Hallo, Pembaca! Jika kamu suka karya ini, jangan lupa masukan ke pustakamu, Ya! Ikuti terus kisah Alisya hanya di Goodnovel! 😃 Dukung author dengan memberikan review bintang 5, vote/gem, dan ajak teman-teman anda untuk membaca kisah ini. Terima kasih.
"Habisi mereka!" perintah Dafandra segera. Seketika suasana kembali menegang. Segerombolan pasuka berbaju hitam datang menyerang rombongan Pangeran Dafandra. "Apakah itu orang suruhan Daryan?" tanya Alisya khawatir. "Entahlah." Dentingan pedang, ringikan dan derap langkah kuda terdengar nyaring. Pria berbadan kekar di samping Alisya bangkit dari tempat duduk untuk menyambut serangan orang-orang tidak dikenal. Akan tetapi, sebelum Dafandra melangkah ke luar kereta, Alisya mencengkeram erat lengan sang pangeran. "Tolong jangan pergi!" pinta putri berambut merah dengan tatapan memelas. Dia masih terlihat ketakutan mengingat belum lama ini dia mengalami hal yang sama. Pertarungan sengit terjadi dengan jumlah pasukan yang tidak seimbang. Pasukan elit pangeran kedua pontang-panting menghadapi serangan musuh yang terlatih dalam jumlah banyak. Seorang dari penyerang itu masuk ke dalam kereta dan menyerang Alisya dengan pedang. Akan tetapi, sebelum serangan itu sempat mendarat di kuli
"Alisya ...." lirih Dafandra begitu membuka mata setelah dua hari tidak sadarkan diri. Rasa nyeri langsung menyapa sang pangeran begitu membuka mata. Perlahan dia mengangkat kepala dalam posisi tengkurap untuk melihat keadaan sekitar. "Kiron, Pangeran Dafandra telah bangun!" Seorang pria bermabut hitam menyenggol lengan pria di sebelah. Dua orang pria yang menunggu sang pangeran tampak gembira. "Syukurlah Yang Mulia telah sadar," kata lelaki berambut coklat. Mata biru pria itu berbinar-binar sambil tersenyum lebar. Dalam ingatan Dafandra, pria itu bernama Kiron. Usia pria itu berkisar empat puluh lima tahun. Penampilannya sangat rapi, khas seorang kepala pelayan. Yah, pria itu memang kepala pelayan di kastil Nikyzh. Di samping Kiron ada seorang pria berjubah putih. Sepertinya dia seorang dokter. Dafandra berusaha menggerakkan tubuh, tapi buru-buru lelaki berjubah putih itu melarangnya. "Yang Mulia terluka cukup parah. Sebaiknya jangan buru-buru untuk bergerak agar luka cepat p
"Syukurlah Yang Mulia telah sadar," kata wanita itu bahagia. Dafandra menoleh ke asal suara. Di depan pintu berdiri seorang gadis pelayan dengan sebuah nampan di tangan. Pria bertubuh kekar di ranjang memalingkan wajah dari gadis pelayan, kemudian melihatnya kembali. Ternyata pandangan matanya tidak salah. Wanita itu memang gadis pelayan. 'Sialan! Aku kira dia!' umpat Dafandra di dalam hati. Gadis pelayan itu memberikan hormat kepada Dafandra, juga kepada Kiron dan Kirila. Kemudian dia berjalan mendekati Kirila. Pria itu memerintah gadis pelayan untuk meletakkan nampan pada meja di dekat ranjang. Di atas nampan terdapat semangkuk obat dan juga perban. Begitu mencium aroma obat itu Dafandra segera memalingkan muka. 'Astaga, aroma obat ini membuatku ingin muntah!' umpat Dafandra dalam hati. Sebelum gadis pelayan itu pergi Kirila berkata, "Jika Putri Alisya telah terbangun dari tidurnya, kabarkan kepada Putri, Yang Mulia Dafandra telah sadar. Juga, cepat bawakan makanan untuk Yang
Bukan itu. Dafandra tidak meminta Alisya untuk melepaskan pakaiannya. Akan tetapi, dia merasa tidak nyaman dengan kalimat perintah. Sebagai seorang pangeran, Dafandra selalu bertindak dominan di hadapan Alisya. Seumur hidupnya tidak ada yang pernah memberikan kalimat perintah kepadanya selain raja dan ratu. "Astaga, beraninya kamu memberikan kalimat perintah kepadaku!" umpat Dafandra. Perlahan Dafandra melepaskan kancing baju sambil menahan rasa perih di bagian luka. Alisya yang menyaksikan kejadian itu sedikit iba. Sebenarnya dia ingin membantu. Tapi melihat Dafandra bisa melakukan sendiri tanpa bantuan, Alisya mengurungkan niatnya. Setelah melepas baju Dafandra melempar asal-asalan pakaian di salah satu sisi ranjang. Tampak tubuh bagian atas sang pangeran yang dibalut perban. Untuk pertama kalinya Alisya melihat tubuh Dafandra dengan jelas tanpa ada rasa khawatir "Aku sudah selesai!" Sesaat kemudian Alisya melepaskan ikatan perban dan membukanya perlahan. Wanita itu memang sa
