Angel berdiri tepat di sebuah ruangan musik milik keluarga Rajendra. Megah, bahkan ruangan ini terbuat dari kaca. Ditumbuhi tanaman bunga hias, setiap malam atapnya akan selalu dibuka untuk menampilkan deretan-deretan bintang juga sinar rembulan.
Pintunya terbuka. Angel memelankan langkahnya. Ini klasik, tetapi unik. Ada gitar, biola, piano, bahkan sepatu balet. Angel bertanya, siapa yang menyukai balerina?
Tatapannya jatuh pada piano di tengah ruangan. Malam ini begitu cerah, di bawah sinar rembulan dan gemerlap bintang Angel membuka penutup piano.
Memainkannya dengan hati. Angel sangat menyukai musik. Ini mengingatkan dia tentang orang tuanya. Papanya menyukai musik, dan ibunya yang akan bernyanyi.
Tanpa sadar, air mata Angel jatuh. Ini sulit, dia begitu membenci kematian orang tuanya yang begitu nahas itu. Dibunuh hanya karena tahta. Menjijikan!
"Kamu begitu lihai memainkan piano. Kamu menyukai musik?" Angel tersentak. Dirinya menyeka air mata dengan cepat. Menoleh pada sumber suara yang mengganggu kedamaian dirinya.
"Kepo banget si." Angel berdiri. Namun, Damian yang baru datang menyuruh Angel duduk kembali. Damian juga duduk, hal itu membuat Angel berdecak sambil bergeser sedikit.
"Dulu ada anak kecil perempuan, menyukai permainan piano saya."
Angel memutar bola matanya malas. "Terus gue harus bilang wow gitu? Mau lo pinter, jenius sekalipun gue nggak tertarik dengernya," ujar Angel begitu pedas.
"Angel, kenapa kamu begitu sensitif dengan saya?"
"Kenapa lo terlalu banyak tanya? Gue nggak suka orang terlalu mau tahu."
"Setidaknya kamu bisa jelaskan alasan kamu bersikap dingin pada saya. Saya bisa berubah demi kamu."
"Sayangnya gue nggak ngasih tau. Denger ya, Damian. Mau lo berubah bahkan sampai 360 derajat sekalipun itu nggak bakal buat gue luluh!" Angel pergi. Baru beberapa langkah, tetapi kakinya dibuat berhenti oleh ucapan Damian.
"Angel kamu itu seperti bulan dan saya seperti bintang. Kamu mau tahu kenapa?"
Angel yang terlanjur penasaran, berbalik lalu bertanya dengan nada ketus, "Apa?"
"Saya akan jawab kalau kamu mau kembali duduk di samping saya," kata Damian.
Kurang ajar! Angel benar-benar penasaran, tetapi ingin mencakar wajah Damian. Tinggal jawab apa susahnya? Pakai acara suruh duduk lagi.
"Nggak perlu lo kasih tahu. Gue nggak mau denger juga. Nggak penting. Nikmatin sono musik lo, gue duluan. Bye!"
Damian tersenyum. Tingkah Angel begitu lucu. Terpaut umur yang begitu jauh, seharusnya mereka lebih cocok sebagai adik dan kakak. Namun, ikatan takdir membuat mereka justru menjadi suami dan istri. Lucu sekali.
"Kamu tidak pernah berubah."
***
Di sini Angel berada. Duduk di taman belakang. Pandangannya jatuh pada malam. Bibirnya ditarik paksa untuk tersenyum.
"Pa, kenapa Angel harus hidup begini? Terpaksa menikahi anak dari pembunuh. Sakit, pa. Inget bagaimana papa sama mama harus pergi ninggalin Angel sendiri."
Angel terisak. Membiarkan dirinya larut dalam kesedihan. Rindu sekali, sudah seminggu dirinya tidak berkunjung ke rumah. "Ma, Angel rindu. Maaf bahkan sampai sekarang Angel belum bisa balas dendam ini."
Seseorang yang memberikan sapu tangan pada Angel. Dirinya mendongak, kembali mendapati Damian. "Ternyata istri saya dengan sedih. Ambil, saya juga sama sakitnya melihat kamu menangis seperti tadi."
Angel menepis sapu tangan dari Damian. Percuma, karena kesedihannya akan terus disebabkan oleh dia dan juga keluarganya.
"Mau lo apa si Damian?" Serius, Angel menjadi histeris. Bahkan dia berdiri, napasnya menggebu-gebu. Mata, hidung, dan pipinya memerah. Bukan karena malu, tetapi karena pilu yang membelenggu.
