadarkan diri beberapa menit yang lalu.Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Malam semakin merangkak naik hingga menyentuh waktu tengah malam, sementara pernikahan Giselle tetap menanti esok hari. Namun masih tidak ada tanda-tanda kapan ia bisa kembali ke hotel. "Giselle, tenangkan dirimu. Dari pada kau berjalan kesana kemari tak tentu. Lebih baik duduk saja dengan tenang dan tunggu dokter yang memeriksa Sofia keluar." kata Septia, saat tak tahan melihat Giselle yang tak berhenti berjalan kesana kemari dengan gelisah. "A-aku tidak bisa tenang, Septia.""Ingat, besok kamu juga harus menikah. Malam ini, kamu justru berakhir di
“Hentikan. Apa yang sedang kalian lakukan!”Beruntung sekali Giselle dan juga Septia datang di waktu yang tepat. Dari tempat Giselle berdiri, Giselle bisa melihat wajah pucat Sofia yang sedang terbaring dengan keadaan yang memprihatinkan. Kulit wajah Sofia pucat, bibirnya gemetar, pipinya basah oleh air mata, bahkan rambut yang tergerai juga berantakan. Giselle bisa melihat dari ambang pintu, ketika mulut Sofia bergerak menggumamkan kata permintaan tolong. “A-apa yang kalian lakukan sangat kriminal. K-kami sudah menghubungi polisi untuk menangkap kalian.” ucap Septia, walau sedikit tergugu namun Septia tetap berusaha mengancam mereka, sebagai bentuk upaya untuk membuat mereka ketakutan. Jika boleh jujur, kaki Septia sudah tremor dan lemas saat melihat beberapa pria berbadan kekar yang berjaga di dalam ruangan yang mengelilingi ranjang Sofia. Nyali Septia menciut, badan kecilnya bahkan sedikit bersembunyi di belakang tubuh Giselle. Telapak tangan Septia yang dingin, menggenggam e
“Sampai saat ini, apa Marley masih belum bisa dihubungi?” tanya Septia gelisah. Giselle menggeleng turut menyayangkan. Dia juga tidak tahu ke mana perginya Marley saat ini, tidak biasa kekasihnya itu sulit dihubungi hingga berjam-jam lamanya. Bahkan mereka telah melakukan perjalanan hingga memakan waktu satu setengah jam, tapi tak kunjung mendapatkan balasan. Giselle sangat berharap Marley menghubungi atau setidaknya, mengirim pesan supaya membuat Giselle sedikit lebih tenang. Tetapi kenyataan ponselnya hening, tidak balasan apa pun. “Bagaimana ini? Apa kita tidak perlu menghubungi polisi? Bagaimana jika yang menanti kita adalah sesuatu yang bahaya.” usul Septia masih tak berkurang rasa cemas serta khawatirnya. Semakin dekat tempat tujuan, kegelisahan yang dialami oleh mereka berdua semakin terasa kuat. Mendengar itu, Giselle membuang pandangan ke luar kaca mobil sebentar. Sejujurnya, Giselle tak tahu harus melakukan apa jika telah sampai di tempat— dimana Sofia berada. “Gise






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.