Pangeran bermabut pirang menatap Alisya dengan tatapan tidak suka. Selagi dalam kondisi sadar, dia tidak akan sudi untuk menelan ramuan dengan rasa pait dan aroma menjijikkan. "Apa kamu lupa masih punya hutang kepadaku? Kapan kamu akan membayarnya?" ucap Dafandra mengalihkan perhatian Alisya. Akan tetapi, Alisya tidak terkecoh dengan mudah. Tindakan Dafandra justru menguatkan dugaan sang putri benar. Pandangan Alisya begitu bersemangat ketika menemukan kelemahan Dafandra. Ternyata pria arogan itu punya kelemahan yang sangat sederhana. Alisya tidak sabar ingin menggunakan hal itu untuk menindas pangeran kedua Kosmimazh. Mungkin ini saat yang tepat bagi Alisya untuk membalaskan kekesalannya. "Silahkan Yang Mulia." Alisya menyodorkan mangkuk berisi obat untuk Dafandra. Dafandra bergeming. Perutnya terasa mual karena aroma obat itu. Sementara Alisya semakin mendekatkan mangkok itu ke mulut Dafandra. "Aku tidak mau meminumnya," kata Dafandra seraya membuang muka. "Kalau kamu tidak
Tiga hari berlalu, Alisya sama sekali tidak bertemu dengan Dafandra. Meski sebenarnya dia khawatir, tetapi amarah menghalangi sang putri untuk bertemu dengan pangeran kedua. Untuk sesaat Alisya menikmati kesendirian. Bukankah kebebasan yang dia harapkan sebelumnya? Pagi itu udara sangat sejuk. Alisya memutuskan untuk berkuda sesaat di sekitar kastil. Sepulang dari berkuda tanpa sengaja Alisya bertemu dengan Kiron. Sang putri menyempatkan diri untuk menyapa kepala pelayan. Kiron yang terkejut melihat kehadiran Alisya buru-buru memberi hormat. Tiga hari tuanya tidak saling bertemu begitu meresahkan hati Kiron. Akan tetapi, Kiron tidak berkomentar apa pun, karena bukan haknya untuk turut campur urusan rumah tangga sang tuan. "Bagaimana keadaan Pangeran Dafandra?" tanya Alisya tanpa basa-basi. "Yang mulia baik-baik saja," jawab Kiron dengan senyum ramah. "Apakah yang mulia mau minum obatnya?" "Tidak, Putri. Sebenarnya hamba sangat khawatir akan hal ini. Akan tetapi, luka pangera
Setelah sampai di depan pintu kamar Dafandra, Alisya dicegat oleh dua orang pengawal. "Apa-apaan ini?" Alisya tampak kesal. "Yang Mulia Dafandra sedang tidak ingin diganggu," jawab salah seorang penjaga pintu. Alisya mengabaikan kedua pengawal dan menerobos pintu kamar. Di dalam kamar Dafandra tengah duduk bersandar di sofa sambil menikmati teh hangat dan beberapa cemilan. Pangeran itu terlihat tidak terkejut dengan kedatangan Alisya. Dia masih menikmati teh tanpa mengubah ekspresi. Alisya ragu untuk berjalan mendekat. Dia teringat akan kejadian terakhir kali yang meninpanya saat bersama pria itu. Akan tetapi, dia sudah terlanjur masuk ke dalam ruangan dan terlihat oleh Dafandra. Tidak mungkin aku dia kembali secara tiba-tiba. Akhirnya Alisya berjalan mendekat dan memberi hormat. Sementara Dafandra masih menikmati teh tanpa memperdulikan kehadiran putri berambut merah. "Yang Mulia." Alisya berhenti sejenak sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. Dia bingung harus memulai dari ma
"Bagaimana? Apa kamu menerima tawaranku?" tanya Dafandra tidak sabar menunggu jawaban Alisya. Perasaan tidak nyaman kembali berkecamuk di dada Alisya seolah ledakan bola api yang menghantam dinding perbatasan suatu negeri. "Tidak!" Alisya bangkit dari tempat duduk hendak meninggalkan ruangan Dafandra. "Sudah sejauh ini usahamu mendekatiku. Aku akan sungguh-sungguh mempertimbangkan Kirila untuk kembali. Kamu bisa memegang janjiku." "Jika hanya itu persyaratannya aku batalkan permohonanku." Alisya berucap tegas. "Astaga, kenapa mudah sekali menyerah? Itu tidak seperti Alisya yang kukenal," ejek Dafandra. "Apa kamu tidak ingat, bagaimana kamu memegang tanganku saat memohon untuk pergi ke lokasi kebakaran?" Ingatan Alisya terbang sesaat menuju kejadian itu. Ah benar saja, Alisya tampak malu mengingat kejadian itu. Bisa-bisanya dia memegang tangan Dafandra terlebih dahulu. Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar pintu. Alisya dan Dafandra menoleh bersamaan ke asal suara. "Yang Mul