"Hei, Angel. Kenapa kamu justru semakin menangis? Saya ada salah?"
"Iya salah lo banyak, Damian! Bahkan sampe lo minta gue buat maafin lo, nggak akan bisa."
Melihat Angel yang begitu terisak. Damian memeluk erat tubuh bergetar milik Angel. "Saya tidak tahu di mana letak salah saya. Tapi saya akan merasa sesak begitu dalam saat tahu ketika salah saya terlalu fatal. Maafkan saya walau kamu bilang tidak akan maafkan saya," ujarnya.
"Gue nggak suka disentuh sama lo!" Angel mendorong Damian. Lancang sekali sudah memeluknya seperti ini.
"Angel —"
"Tinggalin gue."
"Angel, saya—"
"Gue bilang pergi! Lo tuli atau gimana si?!"
"Oke, saya pergi. Bersihkan air matamu, jangan lama-lama di sini udara malam tidak baik bagi pernapasan. Saya tunggu kamu di dalam."
***
Angel tetap menangis. Tidak peduli waktu terus naik ke atas, malam mulai larut. Dia butuh seseorang. Andai saja Gerald di sini. Namun, laki-laki itu begitu jahat. Hampir saja merendahkan dirinya. Apa cinta Gerald hanya sebatas nafsu semata saja?
"Ge, aku benar-benar terpuruk. Andai kamu datang dan bantu kesulitan aku di sini." Angel menekuk lutut.
Tanpa sadar, Angel sampai tertidur di sana. Di tempat lain, Damian tidak benar-benar pergi. Pria itu berdiri tak jauh di belakang Angel. Ralat, lebih tepatnya bersembunyi di belakang pohon.
Melihat Angel yang tertidur karena lelah menangis, Damian mendekatinya. Duduk, membelai rambut Angel. Wajahnya begitu sembab. "Kamu tahu? Saya begitu sakit kamu lebih mencari laki-laki itu di saat sedih begini. Padahal kalau boleh, saya ingin sekali jadi orang yang kamu cari," ujar Damian. Dia rapuh, melihat Angel menangis sama saja melukainya hatinya.
Damian menggendong tubuh Angel. Sampai di kamar, merebahkan tubuh Angel lembut. Takut-takut jika istrinya terbangun.
"Saya mau jelasin satu hal tentang kisah bulan dan bintang. Ini sedih, serius. Saya bahkan merasa sakit berkali-kali mengingatnya ketika saya tahu kisahnya sama seperti kita."
Damian menggeser kursi. Duduk, sambil memandangi Angel. "Bulan dan bintang. Dua benda yang hidup di langit malam untuk saling menerangkan kehidupan. Bulan itu satu, sedangkan bintang itu beribu-ribu. Kenapa saya bisa bilang kita ibarat mereka?" Damian menjedanya kala Angel bergerak mencari tempat nyaman.
"Kamu itu ibarat bulan dan saya yang jadi bintangnya, Angel. Kenapa? Karena satu bulan akan jadi tempat perhatian semua orang. Sedangkan bintang, dengan beribu-ribu, akan sulit orang meliriknya. Seperti kamu. Saya di sini, tapi kamu justru cari orang lain. Sekecil itukah saya untuk dilihat dari mata kamu, Ngel?"
Damian terkekeh sendiri. Bertanya pada orang yang telah terlelap dari tidurnya. Mana mungkin akan ada jawaban?
"Selamat tidur, My Angel. Mimpi indah."
Damian ingin beranjak, tetapi tangannya dicekal oleh Angel. "Ma, jangan tinggalin Angel sendiri. Angel takut, ma."
Damian mengecek dahi Angel. Rupanya Angel demam. Damian menepuk pipi Angel. "Angel kangen papa sama mama. Mereka jahat. Kenapa ngancurin hidup Angel!" Angel terus mengigau. Bahkan dalam tidur, air matanya menetes. Damian menyekanya.
"Jangan pergi, Ma." Tangan Angel memegang erat lengan Damian.
Damian mengusap kening Angel. "Saya akan pergi sebentar ambil air hangat untuk kompres kamu."
Angel terus mengigau. Badannya panas, tetapi dirinya terus menggigil kedinginan. "Dingin, Ma."
"Shutt, saya di sini. Kamu merindukan mama? Besok saya antar kamu ke rumah."
"Damian, aku membencimu. Kamu sumber kehancuran keluargaku!"
Damian melepas genggaman tangannya. Dia menatap Angel dalam bingung soal ujaran dari istrinya baru saja. Sumber kehancuran?
Angel meraba benda yang melekat di dahinya. Kain lipat, Angel membuangnya. Kepala gadis itu pusing, terpaksa bangun karena cahaya matahari sudah menyilaukan. Menatap sebuah baskom berisi air di atas nakas. Siapa yang mengompresnya? Apa Damian?"Angel, sudah bangun?" Damian tiba-tiba saja datang dari arah kamar mandi."Aaaaa!" Angel berteriak menutup wajahnya. Damian datang hanya dengan lilitan handuk bagian bawahnya. Kurang ajar!"Lho, kamu kok teriak. Ada yang aneh sama saya?" Damian berdiri kikuk. Melihat istrinya yang justru tetap memilih menutupi wajahnya."Aneh banget! Lo kenapa nggak pake baju si? Mau pamer badan sama gue?" Angel berucap sambil menutup rapat matanya.Damian geli sendiri. Dia malah berjalan mendekat pada Angel. Tanpa ragu, Damian mengecup pipi Angel lalu pergi.Angel terkesiap. Dia melotot saat merasakan ada bibir yang menemp
Angel memainkan pisau lipat yang ia sembunyikan di dompetnya. Senyum gadis itu terlihat bahagia, bahkan wajahnya nampak berseri-seri.Pisau itu ia goreskan di lengan kirinya. Nampak darah keluar, tetapi Angel malah tertawa. "Darah dibalas darah. Begitu juga keluargamu Damian. Darah orang tuaku akan segera terbalaskan!""Angel sedang apa kamu?" Angel tersentak. Dirinya melempar pisau itu asal, lalu menyembunyikan kanan kiri yang terluka.Damian tiba-tiba saja datang dan mengejutkannya. Laki-laki itu memicingkan mata, gelagat Angel nampak mengherankan."Angel?" Damian mencoba memanggil Angel yang tidak menjawab pertanyaannya."Ah, apa?""Saya tanya sedang apa kamu? Di bawah semua orang sudah menunggu," ujar Damian diselingi pertanyaan yang sama."Ungh, gue lagi siap-siap. Lo kenapa ke sini si? Tanpa lo jemput juga gue dateng!"
"Angel, saya sulit mengatakan ini, tapi saya diharuskan bicaranya." Angel memutar bola matanya malas. Sejak tadi Damian berbelit-belit tidak langsung ke dalam intinya saja. Membosankan!"Gue nggak ada waktu ya! Lagi pula lo kenapa nggak berangkat kerja si?" Gadis itu berkacak pinggang. Menatap jengkel pada Damian yang justru masih mengenakan pakaian santai."Nah itu masalahnya.""Apa?""Saya ambil cuti untuk tiket honey moon kita."Angel terbelalak. Tiket? Honey moon? Kurang ajar, apa lagi mau Damian ini."Bukan saya yang memesan. Itu anak-anak kantor, saya tidak bisa menolaknya. Tidak lama hanya dua hari satu malam," jelas Damian saat Angel mulai mengeluarkan tanduknya. Napasnya saja sudah menggebu-gebu. Siap-siap deh dapat semprotan lagi."Lo kan bosnya. Sok nggak enakan banget si. Pokoknya gue nggak mau! Udah ada perjanjian di awal s
Sore ini begitu cerah. Udara sejuk dengan angin yang menginginkan balasan sapa dari manusia. Burung-burung kecil berterbangan saling baris menghiasi angkasa. Awan-awan, seperti permen kapas yang disukai anak kecil. Membentang, berjalan saling berpelukan di atas sana.Damian mengajak Angel untuk mengunjungi pantai yang tempatnya tidak jauh dari penginapan yang ia seharusnya pakai untuk berbulan madu. Namun, ini kan bukan kisah percintaan seperti orang lain. Damian harus mengalah, jangankan untuk berbulan madu, untuk mendapatkan sekadar cinta dari Angel saja sangat sulit."Pantainya bagus ya?" Angel dan Damian duduk di batuan karang, mengamati gulungan ombak yang membasahi bibir pantai."Biasa aja. Lo nggak pernah main ke sini ya? Keliatan noraknya," ejek Angel. Namun, yang membuat Angel aneh, adalah Damian. Laki-laki itu malah tersenyum, lalu mengarahkan ponselnya ke pantai. Menekan icon kamera, lalu memotretnya.&nb
Damian menggenggam kotak berisi martabak ketan keju yang baru saja ia beli. Dia banyak bertanya pada sekretarisnya, apa yang membuat mood perempuan itu membaik. Katanya, perempuan identik dengan yang manis-manis. Semoga saja ini berhasil.Iya, Damian dan Angel sudah pulang dari bulan madu yang tidak bisa disebut bulan madu itu. Iya, mereka tetap melakukan hal yang sama di sana. Tidur pisah ranjang, Damian yang selalu mengalah untuk tidur di sofa."Pak, maaf jika saya lancang. Istri Bapak yang waktu itu pernah saya temui ketika kita mau bertemu client?"Damian berdeham, selanjutnya tersenyum tanpa ragu mengangguk. "Iya, dia istri saya. Kenapa?""Saya rasa dia tidak cocok dengan Anda, Pak. Sifatnya bertolak belakang dengan Bapak. Saya cukup terkejut ketika lihat tidak sopannya dia sama Bapak. Terlebih merokok, maaf jika saya berbicara cukup jauh, Pak."Damian memang menga
Malam ini, Angel harus benar-benar bisa melancarkan aksinya. Dia harus mendapatkan rekaman cctv yang sudah pasti diambil terlebih dahulu oleh keluarga Rajendra. Ruangan itu, menjadi tempat tersangka pertama bagi Angel masuk.Bermodalkan senter ponsel, memakai kardigan hitam dengan kupluk yang menutupi kepalanya. Angel keluar menutup pintu dengan pelan, karena Damian sudah benar-benar terlelap dalam tidur.Malam di mansion begitu gelap. Hampir seluruh ruangan dimatikan, ralat bukan hampir, tetapi semua. Bahkan Angel kesusahan untuk melihat. Sudah satu bulan, tidak terasa dia tinggal di sini. Dan parahnya belum mendapatkan apa-apa. Hatinya masih penuh luka belum satupun terjahit dibenahi.Angel, menghela napas berat. Dia menghidupkan senter ponselnya. Lalu berjalan menuruni tangga, ruangan itu ada di tangga sebelah sana. Menyebalkan memang, kenapa tempat seistimewa ini, dan keluarga sekaya ini ternyata didapatkan dar
Hari ini adalah hari yang ditunggu Angel, sebab kejutan yang sudah dijanjikan oleh Damian, lusa lalu. Tidak tahu kenapa, ini justru yang membuatnya menunggu seperti ini. Bahkan sekarang, Angel sering merasa jantungnya berdebar merasa aneh di dalam sana. Bukan cinta, karena Angel tahu betul dia benar-benar ingin membatasinya. Dia bukannya sudah berjanji untuk tetap membenci Damian dan keluarganya sampai kapanpun?Ponsel Angel berdering. Membuat pikirannya yang kosong terpenuhi oleh dengung suara yang ditimbulkan dari sang penelepon.'Halo, Sayang. Minggu depan aku pulang. Parfumnya udah aku beli buat kamu. Seneng nggak?'Gerald, kekasihnya yang menelpon. Angel senang, bahkan dia sudah memposisikan duduk dengan kaki kiri berada di atas kaki kanannya. Bibirnya melengkung sempurna lalu menjawab, "Halo, Ge. Iya seneng kok. Aku jemput ya?"'Emang gapapa sama suami kamu?'"Emang ada urusa
Seperti biasa, Damian meninggalkan note kecil di pintu kulkas. Sudah ada sepiring ketoprak yang ia beli dari mamang gerobak keliling. Mungkin, Damian tidak sempat untuk memasak. Angel baru bangun tidur jam delapan pagi. Kalau saja, dia bukan istri dari orang kaya. Angel sudah pasti dimarahi oleh mertuanya, terlebih mama Damian begitu sinisnya dengan Angel.Bersyukur seharusnya Angel. Makan ada yang masakin, baju ada yang nyuciin, bahkan lantai pun ada yang mengepel kalau Angel sudah malas-malas benar.Melihat ketoprak, membuat Angel hilang selera makan. Entah kenapa dia menginginkan nasi goreng buatan Damian. Padahal rasa ketoprak dan nasi goreng sangat jauh. "Ck, masih mending nggak kelaperan lo, Ngel." Dia bergumam sendiri, lantas menyendok sayuran ke mulutnya.Sekarang, Angel sudah selesai membersihkan diri. Dia mengambil ancang-ancang untuk duduk, sebelum akhirnya dibuat berdiri lagi lantaran ketukan pintu dari